(Sebuah Tawaran Berkristologi Kontekstual)
Oleh
Kleopas Sondegau
MIGANIJU
(Mahasiswa Magister Ilmu Teologi Pasca-Sarjana, Universitas
Katolik Parahyangan Bandung).
Pembahasan pada
bagian ini akan dilihat dalam kaitannya dengan nilai-nilai positif yang pernah
ditunjukkan oleh tokoh ideal Peagabega
ketika masih hidup di tengah-tengah kebudayaan suku bangsa Migani. Nilai-nilai
positif yang dimaksud akan dibeberkan oleh penulis sebagai suatu tawaran dalam
rangka pewartaan Yesus Kristus dalam konteks orang Migani. Penulis menyadari
bahwa sebelum Peagabega
diinkulturasikan ke dalam liturgi Gereja, kisah tentang Peagabega semula hanya dimiliki dan diketahui oleh klan tertentu
seperti klan Nabelau, Pogau, Bagubau dan Agimbau. Namun dengan adanya
perjumpaan antara kultur orang Migani dengan Gereja, maka setelah melewati
proses yang panjang akhirnya Peagabega
pun diinkulturasikan dalam liturgi Jumat Agung.
Berdasarkan
pengalaman dan pengamatan penulis sebagai bagian dari orang Migani Katolik,
upaya inkulturasi yang dilaksanakan di Paroki Bilogai hanya terbatas pada kisah
penangkapan dan pembunuhan Peagabega.
Kisah yang demikian diinkulturasikan dalam liturgi Jumat Agung untuk mengenang
kisah sengsara dan wafat Kristus di atas kayu salib. Dalam proses upacara Jumat
Agung yang dilaksanakan pada setiap tahun, para pemeran tokoh Yesus selalu
diberi nama Peagabega sehingga dalam
liturgi tersebut terjadi integrasi nilai-nilai kultural dengan liturgi resmi
Gereja. Dalam arti ini, tidak semua nilai-nilai positif yang telah ditunjukkan Peagabega diinkulturasikan ke dalam
liturgi Gereja. Hal ini tampak dari tidak adanya lagu-lagu, doa-doa maupun
katekese-katekese yang diajarkan dan dipraktekkan secara bersama untuk ditujukan
kepada tokoh ideal Peagabega. Padahal
praktek perayaan iman yang dilakukan secara kontekstual dengan memasukkan
nilai-nilai positif lain dari teladan hidup Peagabega
selain inkulturasi kisah penangkapan dan pembunuhannya dalam liturgi Jumat
Agung mampu menghantar umat setempat semakin mengenal dan beriman kepada Yesus
Kristus.
Dengan melihat
dan mengalami realitas seperti itu, maka penulis hendak menawarkan sejumlah nilai-nilai
positif yang telah direfleksikan berdasarkan teladan hidup Peagabega untuk kemudian dijadikan sebagai sarana pewartaan Kristus
dalam konteks masyarakat setempat. Dalam hal ini, tema-tema yang akan disajikan
oleh penulis merupakan sebuah tawaran bagi para petugas pastoral maupun umat
setempat untuk bisa diinkulturasikan dalam liturgi Gereja sehingga pewartaannya
sungguh kontekstual. Berikut ini adalah nilai-nilai positif yang dimaksud dalam
upaya mewartakan Yesus Kristus dalam konteks orang Migani:
Pertama,
peka terhadap situasi di sekitarnya. Orang Migani selalu hidup berkomunitas.
Maka itu, mereka sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan ketimbang
mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Tokoh Peagabega selama hidupnya pun selalu peka terhadap sesama yang
lain. Ia mengharapkan kehidupan yang ideal bagi orang Migani sehingga segala
niat jahat selalu dicegah. Peagabega
tidak akan meninggalkan sesamanya hidup dalam kesulitan dan penderitaan. Oleh
karena itu, dalam katekese-katekese bisa diangkat tema mengenai bagaimana orang
Migani harus mengasah kepekaan terhadap sesama yang menderita dan membutuhkan
perhatian sebagaimana Peagabega lakukan
selama hidup. Upaya untuk bersikap peka terhadap sesama dan lingkungan di
sekitar merupakan bagian dari keutamaan Kristus juga sebab Ia selalu melayani
setiap orang melalui sikap kepekaan yang dimiliki-Nya.
Kedua,
berkata jujur (wugumadole hindia).
Orang Migani diharapkan untuk selalu berbicara jujur dalam berelasi dengan
sesama. Melalui sikap kejujuran tersebut orang Migani akan terhindar dari
prasangka-prasangka negatif yang dapat memecah belah satu dengan yang lain.
Selama hidupnya, Peagabega selalu
berkata benar atau tidak berbohong terhadap sesama yang dijumpainya. Oleh
karena itu, Peagabega telah memberi
teladan hidup yang baik kepada orang Migani agar selalu berbicara dengan jujur.
Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan sendiri agar tidak bersaksi dusta terhadap
sesama manusia (ingat Sepuluh Firman Allah yang ke-8). Teladan hidup Peagabega untuk berkata jujur tidak
dilakukan dengan cara mengajar seperti Yesus Kristus tetapi ia tunjukkan lewat
sikap hidup.
Dalam arti ini
dapat dikatakan bahwa kejujuran akan dialami dan dirasakan oleh setiap orang
melalui perkataan yang diucapkan maupun lewat sikap hidup. Kita juga dapat
melihat bagaimana misi keselamatan Allah yang dilaksanakan Kristus melalui
sikap keterbukaan dan kejujuran itu ternyata tidak diterima dan dipahami dengan
baik oleh masyarakat kala itu; sehingga Ia pun ditangkap, disiksa dan akhirnya
mati di atas kayu salib. Namun demikian, keutamaan hidup yang diajarkan dan
dipraktekkan oleh Kristus menjadi nyata melalui peristiwa kebangkitan-Nya dari
alam maut. Dalam hal ini, kebangkitan Kristus hendak membuka mata setiap orang
bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang telah mengajarkan kebenaran Allah
melalui keterbukaan dan kejujuran. Sikap kejujuran ini amat penting bagi orang
Migani agar mampu menciptakan kehidupan yang damai dan aman sebagaimana
ditunjukkan Peagabega lewat sikap
hidupnya. Dengan demikian, orang Migani mampu melaksanakan amanah Tuhan sendiri
untuk tidak bersaksi dusta terhadap sesama manusia.
Ketiga,
berbuat baik kepada semua orang. Selama Peagabega
hidup, ia tidak pernah memilih-milih dalam berbuat baik. Semua orang Migani
berhak untuk menikmati hidup yang damai, aman dan sejahtera (Usuama Tugiago Undiago Dinuota). Oleh
karena itu, Peagabega selalu
menunjukkan sikap hidup yang baik kepada setiap orang yang dijumpainya.
Walaupun sikap hidup ideal yang ditunjukkan tersebut bertujuan untuk kebaikan
bersama (bonum commune) namun
sebagian masyarakat kala itu merasa kenyamanan hidupnya diganggu oleh kehadiran
Peagabega sehingga ia pun ditangkap,
disiksa dan kemudian dibunuh. Memang seorang pribadi yang berbuat baik kepada
banyak orang tidak selalu diterima dengan keterbukaan hati sehingga sering kali
memunculkan prasangka-prasangka negatif atas berbagai kebaikan yang dilakukan
oleh tokoh tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Yesus pun pernah mengalaminya.
Walaupun Ia berbuat baik untuk banyak orang namun masyarakatnya sendiri
menolak-Nya (lih. Luk 4:16-30). Sekalipun begitu, orang Migani diajak untuk
selalu berbuat baik kepada sesama tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain;
sebab perbuatan baik yang muncul dari ketulusan hati merupakan salah satu nilai
Kristus sebagaimana yang diwujudkan oleh tokoh Peagabega dalam konteks kultur orang Migani.
Keempat, mencegah berbagai kejahatan. Dalam hal ini, Peagabega tidak pernah menginginkan
hidup manusia Migani dihantui ketakutan karena berbagai kejahatan yang terjadi
dalam hidup mereka. Oleh karena itu, sebagai bentuk perhatiannya ia selalu
mencegah niat-niat jahat yang hendak dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Peagabega sebagai manusia ideal yang
memiliki sifat manusiawi dan adi-manusiawi, maka ketika setiap orang yang
hendak melakukan suatu kejahatan tertentu, ia pun hadir di tempat itu untuk
mencegahnya. Nilai hidup seperti ini juga mesti dibangun dalam kehidupan orang
Migani. Dalam hal ini, orang Migani diharapkan untuk bukan menjadi pelaku
kejahatan tetapi pencegah kejahatan sehingga tatanan hidup moral, etik, sosial,
kultural, dan religius tetap terjaga dengan baik sebagaimana Tuhan sendiri
kehendaki bagi semua manusia termasuk manusia Migani (bdk. Sepuluh Firman Allah
yang ke- 6 sampai 10).
Kelima,
berdoa dan bernyanyi (jiwibulindaya
mbaine jamone dia). Para tua adat yang sering berdoa dan bernyanyi untuk
memohon keselamatan hidup ideal dari
Peagabega bagi keluarganya bisa diangkat dan diinkulturasikan ke dalam
liturgi Gereja. Dalam hal ini, walaupun doa dan lagu yang ditujukan kepada sang
Peagabega tersebut bersifat rahasia
dan sakral bagi para tua adat dalam klan tertentu namun bila hal itu
diekspresikan secara bersama dalam liturgi seperti yang telah dilakukan
terhadap EMO, maka penghayatan iman
umat setempat terhadap Yesus Kristus dan ajaran-Nya akan semakin mengakar dalam
kultur orang Migani. Dalam konteks ini, permohonan hidup ideal yang ditujukan
kepada Peagabega bisa dikolaborasi
dengan Kristus sebagai penyelamat sejati sehingga tokoh Peagabega menjadi sarana untuk sampai kepada Yesus Kristus. Oleh
karena itu, para tua adat diharapkan untuk bersikap terbuka seperti yang telah
dilakukannya ketika melaksanakan upacara Jumat Agung dengan tokoh Peagabega agar nilai-nilai kultural yang
positif dapat dihayati secara bersama sehingga saling memperkaya antara
nilai-nilai kristiani dengan nilai kultural setempat.
Keenam,
melestarikan tanaman khas seperti kigimugi,
dibilaba, aebugi dan musi iji.
Ketika Peagabega melakukan
karya-karya keselamatan bagi orang Migani, ia menggunakan tanaman-tanaman khas
tersebut untuk mencegah kematian dan bencana alam seperti banjir dan longsor.
Oleh karena itu, orang Migani perlu melestarikannya dengan cara menanam di
sekitar rumah dan di tempat-tempat tertentu agar jenis tumbuhan tersebut tidak
punah oleh karena adanya perkembangan zaman. Tujuan dari pelestarian itu adalah
agar kehidupan orang Migani terhindar dari bahaya malapetaka. Dalam arti ini,
Tuhan juga selalu hadir dan menyapa setiap suku bangsa termasuk suku bangsa
Migani melalui unsur-unsur kebudayaan yang ada sebagai salah satu cara untuk
menampakan wajah-Nya. Maka itu, tujuannya bukan supaya menyembah sejumlah
tanaman khas tersebut tetapi dilihat sebagai sarana yang digunakan oleh Tuhan
untuk memberi keselamatan hidup sejati kepada orang Migani melalui perantaraan
sang tokoh Peagabega.
Empat jenis tanaman khas yang pernah
dipakai Peagabega kala itu:
|
Bapak Benny Sondegau sedang menunjuk Rumput Kigimugi |
|
Rumput Dibilaba Kelihatan Hijau di bahwah |
|
Keladi Aebugi |
|
Musi Iji |
Ketujuh,
tidak menaruh iri hati dan dendam terhadap sesama. Dalam hidupnya, Peagabega dimusuhi banyak orang. Ia
dimusuhi bukan karena melakukan kejahatan tetapi justru sebaliknya berbuat baik
kepada sesama. Oleh karena adanya sikap iri hati dan dendam terhadap Peagabega maka ia pun akhirnya ditangkap
dan dibunuh. Sikap seperti ini harus dihindari oleh orang Migani pada zaman
sekarang. Orang Migani harus memberi apresiasi kepada orang tertentu yang telah
menunjukkan kebaikan bagi semua orang dan bukan sebaliknya menaruh iri hati dan
dendam. Oleh karena itu, setiap orang dituntut untuk mengembangkan setiap
talenta atau kharisma yang diberikan oleh Tuhan (lih. 1Kor 12:1-11) agar dapat membawa kebaikan diri, sesama dan
terutama demi kemuliaan Tuhan.
Kedelapan,
tidak membunuh. Terkait dengan hal ini, orang Migani harus sadar bahwa
kehidupan setiap manusia adalah milik Tuhan. Maka itu, Tuhanlah yang berhak
atas hidup setiap orang. Oleh karena itu, tindakan membunuh sesama manusia
merupakan suatu perbuatan yang tidak dikehendaki oleh Tuhan sendiri (ingat
Sepuluh Firman Allah yang ke- 5). Dalam hal ini, perbuatan para leluhur orang
Migani yang pernah membunuh Peagabega tersebut
tidak perlu ditiru oleh generasi masa kini. Orang Migani perlu menghargai
kehidupan sesama manusia dengan cara tidak membunuh sebagaimana Tuhan ingatkan
kepada seluruh umat manusia melalui Sepuluh Firman-Nya.
Kesembilan,
menghargai orang yang telah lanjut usia. Setiap orang Migani lahir dan besar
dalam lingkungan sebuah keluarga. Dalam keluarga tersebut ada ayah dan ibu
sebagai orangtua yang melahirkan anak-anak. Apapun alasannya setiap orang akan
mengalami masa tua. Oleh karena itu, orang Migani harus menghindari sikap
mengeluh dan apalagi merasa diri repot mengurusi segala kebutuhan orangtua yang
telah lanjut usia. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah apabila ada yang
mengatakan “lebih baik orangtua itu mati cepat daripada merepotkan orang muda
yang masih hidup”. Sikap seperti ini pernah terjadi ketika Peagabega masih hidup di tengah-tengah orang Migani. Oleh sebab
itu, sikap untuk tidak menghargai orangtua harus ditinggalkan oleh orang Migani
karena Tuhan sendiri melalui Firman-Nya mengatakan “Hormatilah Ibu-Bapamu”
(ingat Sepuluh Firman Allah yang ke-4).