Video Of Day

Subscribe Youtube

Saturday, 9 September 2017

LAPORAN TAHUN ORIENTASI PASTORAL (TOP) TAHAP PERTAMA (I)



MEDAN TOP
Fr. Yeskiel Belau
 

Laporan Tahun Orientasi Pastoral. Dalam Laporan TOP tahap pertama ini, saya akan melaporkan tentang medan TOP, yang sedang saya jalani kepada Bapa Uskup dan para Pastor Pembina saya, yaitu; Pastor Sebas Maipai Wiyai, Pastor Agustinus Alua dan Pastor Dominikus Hodo Pr.

Saya Yeskiel Belau calon Imam Keuskupan Timika. Saya sudah berada di Paroki St. Fransiskus Obano, sejak tanggal 23 Desember 2015. Keberadaan saya di sini sudah tiga (3) bulan, terhitung bulan Januari hingga bulan Maret. Dalam tiga bulan ini, saya telah  mengfokuskan diri untuk mengenal medan. Medan yang saya kenal di sini mengandung tiga medan, yaitu; pertama, medan geografis secara umum di Paniai Barat. Kedua, medan pelayanan Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano, yang terdiri dari jumlah Stasi dan Kombas beserta identitas keduanya. Juga jumlah Kepala Keluarga (KK) Katolik yang terdata. Ketiga, kebiasaan hidup atau budaya umat Paroki St. Fransiskus Obano secara singkat. Selain ketiga medan ini, saya juga akan perkenalkan Pastoran sebagai tempat tinggal saya, serta relasi saya dengan Pastor Pembina di Paroki dan penghuni lain di Pastoran. Selanjutnya saya akan sertakan refleksi saya atas semua pengalaman selama berada di Paroki St. Fransiskus Obano ini. Kemudian laporan ini akan ditutup dengan kesimpulan singkat.

1.         Georgafis Paniai Barat

Kata Geografi berasal dari bahasa Yunani yaitu Gêo yang berarti bumi dan Graphein yang berarti tulisan atau penggambaran. Maka dalam konteks laporan ini saya memahaminya sebagai gambaran permukaan bumi Paniai Barat dan Paroki St. Fransiskus Obano. Selanjutnya gambaran inilah yang akan saya laporkan secara tertulis.

Bertolak dari penelusuran asal dan arti kata Geografi serta pemahaman mengenainya itu, saya akan menggambarkan georgafi Paniai Barat secara singkat di sini.  Jadi, Paniai Barat adalah nama salah satu wilayah yang menjadi bagian dari Kabupaten Paniai. Paniai Barat sebagai bagian dari Kabupaten Paniai, maka pemerintah Kabupaten memekarkannya sebagai satu Distrik. Dua bulan yang lalu, pemerintah setempat sudah mekarkan dua Distrik baru lagi. Dengan penambahan dua Distrik baru ini, maka wilayah Paniai barat menjadi tiga (3) Distrik. Ketiga Distrik ini terletak di bagian Barat dari Kabupaten Paniai. Oleh karena itulah wilayah tersebut dikenal dengan nama Paniai Barat.
Letak alam atau bentuk permukaan bumi Paniai Barat tidak berbeda dengan Distrik lain di Kabupaten Paniai. Saya menyamakan posisi permukaan bumi Paniai Barat dengan Distrik lain, karena hampir semua Distrik diapit oleh gunung-gemunung, beribukota bagian lembah dan tidak jauh dari Danau Paniai. Selain kenyataan ini, curah hujan juga cukup tinggi dan berudara dingin. Meskipun demikian, saya juga tetap akui bahwa Paniai Barat memiliki keunikannya sendiri. Keunikannya adalah bahwa Paniai Barat terletak di bawah gunung-gunung yang lebih tinggi dari wilayah lain, seperti; gunung Deiyai, gunung Kene dan gunung Ogiai Dimi. Kedua, semua kali mengalir dari gunung ke arah Danau Paniai. Ketiga, setiap kampung dibatasi secara alamiah oleh gunung-gunung yang sedang. Juga perkampungan warga terletak di bagian dataran rendah dan perbukitan di pingir danau Paniai. Demikian juga dengan lahan pertanian warga setempat, bahwa mereka bertani di bagian dataran rendah maupun di lereng-lereng gunung yang ada.
Batas wilayah Paniai Barat: Bagian Timur dibatasih oleh Pulau Mayagea, yang berada di tengah-tengah Danau Paniai. Bagian selatan berbatasan dengan Tanjung Yagai distrik Kebo dan bagian utara dibatasi oleh Kampung Dimia distrik Yatamo. Sedangkan bagian barat berbatasan dengan Kampung Edagodati di sebelah gunung Ogiai Dimi.
Paniai Barat dapat dilalui dengan jalan kaki, mengendarai kendaraan roda empat, roda dua dan kendaraan tanpa roda (Spit boad). Namun dari ketiga kendaraan ini, Spit boad menjadi pilihan yang utama. Sebab jalan raya yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten Paniai itu sudah tidak layak lagi dilalui. Oleh karena itu, dengan mengendarai transportasi Danau, motoris dan penumpangnya bisa menghabiskan waktu sesuai dengan ukuran Spid, cuaca dan suasana danau, tetapi biasanya kurang dari 60 menit.
Demikianlah gambaran umum secara singkat mengenai geografis Paniai Barat, yang menjadi wilayah hak ulayat suku bangsa Mee, yang berdomisili di sana. Para pemilik ulayat yang ada di sana, tidak semua beragama Katolik, tetapi juga sebagian beragama Protestan. Katakan saja bahwa umat yang beragama Katolik tidak sebanyak mereka yang beragama Protestan. Umat Katolik adalah minoritas di antara umat Protestan. Karena itu, umat Katolik hanya terdapat di empat kampung yakni; Kampung Bado, Kampung Tipakotu, Kampung Muye dan Kampung Waipa. Oleh karena kenyataan ini, maka selanjutnya saya akan menjelaskan medan pelayanan Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano.
2.         Medan Pelayanan Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano
Gereja Katolik di Paniai barat berpusat di kampung Bado (Obano). Menurut Pewarta tua, Bapak Willem Boma, Gereja Katolik masuk di Kampung Bado sekitar Tahun 1960-an dan sejak Tahun 1971 dikukuhkan sebagai sebuah Paroki tersendiri dengan nama pelindung St. Fransiskus Asisi. Berdasar pada sejarah singkat ini, maka Gereja induk di Paniai Barat ini dikenal dengan nama Paroki St. Fransiskus Obano sampai sekarang.
Paroki St. Fransiskus Obano terdapat empat (4) Stasi dan delapan (8) Komunitas Basis (Kombas). Stasi pusat Paroki adalah Bado, yang terletak di Kampung Obano. Stasi Moma terletak di Kampung Tipakotu, kira-kira 8 Km dari Paroki. Stasi Epabutu terletak di Kampung Muye, dengan perkiraan jarak 50 Km dari pusat Paroki dan Stasi Waipa berada lebih jauh dari ketiga Stasi ini. Maka berikut ini saya akan menggambarkan keberadaan masing-masing Stasi secara singkat, supaya medan pelayanan yang dimaksud semakin jelas.
2.1. Stasi Bado
Stasi Bado berpusat di Paroki, yang terletak di ujung Timur dari dataran kampung Obano, tepatnya sebelah kiri dari arah Timur dan tidak jauh dari kaki gunung di sampingnya. Gedung Gereja juga berdekatan dengan Danau Paniai, katakana saja kurang lebih 4 Km. Demikian juga dengan jarak antara jalan raya dengan Gereja hanya 30-an meter.
Stasi Bado berdekatan dengan Pastoran Obano dan perumahan beberapa umat. Namun perumahan sebagian besar umat berada agak jauh dari Stasi ini, yakni; di pingir kiri dan kanan jalan besar serta sebagian lagi membangun rumah mereka di tengah-tengah lemba Obano. Karena itu pengurus Paroki bersama umat setempat telah membentuk empat (4) Komunitas Basis (Kombas), yaitu; Kombas Kebagiwiyai, Mugupai, Kenekadega, Idetaka dan Madegai. Pembentukan Kombas-kombas ini dengan memperhatikan jarak antar rumah umat serta hendak mencapai tujuan pembentukan Kombas yang baku. Kemudian di antara umat itu ada anggotanya yang telah diangkat sebagai pewarta kombas. Jadi, semua Kombas di Stasi Bado ini memiliki pewartanya sendiri. Jumlah umat Stasi Bado belum bisa saya sampaikan saat ini, karena proses pengambilan data umat di Stasi ini belum selesai.
2.2.   Stasi Moma
Stasi Moma berada di Kampung Tipakotu, bagian barat dari Stasi Bado. Stasi ini juga berada tidak terlalu jauh dari jalan raya. Gedung gerejanya belum terbangun, tetapi umat setempat sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda untuk mendirikan gedung gereja mereka. Seandanya jikalau gedung Gereja itu berhasil terbangun, maka gedung tersebut akan berdampingan dengan gedung Gereja Protestan yang ada di situ.
Halaman yang disiapkan untuk membangun gereja itu dekat dengan sebuah kali yang mengalir turun dari gunung menuju Danau Paniai. Kemudian di bagian depannya terdapat beberapa pohon cemara yang rimbun serta ke depannya lagi, maka kita akan menemui jalan raya yang tahun lalu diaspal itu. Namun kalau kita mundur dari halaman yang sama ke belakang, maka kita bisa menemui kebun-kebun umat dan sampai ke kaki gunung yang terbentang panjang di sebelah selatan dari pingir Danau Paniai hingga di pintu anggin. Demikian juga kalau ke arah barat dan timur, kita bisa melihat rumah-rumah umat di situ. Stasi ini terdapat satu Kombas, dengan pewartanya sendiri. Kemudian jumlah Kepala Keluarga (KK) Katolik di sini sebanyak 37 KK.
2.3.    Stasi Epabutu
Stasi Epabutu berada di Kampung Muye. Kampung Muye ini diapit oleh dua gunung sebelah menyebela dan di tengah-tengahnya terbentang lembah hijau yang sudah dijadikan warga sebagai tempat untuk membangun perumahan dan perkebunan. Kemudian kampung ini sudah dipagari secara rapih oleh seluruh warga setempat, mulai dari pingir jalan besar di samping Danau Paniai, hingga mengikuti kedua kaki gunung itu. Dan, di bagian depan jalan tersebut mereka sudah memasang dua pintu yang selalu ditutup sesudah warga ke luar dan masuk melaluinya.
Jalan darat menuju Stasi Epabutu dari Paroki sudah ada. Saya sendiri pernah ke sana dengan jalan kaki dan bisa menghabiskan lima (5) jam. Kita juga bisa ke tempat yang sama dengan motor atau mobil. Tetapi lebih cepat, jika ke sana dengan mengendarai transportasi Danau. Jikalau ke sana, masuklah melalui pintu sebelah kiri dan terus ke dalam dengan mengikuti lorong yang ada, dan selanjutnya akan mendapat sebuah gapura kecil di bagian kiri, yang adalah pintu masuk ke dalam Gereja Katolik Stasi Epabutu.
Jumlah kombas di Stasi Epabutu ada dua Kombas, yaitu; Kombas Mobukai Edimai Wiyai dan Kombas Obaiye Kebagi, dengan pewartanya sendiri-sendiri. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga Katolik di Stasi ini terdapat 36 KK. 
2.4.       Stasi Waipa
Stasi Waipa berada di bagian sebelah selatan dari pusat Paroki. Keberadaan Stasi ini paling jauh ketimbang tiga Stasi yang lain. Karena itu, amatlah sulit jika kita menuju ke sana dengan jalan kaki. Akses ke sana hanya bisa dilalui lewat Danau, dengan mengendarai Spit boad. Kemudian posisi gedung Gereja berada di pingir Danau Paniai. Sebelah Timur, Barat dan Selatan dibatasi oleh gugung yang berdiri tinggi serta di bagian Utara ada Danau Paniai, yang jaraknya 40 meter saja.
Bentuk permukaan bumi Stasi Waipa agak tidak rata, dia berada tepat di bawah lereng gunung. Namun di tempat ini umat setempat sudah terbiasa membangun rumah-rumah mereka dan berkebun di sekitarnya. Dari Stasi ini juga kita bisa memandang seluk-beluk Danau Paniai dan keindahan alam lainnya. Stasi Waipa terdapat satu Kombas, yaitu; Kombas Yabama. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Katolik berjumlah 23 KK.
3.      Kebiasaan Hidup Umat
Kebiasaan hidup yang saya maksudkan di sini adalah budaya atau kebudayaan, meskipun di kalangan lain memahaminya secara berbeda. Sejalan dengan tujuanku, di sini saya hanya mau menyebutkan beberapa unsur budaya umat yang selalu saya jumpai di Paroki St. Fransiskus Obano dan menjelaskannya secara singkat, sesuai dengan apa yang saya lihat dan alami bersama mereka.
Saat saya bersama umat di Paroki St. Fransiskus Obano, saya berusaha belajar bahasa daerah setempat, sebagai unsur budaya yang pertama, tetapi masih sepotong-sepotong. Umat di sana secara khusus dan secara umum masyarakat Paniai Barat serta warga Kabupaten Paniai yang lain berbahasa Mee. Kedua, saya juga pernah ikut umat membuat beden dan menanam bibit petatas serta mancing ikan di Danau Paniai. Pengalaman ini memperlihatkan gambaran sistem mata pencaharian hidup mereka, bahwa umat Paroki St. Fransiskus Obano bermata pencaharian bertani dan sebagian warga mencari ikan di Danau. Ketiga, saya bersama beberapa umat pernah masuk ke hutan Tipakotu untuk cincang kayu pagar. Dalam proses ini, saya juga membawa kampakku sendiri, busur dan anak panah.
Sementara itu, mereka yang lain pun membawa peratan kerja, bahkan lebih lengkap dari saya. Pengalaman ini juga memperlihatkan peralatan teknologi umatku di sana yang khas. Keempat, suatu waktu kami didatangi sepasang suami istri untuk memberkati pernikahan mereka, meskipun anak-anak mereka sudah bisa makan sendiri. Saat pernikahan berlangsung, kedua insan didampingi orang tua mereka masing-masing dan disaksikan oleh saudara-saudari mereka yang lain. Pengalaman mengikuti pernikahan di Emawa Maipai ini, mengungkapkan kekerabatan dan relasi sosial dalam hidup umat. Kelima, saat kami mengadakan porseni bas di Stasi masing-masing, kami selalu kerja bakti bersama sambil bernyanyi (meane) dengan ciri khas suku bangsa Mee.
Dalam berliturgi juga umat sudah terbiasa dengan nyanyian-nyanyian alah wilayah setempat, dengan iringan musik, tarian-tarian maupun tanpanya. Dalam hal ini, unsur budaya kesenian sangat kelihatan di Paroki St. Fransiskus Obano. Keenam, unsur religi atau kepercayaan umat terhadap Yang Ilahi masih sangat kuat. Mereka menyebut Yang Ilahi Ugatamee. Ugatamee inilah yang dahulu nenek moyang orang Mee percaya dan sembah sebagai sumber hidup mereka. Kemudian, kehadiran Gereja sejak awal di sana memperjelas keyakinan tersebut bahwa Ugatamee yang sudah dikenal itu adalah Tuhan Allah. Oleh karena itu, umat dahulu maupun kini menerimanya dengan senang hati sampai sekarang ini. Yang terakhir adalah pakaian adat dan sistem ekonomi. Umat kami mempunyai pakaian tradisional yang biasa disebut dengan Koteka untuk pria dan Cawat (Moge) bagi wanita, manik-manik, gelang dan perhiasan lainnya masih terpelihara dengan baik. Namun akhir-akhir ini, ada kesan bahwa sebagian anggota masyarakat yang sudah mulai merasa malu, jika mereka menggunakan pakaian adatnya sendiri. Juga masih ada ingatan di benak mereka akan kulit biaya dan benda-benda lain yang berharga. 
Demikian gambaran umum mengenai kebudayaan umat yang sedang bersama saya di Paroki St. Fransiskus Obano ini. Saya yakin bahwa apa yang saya gambarkan di atas hanya sebatas menyebutkannya saja, isinya masih sangat kaya dan perlu digali lagi.
4.      Pastoran Paroki St. Fransiskus Obano
Paroki St. Fransiskus Obano telah dilengkapi dengan penginapan (Pastoran) bagi para Petugas Pastoral, terutama Pastor Paroki. Gedung Pastoran ini dibangun dengan papan kayu susu dan berdiri megah di bagian sebelah kanan atas dari gedung Gereja Paroki, dengan dua lantai. Pastoran ini terdiri dari beberapa ruangan. Lantai pertama terdiri dari sembilan ruangan. Dari sekian ini satu ruang tamu, gudang, satu ruang tengah, satu ruang nonton, dua ruang kamar tidur, sebuah kamar mandi dan tiga ruangan dapur.
Ruang dapur paling belakang sebagai tempat masak air minum dengan kayu api, yang juga telah dilengkapi dengan tempat cuci piring, ruang tengah juga sebagai tempat cuci piring dan masak dengan konfor serta ruangan yang lainnya tempat makan. Kemudian di lantai kedua terdapat lima kamar, satu ruang di antaranya kamar mandi dan yang lain kamar tidur. Semua kamar di lantai dua ini belum memasang plafon.
Kemudian di depan pintu masuk ke halaman Pastoran terdapat Emawaa Maipai Wiyai. Di sebelah kiri dari tempat yang sama terdapat kolam ikan dan sebelah kanannya kebun sayur kami. Bagian belakang Emawaa terdapat kandang-kandang ternak dan tempat jemuran. Selanjutnya di samping kanan dari pintu masuk ke Emawaa yang sama terdapat kebun induk dan tempat pengolahan pupuk milik Pastor, yang mengarah ke Timur, serta bagian depan tempat ini terdapat satu kolam ikan lagi.
Pastoran tersebut sudah dilindungi dengan pagar, tetapi kayu-kayu pagar yang lama sudah mulai lapuk, maka beberapa bulan kedepan kami akan menggantinya dengan kayu pagar baru yang sudah kami siapkan bersama umat dari semua Stasi.
Penghuni Pastoran itu adalah Pastor Paroki, saya dan satu keluarga (dua anak dan sepasang suami istri), yang juga adalah anggota keluarga dari Pastor Paroki. Pastor Paroki dengan saya menggunakan dua kamar di lantai dua, dengan masing-masing satu kamar serta sebuah kamar mandi. Sedangkan anggota keluarga Pastor menggunakan dua kamar tidur, ruang nonton, ruang makan, sebuah kamar mandi dan dapur utama di lantai pertama.
4.1. Relasi saya dengan Pastor Pembina
Relasih saya dengan Pastor Pembina di Paroki St. Fransiskus Obano amat harmonis. Pastor selalu menyapa saya Mepa dan saya menyapanya Pastor atau Bapa. Kami sebagai bapa dan anak, selalu mengusahakan kebutuhan hidup bersama, bekerja dan bersama juga melayani umat Tuhan di Paroki St Fransiskus Obano.
4.2.    Proses pembinaan
Saya sadar bahwa Pastor dan umat di sini adalah dosen-dosen saya. Artinya bahwa saya sadar akan tujuan kehadiranku di Paroki ini, yakni; belajar berpastoral dari Pastor Paroki dan umat setempat. Dan, sejauh ini Pastor Paroki dan umatnya selalu menjadi dosen terbaik bagi saya. Banyak hal yang mereka ajarkan kepada saya, baik dengan kata-kata maupun tanpa kata-kata (dengan tindakan mereka).
Saya dengan Pastor Pembina mempunyai jadwal Perayaan Ekaristi, pada setiap Hari Seni dan Hari Jumat. Sesudah Perayaan Ekaristi, waktu selanjutnya kami biasa gunakan untuk pembinaan dan sering atas pengalaman hidup bersama umat. Dalam proses ini, Pastor Pembina selalu mengajariku banyak hal dari berbagai sisi. Misalnya: pertama, dari sisi kemandirian hidup sebagai calon Imam Projo, bahwa seorang Imam Projo harus bisa hidup mandiri dengan usahanya sendiri. Imam Projo tidak bisa menaruh harapan pada umat. Imam Projo mesti berkebun dan berkeringat darah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan melayani tamu-tamunya. Kedua, dari sisi kematangan pribadi, bahwa pribadi yang matang mesti berpikir lebih dan berbuat lebih. Berpikir lebih berarti berpikir seperti Allah berpikir dan berbuat lebih berarti berbuat seperti Allah sendiri berbuat. Ketiga, dari sisi Pastoral bahwa sebagai seorang pelayan, mesti menghargai umat sebagai tuan, meskipun satu orang saja. Dalam hal ini mesti dibuktikan dengan tidakan nyata lewat penyesuaian diri yang mantap, kesabaran dan kesetiaan pada tugas. Keempat, Pastor juga selalu mengajarkan, supaya selalu belajar untuk mendagingkan pikiran dan rencana positif saya secara nyata.
4.3.    Relasih dengan Keluarga Penghuni Pastoran
Sejak awal kami (saya, Pastor Paroki dan anggota keluarga yang ada) hidup bersama di Pastoran sebagai satu keluarga yang harmonis. Keharmonisan relasi ini terbukti dengan makan bersama, cerita, canda dan tawa bersama. Namun sesudah tiga Minggu kemudian, keharmonisan hidup seperti ini telah berubah. Keluarga Pastor Paroki yang ada di Pastoran tidak pernah lagi menyapa Pastor, demikian juga sebaliknya.
Saya belum ketahui secara baik mengenai peristiwa tertentu yang telah terjadi di Pastoran. Sebab selama tiga hari, saya berada bersama umat di tenda Kegiatan Pekan Olah raga, Seni dan Basar di Stasi Bado. Sekembaliku, saya hanya menyaksikan kenyataan relasi yang brantakan seperti itu. Karena itu, saya masih bertanya-tanya dalam hati, apakah kehadiran saya di Pastoran ini mengacaukan relasi Pastor dengan keluarga adiknya?
Dalam pergumulan seperti itu, saya mimilih untuk ikut Pastor Pembina dalam mengurus makanan kami sendiri di dapur yang berada paling belakang tadi. Dalam dapur ini, saya dengan Pastor biasa memasak dan makan. Oleh karena itu, saya juga biasa bertanya-tanya dalam hati lagi bahwa rumah ini Pastoran atau rumah keluarga?
Bagaimana saya tidak bertanya seperti itu? Coba bermenung: beberapa ruangan sudah dikuasai (dua kamar tidur, ruang nonton, ruang makan, dapur utama dan sebuah kamar mandi), mereka juga menggunakan semua fasilitas Pastoran termasuk Diesel. Selain itu, putar musik dan nonton TV juga dengan volume tinggi, tanpa mengenal waktu. Pastoran juga dijadikan sebagai gerasi motor, pada hal tidak pernah perhatikan kebersihan Pastoran (pecek-pecek dari ban motor yang dimasukkan lewat ruang tamu itu, selalu saya yang bersihkan), bunyikan motor dengan gas tinggi, baik dari dalam rumah maupun di halaman seenaknya. Berbahaya lagi bahwa keluarga ini tidak simpati dengan tamu-tamu kami yang datang ke Pastoran. Dan, keanehan lain yang saya lihat dari keluarga ini ialah mereka tidak pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan Gereja, bahkan ke Gereja setiap Hari Minggu untuk sembang pun tidak!
Kenyataan sikap hidup mereka seperti demikian mengundang pertanyaan ekstrim seperti itu dalam benakku. Oleh karena itu, di akhir-akhir ini saya merasa bahwa relasihku dengan keluarga tersebut perlu diperbaiki. Dalam hal ini saya berharap dalam waktu yang dekat ini juga kami bisa duduk bersama dan berdamai, sebelum upacara rekonsiliasi kampung. Hal ini mungkin, jika kami saling mengampuni dan merubah pilihan-pilihan sikap hidup yang membuat kami tidak saling menyapa.



KESAMAAN DAN PERBEDAAN SEBAGAI MOTIVASI BELAJAR
(Refleksi)
“Saya Datang Bukan Supaya Dilayani, Bukan Juga Melayani”. Kata yang lebih tepat bagi saya adalah saya datang supaya belajar melayani. Demikian memahaman saya sejak awal, saat Bapa Uskup mengutus saya ke Paroki St. Fransiskus Obano. Dalam pemahaman ini, 22 Desember 2015, saya baru memandang Dekenat Paniai, yang sebelumnya terbiasa mendengar namanya saja.
Hari berikutnya, saya teruskan perjalanan ke Paroki St. Fransiskus Obano. Sesampaiku di Pastoran Obano, saya diterima baik oleh Pastor Paroki, Pastor Sebas Pr. Selanjutnya pada akhir Perayaan Malam Natal, saya diberi kesempatan oleh Pastor Paroki dan Dewan Paroki untuk memperkenalkan diri. Dalam perkenalan ini, saya pernah menegaskan lagi akan pemahaman awalku tadi, bahwa saya datang ke Paroki ini untuk belajar. Dengan kata lain, saya datang bukan supaya dilayani, bukan juga melayani.
Sesudah perkenalan, hari-hari berikutnya saya masih terus belajar bersama Pastor Paroki dan umatnya hingga kini. Dalam proses belajar ini, saya mengalami rupa-rupa hal yang menjadi motivasi untuk terus belajar. Mengenai hal-hal tersebut, saya hanya menyebutkan kesamaan dan perbedaan geografis dengan kampung halaman saya, perspektif pribadi dan kebudayaan umat kami.
Kesamaan dan perbedaan yang saya maksud itu secara khusus mengenai geografis (letak permukaan bumi) di Paroki St. Fransiskus Obano dengan letak permukaan bumi kampung halaman saya di Paroki Misael Bilogai, cara pandang saya secara pribadi dengan cara pandang semua yang pernah saya jumpai secara pribadi di Obano dan kebudayaan umat Paroki Obano dengan kebudayaan kami orang Migani di wilayah Dugindoga, Kemandoga dan Mbiandoga. Artinya bahwa letak permukaan bumi di sini sebagian serupa dengan geografi Paroki asalku, tetapi juga sebagian berbeda. Cara pandang pribadi saya terhadap kenyataan hidup juga terdapat kesamaan dan perbedaan dengan cara pandang umat di sini. Demikian juga dengan kebudayaan. Kebudayaan mereka yang saya jumpai di sini sebagian mirip dengan kebudayaan kami orang Migani dan sebagian lain berbeda.
Mengenai kesamaan geografis: Di Paroki ini dengan Paroki asal saya sama-sama memiliki gunung, bukit, (permukaan tanah yang tidak rata), berudara dingin, curah hujan cukup tinggi, tanah berbatuan, berawa, kali-kali mengalir turun dari gunung dan pepohonan membatasi perumahan masyarakat dengan hutan. Sebaliknya mengenai perbedaan geografis: Perbedaan yang amat mencolok ialah di Paroki ini terdapat Danau Paniai, sementara di Paroki asalku tidak ada Danau. Di sini tidak ada kali-kali yang lebih besar, tetapi di kampung saya terdapat tiga kali yang besar, yakni; Kali Dogabu, Hiabu, Wabu dan Kemabu. Lemba-lemba yang saya jumpai di Paniai Barat ini juga lebih luas dari pada keadaan kampung saya yang sulit menemukan lembah hijau yang luas sepertinya. Perumahan masyarat di sini berada tidak jauh dari Danau Paniai dan sebagainya.
Kesamaan perspektif: semua orang mau mengalami kebahagiaan hidup atau keselamatan. Kebahagiaan hidup atau keselamatan yang dirindukan ini bersifat integral, yakni; kebahagiaan hidup di dunia saat ini, maupun keselamatan kekal setelah beralih dari dunia ini (Jasmani & Rohani). Cara pandang seperti ini ialah kebiasaan saya memandang kenyataan hidup saya dengan hidup sesama saya. Kebiasaanku ini didasari oleh kenyatan bahwa saya sendiri membutuhkan keselamatan integral seperti itu. Maka selanjutnya saya bermenung bahwa sesamaku pun demikian.
Kesamaan itu sebetulnya bersifat natural terhadap kenyataan hidup ini. Sementara kesamaan perspektif terhadap realitas hidup perlu dibeberkan lagi, tetapi secara umum dapat saya kemukakan di sini bahwa dalam menanggapi rupa-rupa peristiwa yang terjadi di sekitar saya maupun mereka yang saya jumpai di Paroki Obano, semua tindakan kami, sekalipun yang amat sederhana dan kongkrit mengarah pada ungkapan kepedulian kami terhadap obyek. Kenyataan ini tersalur lewat semua bidang kehidupan, seperti; kepedulian terhadap sosial budaya, ekonomi, kesehatan (kebersihan), kerohanian, kemanusiaan, pendidikan, pembangunan, perlindungan alam setempat dan lain sebagainya. Sedangkan perbedaan perspektif saya dengan mereka yang lain di sini ialah bahwa saya amat peduli akan semua bidang kehidupan umat setempat yang telah saya sebutkan itu, tetapi sebagian mereka yang lain di sini terkesan hanya memihak beberapa segi saja, dengan pertimbangannya tersendiri.
Kesamaan budaya: Setelah saya mempelajari sedikit tentang kebudayaan suku bangsa Mee di Paroki ini, akhirnya saya mengetahui bahwa ternyata semua unsur budaya yang telah terdapat dalam kebudayaan kami orang Migani, terdapat juga dalam kebudayaan suku bangsa Mee. Kesamaan unsur-unsur budaya itu adalah bahasa daerah, pakaian adat, kekerabatan dan sistem perkawian, sistem kepemimpinan, peralatan teknologi yang khas, religi ekonomi dan kesenian. Namun saya tetap akui bahwa kesamaan-kesamaan ini hanya berorientasi pada tingkat identitas unsur-unsur budaya secara universal. Sementara selebihnya dipandang sebagai kekhasan masing-masing budaya yang membisu. Dan, kehasan kebudayaan inilah yang menjadi perbedaan di antara kebudayaan orang Migani dengan orang Mee.
Perbedaan budaya: Perbedaan yang gampang dilihat di sini adalah bahasa daerah. Kami orang Migani berbahasa Miga dole dan suku bangsa Mee di sini berbahasa Mee. Oleh karena itu, saya butuh waktu yang cukup untuk mempelajarinya. Sebab bahasa adalah sarana utama dalam berkomunikasi secara intens dengan umat setempat. Kemudian unsur budaya lainnya hanya dibedakan oleh kekhasan masing-masing kebudayaan. Maka saya juga perlu penyesuaian dengan belajar juga.
Penjelasan singkat atas kesamaan dan perbedaan letak permukaan bumi, cara pandang pribadi dan kebudayaan kami di atas, dapat saya maknai sebagai lahan pembelajaran lebih lanjut. Pemaknaan ini didorong oleh harapan bahwa sesudah mempelajarinya, saya semakin mempunyai kemampuan yang cukup untuk beradaptasi dengan semua itu. Sehingga pada akhirnya saya semakin mengarah pada calon Imam Projo yang tanggu, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Pastor Pembina saya, baik dengan kata-kata maupun tanpanya.
Ouput dari semua itu bagi saya adalah mengungkapkan bahwa “saya datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani sambil belajar”. Rencana moto pelayananku ini berpusat pada teladan pelayanan Yesus Kristus sendiri. Sebab Dia yang adalah Anak Allah, bahkan Allah sendiri itu pun telah merendahkan diri hanya untuk melayani orang berdosa dan menyelamatkannya. Maka sikap kerendahan hati, ketaatan, kesetiaan, kepedulian dan keberpihakan pada kaum lemah, yang bersumber dari Allah ini mesti terinternalisasi dalam diri dan kemudian dipancarkan lewat sikap hidup saya, sebagai pemuda yang terpanggil. Sehingga melalui panggilan saya, Kristus semakin dikenal dan dicintai oleh banyak orang.   
5.         Kesimpulan  
Paroki St. Fransiskus Obano berada di wilayah Paniai Barat. Wilayah Paniai Barat ini terdapat tiga Distrik dan beberapa Kampung. Kemudian letak permukaan bumi wilayah ini serupa dengan wilayah pegunungan tengah lainnya, yang dikelilingi oleh gunung-gunung, bukit dan dataran rendah. Suhu udaranya dingin amat, curah hujan cukup tinggi dan perkampungan rakyat berada tidak jauh dari Danau Paniai bagian Barat.
Sarana transportasi yang dominan digunakan oleh masyarakat untuk akses ke sana adalah Spid boad, dengan biaya Rp 20.000. Jarak dan lamanya waktu tempu dapat diukur dengan ukuran kendaraan, cuaca dan suasana danau.
Wilayah Pelayanan Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano mencakup seluruh wilayah Paniai Barat tersebut. Sebagian masyarakat Paniai Barat dari empat kampung, sudah menerima kehadiran Gereja Katolik dan telah menjadi umat Katolik. Sebagai umat beriman Katolik, mereka telah membangun gedung Gerejanya sendiri di kampung mereka masing-masing. Bangunan-bangunan gedung Gereja Katolik itu dapat kita temukan di Kampung Bado atau Obano (Stasi induk), Kampung Tipakotu, Kampung Muye dan Kampung Waipa.
Dengan  demikian jelaslah bahwa wilayah pelayanan Gereja Katolik di Paniai Barat terdapat empat (4) kampung atau Stasi dan delapan (8) Komunitas Basis. Jarak antar Stasi dan Paroki tidaklah sama, ada Stasi yang dekat, agak dekat dan agak jauh serta lebih jauh. Sarana transportasi dapat saja menggunakan motor atau mobil bilamana memungkinkan dan yang pasti adalah kendaraan Danau. Selanjutnya jumlah Kepala Keluarga Katolik di Paroki St. Fransiskus Obano diyakini tidak lebih dari Dua Ratus KK.
Pelayan umat bermarkas di Pastoran Obano, yang lebih dekat dengan gedung Gereja Paroki. Pastoran ini dihuni oleh Pastor Paroki, saya dan keluarga adik laki-laki dari Pastor. Kami hidup sebagai satu keluarga di sini. Sebagai satu keluarga, kami melalui aktivitas harian bersama, terutama saya dengan Pastor. Di sela-sela kegiatan, kami selalu merayakan Ekaristi Kudus pada setiap Hari Senin dan Hari Jumat di Pastoran dan sesudahnya memberi dan menerima pembinaan.
Dengan itu maka sejauh ini relasih saya dengan Pastor Pembina cukup terjaga dengan baik. Kami selalu saling menyapa, canda dan tawa bersama. Hanya saja relasi kami berdua dengan keluarga yang ada di Pastoran, belum berjalan baik. Semoga kami bisa berdamai sebelum mengadakan upacara rekonsiliasi Kampung (Witogai Kamuu).
Kebudayaan masyarakat Paniai barat secara umum dan secara khusus umat Katolik yang saya jumpai di sana masih terus dipelihara dengan baik. Maka saya semakin membuka diri untuk mempelajarinya, supaya kemudian saya mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitar saya, serta dapat mengungkapkan “saya datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani sambil belajar”, seperti Yesus Kristus sendiri. Amakanee!

Obano, 20 April 2017
Frater TOP.                                                                                                  Pastor Pembina

 Yeskiel Belau                                                           Pastor Sebastianus Maipaiwiyai, Praja.
 
Lokasi: Komauto, Kapiraya, Kabupaten Deiyai, Papua, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT