Gambar Ilustrasi - Bunga khas Daerah Orang Migani (Dok. Yeskiel Belau) |
Dalam tulisan ini saya telah membahas topik tentang
perkawinan adat suku Migani dalam
terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Topik ini dibahas di sini dengan tujuan
menggali sistem perkawinan adat dalam budaya orang Migani apa adanya dan melihatnya dalam terang Hukum Perkawinan
Gereja Katolik, sehingga tampaklah perkawinan adat orang Migani yang sungguh diterangi oleh Hukum Perkawinan Gereja Katolik,
yang bisa membantu orang Migani menghayati
perkawinan secara lebih sempurna. Dalam proses mengusahakan tujuan ini, saya
telah mengunakan metode studi pustaka dengan pendekatan ilmu Antropologi Budaya
serta Eklesiologi, secara khusus Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Dengan
bantuan metode dan pendekatan ilmu-ilmu ini, saya telah menemukan sistem
perkawinan adat orang Migani yang khas
dan yang telah diterangi oleh Hukum Perkawinan Gereja katolik.
Kata Kunci: Perkawinan, Adat, Migani, Hukum, Gereja, Menerangi.
1. PENDAHULUAN
Sistem perkawinan adat dalam
kebudayaan Suku Bangsa Migani tentu mempunyai kesamaan-kesamaan dengan sistem
perkawinan adat dalam kebudayan suku bangsa yang lain. Keberadaan kesamaan perkawinan
yang dimaksud berhubungan dengan hakikat perkawinan itu sendiri. Sementara cara
semua suku bangsa menuju hakikat perkawinan itu mempunyai kekhasannya
sendiri-sendiri. Dalam hal ini, orang-orang yang mendiami Wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga – Papua, mempunyai sistem
perkawinannya sendiri yang khas sebagai satu suku bangsa (Suku Migani). Maka sistem
perkawinan khas menurut suku bangsa Migani inilah yang akan saya bahas dalam
terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, yang juga telah mengangkat hakekat perkawinan
yang sama dalam setiap sistem perkawinan adat dalam budaya semua suku bangsa.
Sehubungan dengan penjelasan itu, Hukum Perkawinan Gereja
Katolik mulai bertolak dari Kanon 1055. Menurutnya perkawinan adalah sebuah
perjanjian yang dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk
antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah
pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara
orang-orang yang dibaptis oleh Kristus diangkat ke martabat sakramen[1]. Pengertian ini
disederhanakan dengan melihat induk kalimat dan anak kaliman. Induk kalimatnya
adalah “perjanjian perkawinan antara
orang-orang yang dibaptis oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”.
Sedangkan anak kalimat berkaitan dengan penjelasan mengenai perjanjian
perkawinan, yaitu; “dengannya seorang
laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh
hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri,
kelahiran dan pendidikan anak”[2].
Pengertian perkawinan menurut hukum Perkawinan Gereja itu
tidak lahir begitu saja dari dirinya sendiri, tetapi lahir dari refleksinya
atas realitas perkawinan adat dalam setiap suku bangsa umatnya yang ia layani
di dunia ini. Hal ini berarti bahwa Hukum Perkawinan Gereja Katolik itu
mempunyai hubungan yang erat dengan sistem perkawinan adat dalam semua budaya manusia, termasuk
budaya orang Migani. Oleh karena alasan ini, maka untuk lebih menyempurnakan
sistem perkawinan adat yang terdapat dalam kebudayaan orang Migani, saya
menulis tulisan ini dengan tujuan mendalami sistem perkawinan adat menurut
orang Migani dan melihatnya dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik,
sehingga hasilnya dapat menyempurnakan sistem perkawinan adat orang Migani itu.
Mewujudkan tujuan itu, saya akan memulai dalam tulisan
ini dengan Gambaran Umum Tentang Orang Migani, Perkawinan Adat Menurut Orang
Migani, Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik, Perkawinan Adat Orang Migani
Dalam Terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik dan Penutup yang berisi tentang
Kesimpulan dari tulisan ini. Kemudian saya beri catatan di sini bahwa tulisan-tulisan tentang orang Migani yang menggunakan istilah moni, seperti buku Nenu Tabuni dan Skripsi Natalis Tabuni yang saya jadikan sumber tulisan ini saya ganti dengan istilah "MIGANI", dengan alasan bahwa kami hendak menghapus istilah moni dan gunakan istilah Migani sebagai jati diri kami yang sesuai dengan kehendak Allah.
Suku
Migani adalah salah satu suku bangsa Papua, yang mendiami di empat wilayah
besar di Papua, yaitu;
Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga, Kabupaten Intan Jaya dan Weandoga Kabupaten Paniai,
Provinsi Papua. Orang-orang yang bersuku bangsa Migani ini menyebut batas-batas wilayahnya dengan istilah Mbulu-mbulu sampai Magataga[4].
Tanah air orang Migani ini baru
mengenal dunia luar pada tahun 1952 dengan kehadiran para Misionaris Katolik
dibawah pimpinan Pater Misael Kammerel
OFM dan Protestan dibawah pimpinan Pendeta Bill Cutt tahun 1954[5].
Perjumpaan
itu semakin membuka cakrawala dunia orang Migani
dan dari waktu ke waktu mereka menyaksikan dan mengalami era globalisasi. Pada
tahun 1970-an, Pemerintah Kabupaten Paniai membuka Kecamatan Sugapa (Dogandoga) dan Homeo (Kemandoga-Mbiandoga)[6].
Pada 29 Oktober 2008, Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto berhasil meresmikan wilayah itu sebagai Kabupaten Intan
Jaya[7]. Kabupaten yang baru diresmikan ini
terdiri dari enam (6) Distrik dengan tiga puluh enam (36) Desa[8].
Pada tahun 2013 Kabupaten Intan Jaya memekarkan empat (4) Distrik baru lagi
yakni; Bugalaga, Ugimba, Bali-Bali dan Nabia. Dengan demikian wilayah orang Migani itu memiliki sepuluh (10) Distrik
dengan delapan puluh enam (86) kampung atau desa[9].
Secara geografis Kabupaten Intan
Jaya berada di wilayah pegunungan tengah dengan ketinggian kurang lebih 2.500
meter dari permukaan Laut. Luas wilayah kurang lebih 13922
km, dengan jumlah penduduk kurang lebih 90.045
jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 47.963 jiwa dan perempuan sebanyak
42.082 jiwa. Suhu udara maksimumnya ialah 25.02 derajat Celsius dan minimum 12.15 derajat Celsius.
Juga dengan suhu tertinggi terjadi pada April yaitu 28.8 derajat celsius,
sedangkan suhu terendah terjadi pada September yakni 9.2 derajat celsius.
Dengan demikian pada bulan September terjadi curah hujan yang tinggi dan curah
hujan terendah pada bulan Desember[10].
Seiring
dengan itu tekstur tanah di daerah tersebut berbukit-bukit dan berbatuan yang
diselilingi oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi. Dengan kenyataan itu,
maka daerah Intan Jaya jarang menemukan permukaan tanah datar yang luas.
Kenyataan ini berarti bahwa di daerah Intan Jaya tidak terdapat pantai dan
lembah yang luas[11].
Oleh karena itu, orang Migani sudah terbiasa mendirikan rumahnya di lereng dan
bukit curam tersebut. Maka itu tidak heran jika di Intan Jaya terdapat gunung Cartenz atau Gresberg yang dalam bahasa Migani disebut Mbainggela Pigu[12].
Selain gunung-gunung yang menjulang tinggi, terdapat juga beberapa sungai
seperti; Dogabu, Wabu, Kemabu, Baiabu, Soneabu dan Mbailabu[13].
Batas-batas wilayah Kabupaten Intan
Jaya adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Kirihi Kabupaten
Waropen, di sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Deufo, Distrik Beoga, dan Distrik
Ilaga Kabupaten Puncak, di sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik
Tembagapura Kabupaten Mimika, tepatnya di Distrik Sugapa, Desa Ugimba yang
berdampingan dengan puncak Cartenz dan sebagian lagi berbatasan dengan Distrik
Duma-Dama Kabupaten Paniai, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Distrik
Bogobaida/Magataga Kabupaten Paniai dan Distrik Napan Kabupaten Nabire[14].
Dengan dasar gambaran umum seperti
itu, maka selanjutnya kita dapat
mengatakan bahwa
orang Migani yang berdomisili di geografi seperti itu berada sebagai salah satu
suku bangsa Papua yang memiliki kebiasaan-kebiasaan
khasnya
sendiri untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan di
sekitarnya demi
mempertahankan hidup mereka. Kebiasaan-kebiasaan mereka seperti yang dimaksud
inilah yang kita sebut sebagai kebudayaan mereka. Oleh karena kenyataan ini,
maka kita juga mengakui bahwa orang Migani
adalah suku bangsa yang berbudaya. Sebagai suku bangsa yang berbudaya,
tentunya mereka pun mempunyai kebiasaan hidup dalam menghayati nilai-nilai luhur dalam
budayanya. Salah satu kebiasaan mereka yang memiliki nilai luhur adalah
sistem perkawinan adat. Maka sistem perkawinan adat inilah yang akan dijelaskan
secara khusus dalam tulisan ini.
3. PERKAWINAN ADAT SUKU MIGANI
Perkawinan
adat dalam bahasa daerah orang Migani disebut “Mina-Dutia”. Istilah Mina-Dutia ini terdiri dari dua kata,
yaitu; Mina dan Dutia. Kata Mina artinya
wanita dewasa. Sedangkan Dutia
artinya ambil atau mengambil. Maka dalam konteks perkawinan adat suku Migani, perkawinan dimengerti sebagai mengambil
seorang wanita dewasa oleh seorang pria dewasa sebagai istrinya. Pria dan Wanita
dewasa yang hendak menjadi suami-istri ini tentu sesudah mendapat persetujuan
pihak keluarga mereka masing-masing dan atas kesediaan mereka sendiri untuk
menjadi seorang suami dan seorang istri yang baik.
Tradisi seperti itu telah membudaya dalam hidup perkawinan
orang Migani di tanah air Dogandoga,
Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga.
Tradisi perkawinan yang selalu terjadi di tanah ini, mula-mula hanya diketahui
oleh orang dewasa saja. Sementara anak-anak muda, remaja dan mereka yang sedang
beranjak ke usia dewasa tidak diperkenangkan mengetahuinya. Apalgai ikut campur
dalam urusan orang-orang dewasa dalam hal perkawinan. Mengenai penjelasan ini,
ada semacam aturan dalam budaya orang Migani yang bertugas mengawal segala
aktifitasnya, sehingga muda-mudi orang Migani menikmati masa mudanya sambil
biasakan diri dengan berpikir baik, berkata sopan dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik sebagai bekal kehidupannya ke depan. Tahap ini
juga merupakan tahap terpenting untuk membangun dasar hidup yang kokoh bagi
generasi orang Migani.
Sesudah generasi orang Migani semakin kokoh dengan
pengetahuan-pengetahuan budayanya melalui proses seperti itu, selanjuntnya
mereka dididik secara khusus oleh setiap orang tua. Biasanya seorang pria dididik secara khusus oleh
ayahnya sendiri dan seorang gadis dididik oleh ibunya. Pendidikan yang
diajarkan tentunya melalui berbagai cara, baik dengan cara berkata-kata
(memberi nasehat) maupun tanpa kata-kata (dengan perbuatan). Seorang pria akan
belajar dari ayahnya untuk menjadi seorang ayah yang tangguh di masa yang akan
datang. Ia belajar dari ayahnya membuat rumah, membuat kebun (pagar), menanam,
menjalin relasi yang baik dengan sesama, mampu berburuh dan lain sebagainya. Demikian
juga seorang wanita belajar dari ibunya untuk menjadi seorang ibu yang tangguh
pula di masa yang akan datang. Seorang wanita belajar berkebun, menanam, memanen,
menghidangkan dan melayani sesama dari ibunya. Sementara pendidikan dengan
kata-kata (memberi nasekat) selalu terjadi di Nduni (rumah laki-laki) dan Minai
(rumah khusus perempuan). Lain dengan pendidikan tanpa kata-kata yang selalu
terjadi di luar rumah dengan kegiatan-kegitan seperti yang disebutkan itu.
Selanjutnya Generasi orang Migani yang telah melalui
tahap-tahap seperti itu dinyatakan telah lulus, maka ia bisa membangun
keluarganya sendiri. Untuk membangun keluarganya sendiri, seorang pria yang
telah memasuki usia dewasa mesti terlebih dahulu menyiapkan rumah, kebun dan
belis. Rumah sebagai tempat tinggal (istirahat) dia dengan istrinya. Kebun sebagai
tempat memperoleh makanan untuk mereka. Sementara belis sebagai bahan membayar
maskawin perempuan. Soal belis ini, biasanya dalam kebudayaan orang Migani menggunakan
kulit biah beberapa tingkat, babi dan uang. Tanpa persiapkan ketiga hal ini,
pria yang hendak menikahi seorang wanita pasti akan ditertawain warga, bahkan
keluarganya pun bisa mengusir mereka dari rumah, walau dalam hal belis tanggung
jawab bersama. Namun pria yangg dimaksud ternyata telah menyiapkan semua itu,
makan ia bisa menikahi seorang gadis dewasa dan tentunya mendapat dukungan dari
sesamanya.
Sehubungan dengan seluruh penjeasan itu, dalam kebudayaan
orang Migani terdapat beberapa jenis perkawinan.
Jenis-jenis perkawinan yang dimaksud ini bisa dipilih oleh seorang pria dan wanita
dewasa, yang telah siap menuju perkawinan mereka. Maka berikut ini akan
dijelaskan jenis-jenis perkawinan yang dimaksud dalam kebudayaan orang Migani.
1. Perkawinan
Dijodohi Orang Tua
Perkawinan
yang dijodohi oleh orang tua pihak laki-laki dan pihak perempuan sudah sangat
membudaya dalam kehidupan orang Migani sejak masa nenek-moyang. Jenis
perkawinan yang sudah membudaya seperti ini lazim sekali terjadi dalam
kebudayaan orang Migani dan cerita tentangnya demikian; Pada
waktu yang tepat, orang tua pihak laki-laki mendatangi
rumah orang tua pihak perempuan dan menjelaskan tujuannya bahwa ia mempunyai
keinginan untuk menjodohkan putranya dengan putri dari orang tua anak perempuan
yang dikujungi itu sambil menceritakan tentang semua kesiapan putranya, kesediaan
pihaknya membayar maskawin (belis) dalam bentuk kulit bia, babi dan
barang-barang berharga lain secepat mungkin. Mendengar penjelasan seperti ini,
orang tua pihak perempuan akan bermenung sejenak dan menanggapi dengan
mempertimbangkan banyak sisi, seperti; relasi sosial di antara mereka dengan
melihat, apakah pernah ada masalah sebelumnya di antara mereka, apakah keluarga
itu baik, apakah mereka mampu membayar belis dengan tuntas tepat waktu, apakah
keluarga itu mampu menjaga dan menjamin kehidupan anak perempuannya dengan baik
dan lain sebagainya. Jika semua pertimbangan ini tidak terpenuhi, maka pasti
permintaan itu akan ditolak oleh pihak perempuan dengan alasan masuk akal yang
tidak membuat pihak pemohon tersinggung dan menimbulkan ketidak-sukaan di
antara mereka. Namun jika semua yang dipertimbangkan itu terpenuhi sebagaimana
yang diharapakannya, maka pihak keluarga perempuan akan menerima permintaan
pihak orang tua laki-laki itu dan langsung menanyakan kesediaan putrinya.
Selanjutnya
ketika putrinya bersedia, maka ia akan mempersilahkannya untuk pergi bersama
dengan orang tua pihak laki-laki tadi ke rumah calon suami. Namun jika ia
meragu-ragukan bahkan tidak setuju, maka orang tua akan memilih menghantarnya
sendiri ke rumah calon suami. Pilihan seperti ini dengan pertimbangan akan
adanya kemungkinan perempuan itu melarikan diri dari tengah jalan atau bunuh
diri dengan menggantungkan diri, bisa juga membuang diri ke jurang, ke dalam
kali besar seperti Kemabu dan Dogabu dan lain sebagainya, hanya karena
ia tidak menginginkan menjadi istri dari laki-laki yang dijodohkan oleh orang
tua kedua bela pihak itu. Dalam tradisi orang Migani kebiasaan seperti ini
sudah biasa terjadi, maka untuk menghindari hal seperti ini orang tua biasanya
lebih hati-hati dan menghantarnya sendiri ke rumah calon suami.
Sesudah
sampai di rumah calon suami, orang tua pihak laki-laki akan adakan acara sambut
anggota keluarga yang baru yang biasa disebut “Mina Buga Mindia” dengan bakar batu (barapen) sesuai dengan
tradisi orang Migani. Usai acara ini, keesokan harinya kedua bela pihak duduk
bersama dan pihak keluarga laki-laki menyerahkan maskawin (belis) dalam bentuk
kulit bia, babi dan harta benda lainnya sesuai dengan perjanjinya saat melamar
anak mereka. Jika semua itu sesuai, maka pihak keluarga perempuan akan
menerimanya dan kembali ke rumah sesudah memberikan nasehat terkahir (khusus)
kepada anak perempuan bahwa mereka sudah menerima belis sebanyak itu, maka berharap
ia hidup di tempat yang baru itu sebagai istri yang baik, yang juga merupakan tanda
menjaga nama baik keluarga. Namu jika semua harta itu tidak sesuai dengan
perjanjian, maka mereka tidak akan mengambilnya dan mengatakan kepada pihak
laki-laki bahwa silahkan persiapkan hingga memenuhi apa yang sudah pernah
dijanjikan dalam kurun waktu tetentu. Sesudah mengatakan demikian pihak
keluarga perempuan bisa kembali ke rumah mereka. Penjelasan bagian akhir ini
berarti bahwa perkawinan jenis ini tidak harus membayar belis sekali atau
secepatnya. Pembayaran belis bisa dilakukan kapan saja, sesuai dengan
kesepakatan mereka saat melamar, juga dengan pertimbangan kemampuan finansial
pihak laki-laki.
2. Perkawinan
Bersarkan Harta Kekayaan
Dalam
kebudayaan suku Migani tedapat juga
jenis perkawinan berdasarkan harta kekayaan. Maksud jenis perkawinan ini adalah
bahwa pihak orang tua perempuan yang ingin miliki kekayaan tertentu, ingin
berbisnis (muna), ingin menjadi kaya
(sonowi) atau yang terjepit oleh
keberadaan suatu masalah dalam keluarganya yang harus diselesaikan, mendatangi
orang yang mempunyai harta kekayaan dan mawarkan anak putrinya supaya dinikahi
dan kepadanya diberikan harta yang ia butuhkan (ini satu sisi). Di sisi lain,
orang yang mempunyai harta kekayaan itu mendatangi keluarga pihak perempuan
lantas menyerahkan harta kekayaan sebanyak mungkin dengan catatan bahwa kepadanya
diberikan anak perempuan mereka yang ia sukai.
Harta
kekayaan yang telah didapatkan oleh orang tua pihak perempuan itu merupakan
tanda positif untuk menyerahkan anaknya kepada pihak laki-laki untuk dijadikan
sebagai istrinya atau istri anak-naknya sesuai dengan tujuan awal dari pihak pemilik
harta. Selanjutnya orang tua perempuan menyerahkan anaknya kepada pria yang
mempunyai harta tadi dan ia mengaturnya sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini,
jika usaha itu dengan tujuan menjadikan wanita tersebut sebagai istrinya
sendiri, maka ia akan menjadikannya sebagai istrinya. Namun jika sejak awal ia
rencanakan untuk salah satu anaknya atau salah satu dari saudaranya yang belum
menikah, pasti ia serahkan kepadanya dengan baik. Jenis perkawinan seperti ini
biasanya melakukan pembayaran belis itu sebelum perempuan menuju ke rumah
suami. Pihak keluarga perempuan bisa menerima dari mana saja, bisa dirumanya
sendiri, bisa juga di tempat lain. Model ini biasa disebut “Kigi Hanepama Mindia” artinya “belis
langsung bayar lunas di tangan”. Sesudah menerima harta kekayaan seperti
ini, barulah kedua bela pihak mengurus anak perempuan itu.
Sehubungan
dengan hal itu, perempuan yang dewasa dan yang telah memahami konteks
keluarganya dengan baik serta menaruh keprihatinan yang besar, pasti akan
mengikuti kemauan keluarganya demi kebaikan (keselamatan) anggota keluarganya. Dan,
memang supaya seorang anak bisa sampai berpikir seperti ini, maka sejak masa
muda ia dididik dengan baik oleh keluarganya lewat berbagai macam pendidikan
baik lewat kata-kata maupun tanpa kata-kata lewat perbuatan-perbuatan orang
tuanya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Perkawinan Melalui Seni Suara (Jamo
Tegaya)
Dalam
kebudayaan orang Migani terdapat jenis perkawinan melalui seni suara. Perkawinan
melalui seni suara yang dimaksud ini selalu terjadi dalam kelompok para pria
dewasa dan kelompok para wanita dewasa. Jenis perkawinan seperti ini biasa
terjadi demikian; Awalnya bertolak dari seorang pria dewasa yang siap menikah.
Kesiapannya ini mendorong dia untuk mencari tahu daerah manakah yang terdapat
wanita dewasa yang siap menikah? Ia mencari dengan bertanya kepada sesama,
mendengar cerita-cerita dari sesama, ia juga berjalan kaki dari satu kampung ke
kampung yang lain dan melihat serta alami sendiri akan kenyataan yang hendak ia
telusuri. Dan, biasanya upaya-upaya seperti ini membantu dia ketahui dengan
baik bahwa di suatu tempat terdapat sejumlah wanita dewasa yang belum menikah,
maka ia ingin menggugah hati mereka dengan nyanyian-nyanyian tradisi yang
mempunyai ungkapan makna terdalam tentang kehidupan, tentang kerinduan
terdalamnya, tentang kenyataan hidupnya yang sesungguhnya dan juga puji-pujian
serta cintanya kepada wanita-wanita yang akan mendengarkannya.
Rencana
pria dewasa seperti itu biasanya didiskusikan dengan semua pemuda seusianya maupun para orang
tua yang bisa diajak di kampungnya. Sesudah diskusi, mereka pertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari dan sesudanya sambil
siapkan diri menerima resiko, mereka memutuskan untuk menuju ke rumah keluarga
para wanita dewasa yang telah diketahui tadi. Namun sebelumnya, mereka harus
lalui beberapa tahap persiapan seperti, lagu-lagu yang mengandung nilai-nilai yang disebutkan
tadi, baik lagu bersama (Jamo-Nggu Dia)
maupun lagu solo (Miga Jamo Tegaia).
Juga siapkan harta benda yang akan diserahkan kepada para wanita sambil
menyanyikan lagu-lagu tersebut. Tahap ketiga adalah siapakan senter (zaman
nenek-moyang biasa gunakan obor), busur dan anak-panah serta makanan. Dengan
selesainya ketiga tahap persiapan ini, maka tahap paling terakhir adalah menghias
diri, yang biasa disebut Ugine Ndamene
Dia (memperindah tubuh). Proses ini biasanya dilakukan dengan menggunakan warna-warna
buah-buahan (merah, putih, hijauh, unggu, biru, orengs dan sebagainya yang
lazim digunakan.
Penggunaan
warna-warna itu dalam tata rias tubuh dengan tujuan yang dimaksud biasanya
mulai dari wajah dengan membuat garis-gari lurus maupun garis-garis berfariasi dengan
selang-seling warna yang ada, sehingga kelihatan indah dan menarik perhatian
orang untuk terus memandangnya, terutama para wanita yang akan dikujunginya.
Perhiasan lain yang wajib disiapkan dan gunakan adalah gelang, anyaman bulu
kasuari, anyaman bulu burung nuri maupun burung lain dan sebagainya. Gelang
biasanya digunakan di tanggan kiri dan kanan bagian atas, kemudian di cela
gelang dan kulit tangan itu sisipkan daun-daun hijauh yang indah dan harum.
Sementara bulu kasuari maupun bulu burung yang lain tadi digunakan di kepala
secara teratur, sehingga terlihat indah dan menarik perhatian para wanita. Cara
memperindah tubuh seperti ini biasanya dilakukan beberapa menit sebelum menuju
ke rumah perempuan untuk tunjukkan seni suara mereka.
Sesudah
semua persiapan selesai maka pada sore menjelang malam, mereka akan berjalan
menuju ke daerah yang diketahui didiami oleh para wanita bujan tadi. Sesampainya
mereka di sana, mereka meminta izin kepada kepala suku setempat dan pihak
keluarga yang ada. Mereka menyatakan niatnya bahwa mereka akan “Jamo Tegaia”, bernyanyi-nyanyi bersama
anak-anak perempuan mereka yang dewasa. Pihak keluarga dan kepala suku pun
melihat persiapan mereka yang begitu luar biasa, maka pasti akan diizinkan
untuk itu. Izin yang diperoleh ini membawa mereka untuk masuk ke dalam rumah yang
didiami oleh para wanita tadi. Para pria itu masuk ke dalam rumah yang dimaksud
dan tentu bahwa pembagian tempat duduk di dalam rumah itu amatlah jelas.
Biasanya di sebelah kiri dekat pintu diduduki oleh para pemuda tadi secara
teratur. Sedangkan di sebelah kanan diduduki oleh para wanita yang didatangi dengan
rapih juga.
Dalam
keadaan seperti itu, perwakilan para pria itu (biasanya yang lebih tua dan
dewasa dari yang lain) menjelaskan tujuan kedatangan mereka ke tempat itu dan menemui
mereka secara terus terang kepada mereka dan sesudahnya ia mulai angkat lagu (jamo) terlebih dahulu serta nyanyian itu
diikuti oleh semua anggotanya yang lain. Proses ini merupakan awal dari
pertunjukan seni suara para pria itu kepada para wanita. Maka selanjutnya
secara bergantian, mereka menyanyikan lagu-lagu bersama (Jamo-Nggu) maupun lagu solo (Miga
Jamo Tegaya) sesuai dengan persiapan mereka sambil menyerahkan semua harta
kekayaan yang telah mereka siapkan itu oleh seorang pemudah yang telah dipercayakan.
Harta-harta yang diberikan itu dengan cara mengayung-ayungkan tangan mengikuti
irama lagu-lagu yang dinyanyikan. Sementara para gadis pun berlaga demikian
untuk mengambil barang yang diberikan kepadanya. Proses seperti ini berlangsung
terus hingga semua kekayaan yang disiapkan itu habis. Jika semua kekayaan yang
disiapkan itu habis, maka mereka akan akhiri juga proses pertunukan seni suara
itu.
Sejalan
dengan ceritera itu, tujuan dari harta benda yang diberikan para pria kepada
para wanita itu merupakan lambang cinta mereka kepada para wanita. Sedangkan
tujuan dari semua bentuk nyannyian itu adalah untuk menggugah hati para wanita
yang kemudian bisa berujung pada jatuh cinta kepada salah satu dari antara
mereka. Maka proses pertunjukan seni suara yang berhasil tentu akan dibuktikan
dengan hasil yang memuaskan yaitu, adanya wanita yang bersedia menjadi istri
salah satu dari antara mereka. Hasil seperti ini bisa menjadi kenyataan sesudah
pemuda-pemuda itu meninggalkan rumah para wanita tadi menuju ke tempat tinggal
mereka. Saat para pria ini menuju ke tempat tinggal mereka, wanita yang merasa
hatinya digugah oleh nyanyian-nyanyian mereka tadi dan karenanya ia merasa
gelisa tinggal dirumahnya sendiri, karena jatuh cinta kepada salah seorang dari
antara para pria itu, maka ia akan mendahului para pria itu melalui jalan lain
dan menunggu mereka di jalan yang akan mereka lalui dengan sembunyi.
Sesampainya
para pria itu di tempat yang disembunyi oleh wanita tadi, maka wanita itu pun
akan memperlihatkan dirinya kepada mereka. Melihat kenyataan seperti ini, para
pria itu tentu kaget dan merasa heran sambil bersyukur. Sambil mengalami
suasana batin seperti ini, para pria itu akan menerima dia dengan suka-cita.
Sesudah menerima, mereka akan menanyakan kepada wanita itu, sebenarnya ia jatuh
cinta kepada pria yang mana? Ia akan menjawab dengan mencari di antara mereka,
lalu setelah menemukannya menunjuk pria yang ia cintai. Selanjutnya mereka
menuju ke daerah mereka dengan penuh kegembiraan dan suka-cita. Sesampainya di
daerah mereka, mereka mengajak semua masyarakat dan adakan acara syukuran atas
keberhasilan itu, yang biasa disebut “Mina
Buga-Mindia. Proses bayar maskawin (belis) akan dilakukan oleh para pria
yang telah terlibat dalam proses tadi sebagai bentuk tanggung jawab mereka.
Proses ini bisa dilakukan setelah pihak keluarga perempuan datang ke rumah
pihak keluarga laki-laki.
4. Perkawinan Lari
Jenis
Perkawinan Lari pun terdapat dalam kebudayaan orang Migani. Perkawinan jenis
ini selalu terjadi dalam budaya orang Migani dengan alasan bahwa seorang pria
dan wanita yang sudah lama saling kenal dan saling jatuh cinta, tidak direstui
oleh salah satu dari pihak keluarga mereka. Maka ketiadaan persetujuan salah
satu dari keluarga mereka dipandang sebagai halangan bagi mereka untuk menuju
perkawinan atas dasar cinta mereka. Karena itu, untuk memenuhi keinginan mereka
serta membuktikan cinta mereka dengan hidup bersama sebagai suami-istri, mereka
memilih untuk pergi dari kampung halaman mereka ke kampung lain atau ke hutan
dan hidup lama-lama di sana, hingga kembali lagi. Saat kembali keluarganya yang
menolak tadi tentu tidak bisa berkutik, karena mereka sudah terlanjur hidup besama
sebagai suami-istri. Maka sebagai orang tua, mereka menerima kenyataan itu
dengan membayar maskawin bila penolakan itu dari pihak laki-laki, tetapi jika
itu dari pihak perempuan maka biasanya mereka menuntut maskawin dua kali lipat.
Dan, permintaan seperti ini biasa diterima oleh pihak laki-laki sebagai
konsekuensi atas tindakan anaknya.
5. Cara
Pembayaran Harta Maskawin
Sistem
perkawinan adat dalam budaya orang Migani tidak pernah ada yang namanya gratis.
Semua melalui proses pembayaran maskawin. Dalam hal ini, ada cara yang khas
bagi orang Migani untuk membayar harta maskawin. Maka wajar bahwa dalam semua
cerita tentang jenis-jenis perkawinan di atas, itu diakhiri dengan pembayaran
maskawin. Artinya bahwa akhir dari seluruh jenis perkawinan yang telah dijelaskan
di atas, itu telah berpuncak pada pembayaran maskawin. Oleh karena kenyataan
ini, maka pada bagian ini akan saya jelaskan cara orang Migani yang khas dalam membayar
maskawin itu.
Sehubungan dengan
hal yang dimaksud itu, cara pembayaran harta maskawin dalam budaya suku Migani biasa selesaikan dengan ikuti istilah Indo (tingkat I), Indo Dagupa (Tingkat II), Hondo
(Tingkat III), kubawi (tingkat
IV), kigi bagu (tingkat sederhana), kesene obone/saje (tingkat biasa).
Dengan penjelasan ini, kita ketahui bahwa cara menyelesaikan maskawin seorang
putri Migani bisa dibayar lunas dengan harta benda sebesar enam tingkat ini ditambah dengan beberapa ekor
babi dan barang-barang berharga lainnya. Pembayaran belis selalu terjadi antara
kedua bela pihak yaitu, pihak yang memberi dan pihak yang menerima. Maka ketika
pihak yang memberi merasa puas dan pihak yang menerima pun merasa puas, berarti
pemabayaran belis itu berhasil dan dinyatakan selesai atau “lunas”. Pengakuan
ini sama dengan pernyataan perkawinan itu sah. Jika belum, maka pihak keluarga
perempuan akan terus menuntut hingga melunasinya hingga perkawinan menjadi sah
juga.
6. PENCERAIAN
PERKAWINAN
SAH (MINA/ME HATAIA)
Penceraian
perkawian dalam budaya orang Migani sering terjadi juga. Pertanyaannya, apa
penyebab penceraian antara suami dan isteri yang sah dan budaya orang Migani? Kalau dilihat kembali,
sejak masa nenek-moyang orang Migani suami-istri yang sah amat malu bahkan
takut untuk menceraikan istri atau suami yang telah disahkan dengan pembayaran
belis yang cukup mahal itu. Dalam hal ini, biasanya kaum perempuan yang
benar-benar menjaga dengan penuh hati-hati, karena jika ia bercerai maka dia
akan dikatakan
telah bersinah (Aumba-Ni Neta
Tubaga Dia). Dan, konsekuensinya adalah perempuan seperti itu bersama
dengan laki-laki lain yang telah menjalin relasi dengannya itu pasti akan
dibunuh menggunakan busur dan anak panah dengan memanah. Model hukuman seperti
ini berlaku di zaman nenek-moyang orang Migani. Benar bahwa semua hukum di
zaman itu sangat ketat, maka orang sangat sulit melanggar,
apalagi melakukan perzinahaan. Resiko dari persinaan ini bagia laki-laki dan perempuan adalah mati dibunuh. Oleh
karenanya, maka di zaman nenek-moyang orang (suami-istri) tidak pernah
melakukan saling bercerai.
Hidup
perkawinan di zaman sekarang terlihat kacau-balau oleh karena begitu banyak
penceraian. Alasannya macam-macam, ada yang mengatakan bahwa itu kesalahan
suami, ada juga yang mengatakan itu kesalahan istri, ada pula yang mengatakan
itu kesalahan perkembangan zaman ini. Kebiasaan saling menyalahkan ini terjadi
akibat melemahnya hukum adat seperti di masa nenek-moyang. Memang hukuman
seperti di masa nenek-moyang sudah tidak diberlakukan lagi di zaman sekarang.
Ini baik, tetapi efeknya banyak orang yang hidup bercerai dan keluarganya
kacau-balau. Efek lebih dari itu selalu terjai perang antar suku, perang antar marga bahkan antar keluarga sendiri.
Alasan
penceraian: pertama, orang Migani tidak menghayati nilai-nilai budayanya yang
luhur terutama ajaran-ajaran tentang hidup perkawinan secara sungguh-sungguh. Sehingga
efeknya terjadi hal-hal seperti yang dimaksud tadi. Kedua, kesalahan-kesalahan
antara suami dan istri dalam hidup, salah satunya adalah kurang setia satu sama
lain sebagai suami-istri. Dalam hal
ini, jika
istri yang bercerai
dengan suami, maka ada dua
dugaan, yaitu; cerai karena suaminya tidak pernah
membayar harta maskawin. Sehingga dia cerai dengan mengawini laki-laki lain, supaya
suami kedua ini yang bisa
membayar harta maskawinnya kepada keluarganya. Penceraian ini dilakukan dengan sadar karena pihak suaminya tidak
pernah membayar belis. Jadi, penceraian ini demi keluarga. Di sisi lain, ia bercerai
karena
suami pertama tidak tahu berkerja,
sehingga ia takut kelaparan, dia musti cerai dengan laki-laki seperti itu dan menikahi laki-laki yang bisa
menghidupinya.
Ketiga,
matre. Perempuan zaman sekarang banyak yang bersifat
matre. Jika ia melihat seorang
pemuda yang memiliki banyak kekayaan, ia akan mau menikah dengannya walaupun
orangnya tidak setampan apa yang dibayangkan sebelumnya. Sesudah itu, harta
kekayaannya habis ia melarikan diri dan cerai. Begitu terus, hingga hidup tidak
benar. Demikian juga, para pria yang mempunyai kekayaan, mereka menggunakan
kekayaan itu untuk menambah-namhah istri hingga, sehinggah hidup istri pertama
menjadi kacau, karena ia melarikan diri dari kenyataan yang ada. Memang banyak
wanita yang tidak mau diduakan dan seterusnya.
Jikalau perceraian itu datang dari pihak laki-laki,
maka perceraian itu tentu berdasar
pada ketiadaan keturunan. Iya, kalau seorang perempuan tidak melahirkan anak,
maka laki-laki pasti akan menceraikannya. Pertimbangannya adalah pihak
laki-laki sudah membayar belis dengan amat lelah, supaya mendapatkan keturunan
bagi pihaknya. Alasan lainnya bisa terjadi karena istri
tersebut tidak melayani suami dan keluarga dengan baik.
Dalam
tradisi orang Migani terdapat halangan-halangan perkawinan. Halangan-halangan
yang dimaksud adalah Pertama, soal
usia laki-laki dan perempuan. Kedua,
keturunan. Ketiga, dendaman. Keempat, ketidak-warasan pihak tertentu.
Kelima, jarak perkampungan. Keenam, kemiskinan. Inilah halangan-halangan
perkawinan adat menurut orang Migani. Halangan-halangan ini akan dijelaskan
secara singkat berikut ini.
1. Halangan Usia (Mangge Pane/Ju)
Dalam
kebudayaan orang Migani, sudah terbiasa dengan memperhatikan tingkat usia seorang
laki-laki maupun seorang perempuan. Laki-laki dan perempuan yang berumur 20
tahun kebawah dilarang keras untuk menikah. Pertimbangannya adalah mereka masih
berada pada masa proses pendidikan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Maka masa ini harus dihargai oleh semua pihak dengan menjaga kaum muda-mudi
untuk tidak mengawini atau dikawinkan. Jika terpaksa demikian, maka tentu pihak
keluarga perempuan atau laki-laki (pihak korban) akan adakan serangan
peperangan kepada pihak laki-laki atau perempuan (pelaku), karena dinilai itu
tindakan paling biadab (tidak manusiawi). Oleh karena ada konsekuensi seperti
ini, maka hal usia seorang laki-laki dan perempuan dianggap sebagai halangan
menikah.
2. Halangan
Keturunan (Mbai Mina/Me)
Hal
keturunan adalah halangan paling utama dan terutama dalam kebudayaan orang Migani.
Dalam hal ini, sangatlah tidak masuk akal, jika seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang berasal dari keturunan yang sama, dari satu marga bahkan dari keluarga
yang sama atau terdekat dapat menikah atau hanya melakukan persetubuhan sesaat.
Perbuatan dan perkawinan jenis ini tidak ada toleransi sama sekali, yang ada
hanyalah hukuman “mati”. Hukuman mati
dipandang sebagai jalan keluar yang paling tepat untuk pasangan seperti ini.
Karena dipercaya bahwa hanya hukuman seperti ini yang bisa membayar perbuatan
mereka hingga lunas. Juga bisa membebaskan kutukan bagi semua orang dari
keturunan yang sama, marga yang sama dan keluarga-keluarga terdekat itu. Pemahaman
ini benar, karena dalam budaya orang Migani ada kepercayaan bahwa tindakan
seseorang dalam satu keturunan, marga dan keluarga tertentu akan berpengaruh
juga pada semua manusia dari satu keturunan. Maka untuk membebaskan pelaku dari
perbuatan yang tidak bisa ditoleril itu, yang juga mengutuk sesama dari
keturunannya itu, orang yang bersangkutan harus dibunuh. Oleh karenanya,
tidakan seperti ini sangat diperhatikan dan dihayati orang Migani hingga kini.
Sehingga di zaman sekarang tidak ada lagi hukuman seperti itu yang dialami oleh
orang Migani.
3. Halangan Dendaman
Keberadaan
suatu masalah di pihak laki-laki maupun pihak perempuan, yang belum selesaikan
dengan baik merupakan suatu halangan besar dalam perkawinan. Biasanya
keberadaan masalah itu diceritakan dari generasi ke generasi, dengan tujuan generasi
mereka tidak menikahi laki-laki atau perempuan dari pihak keturunan tertentu
yang dianggap musuh itu. Maka sejak anak-anak, generasi dari keturunan tertentu
sudah ketahui bahwa keturunan tetentu yang ia ketahui itu tidak diperkenankan
untuk nikahi. Selain perkawinan, mereka juga lebih hati-hati dalam menjalin
relasi sosial lain dengan pihak yang dimaksud.
4. Halangan ketidak-warasan pria dan wanita
Demikian
juga halangan perkawinan oleh karena ketidak-warasan pihak laki-laki maupun
pihak perempuan. Orang yang tidak waras, baik perempuan maupun laki-laki amat
dihargai dalam tradisi orang Migani, sehingga mereka menjadi tanggung jawab
bersama untuk diperhatikan, dijaga dan dilindungi. Orang normal dilarang
melakukan kekerasan seksual terhadan orang-orang seperti yang dimaksud. Jika
melanggar, maka pelaku akan dipanah sehingga bisa terpecahlah peperangan di
antara warga yang luas.
5. Halangan Jarak Perkampungan
Jarak
perkampungan pihak laki-laki dan perempuan juga biasa menjadi pertimbangan
serius dari pihak orang tua laki-laki dan terutama orang tua pihak perempuan.
Keluarga pihak perempuan merasa bahwa anak perempuan mereka akan pergi begitu
jauh dan tentunya mereka tidak akan bertemu dengan anak mereka lagi. Maka
sebaiknya menikah saja dengan laki-laki yang kampunya tidak terlalu jauh. Pertimbangan
seperti ini merupakan upaya pihak keluarga perempuan, supaya mereka bisa
memperhatikan nasib hidup anak mereka, janga-jangan ditempat yang jauh itu,
orang memperlakukan anak mereka secara tidak manusiawi. Maka perkawinan jarak perkampungan
yang jauh tidak selalu terjadi dalam tradisi orang Migani. Namun kini, oleh
karena adanya pembuatan jalan yang baik dan kendaraan, kebiasaan seperti ini
semakin berkurang.
6. Halangan Kemiskinan
Kemiskinan
pihak laki-laki maupun pihak perempuan bisa berpengaruh pada kegagalan
perkawian. Pihak laki-laki berpikir bahwa kemiskinan pihak perempuan akan
merugikan pihaknya, maka biasanya pihak laki-laki yang mempunyai kekayaan,
mencari calon istri dari keluarga lain yang selevel dengannya. Sementara pihak
perempuan berpikir bahwa mengawinkan anaknya kepada laki-laki miskin sama saja
kerugian terbesar. Maka sekalipun laki-laki dan perempuan saling mencintai,
pihak keluarga tidak akan pernah restuai. Anak mereka harus dinikahi oleh pihak
keluarga yang mempunyai harta kekayaan dan keluarga terhormat. Oleh karena
seperti ini, maka dikatakan bagian ini juga merupakan halangan nikah dalam
tradisi orang Migani.
Semua
halangan yang telah dijelaskan secara singkat itu dan lainnya yang tidak dapat sebutkannya
di sini, diakui bahwa itu benar-benar lahir secara alamiah dalam kebudayaan
orang Migani sebagai suatu larangan
yang harus dipatuhi dan hindari oleh orang Migani
dalam hidup mereka sehari-hari. Sehingga orang Migani dalam seluruh hidupnya mengalami pertama, kehidupan keluarga sehat (mempunyai
keturunan atau anak-anak dan
mereka berkembang
dengan baik, tidak mengalami kesakitan
dan gangguan
apa pun serta menikmati
umur yang manjang). Juga mempunyai hubungan relasi sosial yang harmonis. Kedua, menghindari kehidupan
keluarga yang selalu tidak sehat, melahirkan anak berujung pada kematian bayi
atau ibunya, keluarga selalu bercekcok, hancur, mengalami kesakitan tanpa henti
bahkan meninggal dunia dalam usia yang sangat muda.
Memahami akan
kosekuensi seperti itu, maka diakui bahwa tepatlah larangan perkawinan yang
terdapat dalam tradisi orang Migani itu bagi generasi orang Migani. Semoga
semua orang Migani dapat mengindahkan semua larangan yang ada dalam hidup perkawinan
ini, supaya dalam kehidupan selanjutnya hanya menikmati kebahagiaan dan
keselamatan sejati.
4. HUKUM
PERKAWIANAN GEREJA KATOLIK
Gereja
Katolik
(selanjutnya baca: Gereja) mempunyai
peranan yang
penting bagi hidup perkawinan umatnya.
Ia mempunyai peranan memberikan
pandangan hidup perkawinan yang baik kepada
umatnya (mempelai), yang akan melangsungkan perkawinan.
Kepada
mempelai, Gereja mengajarkan bagaimana
menciptakan sebuah rumah tangga yang kokoh. Dan, untuk mencapai tujuan ini
serta tujuan positif yang lain, Gereja memproduksi hukum perkawinan yang
mendasar. Maka sesungguhnya umat yang hendak melangsungkan perkawinan
diperkenankan untuk mengikuti langkah-langkah menuju peneguhan
perkawinan yang telah ditetapkan oleh Gereja.
1. Pengertian Hukum
Gereja Katolik
Kitab Hukum Kanonik
adalah Hukum Gereja yang selalu memberikan petunjuk kepada umat, agar umat hidup seturutnya. Dalam konteks perkawinan, Kitab Hukum Kanonik
juga meberikan petunjuk tentang perkawinan kepada umatnya agar itu dihayati
dengan baik dalam persiapkan perkawinan dan dalam hidup
perkawinan mereka. Oleh karenanya, maka Gereja dipandang sebagai Sakramen
Keselamatan yang kelihatan
dalam hal perkawinan. Sebagai sakramen, tentu ia juga membutuhkan norma yang
bisa dijadikan sebagai dasar pijak
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan Tuhan kepadanya, yaitu, menyiapkan umatnya yang akan
menikah dan meneguhkan perkawinan umatnya ke tingkat sakramental.
Sehubungan
dengan hukum yang dimaksud, Gereja tak dapat salah dalam arti itu adalah karunia Roh Kudus yang
bersemayam dalam orang-orang beriman dan menerangi mata hati mereka (Ef. 1:18),
sehingga mereka dapat mengenal dan dengan taat mengakui sebagai Sabda Allah,
yang pasti dan dapat dipercaya sepenuhnya. Sabda yang diperintahkan-Nya diucapkan
dengan pasti di dalam Gereja-Nya (1Tes. 2:18). Penjelasan ini berarti bahwa ajaran Gereja yang berdasar pada Kitab
Hukum Kanonik itu sempurna. Berdasar padanya, kesepakatan
nikah diakui sebagai kesepakatan yang sejati, bila diberikan dengan sungguh-sungguh
bebas, tidak dipaksakan oleh orang lain dan memuat kemauan serta pengetahuan
yang benar tentang hal hakiki dari perkawinan.
Tentang kesempatan nikah,
Konsili Vantikan II menegaskan bahwa perkawinan adalah “persekutuan hidup, yang dibangun
oleh perjanjian nikah. Demikian juga Menurut
Gaudium et Spes.
48, menekankan soal
persetujuan
pribadi yang tak dapat ditarik kembali bila kedua mempelai tidak Katolik,
mereka harus menyatakan kesepakatan nikah mereka di depan dua saksi dan seorang
pejabat yang berwewenang (misalnya pendeta, penghulu, peneguh nikah sipil dan
sebagainya). Tetapi bila salah satu beragama Katolik, maka kesepakatan nikah mereka harus
dinyatakan di depan dua saksi dan seorang pejabat Gereja yang berwenang (yakni
pastor paroki atau petugas pastoral lain yang mendapat delegasi darinya).
Perkawinan yang semula dikira sah tetapi ternyata tidak sah mungkin dapat
disahkan oleh Gereja. Hukum Gereja Katolik mengatur hal ini pada kanon-kanon
1156-1165.
2. Tujuan
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Secara
tegas Hukum Gereja menyebutkan perkawinan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu;
kesejahteraan suami-istri, mengusahakan keturunan dan pendidikan anak. Kesejahteraan
suami-istri yang dimaksud bisa dirasakan ketika mereka
saling melayani dengan penuh kasih, menata rumah tangga dengan baik,
menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidup secara bersama, memperhatikan anak-anak
dengan baik, agar mereka merasa diperhatikan dan mempunyai
semangat hidup. Sementara dalam
hal mengusahakan keturunan, suami-istri dengan saling setia memungkinkan kelahiran
anak-anak dan membangun keluarga yang harmonis. Kemudian, berkaitan dengan pendidikan anak adalah soal
tanggung
jawab suami-istri terhadap masa depan
anak-anak yang mereka lahirkan. Suami-istri sadar bahwa anak-anak
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka sebagai orang tua, mereka wajib memberikan tuntunan,
dorongan dan motivasi kepada anak-anak, agar mereka memiliki semangat untuk sekolah. Ini penting sekali, karena pendidikan
adalah tuntutan zaman sekarang ini untuk
memiliki kapasitas dalam menjawab situasi perkembangan zaman ini[16].
3. Sifat
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Sifat-sifat Perkawinan
menurut Hukum Gereja dijelaskan dengan baik dalam Kanon 1056. Isi dari kanon
yang dimaksud ini adalah pertama,
perkawinan yang Monogam. Perkawinan monogam artinya perkawinan yang hanya
memiliki satu istri dan satu suami (1Kor.
7:12-13;15). Kedua, perkawinan yang Tidak Terceraikan. Perkawinan ini adalah perkawinan yang diikat melalui perjanjian itu tidak dapat
diceraikan oleh apa dan siapa pun, kecuali oleh Allah melalui kematian. Ketiga, perkawinan
bersifat Sakramen. Dikatakan
perkawinan bersifat sakramen, karena perkawinan itu sendiri merupakan tanda
kasih Allah, yang tersalur
melalui suami-istri
yang saling mengasihi dan saling
menghargai. Dan, ini menjadi terang bagi orang lain dan anggota keluarganya[17].
Persekutuan suami-istri
yang luhur dan kekal itu melambangkan
hubungan cinta yang mesra antara Kristus dan Gereja-Nya, sehingga tidak dapat
diceraikan oleh siapapun kecuali Allah sendiri sampai maut memisahkan mereka. Hukum
perkawinan secara otentik diatur sebagai awal kodrat dari segenap umat manusia
(Kej. 2: 18). Berdasarkan pewahyuan Kitab Kejadian ini, Yesus menegaskan kepada
Kaum Farisi dan para Rasul bahwa Perkawinan itu dari dirinya sendiri dan hanya
terbentuk dari dua orang saja dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu
disatukan sehingga tak ada seorang pun
yang boleh menceraikannya (Mat. 19:5-6).
Dalam perjanjian
perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup;
dan dari sifat kodratinya itu terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran
anak dan pendidikan anak. Kemudian, oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan
antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen. Oleh karenanya,
maka orang-orang yang dibaptis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak
dengan sendirinya merupakan Sakramen (Kan. 1055). Semua penjelasan ini dapat disimpulkan
bahwa sifat-sifat hakiki perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik ialah
monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh
kekukuhan khusus atas dasar Sakramen (Kan. 1056).
4. Dasar
Hukum Perkawinan Gereja Katolik
Dasar
Hukum Perkawinan Gereja Katolik adalah Kitab Suci Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Karena melaluinya manusia (Gereja) mengetahui tentang
perkawinan yang mulia. Lebih mendalamnya ialah melaluinya Gereja melihat Allah
yang menciptakan manusia sebagai seorang
pria dan wanita menurut citra atau gambar-Nya sendiri, untuk saling mencintai
dan saling menbahagiakan sebagai teman hidup (Kej. 2:24). Maka ini diperkuat dalam hukum yang dimaksud pada kanon
1151, yaitu; Suami isteri yang mempunyai suatu kewajiban dan hak
untuk memelihara hidup bersama serta perkawinan, kecuali jika ada alasan legitim
yang membebaskan mereka. Inilah suatu
salah satu contoh yang bisa membuktikan bahwa Kita suci adalah dasar Hukum
Perkawinan Gereja katolik.
Selanjutnya kita
lihat hubungan cinta Allah kepada umat-Nya yang dilambangkan sebagai
ikatan cinta dalam perkawinan (Hos. 2:18). Perkawinan menurut Perjanjian Lama (PL)
merupakan lambang cinta kasih Allah kepada umat Israel. Cinta kasih antara
suami-istri (Kej. 2:22-24; Ef. 25-33). Cinta kasih ini amat manusiawi karena
bersifat pribadi dan bebas. Cinta
kasih mencakup kebaikan dan ungkapan jiwa serta badan sebagai tanda hidup
perkawinan. Cinta kasih itu dimeterai dengan kesetiaan, disucikan dengan
Sakramen Kristus. Sementara Dalam
perjanjian Baru (PB) ikatan itu pun
menjadi tanda cinta kasih Yesus Kristus terhadap gereja-Nya. Artinya bahwa cinta kasih suami-istri berteladan
pada pertahanan cinta antara Kristus dengan gereja-Nya yang tak mengenal batas,
tanpa syarat, penuh pengorbanan dan setia seumur hidup (Ef. 5:22-27).
5. Proses
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Proses
perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik terdiri dari beberapa tahap yakni,
pertama: pendaftaran pernikahan di Gereja melalui sekretariat pada Paroki masing-masing
pada hari kerja, membawa surat pengantar dari lingkungan calon mempelai baik
pria maupun wanita. Dalam hal ini surat pengantar untuk mengikuti KPP (Kursus
Persiapan Perkawinan), membawa foto kopi surat baptis. Bila semua proses ini
sudah diselesaikan, maka melalui katekis menghubungi Pastor untuk melanjutkan
perkawinan[18].
a. Peneguhan Perkawinan Gereja Katolik
a. Peneguhan Perkawinan Gereja Katolik
Dalam
upacara perkawinan Katolik, terbagi atas empat bagian yaitu, upacara pembukaan,
upacara peralihan pertama, peralihan kedua dan ketiga. Dalam upacara pembukaan,
mempelai pria dan wanita memasuki ruang perayaan dengan perarakan dan diantar oleh kedua orang tua dan para undangan. Sementara pada upacara peralihan pertama, mempelai pria dan wanita duduk di tengah
orang tua atau keluarga masing-masing atau wali yang ikut berpartispasi. Kemudian bagian upacara peralihan kedua, mempelai pria dan wanita membangun hubungan baru
yaitu; mempelai saling mengucapkan janji perkawinan. Selanjutnya mempelai pria
dan wanita saling menukar dan memasang cincin. Upacara
peralihan ketiga menyalakan lilin menandakan bahwa mereka dipanggil untuk
hidup suci dan terlibat dalam karya Kristus di dunia, menanggung
konsekuensi hidup sebagai keluarga Kristen baru yakni melayani dan menghayati
Sakramen Perkawinan sebagaimana misteri paskah.
Penjelasan mengenai perkawinan menurut hukum Gereja Katolik itu saya
akhiri, karena percaya bahwa pemahaman tentang perkawinan dari perspektif Hukum
Gereja Katolik secara menyeluruh tidaklah mudah dalam tulisan sederhana ini dan
sebagian kecil yang telah saya kemukakan di atas dipercayai telah menerangi
sistem perkawinan adat menurut suku bangsa Migani. Berdasar pada keyakinan ini,
maka berikut ini akan saya jelaskan secara singkat tentang perkawinan adat suku
Migani dalam terang Hukum Perkawinan Gereja
Katolik.
5. PERKAWINAN ADAT SUKU MIGANI DALAM TERANG HUKUM PERKAWINAN
GEREJA KATOLIK
Maksud judul bagian ini bukan berniat menjelaskan ulang
tentang sistem perkawinan adat dalam tradisi orang Migani dan perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik, tetapi melihat
sistem perkawinan adat yang telah saya jelaskan di atas itu dalam terang hukum
perkawinan Gereja Katolik, yang juga telah saya jelaskan di atas. Melihat
perkawinan adat orang Migani dalam
terang hukum perkawinan Gereja Katolik berarti melihat kembali secara cermat
akan keberadaan tradisi perkawinan orang Migani
yang tidak membawa keselamatan bagi manusia Migani
sendiri dan memperbaikinya seturut nilai-nilai luhur yang diajarkan lewat
Hukum Gereja yang dimaksud. Sehingga selanjutnya generasi orang Migani memahami nilai-nilai luhur tentang
perkawinan yang diterangi hukum Gereja Katolik dan hidup menghayatinya, agar
dengan demikian dapat membawa mereka pada hidup soaial maupun hidup perkawinan
khas mereka yang lebih sempurna.
Memahami akan maksud bagian ini yang dikemukakan itu, lantas
saya mulai melihat sistem perkawinan adat dalam budaya orang Migani yang perlu diperbaiki, yaitu;
eksplisitisitas spiritual perkawinan, ketiadaan ritual perkawinan, pembayaran
belis yang setinggi langit, penceraian atas dasar alasan yang tidak manusiawi, halangan-halangan
perkawinan yang perlu disempurnakan serta penghayatan perkawinan yang monogam,
tak terceraikan dan kekal. Maksud dari bagian-bagian yang disebutkan ini akan
dijelaskan berikut ini. Pertama,
eksplisitisitas spiritual perkawinan. Hal yang dimaksudkan bagian ini
berhubungan dengan tidak adanya ketegasan tentang dasar perkawinan itu sendiri
dalam budaya orang Migani. Orang Migani mengetahui bahwa ada yang melampaui
mereka, ada Yang Ilahi, yaitu; EMO[19],
tetapi keyakinan ini tidak pernah mereka hubungkan dengan perkawinan. Sejauh
ini, orang Migani menghayati perkawinan sebagai suatu kenyataan alamiah yang
bersifat insani. Kebiasaan ini bararti bahwa spiritual perkawinan yang hakiki,
yaitu perkawinan yang bersumber dari Yang
Ilahi “EMO” itu terlihat hanya eksplisit, terselubung dalam insani, bukan
tidak ada sama sekali. Sebab dalam perkawinan adat orang Migani, orang Migani
selalu mengatakan jika EMO berkenan (EMO Ge Ngganeo Ni Dogo Go), mereka akan
menikahi wanita ini atau itu dan pria itu atau ini. Kebiasaan ini jika dilihat
dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, maka kita akan menemukan bahwa
perkawinan dalam kebudayaan orang Migani itu sesunggungnya bersumber dari Allah
(Kej. 2:23), yang mereka sebut EMO
itu. Maka pemahaman seperti ini perlu diperlihatkan secara gamblang oleh orang
Migani dalam mempersiapkan perkawinan (pendidikan) maupun dalam praktek hidup
perkawinan itu sendiri dalam hidup berkeluarga sehari-hari.
Kedua, ketiadaan ritual perkawinan. Dalam kebudayaan orang
Migani tidak ada ritual perkawinan yang resmi seperti perkawinan dalam tradisi
suku bangsa yang lain. Perkawinan dalam tradisi orang Migani selalu terjadi
amat praktis dengan mengikuti salah satu dari jenis-jenis perkawinan yang telah dijelaskan di atas dan selanjutnya
melakukan acara sambut anggota keluarga baru (Mina Buga Mindia) serta diakhiri dengan proses pembayaran belis
sesuai dengan permintaan pihak keluarga perempuan. Perkawinan seperti ini sah
dalam tradisi orang Migani. Kebiasaan seperti ini jikalau dilihat dalam terang
Hukum Gereja Katolik, maka kita berpikir betapa pentingnya suatu upacara ritual
perkawinan khas orang Migani yang bisa membawa jaminan perkawinan yang monogam,
kekal dan tak terceraikan.
Ketiga, pembayaran belis yang setinggi langit. Mengenai pembayaran
belis dalan tradisi orang Migani telah dijelaskan di atas bahwa harta kekayaan
yang harus dibayarkan terdiri dari tingkat paling tinggi hingga paling rendah.
Semua ada sekitar lima tingkat, yang harus dilunasi oleh pihak laki-laki. Dalam
terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, kebiasaan seperti ini perlu
disempurnakan. Pembayaran belis, mesti bersifat realistis dengan pertimbangkan
berbagai sisi kehidupan. Sehingga hidup generasi selanjutnya pun dipermudah,
mewujudkan hidup perkawinan yang harmonis, agar mengalami keselamat hidup di
dunia dan di akhirat nanti.
Keempat, penceraian atas dasar alasan yang tidak manusiawi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa penceraian perkawinan dalam tradisi
orang Migani selalu terjadi dengan alasan yang sesungguhnya tidak begitu
mendasar, yang saya sebut tidak manusiawi, yaitu; penceraian dari pihak
perempuan karena pihak laki-laki tidak membayar belis akibat kemiskinannya.
Penceraian dari pihak laki-laki dengan alasan istri tidak memberikan keturunan
(soal alamiah) dan tidak melayani pihak keluarga dengan baik (soal situasional).
Kedua alasan ini terlihat dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik sebagai
alasan yang tidak manusiawi. Karena soal pembayaran belis merupakan suatu
kewajiban, maka pihak keluarga laki-laki pasti akan menyelesaikannya pada waktu
yang tepat, maka perkawinan yang luhur tidak harus diceraikan begitu saja
dengan mengabaikan nilai kesakralan perkawinan itu sendiri. Demikian juga soal ketiadaan
keturunan, sesungguhnya ketiadaan keturunan itu urusan kedua belah pihak
(suami-istri), bukan istri saja dan jika terbukti perempuan yang mandul maka
itu soal alamiah, bukan kesalahannya. Selanjutnya soal pelayanan yang dinilai
buruk. Semua ini bukan alasan masuk akal yang harus berujung pada penceraian.
Kebiasaan cerai oleh karena kedua alasan ini tentu amat mengabaikan perjanjian
perkawinan sah yang disaksikan EMO melalui orang tua kedua bela pihak. Maka
jangan heran jika dalam hidup selalu terus ditimpah begitu banyak persoalan
hidup. Mestinya tetap bertahan, apa pun alasannya, karena itu akan menjadi
berkat untuk hidup ke depannya.
Selanjunya berkaitan dengan halangan-halangan perkawinan
yang perlu disempurnakan. Mengenai halangan-halangan ini, seperti yang telah
sisinggung sebelumnya bahwa terdapat beberapa halangan yang sebagiannya cukup
masuk akal, tetapi sebagian perlu disempurnakan. Halangan yang perlu
disempurnakan adalah halangan karena dendaman, kemiskinan dan jarak
perkampungan. Halangan-halangan ini jika dilihat dari perspektif Hukum
Perkawinan Gereja katolik, maka semua ini terkesan mengabaikan cinta seorang
perempuan dan laki-laki yang telah terjalin kuat. Juga merupakan pemaksaan
terhadap anak-anak untuk haknya tidak dipenuhi. Oleh karena kenyataan ini, maka
halangan-halangan yang sesunggungnya tidak membawa keselamatan itu mesti
disempurnakan dengan cara-cara yang masuk akal. Misalnya menyelesaikan masalah
dendaman jika ada dan biarkan anak-anak memilih jalan hidupnya sendiri, asalkan
pendidikan sebelumnya sudah mantap.
Bagian akhir adalah perkawinan monogam, tak terceraikan
serta kekal. Model perkawinan seperti ini sungguh-sungguh telah dihayati oleh
orang Migani sejak dahulu hingga sedang dihayati oleh generasinya sekarang ini.
Namun khusus di zaman ini, banyak generasi orang Migani yang tidak perhatikan
sistem perkawinan seperti yang telah ada dalam tradisinya sendiri. Banyak yang
beristri lebih dari satu, suka bercerai dan menganggap perkawinan itu hanya
bersifat sementara. Kebiasaan yang semakin bertumbuh ini bahaya dan memang
bertolak belakang dengan pandangan Hukup Perkawinan menurut Gereja Katolik pada
Kanon 1055 yang membahas tentang hakikat perkawinan yaitu nilai monogami, tak
terceraikan dan kekal serta sakramentalitasnya. Demikian menurutnya perkawinan
monogam, tak diceraikan dan kekal karena “perjanjian perkawinan antara
orang-orang yang dibaptis oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Dan, “dengannya
seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan
seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan
suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak[20].
Oleh karena memahami akan dasar hukum ini, sesungguhnya perkawinan menurut
orang Migani mesti juga monogam, tak terceraikan dan bersifa kekal.
6. PENUTUP
Tulisan tentang perkawinan adat menurut suku Migani dalam
terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik ini telah mengungkapkan kekhasan sistem
perkawinan orang Migani, mulai dari gambaran umum tentang orang Migani sebagai
pintu masuk untuk memahami maksud dari tulisan ini, pengertian tentang perkawinan
yang khas, jenis-jenis perkawinan yang khas, cara membayar belis atas sebuah
perkawinan yang sah dan halangan-halangan perkawinan dalam tradisi orang Migani
yang khas pula. Juga telah ditampilkan paham perkawinan menurut Hukum Gereja
Katolik mulai dari Kanon 1055 – 1156), beserta kutipan-kutipan Kitab Suci
Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB) sebagai dasar dari Hukum
Gereja yang telah menerangi perkawinan adat orang Migani.
Sesudah lalui proses seperti itu, selanjutnya telah melihat
sistem perkawinan adat orang Migani dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik.
Sistem perkawinan adat orang Migani yang dilihat dalam terang Hukum Perkawinan
Gereja Katolik itu berkaitan dengan sejumlah kebiasaan dalam tradisi perkawinan
orang Migani yang tidak relevan dengan kemanusiaan, yang tidak relevan dengan kebebasan
(hak asasi) pria dan wanita dalam memilih jodohnya sendiri dan kebiasaan buruk
lain yang tidak membawa manusia pada keselamatan sejati. Semoga semua yang
telah dijelaskan dalam terang hukum Perkawinan Gereja Katolik itu membantu
orang Migani hidup menghayati perkawinan secara sempurna.
Daftar
Pustaka
A.Tjatur Raharso. 2014. Paham Perkawinan Dalam Hukum
Gereja Katolik. Malang. Dioma.
---------------------.2016. Halangan-Halangan Nikah
Menurut Hukum Gereja Katolik. Malang. Dioma.
Elias Japugau. 2007. Dinamika Hidup Suku Migani. Makalah. Timika: Usaha Mandiri.
-----------------. 2010. Tutup Mata di Bilogai, Cuci Mata di Timika:
Analisa tentang situasi ini. Makalah. Nabire: Usaha Mandiri.
Konferensi Wali Gereja indonesia. 2016. Kitab Hukum Kanonik.
Bogor. Grafika Mardi Yuana.
Kleopas
Sondegau. 2014. Menemukan Wajah Yesus
dalam Mitos Tokoh Peagbega Orang Migani. Skripsi. STFT Fajar Timur Abepura
–Jayapura.
Lembaga
Alkitab Indonesia. 2009. Alkitab
Deuterokanonika. Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta.
Louiz Markus Zonggonau. 1976. Praktek dan Latar
Belakang Larangan perkawian Antara Suku Mee dengan Migani yang diungkapkan
dengan istilah Wiyee atau Wize. Skripsi. STFT Fajar Timur Abepura – Jayapura.
Natalis Tabuni. 1997. Relasi Orang Migani
dengan EMO. Skripsi. STFT Fajar Timur Abepura –
Jayapura.
Neno Tabuni. 2010. Rekam Jejak: sebuah refleksi perjuangan mayarakat Migani menuju Intan
Jaya. Pemerintah Kabupaten Intan Jaya.
Timpas Dekenat
Migani Puncak Jaya. 2008. Pesan-pesan
Musyawarah Pastoral (MUSPAS). Upaya Menjaga Jati Diri.
Paroki Bilogai: Intan Jaya.
Undang-undang No 54. 2008. Tentang pembentukan Kabupaten Intan Jaya.
Yeskiel Belau. 2015. Hajii:
Konsep Keselamatan Menurut Orang Migani Relevansi Dengan Keselamatan Menurut
Ajaran Gereja Katolik. Skripsi: STFT “Fajar Timur” Abepura – Jayapura.
Sumber Personal: Daniel
Hagimuni S.IP.
[1]A.
Tjatur Raharso. Paham Perkawinan. (Malang: Dioma, 2014).hlm.17.
[2]Ibid.
[3]Yeskiel
Belau. Hajii: Konsep Keselamatan Menurut Orang Migani Relevansi Dengan
Keselamatan Menurut Ajaran Gereja Katolik”. (Skripsi: STFT “Fajar Timur”,
2015).hlm.11-13.
[4]Mbulu-Mbulu sampai Magataga
merupakan nama wilayah yang menjadi milik orang Migani dan sekaligus menjadi
pembatas Wilayah orang Migani dengan Wilayah suku-suku tetangga lainnya.
Mbulu-Mbulu berada di bagian Timur yang berbatasan dengan suku bangsa Lani
(Kabupaten Puncak). Sedangkan Magataga berada dibagian barat yang menjadi pembatas
antara daerah suku bangsa Migani dengan suku bangsa Mee (Kabupaten
Paniai).
[5]Timpas Dekenat Migani – Puncak Jaya. Pesan-pesan
Musyawarah Pastoral (MUSPAS): Upaya Menjaga Jati Diri. (Paroki
Bilogai: Intan Jaya 2008).hlm.8.
[6]Ibid.,
[7]Lihat Undang-undang No 54 2008
tentang pembentukan Kabupaten Intan Jaya.
[8]Ibid.,
[9]Kleopas Sondegau.
Menemukan Wajah Yesus dalam Mitos Tokoh
Peagbega Orang Migani. (Skripsi: STFT
“Fajar Timur”, 2014).hlm.11.
[10]Ibid.
[12]Kleopas Sondegau
Lop. Cit.
[13]Louiz Markus
Zonggonau Praktek dan Latar Belakang Larangan perkawian Antara Suku Ekagi
dengan Migani yang diungkapkan dengan istilah Wiyee atau Wize. Skripsi.
(Jayapura: STFT, 1976).hlm.4.
[14]Tabuni
Neno. Rekam Jejak: sebuah refleksi
perjuangan mayarakat Migani menuju Intan Jaya. (Pemerintah: Kabupaten Intan Jaya, 2010).hlm.59.
[15]Halangan-halangan
Nikah versi Hukum Gereja Katolik lihat dam buku A. TJatur. Raharso. “Halangan-halangan Nikah menurut Hukum Gereja
Katolik”. (Malang: Dioma, 2016).hlm.14-16, 39 dst.
[16]Lebih mendalam bisa lihat dalam Buku A. Tjatur Raharso.
Paham Perkawinan.hlm.59-80.
[18]Ibid. Paham Perkawinan.hlm.275-290.
[19] Ibid, Natalis Tabuni.
[20]Konferensi wali Gereja indonesia. Kitab Hukum Kanonik. (Bogor:
Grafika Mardi Yuana, 2016).hlm.303.
Salut Amakane 🙏
ReplyDelete