Oleh Yeskiel Belau
|
Foto Umat Paroki St. Fransiskus Obano.
Dokumen Yeskiel Belau |
“Kita
Berdamai Dengan Tuhan Dan Segala
Ciptaan-Nya”. Demikian tema sentral Perayaan Paskah Tahun 2016 ini bagi kami
umat Paroki St. Fransiskus Obano. Tema ini lahir dari diskusi mendalam bersama
tua-tua adat setempat dan para pewarta serta petugas Pastoral yang ada. Sejalan
dengan tema utama, peserta diskusi juga memilih sub tema “Kurban Dan
Kebangkitan Kristus Menjadi Kekuatan Kita Untuk Bersatu”.
Kedua
tema itu sangat sesuai dengan konteks kami saat ini di Paroki St. Fransiskus
Obano. Sebab konteks kami saat ini adalah sedang mempersiapkan upacara Rekonsiliasi Kampung, yang biasa kami
sebut dengan nama Witogai Kamuu.
Upacara yang sedang kami siapkan ini mempunyai tujuan yang sesungguhnya sudah
terungkap dalam tema tersebut. Memang kami sedang mengusahakannya supaya
selanjutnya kami berdamai dengan Tuhan dan segala Ciptaan-Nya. Sehingga pada
akhirnya persekutuan kami dengan sesama, leluhur, alam dan Tuhan terpancar dari
kampung kami sendiri.
|
Foto umat beserta ragam bibit tanaman
pada Miggu Malma.
Dokumen Yeskiel belau |
Dalam
konteks itu, seperti biasa Pekan Suci diawali dengan Minggu Palma. Perayaan
Minggu Palma ini kami rayakan sebagai Minggu bibit-bibit. Minggu bibit-bibit
yang jatuh tanggal 20 Maret ini, kami lakoni dengan tema khusus “Mee Umina Gaipeu Maida Make Ekowai” (bekerja
untuk menghidupi banyak orang). Perayaan yang diawali dari depan Emawaa Maipai Wiyai ini, betul-betul
diramaikan dengan bibit-bibit tanaman.
Dalam
perayaan itu, Pastor Maipai Pr.
mengajak umat untuk menyadari diri sebagai petani yang termulia di hadapan
Allah. Sebab dengan kariernya, para petani turut ambil bagian dalam karya
penciptaan Allah (Ugatamee). Juga
bersyukur kepada Ugatamee, dengan
mengangkat apa yang senantiasa menghidupkan kami (bibit-bibit) atas kebaikan
dan kesediaan-Nya masuk ke dalam hidup dan hati para petani sebagai Raja. Bibit-bibit
tanaman yang dikumpulkan itu juga merupakan lambang persembahan keutuhan diri
para petani bagi Sang Raja, yang memasuki Yerusalem hidup dan hati para petani
termulia.
Bibit-bibit
tanaman lambang diri para petani, yang juga diangkat untuk menghormati Sang
Raja Damai itu terdiri dari bibit petatas (nota),
keladi (nomo), tebu (eto), bibit pisang, jagung, sayur lilin
dan sayur-sayur lain sebagainya. Katakan saja bahwa para petani sudah
menyiapkan semua jenis bibit yang ada di rumah dan kebun mereka. Maka Pastor
Paroki memohon Ugatamee memberkatinya
dengan berdoa, memberi berkat serta mendupai.
Sesudah
upacara pembukaan Minggu bibit di Emawaa
Maipai, umat yang dijuluki para petani termulian itu bersama pemimpin
perayaan berarak memasuki gedung Gereja. Sementara itu, para petani termulia
yang lain mengiringinya dengan tari-tarian khas budaya suku bangsa Mee. Dalam proses ini, para petugas lain
membentangkan dedaunan hijau di jalan yang akan dilalui, hingga di dalam
Gereja. Di dalam Gereja, mereka mengalasi jalan menuju panti Imam dan menghiasi
sekitar altar dengan dedaunan bibit-bibit tadi. Kemudian perayaan dilanjutkan
dengan Liturgi Sabda dan Ekaristi Kudus. Perayaan ini ditutup dengan berkat
meriah oleh Pastor Paroki dan nyanyian yang berciri khas suku bangsa Mee.
Perayaan
Kamis Putih, kami rayakan dengan bakar batu seekor babi seharga Tujuh Juta
Rupiah. Acara barapen ini dipimpin oleh Petrus Pigai dan selesai tepat pukul
06.00 Waktu Obano. Dengan selesainya acara ini, maka selanjutnya semua umat
yang terkumpul siapkan diri untuk mengikuti perayaan Kamis Putih di Aula Paroki
yang sudah disiapkan oleh Ibu Ance Pigai. Perayaan Kamis Putih dimulai jam
07.00 dan berakhir jam 11.30. Memang proses perayan ini cukup panjang, tetapi
bagi kami yang turut merayakannya terasa begitu cepat. Sebab bagian-bagian
liturgi yang kami lalui bernuansa budaya kami sendiri.
|
Foto Proses Perayaan Tobat.
Dokumen Yeskiel Belau. |
Liturgi
bagian awal: Sesudah kata pengantar Pastor mengajak umat untuk mengikuti
upacara pembasuhan kaki. Dalam upacara ini, setiap marga membawa air milik
mereka sendiri (air warisan nenek moyangnya) di kampung masing-masing, yang
sudah terisi di dalam tempayan asli hasil pertanian mereka. Air ini dibawa ke
depan altar oleh perwakilan umat dari masing-masing marga. Kemudian Pastor
memberkati air itu dan membasuh kaki mereka dengan airnya sendiri. Sesudah itu,
mereka yang sudah mengalami pembasuhan kaki, kembali ke tengah-tengah sesama
marganya dan membasuh kaki semua anggota marganya tanpa terkecuali. Demikian
juga saya dengan Bapa Pastor, kami saling membasuh kaki dengan air yang kami
siapkan sendiri dalam tempayan asli yang bulat (air ini kami bawa sendiri dari
Pastoran).
Sesudah
pembasuhan kaki, berikutnya kami lanjutkan dengan upacara pertobatan. Upacara
pertobatan berlangsung seperti ini: Air milik setiap marga tadi disumbang
seukuran tiga gelas, kemudian ditampung dalam sebuah baskom sedang yang
berwarna putih dan di siapkan di depan altar. Tahap kedua, gusung seekor ayam
kampung yang berbuluh warna puti ke hadapan Pastor. Tahap ketiga, ayam itu dan
bahan pembuat api tradisional (mamo) diberkati oleh Pastor dengan doa singkat.
Tahap keempat, ayam itu dikorbankan dan darahnya dicampurkan dengan sumbangan
air tadi. Sementara proses ini berlangsung, petugas sudah memasang api dengan
mamo tadi di depan altar. Sesudah semua materi tersedia, maka tahap kelima umat
berarak maju ke depan dengan membawa sebuah kertas, yang bertuliskan susunan
dosa-dosa. Sesudah berhadapan dengan air dan darah ayam yang digabungkan itu,
mereka mencelupkan kertas tadi ke dalam dan membakarnya di api yang tersedia di
situ. Umat yang sudah melalui proses ini kembali ke tempat semula dan minum air
milik mereka yang sudah diberkati tadi. Tahap keenam, Pastor membuat tanda
salib di dahi umat dengan air dan darah yang dipaduhkan itu, dengan kata-kata
absolusi. Tahap terakhir, Pastor memberi absolusi secara umum.
Sesudah
upacara pertobatan, kami melanjutkan dengan proses pembaruan janji baptis.
Dalam proses ini, Pastor berdialog dengan kami (umat) dan sejanjutnya perciki
umat dengan air berkat. Kemudian Liturgi Sabda, Ekaristi dan Ritus penutup berlangsung
seperti biasa, tetapi bagian paling terakhir kami mengadakan upacara
penghormatan Tubuh Kristus (Tuguran).
Prosesi upacara tuguran dimulai dari tempat perayaan (Aula) menuju Tabernakel
yang sudah disiapkan di dalam Gereja. Di depan Sakramen Mahakudus ini, setiap
marga datang berdoa secara bergilir sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan
para pewarta.
Dengan
selesainya seluruh Liturgi Perayaan Kamis Putih itu, maka sebelum kembali ke
rumah kami masing-masing, kami menikmati perjamuan malam bersama. Perjamuan yang
kami nikmati ini adalah makanan hasil barapen tadi, yang terdiri dari daging
babi, keladi, petatas, dan sayuran. Jenis-jenis makanan inilah yang pernah kami
santap bersama, sama seperti perjamuan Paskah Yesus bersama murid-murid-Nya di
Malam Terakhir itu.
Keesokan
harinya Perayaan Jumat Agung dilangsungkan. Prosesi perayaan ini dipandu oleh
Orang Muda Katolik (OMK) setempat, dengan Jalan Salib Hidup. OMK Paroki yang
sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari bersama Frater Yesi ini, berarak ke
arena titik star Jalan Salib, sesudah make
up dan kenakan busana khas tempur.
Dengan
melihat kesiapan para pemeran drama Kisah Sengsara Yesus itu, panitiaa dan para
pewarta dibawah pimpinan Pastor Paroki pun segera mengarahkan seluruh umat ke
titik star Jalan Salib yang sama. Dan, tepat pukul 02.15 Waktu Obano, para
pemeran Jalan Salib maupun umat yang akan memaknai peristiwa itu telah siap di
tempat. Oleh karena itu, kami langsung memulainya dari perbatasan Desa Bado dengan Tipakotu.
|
Jalan Salib titik awal pada Jumat Agung.
Foto Theodorus Pigai. |
Drama
Jalan Salib dimulai dengan adegan pertama. Pada adegan ini, Yesus yang
diperankan oleh Theodorus Pigai yang
juga memiliki rambut, kumis dan wajah yang mirip dengan Yesus serta
murid-muridnya yang berbusana jubah putih itu sudah mulai berdialog. Sementara
itu Yance Keiya yang berperan sebagai
Yudas itu menghindar Yesus dan teman-temannya, menuju ke arah Imam besar serta
berdialog untuk menjual gurunya.
|
Foto Pemeran Imam Besar
dan para prajuritnya. Theo Foto. |
Sesudah
mendapat sejumlah uang dari Imam besar, Yudas pun datang bersama dengan para
pasukan menghampiri Yesus dengan murid-muridnya untuk menangkap Yesus. Setelah
Yesus ditangkap, para pasukan prajurit membawa Yesus ke hadapan Makamah Agama
dan usai menginterogasinya, ia di kirim lagi ke Pilatus. Selanjutnya Pilatus
yang diperankan oleh Stevanus Pigai
mengadili Yesus dan akhirnya ia menjatuhkan hukuman mati terhadap Yesus, atas
desakan warganya yang semakin riuh dengan teriakan “salibkan dia, salibkan dia dan salibkan dia”. Saat itu, mereka
yang berperan sebagai rakyat berteriak serentak dengan bahasa daerah setempat.
Mereka berteriak “Wagii…Wagii…Wagii…”.
|
Foto pemeran Yesus dihadapkan
pada pemeran Pilatus. Theo Foto. |
Keputusan
Pilatus itu diterima baik oleh para pasukan prajurit dan mereka mulai
melancarkan penyiksaan yang kejih terhadap Yesus, seperti jalan salib
sungguhan. Penyiksaan terhadap Yesus terus dilancarkan dengan mengikuti seluruh
perhentian yang sudah disiapkan di samping kiri dan kanan jalan raya. Sementara
itu seluruh umat yang sudah berbusana budaya maupun berbusana modern mengikuti
dalan salib hidup ini dengan amat teratur dari belakang. Demikian juga para sutradara
(kameramen) dibawah pimpinan Bapak Anton
Pigai yang ditugaskan oleh sekertaris dewan Paroki, Vitalis Pigai pun menyibukkan diri dengan pengambilan gambar dari
seluruh arah.
|
Foto pemeran Yesus disalibkan.
Foto Theodorus P. |
Proses
jalan salib terus dilanjutkan hingga sampai di bukit Obay yang menjadi tempat penyaliban Yesus dengan dua penjahat lain
yang diperankan oleh Davit dan Marthen Pigai. Proses penyaliban
dilakukan tepat pukul 02.50 sore. Dalam keadaan tergantung di kayu salib, Yesus
dengan kedua penjahat itu berdialog sesuai dengan peran mereka sendiri-sendiri.
Sementara itu, para prajurit pun mengolok-olok Yesus sesuai dengan apa yang tertulis
dalam Kitab Suci. Proses ini kelihatannya agak lama dan waktu tinggal lima
detik jam 3, maka saya lantas memberi kode kepada tokoh Yesus supaya ia segera
menyerahkan nyawanya kepada Bapanya. Memberian kode ini ditanggapi dengan
cerdik oleh tokoh Yesus, kemudian ia berkata: “Ya Bapa, Kedalam Tangan-Mu Kuserahkan
Nyawaku”. Sesudah berkata demikian, ia menundukkan kepala dan wafat di kayu salib tepat jam 3 sore.
|
Foto pemeran Maria dan sahabat-sahabatnya
yang meratapi Jenazah Yesus.
Foto Anton Pigai. |
Dengan
melihat Yesus sudah wafat di salib, maka bapak Millem Boma dengan pewarta Kombas Idetaka yang berbusana koteka itu mengalaskan mazmur ratapan, yang
bercirikhaskan budaya Mee (Uga). Usai mazmur ratapan ini, mereka
mengurbankan seekor bebek sumbangan bapak Nikho
Pigai di depan, lalu darahnya ditumpahkan di bawah setiap salib yang sudah didirikan
mulai dari salib Yesus. Proses ini berakhir, maka para prajurit menurunkan
jenazah-jenazah itu dari salib dan jenazah Yesus diletakkan di pangkuan Maria.
Sementara itu, kelompok mama-mama pun mendekati Maria dan bersamanya meratapi
jenazah Yesus sama seperti kebiasaan ratap mereka saat orang meninggal. Mama-mama
selagi ratapan, umat yang hadir pun turut menundukkan kepala dan merenungkan
semua itu. Proses ratapan ini berlangsung selama 10 menit dan berakhir. Tidak
lama kemudian, bapak Nikho Pigai
tampil membawakan Madah Pujian Salib, dengan gaya khasnya yang amat puitis
serta memukau hati para umat, lalu mengakhirinya dengan kata amin. Dengan
berakhirnya pujian ini, maka berakhirlah juga seluruh proses Jalan Salib hidup
itu.
|
Foto umat saat memberikan
penghormatan kepada Salib Yesus.
Fofo Yeskiel Belau. |
Ritus
selanjutnya kami mengikuti perarakan Salib dan menghormatinya dengan cara
mencium Salib Kristus. Upacara perarakan dan penghormatan Salib Kristus ini
terjadi di tempat yang sama, yaitu; tempat penyalibab tokoh Yesus tadi. Di sini
semua umat maju dan menghormati Salib sambil membawa amplop APP dan mengisinya
di dalam noken yang sudah disiapkan. Proses ini berlangsung di alam terbuka
dengan amat lancar, lagi pula cuaca saat itu cukup mendukung (cerah). Proses
ini pun berlalu dengan saksama, maka berikutnya kami bangkit berdiri dan
mendoakan “Doa Bapa Kami” dan teruskan dengan sambut Komuni Kudus serta menerima
berkat penutup dari Pastor Paroki, Pastor Sebastianus
Pr. Akhirnya keseluruhan Perayaan Jumat Agung ini ditutup dengan lagu
penutup oleh umat dari Stasi Waipa.
Perayaan
Malam Paskah dan Hari Raya Paskah pun kami rayakan dengan penuh suka cita dalam
nuansa budaya kami. Penjelasan mengenai kedua perayaan ini bersambung! Semoga Kurban
dan Kebangkitan Kristus Menjadi Kekuatan Kita Untuk Bersatu padu dalam “Kasih
Bapa, Putera dan Roh Kudus”. Amin.