Video Of Day

Subscribe Youtube

Sunday, 30 September 2018

TEOLOGI KONTEKSTUAL SEBAGAI IMPERATIF[1] TEOLOGI


Oleh Yeskiel Belau
Pengantar
Foto Yeskiel Belau
Dalam kuliah Teologi Kontekstual pada semester ini, kita menggunakan buku model-model Teologi Kontekstual, karya Stephen B. Bevans. Penggunaan buku ini tentu mempunyai tujuan, yakni; Belajar apa yang menjadi pokok pembahasan dan mengertinya dengan baik, sehingga selanjutnya itu membantu kita dalam karya Pastoral.
Demi memudahkan kita mencapai tujuan itu, kita mendapat kewajiban untuk meringkas beberapa bab dari buku yang dimaksud di atas. Dalam hal ini, saya Yeskiel Belau mendapat kewajiban untuk meringkas bab I, yaitu; “Teologi Kontekstual Sebagai Imperatif Teologi”. Oleh karena bagian ini menjadi kewajiban saya, maka dalam tulisan ini, saya akan memuat ringkasan tentangnya. Semoga hasil ringkasan saya ini dapat membantu teman-teman dalam memahami maksud sesunggunya dari bab I ini.

Teologi Kontekstual Sebagai Imperatif Teologi
Pada bagian awal, penulis mengatakan tidak ada suatu yang disebut “Teologi”, yang ada hanyalah Teologi Kontekstual. Teologi Kontekstual yang dimaksud itu terdiri dari beberapa jenis Teologi, yaitu; Teologi Feminis, Teologi Hitam, Teologi Pembebasan, Teologi Filipina, Teologi Asia-Amerika, Teologi Afrika dll. Teologi-teologi kontekstual seperti ini merupakan upaya Gereja untuk memahami iman Kristen secara tepat, dipandang dari segi konteks tertentu dan membantu umat untuk beriman kepada Allah sesuai dengan konteks hidup dan budaya mereka. Oleh karenanya, maka upaya ini disebut Imperatif Teologis. Hal ini berarti bahwa kontekstualisasi itu merupakan bagian dari hakikat terdalam Teologi itu sendiri.
Berdasar pada penjelasan itu, selanjutnya akan ditunjukkan dua hal. Pertama, segi ketidaksinambungan dan kesinambungan pendekatan kontekstual terhadap Teologi dalam perbandingannya dengan Teologi tradisional/klasik. Kedua, refleksi penulis atas beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, yang membuat kontekstualisasi teologi itu menjadi sesuatu yang mungkin dalam dunia dewasa ini dan dalam pemahaman iman Kristen sekarang.

Kontekstualisasi Sebagai Sesuatu yang Baru dan Sekaligus Tradisional
Judul ini sekaligus mengatakan dua hal; Pertama, Teologi kontekstual sebagai sesuatu yang sama sekali baru. Kedua, kotekstualisasi sebagai sesuatu yang tradisional. Keduanya akan dijelaskan secara terpisah berikut ini dengan didahului oleh penjelasan hal pertama.

Teologi Kontekstual Sebagai Sesuatu yang Sama Sekali Baru.
Sehubungan dengan judul ini, dikatakan demikian karena teologi kontekstual mengerti hakikat teologi itu secara baru. Mengerti hakikat telogi secara baru berarti teologi klasik memahami teologi dewasa ini sebagai sejenis ilmu pengetahuan obyektif tentang iman. Teologi dewasa ini yang dianggap obyektif adalah refleksi iman Gereja yang terdapat dalam dua sumber, yaitu; Kitab Suci dan Tradisi, yang isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah-ubah serta berada di atas kebudayaan dan ungkapan yang dikondisikan secara hidtoris. Pertanyaannya, apa yang membuat teologi itu kontekstual? Jawabannya adalah pengalaman manusia sekarang ini (locus theologicus yang lain). Sebab Teologi yang berwajah kontekstual seperti ini menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer dan lain sebagainya itu harus diindahkan bersama dengan Kitab Suci dan Tradisi. Oleh karena itu, dalam perspektif ini, kita mengatakan bahwa teologi memiliki tiga sumber (loci theologici), yaitu; Kitab Suci, Tradisi dan pengalaman manusia sekarang ini (konteks).
Kita menambahkan pengalaman/konteks pada sumber berteologi itu karena revolusi cara berpikir dan memahami dunia “kembali ke subyek yang mencuat pada permulaan zaman moderen”. Kalau teologi klasik memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat obyektif, maka teologi kontekstual mengerti teologi sebagai sesuatu yang bersifat subyektif. Dikatakan subyektif dengan alasan bahwa pribadi manusia, terikat secara kultural dan historis sebagai sumber kenyataan, bukan sebagai obyektifitas yang disangka bebas nilai dan bebas budaya.
Sehubungan dengan hal itu, Charles Kraft mengatakan “selalu ada perbedaan antara realitas dan pemahaman manusia yang dikondisikan secara kultural atas realitas itu. Kita mengira bahwa realitas itu ada di luar sana, sementara mental tentang realitas yang ada dalam kepala kita itu diyakini sebagai yang paling riil bagi kita”. Perkataan ini mengandung arti bahwa realitas itu bukan semua yang ada di luar sana, tetapi justru ada di dalam dan realitas itu diperantarai oleh makna. Maksudnya makna yang kita berikan dalam konteks budaya kita, yang bisa ditafsir dan mengerti sesuai dengan horizon yang kita miliki. Misalnya, orang Amerika menyebut padi-nasi dengan nama rice, sementara suku bangsa yang lain mempunyai nama yang berbeda sesuai dengan cara pandang kultur mereka.
Semua penjelasan di atas mengandung arti bahwa konteks kultural dan historis mempunyai peranan yang meyakinkan akan terbentuknya realitas di mana kita hidup. Demikian juga dengan konteks kita mempengaruhi pemahaman kita akan Allah dan ungkapan iman kita. Karena hal ini, maka untuk melihat pentingnya teologi kontekstual ini, kita belajar dari Henri Bouillard. Ia pernah mengatakan bahwa sebuah teologi yang tidak selaras dengan zaman adalah palsu. Memang benar bahwa sebuah teologi yang tidak memantulkan zaman kita, kebudayaan kita dan keprihatinan-keprihatinan kita juga merupakan teologi palsu. Dalam hal ini, Charles Kratf juga berbicara tentang hal serupa bahwa teologi yang dipandang sebagai tidak relevan, maka dalam kenyataannya memang tidak relevan.
Pada zaman kita sekarang inilah para teolog semakin menyadari akan pentingnya konteks dalam menata pola pikir manusia dalam bingkai pewahyuan Allah. Maksudnya bahwa pola pikir manusia yang bisa mengakui tiga sumber untuk berteologi, yang sebenarnya bukan hanya sekedar menambahkan konteks sebagai unsur ketiga, tetapi juga sebaliknya kita justru mengubah keseluruhan perbandingan.
Kalau kita mengakui betapa pentingnya konteks bagi teologi, maka kita juga mengakui akan pentingnya konteks itu sendiri demi pengembangan Kitab Suci dan Tradisi. Pengakuan ini bertolak dari keyakinan akan tulisan-tulisan Kitab Suci dan Tradisi yang memang bukan jatuh dari langit. Artinya bahwa semuanya itu dihasilkan oleh manusia dalam konteks kehidupan mereka. Oleh karena sadar akan pengalaman ini, maka kita juga perlu membaca dan menafsirkannya dalam konteks kita sendiri.
Sejalan dengan apa yang di katakan di atas itu, berteologi secara kontekstual berarti secara serentak memperhatikan dua hal sekaligus, yaitu; Pertama, menghiraukan pengalaman iman masa lampau yang terekam dalam Kitab Suci dan dijaga agar tetap hidup dan dibelah. Kedua, menghiraukan teologi kontekstual secara sungguh-sungguh dengan mengindahkan pengalaman masa sekarang (konteks aktual). Sementara teologi harus setia kepada pengalaman dan konteks masa lampau secara utuh, agar ia menjadi teologi yang otentik. Hal ini bisa menjadi mungkin, jika apa yang telah diterima itu sungguh-sungguh diambil dan dijadikan sebagai milik kita sendiri. Oleh karena itu, proses tersebut perlu lalui saringan pengalaman kolektif-kontemporer kita sendiri. Hal ini berarti bahwa kita tidak meneruskan dan mengakuinya sebagai milik kita sendiri tanpa melalui proses saringan.
Pengalaman yang dimaksud di atas berkaitan dengan sajian ragam realitas yang berlainan, seperti; Pertama, konteks berbagai pengalaman tentang kehidupan pribadi seseorang atau kelompok tertentu. Isi pengalamannya bisa berupa; pengalaman keberhasilan, kegagalan, kelahiran, kematian, relasi dan lain sebagainya, yang memungkinkan orang untuk mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya. Kedua, pengalaman personal dan komunal yang dimungkinkan dalam kebudayaan, yaitu; sistem kosepsi warisan yang diungkapkan dalam bentuk simbolik. Hal yang dimaksud di sini berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan, yang selama hidupnya dikomunikasikan, lestarikan dan kembangkan sebagai pengetahuan hidup untuk berperilaku terhadap sesama dalam hidup. Menurut hemat penulis, kebudayaan semacam ini bisa berciri “sekular” atau “religi”. Kebudayaan sekular yang dimaksud ialah kebudayaan seperti yang ada di Eropa, Amerika Utara, Selandia Baru dan Australia yang memiliki rupa-rupa nilai adat. Sedangkan kebudayaan religius yang dimaksud itu berupa kebudayaan yang ada di India, yang nilai-nilai budayanya terserap dalam simbol dan mitos dari sistem religius, seperti Hiduisme. Oleh karena kenyataan ini, maka tidak dianjurkan untuk semuanya dikontekstualisasikan. Sebab kita juga perlu pahami dan hargai agama bangsa lokal seperti itu.
Sejalan dengan penjelasan di atas, para Uskup Asia terus berbicara tentang tridialog, yaitu; dialog dengan kaum miskin di Asia, dialog dengan kebudayaan-kebudayaan Asia dan dialog dengan agama-agama Asia. Ajakan dialog ini dengan alasan bahwa kedua segi terakhir ini merupakan acuan pengalaman tentang konteks sebagai kebudayaan.
Ketiga, konteks lokasi sosial seseorang atau satu komunitas. Dalam hal ini para teolog feminis dan pembebasan menekankan bahwa perbedaan tercipta karena seseorang itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, dari Amerika Utara atau Amerika Latin dan berada di pusat kekuasaan atau pingiran. Maka dalam konteks lokasi sosial seperti ini, kita bisa ajukan pertanyaan-pertanyaan yang baru dalam refleksi teologis. Jadi, ketika para teolog berteologi mereka harus akui dan tegaskan lokasi sosial itu sambil merangkulnya. Hal ini dilakukan agar hasil refleksi teologi tersebut bermakna dan menjawab kesenjangan konteks sosial tersebut.
Akhirnya, gagasan tentang pengalaman masa kini, yaitu; konteks perubahan sosial. Di zaman ini, segalanya mengalami perubahan yang drastis, baik itu perubahan positif maupun negatif. Perubahan ini berpengaruh juga pada kebudayaan-kebudayaan di setiap daerah yang memunculkan dua faktor, yakni; Pertama, dampak kultural dari modernitas bersama dengan berbagai revolusi yang dibawa serta oleh elektronis dan perluasan global kontemporer. Contohnya segala macam bahan moderen yang digunakan manusia di zaman ini. Kedua, sisi idealis modernitas yang mempunyai dampak di zaman ini. Dalam hal ini kita bisa mengerti bahwa banyak masyarakat yang selama ini diperintah oleh kekuatan-kekuatan opresif, kini mengakui hak-hak serta martabat mereka yang ditindas, yang juga terus berjuang membebaskan diri mereka.



Seluruh Penjelasan di atas Dapat Disimpulkan Melalui Gambar Berikut ini:

                                       Teologi Kontekstual

Pengalaman masa lampau                      Pengalaman masa sekarang
               (Teks)                                                       (Konteks)

 


 yang terekam dalam Kitab Suci;                     - Pengalaman Personal/Komunal
disimpan dan dibelah dalam Tradisi                - Kebudayaan
                                                                          - Lokasi sosial
                                                                          - Perubahan sosial
Berdasar pada semua uraian di atas, maka teologi dewasa ini harus mengindahkan semua segi konteks itu. Ia harus menyadari bahwa semua segi itu telah bergiat dalam mengembangkan kesaksian Kitab Suci serta kesaksian tradisi. Artinya bahwa semua itu merupakan titik tolak refleksi teologi dewasa ini. Gambar di atas melukiskan peran sentral pengalaman/konteks (masa lampau dan masa kini) dalam upaya berteologi.

Kontekstualisasi Sebagai Sesuatu Yang Tradisional
Kontekstualisasi sebagai sesuatu yang tradisional mengandung arti bahwa proses kontekstualisasi teologi ini bukan hal yang baru, tetapi sudah sangat lama dan memang semua teologi bersumber dari sebuah teologi yang kontekstual. Hal ini berarti setiap teologi yang autentik telah berakar sangat mendalam pada sebuah konteks tertentu, baik secara tersirat maupun secara nyata. Oleh karena kenyataan ini, maka kita dapat mengatakan juga bahwa kontekstualisasi merupakan dasar bagi semua teologi dan memang demikian. Bayangkan, Kitab Suci dan Tradiri Gereja yang adalah sumber iman Kristian ini pun lahir dari tradisi pada masanya sesuai dengan konteks saat itu. Demikian juga dengan penghayatan-penghayatan religius Kristiani yang lain, tentu juga lahir dari tradisi tertentu.
Mengenai pembuktian tentang hal itu dikemukan banyak temuan, tetapi di sini hanya memuat penegasan atas temuan-temuan yang dikemukakan itu. Jadi, memang tidak pernah ada  suatu teologi yang sejati, yang dirumuskan dalam sebuah menara gading tanpa acuan, lepas dari berbagai peristiwa, bentuk pemikiran, kebudayaan dan waktu tetentu. Semua lahir dari kenyataan seperti ini, maka kontekstualisasi memang sesuatu yang tradisional. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa teologi mesti kontekstual?

Mengapa Dewasa ini Teologi Mesti Kontekstual?
Ada dua faktor yang menunjukkan teologi dewasa ini mesti kontekstual. Kedua faktor itu adalah faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah peristiwa-peristiwa historis, aliran-aliran pemikiran, pergeseran-pergeseran budaya dan kekuatan-kekuatan politik. Sedangkan faktor internal ialah iman Kristen yang menunjuk pada kemungkinan dan keharusan berteologi seturut konteks. Selanjutnya faktor-faktor internal ini diyakini lebih penting dari pada faktor-faktor eksternal, meskipun ia ditonjolkan oleh eksternal dengan alasan bahwa ia langsung menunjuk pada imperatif kontekstual yang terdapat dalam agama Kristen. Maka selanjutnya akan dijelaskan kedua foktor ini secara terpisah berikut ini.

Faktor-Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal selalu memunculkan ketidakpuasan dalam pendekatan klasik terhadap teologi di dunia pertama dan dunia ketiga. Di dunia pertama, ragam filsafat klasik di masa lampau berfungsi sebagai landasan teologi kelihatan tidak senada dengan pengalaman kontemporer. Maka ada gerakan untuk mendasarkan teologi pada “pemikiran proses” dalam upaya berteologi yang sesuai. Di sini, beberapa teolog menggunakan wawasan dan kerangka kerja kaum eksistensialis, personalis dan filsafat bahasa. Sementara teolog lain meninggalkan pendekatan tradisional dengan melepaskan filsafat sebagai pijakan berteologi dan merancang teologi yang berdasar pada narasi, otobiografi/biografi dan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi. Kenyataan ini berarti bahwa pengertian teologi yang resmi telah mengalami tantangan di dunia pertama atas nama relevansi.
Selanjutnya ada beberapa pemahaman yang bisa memperjelas apa yang telah dikatakan di atas antara lain; orang-orang Kristen di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Oseania menyadari bahwa pendekatan tradisonal terhadap teologi tidak bermakna dalam kebudayaan dan bentuk pemikiran mereka sendiri. Dalam hal ini Raimon Pannikar, seorang filsuf dan teolog asal India pernah mengatakan bahwa orang-orang India tidak dapat menerima pemikiran filosofis barat yaitu, prinsif kontradiksi. Memang dalam kenyataan teologi tradisional sudah tidak sesuai dengan kebudayaan non barat lagi dan orang-orang kristen non barat melihat bahwa agama Kristen barat dipengaruhi oleh semangat pencerahan, yang berupaya melenyapkan rupa-rupa keyakinan, seperti sihir, penyembuhan gaib dan keberadaan roh-roh, yang adalah keyakinan utama dalam kehidupan religius banyak bangsa di Afrika, Asia, Karibea dan Amerika Latin. Inilah contoh mengenai bagaiman teologi tradisional telah menyebabkan rasa tidak puas.
Alasan eksternal kedua terhadap pertanyaan “mengapa teologi dipahami sebagai sesuatu yang pasti persifat kontekstual?” terletak pada ciri opresif[2] dari pendekatan-pendekatan yang lebih tua. Dalam meperjelas bagian ini, James Cone mengatakan bahwa teologi tradisional telah mengabaikan pengalaman orang-orang hitam dan menjadikan mereka tidak kelihatan serta tidak didengarkan. Demikian juga para teolog Amerika Latin menemukan bahwa teologi tradisional tidak menyuarakan pengharapan bagi kaum miskin yang tetindas di Amerika Latin. Malahan sering digunakan untuk membenarkan “status quo[3] kaum kaya dan berkuasa. Pengalaman ini berarti bahwa Teologi Barat, yang menekankan keselamatan dan moralitas individual telah mengacaukan kebudayaan-kebudayaan yang hanya mengakui individu dalam konteks kelompok. Pendekatan yang lebih tua terhadap teologi dipenuhi dengan pengandaian menyangkut superioritas kaum laki-laki dan menghasilkan kekacauan paham tentang Allah, kekacauan dalam berliturgi dan ketidakjelasan kedudukan kaum perempuan dalam pelayanan gerejani. Maka sikap yang tidak peka terhadap budaya dan perilaku seperti demikian itu telah dilucuti belakangan ini, dengan harapan menghadirkan kembali makna Kristen. Upaya ini berhasil memunculkan berbagai gerakan dan tekanan untuk menjadikan teologi dan praktek gerejani yang lebih sesuai dengan hal-hal posistif yang terdapat dalam setiap kebudayaan.
Pada dunia ketiga, bertumbuhnya jati diri Gereja-Gereja lokal memberi sumbangsih pada pengembangan teologi yang sungguh bersifat kontekstual. Hal yang mulai diketahui berkat kesadaran negara-negara di Afrika dan di Asia ialah bahwa terdapat nilai-nilai dalam kebudayaan mereka yang lebih baik dari pada pengaruh atau nilai-nilai budaya yang telah mereka alami dari bangsa-bangsa penjajah. Mereka bahkan memiliki rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk melakukan segala sesuatu seturut cara mereka sendiri.
Ketiga faktor eksternal itu memuat sebuah faktor keempat, yaitu pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer. Di sini Bernard Lonergan membedakan paham kebudayaan klasik dan paham kebudayaan empiris. Menurut kebudayaan klasik, hanya ada satu kebudayaan yang bersifat universal dan abadi. Dalam kebudayaan seperti ini, pribadi yang berkebudaya mengembangkan dirinya berdasar pada prestasi-prestasi agung manusia di barat. Sementara itu, paham kebudayaan empiris merumuskan kebudayaan sebagai seperangkat makna dan nilai yang memberi tahu suatu cara hidup. Walaupun demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu yang terdapat di luar sana, melainkan ada dalam diri setiap orang yang berbudaya oleh karena ambil bagian di dalamnya. Menurut Lonergen, teologi mesti berfungsi sebagai suatu cara, agar agama itu bisa dipahami dalam sebuah kebudayaan setempat.
Faktor-faktor Internal
Faktor-faktor internal yang dimaksud itu berciri inkarnatif Kristen. Keinkarnatifan faktor internal ini diperkuat dengan kutipan “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3;16)”. Tekanan di sini adalah kehendak Allah membagikan diri-Nya kepada manusia dan mengundangnya masuk ke dalam relasi dengan Dia yang memberi kehidupan. Allah melaksanakan inkarnasi ini sesuai dengan konteks mausia, sehinggah manusia betul-betul memahami dan masuk ke dalam relasi-Nya yang memberikan kehidupan. Untuk itulah Allah menjadi manusia (Yoh. 1:14), dalam diri seorang pribadi Yesus, seorang Yahudi, Anak Maria, seorang laki-laki, yang memiliki tinggi badan tertentu, warna rambut tertentu, kepribadian tertentu dan lain sebagainya, yang juga bisa dipahami oleh manusia dan karenanya orang dapat berelasi dengan-Nya sebagai pemberi kehidupan.
Bertolak dari inkarnasi Allah itu, kita pun dituntut untuk melanjutkan proses inkarnasi pewartaan Injil, supaya pewartaan kita itu sungguh-sungguh menyetuh umat yang kita layani. Hal ini mengandung arti bahwa melalui diri kita, Allah mesti menjadi orang Asia, Afrika, hitam atau coklat, miskin atau kaya dan lain sebagainya. Inilah (inkarnasi Allah dalam diri Yesus) dasar yang membangkitkan keharusan agama Kristen dalam berteologi, agar pewartaan menjadi kontekstual. Mendukung hal ini, Rene Padilla mengatakan; Inkarnasi menyatakan pendekatan Allah dalam mewahyukan diri dan maksud-Nya. Memang Allah tidak meneriakkan pewartaan-Nya dari surga, tetapi Ia hadir dalam diri manusia di antara manusia yang lain. Maka kita percaya bahwa puncak pewahyuan Allah adalah Imanuel. Imanuel adalah Yesus, seorang Yahudi yang hidup pada abad pertama!
Faktor internal kedua adalah ciri sakramental dari realitas. Doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam gagasan-gagasan, melainkan juga dalam realitas nyata. Hal ini berarti di dalam Yesus, kita bisa berjumpa dengan Allah secara penuh. Menurut Edward Schillebeeckx, perjumpaan dengan Yesus adalah “Sakramen perjumpaan dengan Allah”. Oleh karena demikian, maka perjumpaan dengan Allah dalam diri Yesus diharapkan terus berlangsung di tengah dunia kita, melalui hal-hal konkrit. Sebagaimana perjumpaan dengan Allah lewat penuangan air baptis, menyantap tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur, lewat pengurapan minyak suci, lewat absolusi pengampunan dosa dan perutusan. Inilah saat memaklumkan iman dunia, penghuninya beserta tindakan-tindakannya adalah suci. Sehubungan dengan pemahaman ini, Luther berkata bahwa dunia itu selubung Allah dan firman Allah. Sementara menurut Gerard Manley Hopkins, “dunia itu tempat yang dipenuhi oleh kemuliaan Allah”.
Demikianlah ketika hal-hal biasa dalam kehidupan begitu transparan bagi kehadiran Allah, maka kita dapat berbicara tentang kebudayaan dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah, yang berkaitan dengan konteks sebagai yang sungguh-sungguh bersifat sakramental. Sebab diyakini bahwa karenanya Allah mewahyukan diri-Nya. Selanjutnya kebudayaan, pengalaman manusia dan sejarah mesti “dibongkar” kalau kita setia pada pemahaman agama Kristen sejati. Mengenai hal ini secara gambalang Stulmulle dan Donald Senior menunjukkan bahwa hakikat sakramental dari konteks tertentu bukalah sesuatu yang sama sekali baru. Keseluruhan arah gerak Kitab Suci adalah hal menafsirkan yang biasa, sekular, dipandang dari simbolisme religius. Inilah tugas berkelanjutan teologi, yaitu; menyingkapkan kehadiran Allah dalam sebuah dunia yang benar-benar sakramental.
Faktor internal ketiga adalah pergeseran pemahaman hakikat pewahyuan Ilahi. Bagian pergeseran ini, kita lihat sebagai faktor internal yang menentukan ciri kontekstual teologi. Sealur dengan penjelasan ini, dalam teologi sebelum Konsili Vatikan II, memahami pewahyuan pada umumnya sebagai kebenaran proposisional. Menurut Jose de Mesa dan Lode Wostyn, pewahyuan itu tampil dalam bentuk kebenaran-kebenaran abadi yang diturunkan kepada kita dari kristus dan para rasul. Secara konkrit, iman dipahami sebagai persetujuan intelektual terhadap kebenaran-kebenaran yang dimaksud. Semuanya ini ditata dan dipaparkan secara sistematis sebagai iman Katolik. Pemahaman pewahyuan Allah seperti ini dilihat sebagai hal membiarkan orang mengetahui bagian tertentu dari rahasia Allah, dunia, diri sendiri dan serapan kebenaran-kebenaran tersebut yang tidak membawa orang pada keselamatan. Maka model pemahaman pewahyuan Allah seperti ini telah berakhir dengan “kematian rasul terakhir”. Sehingga tidak ada pilihan lain, selain komunikasikan kebenaran-kebenaran tersebut dari satu angkatan ke angkatan berikut dan berupaya menyelami maknanya.
Meskipun demikian, teologi sesudah Konsili Vatikan II mulai mengubah penekanannya. Ia berbicara tentang pewahyuan dalam istilah-istilah yang bersifat personal. Dalam pemahaman yang baru ini, pewahyuan dimengerti sebagai tawaran dari Allah sendiri kepada manusia dengan sarana tindakan-tindakan konkrit dan simbol-simbol dalam sejarah serta kehidupan sehari-hari orang perorangan. Pengertian pewahyuan interpersonal seperti ini dipahami sebagai komunikasi diri Allah kepada manusia, yang mengerti iman sebagai sebuah tanggapan personal dan menyerahkan diri kepada Allah. Oleh karena pemahaman inilah, maka dalam Dekrit Konsili Vatikan II ditetapkan “Wahyu Ilahi”, yang kita baca dalam pewahyuan “Allah yang tidak kelihatan (Kol. 1:15; 1Tim. 1:17), karena cinta kasih-Nya yang melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat (Kel. 33:11; Yoh. 15:14-15) dan bergaul dengan mereka (Bar. 3:38), guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuan-Nya” (DV 2). Walaupun pewahyuan masih dipahami sebagai sesuatu yang sudah selesai dalam arti obyektif, seperti kata Rarl Rahner, dalam Kristus Allah telah menyatakan Ke-Allah-an secara tuntas, namun tindakan pewahyuan Allah juga dilihat sebagai sesuatu yang terus berlanjut. Sebab Allah senantiasa mewartakan diri-Nya kepada manusia dalam hidup mereka sehari-hari.
Apabila pewahyuan terus dipahami seperti itu, maka teologi hanya bisa dimengerti tebagai sesuatu yang tidak berubah dan tidak memiliki hubungannya dengan realitas budaya dan perubahan sosial. Maka diharapkan agar teologi itu benar-benar kontekstual, agar bisa dimengerti oleh manusia. Misalnya; pewahyuan kepada bangsa Israel itu hanya cocok utntuk orang yang berkebudayaan Ibrani dalan lain sebagainya.
Faktor internal keempat, ciri katolisitas Gereja. Ciri dalam agama Kristen yang menuntut pendekatan teologi kontekstual adalah katolisitas. Sebutan “katolik” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu; kata dan holos (seturut keseluruhan) dan mengacu pada jemaat Kristen yang merangkul semua, meliputi semua dan menerima semua. Menurut Avery Dulles, katolisitas itu mengisyaratkan bahwa “kepicikan dan partikularisme tidak mempunyai tempatnya sama sekali di dalam gereja Kristus yang sejati. Karena pendapat ini, maka agar layak menyandang gelar katolik, Gereja mesti peka terhadap rupa-rupa pencapaian yang sehat dalam setiap ras dan budaya, karena memang agama Katolik menaruh hormat pada nalar, kehendak, emosi, tingkat dan segi keberadaan manusia. Dengan kata lain bahwa Gereja katolik sungguh merangkul manusia karena ia melihat manusia beserta ras dan budayanya baik dan suci adanya. Gereja katolik adalah gereja yang teguh beriman akan wahyu Allah di dalam peristiwa Inkarnasi dan memiliki kepekaan akan sakramentalitas ciptaan. Selanjutnya katolisitas diterjemahkan sebagai universalitas, namun istilah ini kurang memuat makna kata yang pertama. Katolisitas tentu saja menjamin pelestarian keseluruhan Injil dan berjuang untuk hidup serta berkembang di seluruh pelosok dunia dalam setiap konteks budaya. Selain hal ini, pada saat yang sama pula ia mempunyai kekuatan untuk melindungi yang lokal dan partikular. Dengan demikian keseragaman dalam agama Kristen menuju kesatuan dalam keragaman.
Dengan polah teologi yang demikian setiap suku bangsa akan menemukan jati diri mereka dan menjadi gereja yang sejati. Dengan kata lain bahwa jika gereja terlibat dalam dialog yang intens dengan setiap kebudayaan, maka ia bisa menjadi saksi Yesus Kristus. Demikianlah dinamika katolisitas pada hakikatnya menuntut pendekatan yang kontekstual terhadap teologi.
Faktor internal keempat adalah Trinitas. Dalam agama Kristen, Trinitas mengharuskan kontekstualisasi. Maka dalam teologi kontemporer menyaksikan pembaruan dalam memikiran Allah Tritunggal dan menempatkannya pada pusat proses berteologi Kristen. Kemudian pemahaman kontemporer tentang Allah sebagai Trinitas adalah melihat Allah sebagai persekutuan tiga pribadi yang dinamis dan rasional, yang menurut kodratnya mesti ada dan bergiat di tengah dunia ini, seraya memanggil dan membujuknya masuk dalam kepenuhan relasi, yang oleh tradisi Kristen disebut “keselamatan”. Melalui kehadiran Roh dan sang logos, Allah berkarya demi keselamatan manusia dalam konteks budayanya, peristiwanya, penderitaan dan kegembiraannya. Ciri dialogis Allah ini merupakan sumber bagi katolisitas dan teologi yang mesti dirangkul oleh Gereja. Artinya bahwa para teolog Kristen harus berteologi secara kontekstual, karena Allah itu sendiri hadir dan bertindak secara kontekstual.   

PENUTUP
Bagian penutup ini dapat disimpulkan bahwa teologi dewasa ini, mesti kontekstual. Teologi yang kontekstual itu “teologi yang sesuai dengan konteks kebudayaan, peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian dan karakter suku bangsa tertentu yang menjadi penerima pewartaan Injil yang diwartakan, dengan harapan agar mereka dapat mengertinya dengan sempurna dan pengertian ini membawa mereka pada iman akan Allah yang memberi kehidupan dalam konteksnya dan yang akan memberi kehidupan kekal”.



[1] Pengertian kata “Imperatif” dalam kamus bahasa Indonesia adalah bersifat memberi perintah atau komando atau semacam tuntutan.
[2] Kata Opresif berasal dari kata Oppressive bahasa Inggris, yang artinya bersifat penindasan.
[3] Status quo berasal dari kata “in statu quo” dalam bahasa Latin, yang berarti kondisi yang ada saat ini. Secara negatif bisa berati anti perubahan.

0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT