MEDAN TOP
Fr.
Yeskiel Belau
Laporan Tahun Orientasi Pastoral. Dalam Laporan
TOP tahap pertama ini, saya akan melaporkan tentang medan TOP, yang sedang saya
jalani kepada Bapa Uskup dan para Pastor Pembina saya, yaitu; Pastor Sebas
Maipai Wiyai, Pastor Agustinus Alua dan Pastor Dominikus Hodo Pr.
Saya Yeskiel Belau calon Imam Keuskupan
Timika. Saya sudah berada di Paroki St. Fransiskus Obano, sejak tanggal 23
Desember 2015. Keberadaan saya di sini sudah tiga (3) bulan, terhitung bulan
Januari hingga bulan Maret. Dalam tiga bulan ini, saya telah mengfokuskan diri untuk mengenal medan. Medan
yang saya kenal di sini mengandung tiga medan, yaitu; pertama, medan geografis secara umum di Paniai Barat. Kedua, medan pelayanan Gereja Katolik
Paroki St. Fransiskus Obano, yang terdiri dari jumlah Stasi dan Kombas beserta
identitas keduanya. Juga jumlah Kepala Keluarga (KK) Katolik yang terdata. Ketiga, kebiasaan hidup atau budaya umat
Paroki St. Fransiskus Obano secara singkat. Selain ketiga medan ini, saya juga
akan perkenalkan Pastoran sebagai tempat tinggal saya, serta relasi saya dengan
Pastor Pembina di Paroki dan penghuni lain di Pastoran. Selanjutnya saya akan
sertakan refleksi saya atas semua pengalaman selama berada di Paroki St.
Fransiskus Obano ini. Kemudian laporan ini akan ditutup dengan kesimpulan
singkat.
1.
Georgafis
Paniai Barat
Kata Geografi berasal dari bahasa Yunani
yaitu Gêo
yang berarti bumi dan
Graphein yang berarti tulisan atau penggambaran.
Maka dalam konteks laporan ini saya memahaminya sebagai gambaran permukaan bumi
Paniai Barat dan Paroki St. Fransiskus Obano. Selanjutnya gambaran inilah yang
akan saya laporkan secara tertulis.
Bertolak dari penelusuran asal dan arti
kata Geografi serta pemahaman mengenainya itu, saya akan menggambarkan georgafi
Paniai Barat secara singkat di sini. Jadi,
Paniai Barat adalah nama salah satu wilayah yang menjadi bagian dari Kabupaten
Paniai. Paniai Barat sebagai bagian dari Kabupaten Paniai, maka pemerintah
Kabupaten memekarkannya sebagai satu Distrik. Dua bulan yang lalu, pemerintah
setempat sudah mekarkan dua Distrik baru lagi. Dengan penambahan dua Distrik
baru ini, maka wilayah Paniai barat menjadi tiga (3) Distrik. Ketiga Distrik
ini terletak di bagian Barat dari Kabupaten Paniai. Oleh karena itulah wilayah
tersebut dikenal dengan nama Paniai Barat.
Letak alam atau bentuk permukaan bumi
Paniai Barat tidak berbeda dengan Distrik lain di Kabupaten Paniai. Saya
menyamakan posisi permukaan bumi Paniai Barat dengan Distrik lain, karena
hampir semua Distrik diapit oleh gunung-gemunung, beribukota bagian lembah dan
tidak jauh dari Danau Paniai. Selain kenyataan ini, curah hujan juga cukup tinggi
dan berudara dingin. Meskipun demikian, saya juga tetap akui bahwa Paniai Barat
memiliki keunikannya sendiri. Keunikannya adalah bahwa Paniai Barat terletak di
bawah gunung-gunung yang lebih tinggi dari wilayah lain, seperti; gunung Deiyai, gunung Kene dan gunung Ogiai Dimi.
Kedua, semua kali mengalir dari
gunung ke arah Danau Paniai. Ketiga, setiap
kampung dibatasi secara alamiah oleh gunung-gunung yang sedang. Juga
perkampungan warga terletak di bagian dataran rendah dan perbukitan di pingir
danau Paniai. Demikian juga dengan lahan pertanian warga setempat, bahwa mereka
bertani di bagian dataran rendah maupun di lereng-lereng gunung yang ada.
Batas wilayah Paniai Barat: Bagian Timur
dibatasih oleh Pulau Mayagea, yang
berada di tengah-tengah Danau Paniai. Bagian selatan berbatasan dengan Tanjung Yagai distrik Kebo dan bagian utara dibatasi oleh
Kampung Dimia distrik Yatamo. Sedangkan bagian barat
berbatasan dengan Kampung Edagodati
di sebelah gunung Ogiai Dimi.
Paniai Barat dapat dilalui dengan jalan
kaki, mengendarai kendaraan roda empat, roda dua dan kendaraan tanpa roda (Spit boad). Namun dari ketiga kendaraan
ini, Spit boad menjadi pilihan yang
utama. Sebab jalan raya yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten Paniai itu sudah
tidak layak lagi dilalui. Oleh karena itu, dengan mengendarai transportasi
Danau, motoris dan penumpangnya bisa menghabiskan waktu sesuai dengan ukuran Spid, cuaca dan suasana danau, tetapi
biasanya kurang dari 60 menit.
Demikianlah gambaran umum secara singkat
mengenai geografis Paniai Barat, yang menjadi wilayah hak ulayat suku bangsa Mee, yang berdomisili di sana. Para
pemilik ulayat yang ada di sana, tidak semua beragama Katolik, tetapi juga
sebagian beragama Protestan. Katakan saja bahwa umat yang beragama Katolik
tidak sebanyak mereka yang beragama Protestan. Umat Katolik adalah minoritas di
antara umat Protestan. Karena itu, umat Katolik hanya terdapat di empat kampung
yakni; Kampung Bado, Kampung Tipakotu, Kampung Muye dan Kampung Waipa.
Oleh karena kenyataan ini, maka selanjutnya saya akan menjelaskan medan
pelayanan Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano.
2.
Medan
Pelayanan Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano
Gereja Katolik di Paniai barat berpusat
di kampung Bado (Obano). Menurut
Pewarta tua, Bapak Willem Boma,
Gereja Katolik masuk di Kampung Bado sekitar Tahun 1960-an dan sejak Tahun 1971
dikukuhkan sebagai sebuah Paroki tersendiri dengan nama pelindung St.
Fransiskus Asisi. Berdasar pada sejarah singkat ini, maka Gereja induk di
Paniai Barat ini dikenal dengan nama Paroki St. Fransiskus Obano sampai
sekarang.
Paroki St. Fransiskus Obano terdapat
empat (4) Stasi dan delapan (8) Komunitas Basis (Kombas). Stasi pusat Paroki
adalah Bado, yang terletak di Kampung
Obano. Stasi Moma terletak di Kampung Tipakotu,
kira-kira 8 Km dari Paroki. Stasi Epabutu
terletak di Kampung Muye, dengan
perkiraan jarak 50 Km dari pusat Paroki dan Stasi Waipa berada lebih jauh dari ketiga Stasi ini. Maka berikut ini
saya akan menggambarkan keberadaan masing-masing Stasi secara singkat, supaya
medan pelayanan yang dimaksud semakin jelas.
2.1.
Stasi Bado
Stasi Bado berpusat di Paroki, yang terletak di ujung Timur dari dataran
kampung Obano, tepatnya sebelah kiri dari arah Timur dan tidak jauh dari kaki gunung
di sampingnya. Gedung Gereja juga berdekatan dengan Danau Paniai, katakana saja
kurang lebih 4 Km. Demikian juga dengan jarak antara jalan raya dengan Gereja
hanya 30-an meter.
Stasi Bado berdekatan dengan Pastoran Obano dan perumahan beberapa umat. Namun
perumahan sebagian besar umat berada agak jauh dari Stasi ini, yakni; di pingir
kiri dan kanan jalan besar serta sebagian lagi membangun rumah mereka di
tengah-tengah lemba Obano. Karena itu pengurus Paroki bersama umat setempat
telah membentuk empat (4) Komunitas Basis (Kombas), yaitu; Kombas Kebagiwiyai, Mugupai, Kenekadega, Idetaka
dan Madegai. Pembentukan
Kombas-kombas ini dengan memperhatikan jarak antar rumah umat serta hendak
mencapai tujuan pembentukan Kombas yang baku. Kemudian di antara umat itu ada anggotanya
yang telah diangkat sebagai pewarta kombas. Jadi, semua Kombas di Stasi Bado ini memiliki pewartanya sendiri. Jumlah
umat Stasi Bado belum bisa saya
sampaikan saat ini, karena proses pengambilan data umat di Stasi ini belum
selesai.
2.2.
Stasi
Moma
Stasi Moma berada di Kampung Tipakotu,
bagian barat dari Stasi Bado. Stasi
ini juga berada tidak terlalu jauh dari jalan raya. Gedung gerejanya belum
terbangun, tetapi umat setempat sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda untuk
mendirikan gedung gereja mereka. Seandanya jikalau gedung Gereja itu berhasil
terbangun, maka gedung tersebut akan berdampingan dengan gedung Gereja
Protestan yang ada di situ.
Halaman yang disiapkan untuk membangun
gereja itu dekat dengan sebuah kali yang mengalir turun dari gunung menuju
Danau Paniai. Kemudian di bagian depannya terdapat beberapa pohon cemara yang
rimbun serta ke depannya lagi, maka kita akan menemui jalan raya yang tahun
lalu diaspal itu. Namun kalau kita mundur dari halaman yang sama ke belakang,
maka kita bisa menemui kebun-kebun umat dan sampai ke kaki gunung yang
terbentang panjang di sebelah selatan dari pingir Danau Paniai hingga di pintu
anggin. Demikian juga kalau ke arah barat dan timur, kita bisa melihat
rumah-rumah umat di situ. Stasi ini terdapat satu Kombas, dengan pewartanya
sendiri. Kemudian jumlah Kepala Keluarga (KK) Katolik di sini sebanyak 37 KK.
2.3.
Stasi Epabutu
Stasi Epabutu berada di Kampung Muye.
Kampung Muye ini diapit oleh dua
gunung sebelah menyebela dan di tengah-tengahnya terbentang lembah hijau yang
sudah dijadikan warga sebagai tempat untuk membangun perumahan dan perkebunan.
Kemudian kampung ini sudah dipagari secara rapih oleh seluruh warga setempat, mulai
dari pingir jalan besar di samping Danau Paniai, hingga mengikuti kedua kaki
gunung itu. Dan, di bagian depan jalan tersebut mereka sudah memasang dua pintu
yang selalu ditutup sesudah warga ke luar dan masuk melaluinya.
Jalan darat menuju Stasi Epabutu dari Paroki sudah ada. Saya
sendiri pernah ke sana dengan jalan kaki dan bisa menghabiskan lima (5) jam.
Kita juga bisa ke tempat yang sama dengan motor atau mobil. Tetapi lebih cepat,
jika ke sana dengan mengendarai transportasi Danau. Jikalau ke sana, masuklah
melalui pintu sebelah kiri dan terus ke dalam dengan mengikuti lorong yang ada,
dan selanjutnya akan mendapat sebuah gapura kecil di bagian kiri, yang adalah
pintu masuk ke dalam Gereja Katolik Stasi Epabutu.
Jumlah kombas di Stasi Epabutu ada dua Kombas, yaitu; Kombas Mobukai Edimai Wiyai dan Kombas Obaiye Kebagi, dengan pewartanya
sendiri-sendiri. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga Katolik di Stasi ini terdapat
36 KK.
2.4.
Stasi Waipa
Stasi Waipa berada di bagian sebelah selatan dari pusat Paroki.
Keberadaan Stasi ini paling jauh ketimbang tiga Stasi yang lain. Karena itu,
amatlah sulit jika kita menuju ke sana dengan jalan kaki. Akses ke sana hanya
bisa dilalui lewat Danau, dengan mengendarai Spit boad. Kemudian posisi gedung Gereja berada di pingir Danau
Paniai. Sebelah Timur, Barat dan Selatan dibatasi oleh gugung yang berdiri
tinggi serta di bagian Utara ada Danau Paniai, yang jaraknya 40 meter saja.
Bentuk permukaan bumi Stasi Waipa agak tidak rata, dia berada tepat
di bawah lereng gunung. Namun di tempat ini umat setempat sudah terbiasa
membangun rumah-rumah mereka dan berkebun di sekitarnya. Dari Stasi ini juga kita
bisa memandang seluk-beluk Danau Paniai dan keindahan alam lainnya. Stasi Waipa terdapat satu Kombas, yaitu;
Kombas Yabama. Jumlah Kepala Keluarga
(KK) Katolik berjumlah 23 KK.
3.
Kebiasaan
Hidup Umat
Kebiasaan hidup yang saya maksudkan di
sini adalah budaya atau kebudayaan, meskipun di kalangan lain memahaminya
secara berbeda. Sejalan dengan tujuanku, di sini saya hanya mau menyebutkan
beberapa unsur budaya umat yang selalu saya jumpai di Paroki St. Fransiskus
Obano dan menjelaskannya secara singkat, sesuai dengan apa yang saya lihat dan alami
bersama mereka.
Saat saya bersama umat di Paroki St.
Fransiskus Obano, saya berusaha belajar bahasa daerah setempat, sebagai unsur
budaya yang pertama, tetapi masih
sepotong-sepotong. Umat di sana secara khusus dan secara umum masyarakat Paniai
Barat serta warga Kabupaten Paniai yang lain berbahasa Mee. Kedua, saya juga
pernah ikut umat membuat beden dan menanam bibit petatas serta mancing ikan di
Danau Paniai. Pengalaman ini memperlihatkan gambaran sistem mata pencaharian
hidup mereka, bahwa umat Paroki St. Fransiskus Obano bermata pencaharian
bertani dan sebagian warga mencari ikan di Danau. Ketiga, saya bersama beberapa umat pernah masuk ke hutan Tipakotu untuk cincang kayu pagar. Dalam
proses ini, saya juga membawa kampakku sendiri, busur dan anak panah.
Sementara itu, mereka yang lain pun
membawa peratan kerja, bahkan lebih lengkap dari saya. Pengalaman ini juga memperlihatkan
peralatan teknologi umatku di sana yang khas. Keempat, suatu waktu kami didatangi sepasang suami istri untuk
memberkati pernikahan mereka, meskipun anak-anak mereka sudah bisa makan
sendiri. Saat pernikahan berlangsung, kedua insan didampingi orang tua mereka
masing-masing dan disaksikan oleh saudara-saudari mereka yang lain. Pengalaman
mengikuti pernikahan di Emawa Maipai
ini, mengungkapkan kekerabatan dan relasi sosial dalam hidup umat. Kelima, saat kami mengadakan porseni bas
di Stasi masing-masing, kami selalu kerja bakti bersama sambil bernyanyi (meane) dengan ciri khas suku bangsa Mee.
Dalam berliturgi juga umat sudah
terbiasa dengan nyanyian-nyanyian alah wilayah setempat, dengan iringan musik,
tarian-tarian maupun tanpanya. Dalam hal ini, unsur budaya kesenian sangat
kelihatan di Paroki St. Fransiskus Obano. Keenam,
unsur religi atau kepercayaan umat terhadap Yang
Ilahi masih sangat kuat. Mereka menyebut Yang Ilahi Ugatamee. Ugatamee inilah yang dahulu nenek moyang
orang Mee percaya dan sembah sebagai
sumber hidup mereka. Kemudian, kehadiran Gereja sejak awal di sana memperjelas
keyakinan tersebut bahwa Ugatamee
yang sudah dikenal itu adalah Tuhan Allah. Oleh karena itu, umat dahulu maupun
kini menerimanya dengan senang hati sampai sekarang ini. Yang terakhir adalah pakaian adat dan sistem
ekonomi. Umat kami mempunyai pakaian tradisional yang biasa disebut dengan Koteka untuk pria dan Cawat (Moge) bagi wanita, manik-manik, gelang dan perhiasan lainnya masih
terpelihara dengan baik. Namun akhir-akhir ini, ada kesan bahwa sebagian
anggota masyarakat yang sudah mulai merasa malu, jika mereka menggunakan
pakaian adatnya sendiri. Juga masih ada ingatan di benak mereka akan kulit biaya dan benda-benda lain yang
berharga.
Demikian gambaran umum mengenai
kebudayaan umat yang sedang bersama saya di Paroki St. Fransiskus Obano ini.
Saya yakin bahwa apa yang saya gambarkan di atas hanya sebatas menyebutkannya
saja, isinya masih sangat kaya dan perlu digali lagi.
Paroki St. Fransiskus Obano telah
dilengkapi dengan penginapan (Pastoran) bagi para Petugas Pastoral, terutama
Pastor Paroki. Gedung Pastoran ini dibangun dengan papan kayu susu dan berdiri
megah di bagian sebelah kanan atas dari gedung Gereja Paroki, dengan dua
lantai. Pastoran ini terdiri dari beberapa ruangan. Lantai pertama terdiri dari
sembilan ruangan. Dari sekian ini satu ruang tamu, gudang, satu ruang tengah,
satu ruang nonton, dua ruang kamar tidur, sebuah kamar mandi dan tiga ruangan
dapur.
Ruang dapur paling belakang sebagai
tempat masak air minum dengan kayu api, yang juga telah dilengkapi dengan
tempat cuci piring, ruang tengah juga sebagai tempat cuci piring dan masak dengan
konfor serta ruangan yang lainnya tempat makan. Kemudian di lantai kedua
terdapat lima kamar, satu ruang di antaranya kamar mandi dan yang lain kamar
tidur. Semua kamar di lantai dua ini belum memasang plafon.
Kemudian di depan pintu masuk ke halaman
Pastoran terdapat Emawaa Maipai Wiyai.
Di sebelah kiri dari tempat yang sama terdapat kolam ikan dan sebelah kanannya
kebun sayur kami. Bagian belakang Emawaa
terdapat kandang-kandang ternak dan tempat jemuran. Selanjutnya di samping
kanan dari pintu masuk ke Emawaa yang
sama terdapat kebun induk dan tempat pengolahan pupuk milik Pastor, yang
mengarah ke Timur, serta bagian depan tempat ini terdapat satu kolam ikan lagi.
Pastoran tersebut sudah dilindungi
dengan pagar, tetapi kayu-kayu pagar yang lama sudah mulai lapuk, maka beberapa
bulan kedepan kami akan menggantinya dengan kayu pagar baru yang sudah kami
siapkan bersama umat dari semua Stasi.
Penghuni Pastoran itu adalah Pastor
Paroki, saya dan satu keluarga (dua anak dan sepasang suami istri), yang juga
adalah anggota keluarga dari Pastor Paroki. Pastor Paroki dengan saya
menggunakan dua kamar di lantai dua, dengan masing-masing satu kamar serta
sebuah kamar mandi. Sedangkan anggota keluarga Pastor menggunakan dua kamar
tidur, ruang nonton, ruang makan, sebuah kamar mandi dan dapur utama di lantai
pertama.
4.1.
Relasi saya dengan Pastor Pembina
Relasih saya dengan Pastor Pembina di
Paroki St. Fransiskus Obano amat harmonis. Pastor selalu menyapa saya Mepa dan saya menyapanya Pastor atau Bapa. Kami sebagai bapa dan anak, selalu
mengusahakan kebutuhan hidup bersama, bekerja dan bersama juga melayani umat
Tuhan di Paroki St Fransiskus Obano.
4.2.
Proses pembinaan
Saya sadar bahwa Pastor dan umat di sini
adalah dosen-dosen saya. Artinya bahwa saya sadar akan tujuan kehadiranku di
Paroki ini, yakni; belajar berpastoral dari Pastor Paroki dan umat setempat.
Dan, sejauh ini Pastor Paroki dan umatnya selalu menjadi dosen terbaik bagi
saya. Banyak hal yang mereka ajarkan kepada saya, baik dengan kata-kata maupun
tanpa kata-kata (dengan tindakan mereka).
Saya dengan Pastor Pembina mempunyai
jadwal Perayaan Ekaristi, pada setiap Hari Seni dan Hari Jumat. Sesudah
Perayaan Ekaristi, waktu selanjutnya kami biasa gunakan untuk pembinaan dan
sering atas pengalaman hidup bersama umat. Dalam proses ini, Pastor Pembina
selalu mengajariku banyak hal dari berbagai sisi. Misalnya: pertama, dari sisi kemandirian hidup
sebagai calon Imam Projo, bahwa seorang Imam Projo harus bisa hidup mandiri
dengan usahanya sendiri. Imam Projo tidak bisa menaruh harapan pada umat. Imam
Projo mesti berkebun dan berkeringat darah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri dan melayani tamu-tamunya. Kedua,
dari sisi kematangan pribadi, bahwa pribadi yang matang mesti berpikir lebih
dan berbuat lebih. Berpikir lebih berarti berpikir seperti Allah berpikir dan
berbuat lebih berarti berbuat seperti Allah sendiri berbuat. Ketiga, dari sisi Pastoral bahwa sebagai
seorang pelayan, mesti menghargai umat sebagai tuan, meskipun satu orang saja.
Dalam hal ini mesti dibuktikan dengan tidakan nyata lewat penyesuaian diri yang
mantap, kesabaran dan kesetiaan pada tugas. Keempat,
Pastor juga selalu mengajarkan, supaya selalu belajar untuk mendagingkan
pikiran dan rencana positif saya secara nyata.
4.3.
Relasih
dengan Keluarga Penghuni Pastoran
Sejak awal kami (saya,
Pastor Paroki dan anggota keluarga yang ada) hidup bersama di Pastoran sebagai
satu keluarga yang harmonis. Keharmonisan relasi ini terbukti dengan makan
bersama, cerita, canda dan tawa bersama. Namun sesudah tiga Minggu kemudian,
keharmonisan hidup seperti ini telah berubah. Keluarga Pastor Paroki yang ada
di Pastoran tidak pernah lagi menyapa Pastor, demikian juga sebaliknya.
Saya belum ketahui
secara baik mengenai peristiwa tertentu yang telah terjadi di Pastoran. Sebab selama
tiga hari, saya berada bersama umat di tenda Kegiatan Pekan Olah raga, Seni dan
Basar di Stasi Bado. Sekembaliku, saya hanya menyaksikan kenyataan relasi yang
brantakan seperti itu. Karena itu, saya masih bertanya-tanya dalam hati, apakah
kehadiran saya di Pastoran ini mengacaukan relasi Pastor dengan keluarga
adiknya?
Dalam pergumulan seperti
itu, saya mimilih untuk ikut Pastor Pembina dalam mengurus makanan kami sendiri
di dapur yang berada paling belakang tadi. Dalam dapur ini, saya dengan Pastor
biasa memasak dan makan. Oleh karena itu, saya juga biasa bertanya-tanya dalam
hati lagi bahwa rumah ini Pastoran atau rumah keluarga?
Bagaimana saya tidak
bertanya seperti itu? Coba bermenung: beberapa ruangan sudah dikuasai (dua
kamar tidur, ruang nonton, ruang makan, dapur utama dan sebuah kamar mandi),
mereka juga menggunakan semua fasilitas Pastoran termasuk Diesel. Selain itu,
putar musik dan nonton TV juga dengan volume tinggi, tanpa mengenal waktu. Pastoran
juga dijadikan sebagai gerasi motor, pada hal tidak pernah perhatikan
kebersihan Pastoran (pecek-pecek dari ban motor yang dimasukkan lewat ruang
tamu itu, selalu saya yang bersihkan), bunyikan motor dengan gas tinggi, baik
dari dalam rumah maupun di halaman seenaknya. Berbahaya lagi bahwa keluarga ini
tidak simpati dengan tamu-tamu kami yang datang ke Pastoran. Dan, keanehan lain
yang saya lihat dari keluarga ini ialah mereka tidak pernah terlibat dalam
kegiatan-kegiatan Gereja, bahkan ke Gereja setiap Hari Minggu untuk sembang pun
tidak!
Kenyataan
sikap hidup mereka seperti demikian mengundang pertanyaan ekstrim seperti itu
dalam benakku. Oleh karena itu, di akhir-akhir ini saya merasa bahwa relasihku dengan
keluarga tersebut perlu diperbaiki. Dalam hal ini saya berharap dalam waktu
yang dekat ini juga kami bisa duduk bersama dan berdamai, sebelum upacara
rekonsiliasi kampung. Hal ini mungkin, jika kami saling mengampuni dan merubah
pilihan-pilihan sikap hidup yang membuat kami tidak saling menyapa.
KESAMAAN
DAN PERBEDAAN SEBAGAI MOTIVASI BELAJAR
(Refleksi)
“Saya Datang Bukan
Supaya Dilayani, Bukan Juga Melayani”. Kata
yang lebih tepat bagi saya adalah saya datang supaya belajar melayani. Demikian
memahaman saya sejak awal, saat Bapa Uskup mengutus saya ke Paroki St.
Fransiskus Obano. Dalam pemahaman ini, 22 Desember 2015, saya baru memandang
Dekenat Paniai, yang sebelumnya terbiasa mendengar namanya saja.
Hari berikutnya, saya
teruskan perjalanan ke Paroki St. Fransiskus Obano. Sesampaiku di Pastoran
Obano, saya diterima baik oleh Pastor Paroki, Pastor Sebas Pr. Selanjutnya pada
akhir Perayaan Malam Natal, saya diberi kesempatan oleh Pastor Paroki dan Dewan
Paroki untuk memperkenalkan diri. Dalam perkenalan ini, saya pernah menegaskan
lagi akan pemahaman awalku tadi, bahwa saya datang ke Paroki ini untuk belajar.
Dengan kata lain, saya datang bukan supaya dilayani, bukan juga melayani.
Sesudah perkenalan,
hari-hari berikutnya saya masih terus belajar bersama Pastor Paroki dan umatnya
hingga kini. Dalam proses belajar ini, saya mengalami rupa-rupa hal yang
menjadi motivasi untuk terus belajar. Mengenai hal-hal tersebut, saya hanya
menyebutkan kesamaan dan perbedaan geografis dengan kampung halaman saya,
perspektif pribadi dan kebudayaan umat kami.
Kesamaan dan perbedaan
yang saya maksud itu secara khusus mengenai geografis (letak permukaan bumi) di
Paroki St. Fransiskus Obano dengan letak permukaan bumi kampung halaman saya di
Paroki Misael Bilogai, cara pandang saya secara pribadi dengan cara pandang semua
yang pernah saya jumpai secara pribadi di Obano dan kebudayaan umat Paroki
Obano dengan kebudayaan kami orang Migani di wilayah Dugindoga, Kemandoga dan Mbiandoga. Artinya bahwa letak permukaan
bumi di sini sebagian serupa dengan geografi Paroki asalku, tetapi juga
sebagian berbeda. Cara pandang pribadi saya terhadap kenyataan hidup juga terdapat
kesamaan dan perbedaan dengan cara pandang umat di sini. Demikian juga dengan
kebudayaan. Kebudayaan mereka yang saya jumpai di sini sebagian mirip dengan
kebudayaan kami orang Migani dan sebagian lain berbeda.
Mengenai kesamaan
geografis: Di Paroki ini dengan Paroki asal saya sama-sama memiliki gunung,
bukit, (permukaan tanah yang tidak rata), berudara dingin, curah hujan cukup tinggi,
tanah berbatuan, berawa, kali-kali mengalir turun dari gunung dan pepohonan
membatasi perumahan masyarakat dengan hutan. Sebaliknya mengenai perbedaan
geografis: Perbedaan yang amat mencolok ialah di Paroki ini terdapat Danau
Paniai, sementara di Paroki asalku tidak ada Danau. Di sini tidak ada kali-kali
yang lebih besar, tetapi di kampung saya terdapat tiga kali yang besar, yakni; Kali Dogabu, Hiabu, Wabu dan Kemabu. Lemba-lemba yang saya jumpai di
Paniai Barat ini juga lebih luas dari pada keadaan kampung saya yang sulit
menemukan lembah hijau yang luas sepertinya. Perumahan masyarat di sini berada
tidak jauh dari Danau Paniai dan sebagainya.
Kesamaan perspektif:
semua orang mau mengalami kebahagiaan hidup atau keselamatan. Kebahagiaan hidup
atau keselamatan yang dirindukan ini bersifat integral, yakni; kebahagiaan
hidup di dunia saat ini, maupun keselamatan kekal setelah beralih dari dunia
ini (Jasmani & Rohani). Cara pandang seperti ini ialah kebiasaan saya
memandang kenyataan hidup saya dengan hidup sesama saya. Kebiasaanku ini
didasari oleh kenyatan bahwa saya sendiri membutuhkan keselamatan integral
seperti itu. Maka selanjutnya saya bermenung bahwa sesamaku pun demikian.
Kesamaan itu sebetulnya
bersifat natural terhadap kenyataan hidup ini. Sementara kesamaan perspektif
terhadap realitas hidup perlu dibeberkan lagi, tetapi secara umum dapat saya
kemukakan di sini bahwa dalam menanggapi rupa-rupa peristiwa yang terjadi di
sekitar saya maupun mereka yang saya jumpai di Paroki Obano, semua tindakan kami,
sekalipun yang amat sederhana dan kongkrit mengarah pada ungkapan kepedulian
kami terhadap obyek. Kenyataan ini tersalur lewat semua bidang kehidupan,
seperti; kepedulian terhadap sosial budaya, ekonomi, kesehatan (kebersihan),
kerohanian, kemanusiaan, pendidikan, pembangunan, perlindungan alam setempat
dan lain sebagainya. Sedangkan perbedaan perspektif saya dengan mereka yang
lain di sini ialah bahwa saya amat peduli akan semua bidang kehidupan umat
setempat yang telah saya sebutkan itu, tetapi sebagian mereka yang lain di sini
terkesan hanya memihak beberapa segi saja, dengan pertimbangannya tersendiri.
Kesamaan budaya:
Setelah saya mempelajari sedikit tentang kebudayaan suku bangsa Mee di Paroki ini, akhirnya saya
mengetahui bahwa ternyata semua unsur budaya yang telah terdapat dalam
kebudayaan kami orang Migani, terdapat juga dalam kebudayaan suku bangsa Mee. Kesamaan unsur-unsur budaya itu adalah
bahasa daerah, pakaian adat, kekerabatan dan sistem perkawian, sistem
kepemimpinan, peralatan teknologi yang khas, religi ekonomi dan kesenian. Namun
saya tetap akui bahwa kesamaan-kesamaan ini hanya berorientasi pada tingkat
identitas unsur-unsur budaya secara universal. Sementara selebihnya dipandang
sebagai kekhasan masing-masing budaya yang membisu. Dan, kehasan kebudayaan
inilah yang menjadi perbedaan di antara kebudayaan orang Migani dengan orang Mee.
Perbedaan budaya: Perbedaan
yang gampang dilihat di sini adalah bahasa daerah. Kami orang Migani berbahasa Miga dole dan suku bangsa Mee di sini berbahasa Mee. Oleh karena itu, saya butuh waktu
yang cukup untuk mempelajarinya. Sebab bahasa adalah sarana utama dalam
berkomunikasi secara intens dengan umat setempat. Kemudian unsur budaya lainnya
hanya dibedakan oleh kekhasan masing-masing kebudayaan. Maka saya juga perlu
penyesuaian dengan belajar juga.
Penjelasan singkat atas
kesamaan dan perbedaan letak permukaan bumi, cara pandang pribadi dan
kebudayaan kami di atas, dapat saya maknai sebagai lahan pembelajaran lebih
lanjut. Pemaknaan ini didorong oleh harapan bahwa sesudah mempelajarinya, saya
semakin mempunyai kemampuan yang cukup untuk beradaptasi dengan semua itu.
Sehingga pada akhirnya saya semakin mengarah pada calon Imam Projo yang tanggu,
sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Pastor Pembina saya, baik dengan
kata-kata maupun tanpanya.
Ouput dari semua itu
bagi saya adalah mengungkapkan bahwa “saya datang bukan untuk dilayani, tetapi
untuk melayani sambil belajar”. Rencana moto pelayananku ini berpusat pada
teladan pelayanan Yesus Kristus sendiri. Sebab Dia yang adalah Anak Allah,
bahkan Allah sendiri itu pun telah merendahkan diri hanya untuk melayani orang
berdosa dan menyelamatkannya. Maka sikap kerendahan hati, ketaatan, kesetiaan,
kepedulian dan keberpihakan pada kaum lemah, yang bersumber dari Allah ini
mesti terinternalisasi dalam diri dan kemudian dipancarkan lewat sikap hidup
saya, sebagai pemuda yang terpanggil. Sehingga melalui panggilan saya, Kristus semakin
dikenal dan dicintai oleh banyak orang.
5.
Kesimpulan
Paroki St. Fransiskus
Obano berada di wilayah Paniai Barat. Wilayah Paniai Barat ini terdapat tiga
Distrik dan beberapa Kampung. Kemudian letak permukaan bumi wilayah ini serupa
dengan wilayah pegunungan tengah lainnya, yang dikelilingi oleh gunung-gunung,
bukit dan dataran rendah. Suhu udaranya dingin amat, curah hujan cukup tinggi
dan perkampungan rakyat berada tidak jauh dari Danau Paniai bagian Barat.
Sarana transportasi
yang dominan digunakan oleh masyarakat untuk akses ke sana adalah Spid boad, dengan biaya Rp 20.000. Jarak
dan lamanya waktu tempu dapat diukur dengan ukuran kendaraan, cuaca dan suasana
danau.
Wilayah Pelayanan
Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano mencakup seluruh wilayah Paniai
Barat tersebut. Sebagian masyarakat Paniai Barat dari empat kampung, sudah
menerima kehadiran Gereja Katolik dan telah menjadi umat Katolik. Sebagai umat
beriman Katolik, mereka telah membangun gedung Gerejanya sendiri di kampung
mereka masing-masing. Bangunan-bangunan gedung Gereja Katolik itu dapat kita
temukan di Kampung Bado atau Obano (Stasi induk), Kampung Tipakotu, Kampung Muye dan Kampung Waipa.
Dengan demikian jelaslah bahwa wilayah pelayanan
Gereja Katolik di Paniai Barat terdapat empat (4) kampung atau Stasi dan
delapan (8) Komunitas Basis. Jarak antar Stasi dan Paroki tidaklah sama, ada
Stasi yang dekat, agak dekat dan agak jauh serta lebih jauh. Sarana
transportasi dapat saja menggunakan motor atau mobil bilamana memungkinkan dan yang
pasti adalah kendaraan Danau. Selanjutnya jumlah Kepala Keluarga Katolik di
Paroki St. Fransiskus Obano diyakini tidak lebih dari Dua Ratus KK.
Pelayan umat bermarkas
di Pastoran Obano, yang lebih dekat dengan gedung Gereja Paroki. Pastoran ini
dihuni oleh Pastor Paroki, saya dan keluarga adik laki-laki dari Pastor. Kami
hidup sebagai satu keluarga di sini. Sebagai satu keluarga, kami melalui
aktivitas harian bersama, terutama saya dengan Pastor. Di sela-sela kegiatan,
kami selalu merayakan Ekaristi Kudus pada setiap Hari Senin dan Hari Jumat di
Pastoran dan sesudahnya memberi dan menerima pembinaan.
Dengan itu maka sejauh
ini relasih saya dengan Pastor Pembina cukup terjaga dengan baik. Kami selalu
saling menyapa, canda dan tawa bersama. Hanya saja relasi kami berdua dengan
keluarga yang ada di Pastoran, belum berjalan baik. Semoga kami bisa berdamai
sebelum mengadakan upacara rekonsiliasi Kampung (Witogai Kamuu).
Kebudayaan masyarakat
Paniai barat secara umum dan secara khusus umat Katolik yang saya jumpai di
sana masih terus dipelihara dengan baik. Maka saya semakin membuka diri untuk
mempelajarinya, supaya kemudian saya mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
dengan lingkungan di sekitar saya, serta dapat mengungkapkan “saya datang bukan
untuk dilayani, tetapi untuk melayani sambil belajar”, seperti Yesus Kristus
sendiri. Amakanee!
Obano,
20 April 2017
Frater TOP. Pastor Pembina
Yeskiel Belau Pastor Sebastianus Maipaiwiyai, Praja.
0 komentar:
Post a Comment