Video Of Day

Subscribe Youtube

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, 24 January 2019

PERKAWINAN ADAT SUKU MIGANI DALAM TERANG HUKUM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK

Gambar Ilustrasi - Bunga khas Daerah Orang Migani
(Dok. Yeskiel Belau)
Abstrak
Dalam tulisan ini saya telah membahas topik tentang perkawinan adat suku Migani dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Topik ini dibahas di sini dengan tujuan menggali sistem perkawinan adat dalam budaya orang Migani apa adanya dan melihatnya dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, sehingga tampaklah perkawinan adat orang Migani yang sungguh diterangi oleh Hukum Perkawinan Gereja Katolik, yang bisa membantu orang Migani menghayati perkawinan secara lebih sempurna. Dalam proses mengusahakan tujuan ini, saya telah mengunakan metode studi pustaka dengan pendekatan ilmu Antropologi Budaya serta Eklesiologi, secara khusus Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Dengan bantuan metode dan pendekatan ilmu-ilmu ini, saya telah menemukan sistem perkawinan adat orang Migani yang khas dan yang telah diterangi oleh Hukum Perkawinan Gereja katolik.
Kata Kunci: Perkawinan, Adat, Migani, Hukum, Gereja, Menerangi.
1. PENDAHULUAN
Sistem perkawinan adat dalam kebudayaan Suku Bangsa Migani tentu mempunyai kesamaan-kesamaan dengan sistem perkawinan adat dalam kebudayan suku bangsa yang lain. Keberadaan kesamaan perkawinan yang dimaksud berhubungan dengan hakikat perkawinan itu sendiri. Sementara cara semua suku bangsa menuju hakikat perkawinan itu mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, orang-orang yang mendiami Wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga – Papua, mempunyai sistem perkawinannya sendiri yang khas sebagai satu suku bangsa (Suku Migani). Maka sistem perkawinan khas menurut suku bangsa Migani inilah yang akan saya bahas dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, yang juga telah mengangkat hakekat perkawinan yang sama dalam setiap sistem perkawinan adat dalam budaya semua suku bangsa.
Sehubungan dengan penjelasan itu, Hukum Perkawinan Gereja Katolik mulai bertolak dari Kanon 1055. Menurutnya perkawinan adalah sebuah perjanjian yang dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis oleh Kristus diangkat ke martabat sakramen[1]. Pengertian ini disederhanakan dengan melihat induk kalimat dan anak kaliman. Induk kalimatnya adalah “perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Sedangkan anak kalimat berkaitan dengan penjelasan mengenai perjanjian perkawinan, yaitu; “dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak”[2].
Pengertian perkawinan menurut hukum Perkawinan Gereja itu tidak lahir begitu saja dari dirinya sendiri, tetapi lahir dari refleksinya atas realitas perkawinan adat dalam setiap suku bangsa umatnya yang ia layani di dunia ini. Hal ini berarti bahwa Hukum Perkawinan Gereja Katolik itu mempunyai hubungan yang erat dengan sistem perkawinan  adat dalam semua budaya manusia, termasuk budaya orang Migani. Oleh karena alasan ini, maka untuk lebih menyempurnakan sistem perkawinan adat yang terdapat dalam kebudayaan orang Migani, saya menulis tulisan ini dengan tujuan mendalami sistem perkawinan adat menurut orang Migani dan melihatnya dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, sehingga hasilnya dapat menyempurnakan sistem perkawinan adat orang Migani itu.
Mewujudkan tujuan itu, saya akan memulai dalam tulisan ini dengan Gambaran Umum Tentang Orang Migani, Perkawinan Adat Menurut Orang Migani, Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik, Perkawinan Adat Orang Migani Dalam Terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik dan Penutup yang berisi tentang Kesimpulan dari tulisan ini. Kemudian saya beri catatan di sini bahwa tulisan-tulisan tentang orang Migani yang menggunakan istilah moni, seperti buku Nenu Tabuni dan Skripsi Natalis Tabuni yang saya jadikan sumber tulisan ini saya ganti dengan istilah "MIGANI", dengan alasan bahwa kami hendak menghapus istilah moni dan gunakan istilah Migani sebagai jati diri kami yang sesuai dengan kehendak Allah. 

2. GAMBARAN UMUM TENTANG ORANG MIGANI[3]
Suku Migani adalah salah satu suku bangsa Papua, yang mendiami di empat wilayah besar di Papua, yaitu; Dogandoga, KemandogaMbiandoga, Kabupaten Intan Jaya dan Weandoga Kabupaten Paniai, Provinsi Papua. Orang-orang yang bersuku bangsa Migani ini menyebut batas-batas wilayahnya dengan istilah Mbulu-mbulu sampai Magataga[4]. Tanah air orang Migani ini baru mengenal dunia luar pada tahun 1952 dengan kehadiran para Misionaris Katolik dibawah pimpinan Pater Misael Kammerel OFM dan Protestan dibawah pimpinan Pendeta Bill Cutt tahun 1954[5].
Perjumpaan itu semakin membuka cakrawala dunia orang Migani dan dari waktu ke waktu mereka menyaksikan dan mengalami era globalisasi. Pada tahun 1970-an, Pemerintah Kabupaten Paniai membuka Kecamatan Sugapa (Dogandoga) dan Homeo (Kemandoga-Mbiandoga)[6]. Pada 29 Oktober 2008, Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto berhasil meresmikan wilayah itu sebagai Kabupaten Intan Jaya[7]. Kabupaten yang baru diresmikan ini terdiri dari enam (6) Distrik dengan tiga puluh enam (36) Desa[8]. Pada tahun 2013 Kabupaten Intan Jaya memekarkan empat (4) Distrik baru lagi yakni; Bugalaga, Ugimba, Bali-Bali dan Nabia. Dengan demikian wilayah orang Migani itu memiliki sepuluh (10) Distrik dengan delapan puluh enam (86) kampung atau desa[9].
Secara geografis Kabupaten Intan Jaya berada di wilayah pegunungan tengah dengan ketinggian kurang lebih 2.500 meter dari permukaan Laut. Luas wilayah kurang lebih 13922 km, dengan jumlah penduduk kurang lebih 90.045 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 47.963 jiwa dan perempuan sebanyak 42.082 jiwa. Suhu udara maksimumnya ialah 25.02 derajat Celsius dan minimum 12.15 derajat Celsius. Juga dengan suhu tertinggi terjadi pada April yaitu 28.8 derajat celsius, sedangkan suhu terendah terjadi pada September yakni 9.2 derajat celsius. Dengan demikian pada bulan September terjadi curah hujan yang tinggi dan curah hujan terendah pada bulan Desember[10].
Seiring dengan itu tekstur tanah di daerah tersebut berbukit-bukit dan berbatuan yang diselilingi oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi. Dengan kenyataan itu, maka daerah Intan Jaya jarang menemukan permukaan tanah datar yang luas. Kenyataan ini berarti bahwa di daerah Intan Jaya tidak terdapat pantai dan lembah yang luas[11]. Oleh karena itu, orang Migani sudah terbiasa mendirikan rumahnya di lereng dan bukit curam tersebut. Maka itu tidak heran jika di Intan Jaya terdapat gunung Cartenz atau Gresberg yang dalam bahasa Migani disebut Mbainggela Pigu[12]. Selain gunung-gunung yang menjulang tinggi, terdapat juga beberapa sungai seperti; Dogabu, Wabu, Kemabu, Baiabu, Soneabu dan Mbailabu[13].
Batas-batas wilayah Kabupaten Intan Jaya adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Kirihi Kabupaten Waropen, di sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Deufo, Distrik Beoga, dan Distrik Ilaga Kabupaten Puncak, di sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Tembagapura Kabupaten Mimika, tepatnya di Distrik Sugapa, Desa Ugimba yang berdampingan dengan puncak Cartenz dan sebagian lagi berbatasan dengan Distrik Duma-Dama Kabupaten Paniai, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Bogobaida/Magataga Kabupaten Paniai dan Distrik Napan Kabupaten Nabire[14].
Dengan dasar gambaran umum seperti itu, maka selanjutnya kita dapat mengatakan bahwa orang Migani yang berdomisili di geografi seperti itu berada sebagai salah satu suku bangsa Papua yang memiliki kebiasaan-kebiasaan khasnya sendiri untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan di sekitarnya demi mempertahankan hidup mereka. Kebiasaan-kebiasaan mereka seperti yang dimaksud inilah yang kita sebut sebagai kebudayaan mereka. Oleh karena kenyataan ini, maka kita juga mengakui bahwa orang Migani adalah suku bangsa yang berbudaya. Sebagai suku bangsa yang berbudaya, tentunya mereka pun mempunyai kebiasaan hidup dalam menghayati nilai-nilai luhur dalam budayanya. Salah satu kebiasaan mereka yang memiliki nilai luhur adalah sistem perkawinan adat. Maka sistem perkawinan adat inilah yang akan dijelaskan secara khusus dalam tulisan ini.

3. PERKAWINAN ADAT SUKU MIGANI
Perkawinan adat dalam bahasa daerah orang Migani disebut “Mina-Dutia”. Istilah Mina-Dutia ini terdiri dari dua kata, yaitu; Mina dan Dutia. Kata Mina artinya wanita dewasa. Sedangkan Dutia artinya ambil atau mengambil. Maka dalam konteks perkawinan adat suku Migani, perkawinan dimengerti sebagai mengambil seorang wanita dewasa oleh seorang pria dewasa sebagai istrinya. Pria dan Wanita dewasa yang hendak menjadi suami-istri ini tentu sesudah mendapat persetujuan pihak keluarga mereka masing-masing dan atas kesediaan mereka sendiri untuk menjadi seorang suami dan seorang istri yang baik.
Tradisi seperti itu telah membudaya dalam hidup perkawinan orang Migani di tanah air Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga. Tradisi perkawinan yang selalu terjadi di tanah ini, mula-mula hanya diketahui oleh orang dewasa saja. Sementara anak-anak muda, remaja dan mereka yang sedang beranjak ke usia dewasa tidak diperkenangkan mengetahuinya. Apalgai ikut campur dalam urusan orang-orang dewasa dalam hal perkawinan. Mengenai penjelasan ini, ada semacam aturan dalam budaya orang Migani yang bertugas mengawal segala aktifitasnya, sehingga muda-mudi orang Migani menikmati masa mudanya sambil biasakan diri dengan berpikir baik, berkata sopan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik sebagai bekal kehidupannya ke depan. Tahap ini juga merupakan tahap terpenting untuk membangun dasar hidup yang kokoh bagi generasi orang Migani.
Sesudah generasi orang Migani semakin kokoh dengan pengetahuan-pengetahuan budayanya melalui proses seperti itu, selanjuntnya mereka dididik secara khusus oleh setiap orang tua. Biasanya  seorang pria dididik secara khusus oleh ayahnya sendiri dan seorang gadis dididik oleh ibunya. Pendidikan yang diajarkan tentunya melalui berbagai cara, baik dengan cara berkata-kata (memberi nasehat) maupun tanpa kata-kata (dengan perbuatan). Seorang pria akan belajar dari ayahnya untuk menjadi seorang ayah yang tangguh di masa yang akan datang. Ia belajar dari ayahnya membuat rumah, membuat kebun (pagar), menanam, menjalin relasi yang baik dengan sesama, mampu berburuh dan lain sebagainya. Demikian juga seorang wanita belajar dari ibunya untuk menjadi seorang ibu yang tangguh pula di masa yang akan datang. Seorang wanita belajar berkebun, menanam, memanen, menghidangkan dan melayani sesama dari ibunya. Sementara pendidikan dengan kata-kata (memberi nasekat) selalu terjadi di Nduni (rumah laki-laki) dan Minai (rumah khusus perempuan). Lain dengan pendidikan tanpa kata-kata yang selalu terjadi di luar rumah dengan kegiatan-kegitan seperti yang disebutkan itu.
Selanjutnya Generasi orang Migani yang telah melalui tahap-tahap seperti itu dinyatakan telah lulus, maka ia bisa membangun keluarganya sendiri. Untuk membangun keluarganya sendiri, seorang pria yang telah memasuki usia dewasa mesti terlebih dahulu menyiapkan rumah, kebun dan belis. Rumah sebagai tempat tinggal (istirahat) dia dengan istrinya. Kebun sebagai tempat memperoleh makanan untuk mereka. Sementara belis sebagai bahan membayar maskawin perempuan. Soal belis ini, biasanya dalam kebudayaan orang Migani menggunakan kulit biah beberapa tingkat, babi dan uang. Tanpa persiapkan ketiga hal ini, pria yang hendak menikahi seorang wanita pasti akan ditertawain warga, bahkan keluarganya pun bisa mengusir mereka dari rumah, walau dalam hal belis tanggung jawab bersama. Namun pria yangg dimaksud ternyata telah menyiapkan semua itu, makan ia bisa menikahi seorang gadis dewasa dan tentunya mendapat dukungan dari sesamanya.
Sehubungan dengan seluruh penjeasan itu, dalam kebudayaan orang Migani terdapat beberapa jenis perkawinan. Jenis-jenis perkawinan yang dimaksud ini bisa dipilih oleh seorang pria dan wanita dewasa, yang telah siap menuju perkawinan mereka. Maka berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis perkawinan yang dimaksud dalam kebudayaan orang Migani.
1. Perkawinan Dijodohi Orang Tua
Perkawinan yang dijodohi oleh orang tua pihak laki-laki dan pihak perempuan sudah sangat membudaya dalam kehidupan orang Migani sejak masa nenek-moyang. Jenis perkawinan yang sudah membudaya seperti ini lazim sekali terjadi dalam kebudayaan orang Migani dan cerita tentangnya demikian; Pada waktu yang tepat, orang tua pihak laki-laki mendatangi rumah orang tua pihak perempuan dan menjelaskan tujuannya bahwa ia mempunyai keinginan untuk menjodohkan putranya dengan putri dari orang tua anak perempuan yang dikujungi itu sambil menceritakan tentang semua kesiapan putranya, kesediaan pihaknya membayar maskawin (belis) dalam bentuk kulit bia, babi dan barang-barang berharga lain secepat mungkin. Mendengar penjelasan seperti ini, orang tua pihak perempuan akan bermenung sejenak dan menanggapi dengan mempertimbangkan banyak sisi, seperti; relasi sosial di antara mereka dengan melihat, apakah pernah ada masalah sebelumnya di antara mereka, apakah keluarga itu baik, apakah mereka mampu membayar belis dengan tuntas tepat waktu, apakah keluarga itu mampu menjaga dan menjamin kehidupan anak perempuannya dengan baik dan lain sebagainya. Jika semua pertimbangan ini tidak terpenuhi, maka pasti permintaan itu akan ditolak oleh pihak perempuan dengan alasan masuk akal yang tidak membuat pihak pemohon tersinggung dan menimbulkan ketidak-sukaan di antara mereka. Namun jika semua yang dipertimbangkan itu terpenuhi sebagaimana yang diharapakannya, maka pihak keluarga perempuan akan menerima permintaan pihak orang tua laki-laki itu dan langsung menanyakan kesediaan putrinya.
Selanjutnya ketika putrinya bersedia, maka ia akan mempersilahkannya untuk pergi bersama dengan orang tua pihak laki-laki tadi ke rumah calon suami. Namun jika ia meragu-ragukan bahkan tidak setuju, maka orang tua akan memilih menghantarnya sendiri ke rumah calon suami. Pilihan seperti ini dengan pertimbangan akan adanya kemungkinan perempuan itu melarikan diri dari tengah jalan atau bunuh diri dengan menggantungkan diri, bisa juga membuang diri ke jurang, ke dalam kali besar seperti Kemabu dan Dogabu dan lain sebagainya, hanya karena ia tidak menginginkan menjadi istri dari laki-laki yang dijodohkan oleh orang tua kedua bela pihak itu. Dalam tradisi orang Migani kebiasaan seperti ini sudah biasa terjadi, maka untuk menghindari hal seperti ini orang tua biasanya lebih hati-hati dan menghantarnya sendiri ke rumah calon suami.
Sesudah sampai di rumah calon suami, orang tua pihak laki-laki akan adakan acara sambut anggota keluarga yang baru yang biasa disebut “Mina Buga Mindia” dengan bakar batu (barapen) sesuai dengan tradisi orang Migani. Usai acara ini, keesokan harinya kedua bela pihak duduk bersama dan pihak keluarga laki-laki menyerahkan maskawin (belis) dalam bentuk kulit bia, babi dan harta benda lainnya sesuai dengan perjanjinya saat melamar anak mereka. Jika semua itu sesuai, maka pihak keluarga perempuan akan menerimanya dan kembali ke rumah sesudah memberikan nasehat terkahir (khusus) kepada anak perempuan bahwa mereka sudah menerima belis sebanyak itu, maka berharap ia hidup di tempat yang baru itu sebagai istri yang baik, yang juga merupakan tanda menjaga nama baik keluarga. Namu jika semua harta itu tidak sesuai dengan perjanjian, maka mereka tidak akan mengambilnya dan mengatakan kepada pihak laki-laki bahwa silahkan persiapkan hingga memenuhi apa yang sudah pernah dijanjikan dalam kurun waktu tetentu. Sesudah mengatakan demikian pihak keluarga perempuan bisa kembali ke rumah mereka. Penjelasan bagian akhir ini berarti bahwa perkawinan jenis ini tidak harus membayar belis sekali atau secepatnya. Pembayaran belis bisa dilakukan kapan saja, sesuai dengan kesepakatan mereka saat melamar, juga dengan pertimbangan kemampuan finansial pihak laki-laki.  
2. Perkawinan Bersarkan Harta Kekayaan
Dalam kebudayaan suku Migani tedapat juga jenis perkawinan berdasarkan harta kekayaan. Maksud jenis perkawinan ini adalah bahwa pihak orang tua perempuan yang ingin miliki kekayaan tertentu, ingin berbisnis (muna), ingin menjadi kaya (sonowi) atau yang terjepit oleh keberadaan suatu masalah dalam keluarganya yang harus diselesaikan, mendatangi orang yang mempunyai harta kekayaan dan mawarkan anak putrinya supaya dinikahi dan kepadanya diberikan harta yang ia butuhkan (ini satu sisi). Di sisi lain, orang yang mempunyai harta kekayaan itu mendatangi keluarga pihak perempuan lantas menyerahkan harta kekayaan sebanyak mungkin dengan catatan bahwa kepadanya diberikan anak perempuan mereka yang ia sukai.
Harta kekayaan yang telah didapatkan oleh orang tua pihak perempuan itu merupakan tanda positif untuk menyerahkan anaknya kepada pihak laki-laki untuk dijadikan sebagai istrinya atau istri anak-naknya sesuai dengan tujuan awal dari pihak pemilik harta. Selanjutnya orang tua perempuan menyerahkan anaknya kepada pria yang mempunyai harta tadi dan ia mengaturnya sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini, jika usaha itu dengan tujuan menjadikan wanita tersebut sebagai istrinya sendiri, maka ia akan menjadikannya sebagai istrinya. Namun jika sejak awal ia rencanakan untuk salah satu anaknya atau salah satu dari saudaranya yang belum menikah, pasti ia serahkan kepadanya dengan baik. Jenis perkawinan seperti ini biasanya melakukan pembayaran belis itu sebelum perempuan menuju ke rumah suami. Pihak keluarga perempuan bisa menerima dari mana saja, bisa dirumanya sendiri, bisa juga di tempat lain. Model ini biasa disebut “Kigi Hanepama Mindia” artinya “belis langsung bayar lunas di tangan”. Sesudah menerima harta kekayaan seperti ini, barulah kedua bela pihak mengurus anak perempuan itu.
Sehubungan dengan hal itu, perempuan yang dewasa dan yang telah memahami konteks keluarganya dengan baik serta menaruh keprihatinan yang besar, pasti akan mengikuti kemauan keluarganya demi kebaikan (keselamatan) anggota keluarganya. Dan, memang supaya seorang anak bisa sampai berpikir seperti ini, maka sejak masa muda ia dididik dengan baik oleh keluarganya lewat berbagai macam pendidikan baik lewat kata-kata maupun tanpa kata-kata lewat perbuatan-perbuatan orang tuanya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Perkawinan Melalui Seni Suara (Jamo Tegaya)
Dalam kebudayaan orang Migani terdapat jenis perkawinan melalui seni suara. Perkawinan melalui seni suara yang dimaksud ini selalu terjadi dalam kelompok para pria dewasa dan kelompok para wanita dewasa. Jenis perkawinan seperti ini biasa terjadi demikian; Awalnya bertolak dari seorang pria dewasa yang siap menikah. Kesiapannya ini mendorong dia untuk mencari tahu daerah manakah yang terdapat wanita dewasa yang siap menikah? Ia mencari dengan bertanya kepada sesama, mendengar cerita-cerita dari sesama, ia juga berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain dan melihat serta alami sendiri akan kenyataan yang hendak ia telusuri. Dan, biasanya upaya-upaya seperti ini membantu dia ketahui dengan baik bahwa di suatu tempat terdapat sejumlah wanita dewasa yang belum menikah, maka ia ingin menggugah hati mereka dengan nyanyian-nyanyian tradisi yang mempunyai ungkapan makna terdalam tentang kehidupan, tentang kerinduan terdalamnya, tentang kenyataan hidupnya yang sesungguhnya dan juga puji-pujian serta cintanya kepada wanita-wanita yang akan mendengarkannya.
Rencana pria dewasa seperti itu biasanya didiskusikan dengan semua pemuda seusianya maupun para orang tua yang bisa diajak di kampungnya. Sesudah diskusi, mereka pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari dan sesudanya sambil siapkan diri menerima resiko, mereka memutuskan untuk menuju ke rumah keluarga para wanita dewasa yang telah diketahui tadi. Namun sebelumnya, mereka harus lalui beberapa tahap persiapan seperti, lagu-lagu  yang mengandung nilai-nilai yang disebutkan tadi, baik lagu bersama (Jamo-Nggu Dia) maupun lagu solo (Miga Jamo Tegaia). Juga siapkan harta benda yang akan diserahkan kepada para wanita sambil menyanyikan lagu-lagu tersebut. Tahap ketiga adalah siapakan senter (zaman nenek-moyang biasa gunakan obor), busur dan anak-panah serta makanan. Dengan selesainya ketiga tahap persiapan ini, maka tahap paling terakhir adalah menghias diri, yang biasa disebut Ugine Ndamene Dia (memperindah tubuh). Proses ini biasanya dilakukan dengan menggunakan warna-warna buah-buahan (merah, putih, hijauh, unggu, biru, orengs dan sebagainya yang lazim digunakan.
Penggunaan warna-warna itu dalam tata rias tubuh dengan tujuan yang dimaksud biasanya mulai dari wajah dengan membuat garis-gari lurus maupun garis-garis berfariasi dengan selang-seling warna yang ada, sehingga kelihatan indah dan menarik perhatian orang untuk terus memandangnya, terutama para wanita yang akan dikujunginya. Perhiasan lain yang wajib disiapkan dan gunakan adalah gelang, anyaman bulu kasuari, anyaman bulu burung nuri maupun burung lain dan sebagainya. Gelang biasanya digunakan di tanggan kiri dan kanan bagian atas, kemudian di cela gelang dan kulit tangan itu sisipkan daun-daun hijauh yang indah dan harum. Sementara bulu kasuari maupun bulu burung yang lain tadi digunakan di kepala secara teratur, sehingga terlihat indah dan menarik perhatian para wanita. Cara memperindah tubuh seperti ini biasanya dilakukan beberapa menit sebelum menuju ke rumah perempuan untuk tunjukkan seni suara mereka.
Sesudah semua persiapan selesai maka pada sore menjelang malam, mereka akan berjalan menuju ke daerah yang diketahui didiami oleh para wanita bujan tadi. Sesampainya mereka di sana, mereka meminta izin kepada kepala suku setempat dan pihak keluarga yang ada. Mereka menyatakan niatnya bahwa mereka akan “Jamo Tegaia”, bernyanyi-nyanyi bersama anak-anak perempuan mereka yang dewasa. Pihak keluarga dan kepala suku pun melihat persiapan mereka yang begitu luar biasa, maka pasti akan diizinkan untuk itu. Izin yang diperoleh ini membawa mereka untuk masuk ke dalam rumah yang didiami oleh para wanita tadi. Para pria itu masuk ke dalam rumah yang dimaksud dan tentu bahwa pembagian tempat duduk di dalam rumah itu amatlah jelas. Biasanya di sebelah kiri dekat pintu diduduki oleh para pemuda tadi secara teratur. Sedangkan di sebelah kanan diduduki oleh para wanita yang didatangi dengan rapih juga.
Dalam keadaan seperti itu, perwakilan para pria itu (biasanya yang lebih tua dan dewasa dari yang lain) menjelaskan tujuan kedatangan mereka ke tempat itu dan menemui mereka secara terus terang kepada mereka dan sesudahnya ia mulai angkat lagu (jamo) terlebih dahulu serta nyanyian itu diikuti oleh semua anggotanya yang lain. Proses ini merupakan awal dari pertunjukan seni suara para pria itu kepada para wanita. Maka selanjutnya secara bergantian, mereka menyanyikan lagu-lagu bersama (Jamo-Nggu) maupun lagu solo (Miga Jamo Tegaya) sesuai dengan persiapan mereka sambil menyerahkan semua harta kekayaan yang telah mereka siapkan itu oleh seorang pemudah yang telah dipercayakan. Harta-harta yang diberikan itu dengan cara mengayung-ayungkan tangan mengikuti irama lagu-lagu yang dinyanyikan. Sementara para gadis pun berlaga demikian untuk mengambil barang yang diberikan kepadanya. Proses seperti ini berlangsung terus hingga semua kekayaan yang disiapkan itu habis. Jika semua kekayaan yang disiapkan itu habis, maka mereka akan akhiri juga proses pertunukan seni suara itu.
Sejalan dengan ceritera itu, tujuan dari harta benda yang diberikan para pria kepada para wanita itu merupakan lambang cinta mereka kepada para wanita. Sedangkan tujuan dari semua bentuk nyannyian itu adalah untuk menggugah hati para wanita yang kemudian bisa berujung pada jatuh cinta kepada salah satu dari antara mereka. Maka proses pertunjukan seni suara yang berhasil tentu akan dibuktikan dengan hasil yang memuaskan yaitu, adanya wanita yang bersedia menjadi istri salah satu dari antara mereka. Hasil seperti ini bisa menjadi kenyataan sesudah pemuda-pemuda itu meninggalkan rumah para wanita tadi menuju ke tempat tinggal mereka. Saat para pria ini menuju ke tempat tinggal mereka, wanita yang merasa hatinya digugah oleh nyanyian-nyanyian mereka tadi dan karenanya ia merasa gelisa tinggal dirumahnya sendiri, karena jatuh cinta kepada salah seorang dari antara para pria itu, maka ia akan mendahului para pria itu melalui jalan lain dan menunggu mereka di jalan yang akan mereka lalui dengan sembunyi.
Sesampainya para pria itu di tempat yang disembunyi oleh wanita tadi, maka wanita itu pun akan memperlihatkan dirinya kepada mereka. Melihat kenyataan seperti ini, para pria itu tentu kaget dan merasa heran sambil bersyukur. Sambil mengalami suasana batin seperti ini, para pria itu akan menerima dia dengan suka-cita. Sesudah menerima, mereka akan menanyakan kepada wanita itu, sebenarnya ia jatuh cinta kepada pria yang mana? Ia akan menjawab dengan mencari di antara mereka, lalu setelah menemukannya menunjuk pria yang ia cintai. Selanjutnya mereka menuju ke daerah mereka dengan penuh kegembiraan dan suka-cita. Sesampainya di daerah mereka, mereka mengajak semua masyarakat dan adakan acara syukuran atas keberhasilan itu, yang biasa disebut “Mina Buga-Mindia. Proses bayar maskawin (belis) akan dilakukan oleh para pria yang telah terlibat dalam proses tadi sebagai bentuk tanggung jawab mereka. Proses ini bisa dilakukan setelah pihak keluarga perempuan datang ke rumah pihak keluarga laki-laki.
4. Perkawinan Lari
Jenis Perkawinan Lari pun terdapat dalam kebudayaan orang Migani. Perkawinan jenis ini selalu terjadi dalam budaya orang Migani dengan alasan bahwa seorang pria dan wanita yang sudah lama saling kenal dan saling jatuh cinta, tidak direstui oleh salah satu dari pihak keluarga mereka. Maka ketiadaan persetujuan salah satu dari keluarga mereka dipandang sebagai halangan bagi mereka untuk menuju perkawinan atas dasar cinta mereka. Karena itu, untuk memenuhi keinginan mereka serta membuktikan cinta mereka dengan hidup bersama sebagai suami-istri, mereka memilih untuk pergi dari kampung halaman mereka ke kampung lain atau ke hutan dan hidup lama-lama di sana, hingga kembali lagi. Saat kembali keluarganya yang menolak tadi tentu tidak bisa berkutik, karena mereka sudah terlanjur hidup besama sebagai suami-istri. Maka sebagai orang tua, mereka menerima kenyataan itu dengan membayar maskawin bila penolakan itu dari pihak laki-laki, tetapi jika itu dari pihak perempuan maka biasanya mereka menuntut maskawin dua kali lipat. Dan, permintaan seperti ini biasa diterima oleh pihak laki-laki sebagai konsekuensi atas tindakan anaknya.  
5. Cara Pembayaran Harta Maskawin
Sistem perkawinan adat dalam budaya orang Migani tidak pernah ada yang namanya gratis. Semua melalui proses pembayaran maskawin. Dalam hal ini, ada cara yang khas bagi orang Migani untuk membayar harta maskawin. Maka wajar bahwa dalam semua cerita tentang jenis-jenis perkawinan di atas, itu diakhiri dengan pembayaran maskawin. Artinya bahwa akhir dari seluruh jenis perkawinan yang telah dijelaskan di atas, itu telah berpuncak pada pembayaran maskawin. Oleh karena kenyataan ini, maka pada bagian ini akan saya jelaskan cara orang Migani yang khas dalam membayar maskawin itu.
Sehubungan dengan hal yang dimaksud itu, cara pembayaran harta maskawin dalam budaya suku Migani biasa selesaikan dengan ikuti istilah Indo (tingkat I), Indo Dagupa (Tingkat II), Hondo (Tingkat III), kubawi (tingkat IV), kigi bagu (tingkat sederhana), kesene obone/saje (tingkat biasa). Dengan penjelasan ini, kita ketahui bahwa cara menyelesaikan maskawin seorang putri Migani bisa dibayar lunas dengan harta benda sebesar enam  tingkat ini ditambah dengan beberapa ekor babi dan barang-barang berharga lainnya. Pembayaran belis selalu terjadi antara kedua bela pihak yaitu, pihak yang memberi dan pihak yang menerima. Maka ketika pihak yang memberi merasa puas dan pihak yang menerima pun merasa puas, berarti pemabayaran belis itu berhasil dan dinyatakan selesai atau “lunas”. Pengakuan ini sama dengan pernyataan perkawinan itu sah. Jika belum, maka pihak keluarga perempuan akan terus menuntut hingga melunasinya hingga perkawinan menjadi sah juga. 

6. PENCERAIAN PERKAWINAN SAH (MINA/ME HATAIA)
Penceraian perkawian dalam budaya orang Migani sering terjadi juga. Pertanyaannya, apa penyebab penceraian antara suami dan isteri yang sah dan budaya orang Migani? Kalau dilihat kembali, sejak masa nenek-moyang orang Migani suami-istri yang sah amat malu bahkan takut untuk menceraikan istri atau suami yang telah disahkan dengan pembayaran belis yang cukup mahal itu. Dalam hal ini, biasanya kaum perempuan yang benar-benar menjaga dengan penuh hati-hati, karena jika ia bercerai maka dia akan dikatakan telah bersinah (Aumba-Ni Neta Tubaga Dia). Dan, konsekuensinya adalah perempuan seperti itu bersama dengan laki-laki lain yang telah menjalin relasi dengannya itu pasti akan dibunuh menggunakan busur dan anak panah dengan memanah. Model hukuman seperti ini berlaku di zaman nenek-moyang orang Migani. Benar bahwa semua hukum di zaman itu sangat ketat, maka orang sangat sulit melanggar, apalagi melakukan perzinahaan. Resiko dari persinaan ini bagia laki-laki dan perempuan adalah mati dibunuh. Oleh karenanya, maka di zaman nenek-moyang orang (suami-istri) tidak pernah melakukan saling bercerai.
Hidup perkawinan di zaman sekarang terlihat kacau-balau oleh karena begitu banyak penceraian. Alasannya macam-macam, ada yang mengatakan bahwa itu kesalahan suami, ada juga yang mengatakan itu kesalahan istri, ada pula yang mengatakan itu kesalahan perkembangan zaman ini. Kebiasaan saling menyalahkan ini terjadi akibat melemahnya hukum adat seperti di masa nenek-moyang. Memang hukuman seperti di masa nenek-moyang sudah tidak diberlakukan lagi di zaman sekarang. Ini baik, tetapi efeknya banyak orang yang hidup bercerai dan keluarganya kacau-balau. Efek lebih dari itu selalu terjai perang antar suku, perang antar marga bahkan antar keluarga sendiri.
Alasan penceraian: pertama, orang Migani tidak menghayati nilai-nilai budayanya yang luhur terutama ajaran-ajaran tentang hidup perkawinan secara sungguh-sungguh. Sehingga efeknya terjadi hal-hal seperti yang dimaksud tadi. Kedua, kesalahan-kesalahan antara suami dan istri dalam hidup, salah satunya adalah kurang setia satu sama lain sebagai suami-istri. Dalam hal ini, jika istri yang bercerai dengan suami, maka ada dua dugaan, yaitu; cerai karena suaminya tidak pernah membayar harta maskawin. Sehingga dia cerai dengan mengawini laki-laki lain, supaya suami kedua ini yang bisa membayar harta maskawinnya kepada keluarganya. Penceraian ini dilakukan dengan sadar karena pihak suaminya tidak pernah membayar belis. Jadi, penceraian ini demi keluarga. Di sisi lain, ia bercerai karena suami pertama tidak tahu berkerja, sehingga ia takut kelaparan, dia musti cerai dengan laki-laki seperti itu dan menikahi laki-laki yang bisa menghidupinya.
Ketiga, matre. Perempuan zaman sekarang banyak yang bersifat matre. Jika ia melihat seorang pemuda yang memiliki banyak kekayaan, ia akan mau menikah dengannya walaupun orangnya tidak setampan apa yang dibayangkan sebelumnya. Sesudah itu, harta kekayaannya habis ia melarikan diri dan cerai. Begitu terus, hingga hidup tidak benar. Demikian juga, para pria yang mempunyai kekayaan, mereka menggunakan kekayaan itu untuk menambah-namhah istri hingga, sehinggah hidup istri pertama menjadi kacau, karena ia melarikan diri dari kenyataan yang ada. Memang banyak wanita yang tidak mau diduakan dan seterusnya.
Jikalau perceraian itu datang dari pihak laki-laki, maka perceraian itu tentu berdasar pada ketiadaan keturunan. Iya, kalau seorang perempuan tidak melahirkan anak, maka laki-laki pasti akan menceraikannya. Pertimbangannya adalah pihak laki-laki sudah membayar belis dengan amat lelah, supaya mendapatkan keturunan bagi pihaknya. Alasan lainnya bisa terjadi karena istri tersebut tidak melayani suami dan keluarga dengan baik.
7. Halangan-Halangan Nikah (Mbaio Nda)[15]
Dalam tradisi orang Migani terdapat halangan-halangan perkawinan. Halangan-halangan yang dimaksud adalah Pertama, soal usia laki-laki dan perempuan. Kedua, keturunan. Ketiga, dendaman. Keempat, ketidak-warasan pihak tertentu. Kelima, jarak perkampungan. Keenam, kemiskinan. Inilah halangan-halangan perkawinan adat menurut orang Migani. Halangan-halangan ini akan dijelaskan secara singkat berikut ini.
1. Halangan Usia (Mangge Pane/Ju)
Dalam kebudayaan orang Migani, sudah terbiasa dengan memperhatikan tingkat usia seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Laki-laki dan perempuan yang berumur 20 tahun kebawah dilarang keras untuk menikah. Pertimbangannya adalah mereka masih berada pada masa proses pendidikan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka masa ini harus dihargai oleh semua pihak dengan menjaga kaum muda-mudi untuk tidak mengawini atau dikawinkan. Jika terpaksa demikian, maka tentu pihak keluarga perempuan atau laki-laki (pihak korban) akan adakan serangan peperangan kepada pihak laki-laki atau perempuan (pelaku), karena dinilai itu tindakan paling biadab (tidak manusiawi). Oleh karena ada konsekuensi seperti ini, maka hal usia seorang laki-laki dan perempuan dianggap sebagai halangan menikah.
2. Halangan Keturunan (Mbai Mina/Me)
Hal keturunan adalah halangan paling utama dan terutama dalam kebudayaan orang Migani. Dalam hal ini, sangatlah tidak masuk akal, jika seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berasal dari keturunan yang sama, dari satu marga bahkan dari keluarga yang sama atau terdekat dapat menikah atau hanya melakukan persetubuhan sesaat. Perbuatan dan perkawinan jenis ini tidak ada toleransi sama sekali, yang ada hanyalah hukuman “mati”. Hukuman mati dipandang sebagai jalan keluar yang paling tepat untuk pasangan seperti ini. Karena dipercaya bahwa hanya hukuman seperti ini yang bisa membayar perbuatan mereka hingga lunas. Juga bisa membebaskan kutukan bagi semua orang dari keturunan yang sama, marga yang sama dan keluarga-keluarga terdekat itu. Pemahaman ini benar, karena dalam budaya orang Migani ada kepercayaan bahwa tindakan seseorang dalam satu keturunan, marga dan keluarga tertentu akan berpengaruh juga pada semua manusia dari satu keturunan. Maka untuk membebaskan pelaku dari perbuatan yang tidak bisa ditoleril itu, yang juga mengutuk sesama dari keturunannya itu, orang yang bersangkutan harus dibunuh. Oleh karenanya, tidakan seperti ini sangat diperhatikan dan dihayati orang Migani hingga kini. Sehingga di zaman sekarang tidak ada lagi hukuman seperti itu yang dialami oleh orang Migani.
3. Halangan Dendaman
Keberadaan suatu masalah di pihak laki-laki maupun pihak perempuan, yang belum selesaikan dengan baik merupakan suatu halangan besar dalam perkawinan. Biasanya keberadaan masalah itu diceritakan dari generasi ke generasi, dengan tujuan generasi mereka tidak menikahi laki-laki atau perempuan dari pihak keturunan tertentu yang dianggap musuh itu. Maka sejak anak-anak, generasi dari keturunan tertentu sudah ketahui bahwa keturunan tetentu yang ia ketahui itu tidak diperkenankan untuk nikahi. Selain perkawinan, mereka juga lebih hati-hati dalam menjalin relasi sosial lain dengan pihak yang dimaksud.
4. Halangan ketidak-warasan pria dan wanita
Demikian juga halangan perkawinan oleh karena ketidak-warasan pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Orang yang tidak waras, baik perempuan maupun laki-laki amat dihargai dalam tradisi orang Migani, sehingga mereka menjadi tanggung jawab bersama untuk diperhatikan, dijaga dan dilindungi. Orang normal dilarang melakukan kekerasan seksual terhadan orang-orang seperti yang dimaksud. Jika melanggar, maka pelaku akan dipanah sehingga bisa terpecahlah peperangan di antara warga yang luas.
5. Halangan Jarak Perkampungan
Jarak perkampungan pihak laki-laki dan perempuan juga biasa menjadi pertimbangan serius dari pihak orang tua laki-laki dan terutama orang tua pihak perempuan. Keluarga pihak perempuan merasa bahwa anak perempuan mereka akan pergi begitu jauh dan tentunya mereka tidak akan bertemu dengan anak mereka lagi. Maka sebaiknya menikah saja dengan laki-laki yang kampunya tidak terlalu jauh. Pertimbangan seperti ini merupakan upaya pihak keluarga perempuan, supaya mereka bisa memperhatikan nasib hidup anak mereka, janga-jangan ditempat yang jauh itu, orang memperlakukan anak mereka secara tidak manusiawi. Maka perkawinan jarak perkampungan yang jauh tidak selalu terjadi dalam tradisi orang Migani. Namun kini, oleh karena adanya pembuatan jalan yang baik dan kendaraan, kebiasaan seperti ini semakin berkurang.
6. Halangan Kemiskinan
Kemiskinan pihak laki-laki maupun pihak perempuan bisa berpengaruh pada kegagalan perkawian. Pihak laki-laki berpikir bahwa kemiskinan pihak perempuan akan merugikan pihaknya, maka biasanya pihak laki-laki yang mempunyai kekayaan, mencari calon istri dari keluarga lain yang selevel dengannya. Sementara pihak perempuan berpikir bahwa mengawinkan anaknya kepada laki-laki miskin sama saja kerugian terbesar. Maka sekalipun laki-laki dan perempuan saling mencintai, pihak keluarga tidak akan pernah restuai. Anak mereka harus dinikahi oleh pihak keluarga yang mempunyai harta kekayaan dan keluarga terhormat. Oleh karena seperti ini, maka dikatakan bagian ini juga merupakan halangan nikah dalam tradisi orang Migani.
Semua halangan yang telah dijelaskan secara singkat itu dan lainnya yang tidak dapat sebutkannya di sini, diakui bahwa itu benar-benar lahir secara alamiah dalam kebudayaan orang Migani sebagai suatu larangan yang harus dipatuhi dan hindari oleh orang Migani dalam hidup mereka sehari-hari. Sehingga orang Migani dalam seluruh hidupnya mengalami pertama, kehidupan keluarga sehat (mempunyai keturunan atau anak-anak dan mereka berkembang dengan baik, tidak mengalami kesakitan dan gangguan apa pun serta menikmati umur yang manjang). Juga mempunyai hubungan relasi sosial yang harmonis. Kedua, menghindari kehidupan keluarga yang selalu tidak sehat, melahirkan anak berujung pada kematian bayi atau ibunya, keluarga selalu bercekcok, hancur, mengalami kesakitan tanpa henti bahkan meninggal dunia dalam usia yang sangat muda.
Memahami akan kosekuensi seperti itu, maka diakui bahwa tepatlah larangan perkawinan yang terdapat dalam tradisi orang Migani itu bagi generasi orang Migani. Semoga semua orang Migani dapat mengindahkan semua larangan yang ada dalam hidup perkawinan ini, supaya dalam kehidupan selanjutnya hanya menikmati kebahagiaan dan keselamatan sejati.

4. HUKUM PERKAWIANAN GEREJA KATOLIK
Gereja Katolik (selanjutnya baca: Gereja) mempunyai peranan yang penting bagi hidup perkawinan umatnya. Ia mempunyai peranan memberikan pandangan hidup perkawinan yang baik kepada umatnya (mempelai), yang akan melangsungkan perkawinan. Kepada mempelai, Gereja mengajarkan bagaimana menciptakan sebuah rumah tangga yang kokoh. Dan, untuk mencapai tujuan ini serta tujuan positif yang lain, Gereja memproduksi hukum perkawinan yang mendasar. Maka sesungguhnya umat yang hendak melangsungkan perkawinan diperkenankan untuk mengikuti langkah-langkah menuju peneguhan perkawinan yang telah ditetapkan oleh Gereja.
1. Pengertian Hukum Gereja Katolik
Kitab Hukum Kanonik adalah Hukum Gereja yang selalu memberikan petunjuk kepada umat, agar umat hidup seturutnya. Dalam konteks perkawinan, Kitab Hukum Kanonik juga meberikan petunjuk tentang perkawinan kepada umatnya agar itu dihayati dengan baik dalam persiapkan perkawinan dan dalam hidup perkawinan mereka. Oleh karenanya, maka Gereja dipandang sebagai Sakramen Keselamatan yang kelihatan dalam hal perkawinan. Sebagai sakramen, tentu ia juga membutuhkan norma yang bisa dijadikan sebagai dasar pijak dalam melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan Tuhan kepadanya, yaitu, menyiapkan umatnya yang akan menikah dan meneguhkan perkawinan umatnya ke tingkat sakramental.
Sehubungan dengan hukum yang dimaksud, Gereja tak dapat salah dalam arti itu adalah karunia Roh Kudus yang bersemayam dalam orang-orang beriman dan menerangi mata hati mereka (Ef. 1:18), sehingga mereka dapat mengenal dan dengan taat mengakui sebagai Sabda Allah, yang pasti dan dapat dipercaya sepenuhnya. Sabda yang diperintahkan-Nya diucapkan dengan pasti di dalam Gereja-Nya (1Tes. 2:18). Penjelasan ini berarti bahwa ajaran Gereja yang berdasar pada Kitab Hukum Kanonik itu sempurna. Berdasar padanya, kesepakatan nikah diakui sebagai kesepakatan yang sejati, bila diberikan dengan sungguh-sungguh bebas, tidak dipaksakan oleh orang lain dan memuat kemauan serta pengetahuan yang benar tentang hal hakiki dari perkawinan.
Tentang kesempatan nikah, Konsili Vantikan II menegaskan bahwa perkawinan adalah “persekutuan hidup, yang dibangun oleh perjanjian nikah. Demikian juga Menurut Gaudium et Spes. 48, menekankan soal persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali bila kedua mempelai tidak Katolik, mereka harus menyatakan kesepakatan nikah mereka di depan dua saksi dan seorang pejabat yang berwewenang (misalnya pendeta, penghulu, peneguh nikah sipil dan sebagainya). Tetapi bila salah satu beragama Katolik, maka kesepakatan nikah mereka harus dinyatakan di depan dua saksi dan seorang pejabat Gereja yang berwenang (yakni pastor paroki atau petugas pastoral lain yang mendapat delegasi darinya). Perkawinan yang semula dikira sah tetapi ternyata tidak sah mungkin dapat disahkan oleh Gereja. Hukum Gereja Katolik mengatur hal ini pada kanon-kanon 1156-1165.
2. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Secara tegas Hukum Gereja menyebutkan perkawinan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu; kesejahteraan suami-istri, mengusahakan keturunan dan pendidikan anak. Kesejahteraan suami-istri yang dimaksud bisa dirasakan ketika mereka saling melayani dengan penuh kasih, menata rumah tangga dengan baik, menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidup secara bersama, memperhatikan anak-anak dengan baik, agar mereka merasa diperhatikan dan mempunyai semangat hidup. Sementara dalam hal mengusahakan keturunan, suami-istri dengan saling setia memungkinkan kelahiran anak-anak dan membangun keluarga yang harmonis. Kemudian, berkaitan dengan pendidikan anak adalah soal tanggung jawab suami-istri terhadap masa depan anak-anak yang mereka lahirkan. Suami-istri sadar bahwa anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka sebagai orang tua, mereka wajib memberikan tuntunan, dorongan dan motivasi kepada anak-anak, agar mereka memiliki semangat untuk sekolah. Ini penting sekali, karena pendidikan adalah tuntutan zaman sekarang ini untuk memiliki kapasitas dalam menjawab situasi perkembangan zaman ini[16].
3. Sifat Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Sifat-sifat Perkawinan menurut Hukum Gereja dijelaskan dengan baik dalam Kanon 1056. Isi dari kanon yang dimaksud ini adalah pertama, perkawinan yang Monogam. Perkawinan monogam artinya perkawinan yang hanya memiliki satu istri dan satu suami (1Kor. 7:12-13;15). Kedua, perkawinan yang Tidak Terceraikan. Perkawinan ini adalah perkawinan yang diikat melalui perjanjian itu tidak dapat diceraikan oleh apa dan siapa pun, kecuali oleh Allah melalui kematian. Ketiga, perkawinan bersifat Sakramen. Dikatakan perkawinan bersifat sakramen, karena perkawinan itu sendiri merupakan tanda kasih Allah, yang tersalur melalui suami-istri yang saling mengasihi dan saling menghargai. Dan, ini menjadi terang bagi orang lain dan anggota keluarganya[17].
Persekutuan suami-istri yang luhur dan kekal itu melambangkan hubungan cinta yang mesra antara Kristus dan Gereja-Nya, sehingga tidak dapat diceraikan oleh siapapun kecuali Allah sendiri sampai maut memisahkan mereka. Hukum perkawinan secara otentik diatur sebagai awal kodrat dari segenap umat manusia (Kej. 2: 18). Berdasarkan pewahyuan Kitab Kejadian ini, Yesus menegaskan kepada Kaum Farisi dan para Rasul bahwa Perkawinan itu dari dirinya sendiri dan hanya terbentuk dari dua orang saja dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorang pun yang boleh menceraikannya (Mat. 19:5-6).
Dalam perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dan dari sifat kodratinya itu terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran anak dan pendidikan anak. Kemudian, oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen. Oleh karenanya, maka orang-orang yang dibaptis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan Sakramen (Kan. 1055). Semua penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat hakiki perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar Sakramen (Kan. 1056).
4. Dasar Hukum Perkawinan Gereja Katolik
Dasar Hukum Perkawinan Gereja Katolik adalah Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Karena melaluinya manusia (Gereja) mengetahui tentang perkawinan yang mulia. Lebih mendalamnya ialah melaluinya Gereja melihat Allah yang menciptakan manusia sebagai seorang pria dan wanita menurut citra atau gambar-Nya sendiri, untuk saling mencintai dan saling menbahagiakan sebagai teman hidup (Kej. 2:24). Maka ini diperkuat dalam hukum yang dimaksud pada kanon 1151, yaitu; Suami isteri yang mempunyai suatu kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama serta perkawinan, kecuali jika ada alasan legitim yang membebaskan mereka. Inilah suatu salah satu contoh yang bisa membuktikan bahwa Kita suci adalah dasar Hukum Perkawinan Gereja katolik.
Selanjutnya kita lihat hubungan cinta Allah kepada umat-Nya yang dilambangkan sebagai ikatan cinta dalam perkawinan (Hos. 2:18). Perkawinan menurut Perjanjian Lama (PL) merupakan lambang cinta kasih Allah kepada umat Israel. Cinta kasih antara suami-istri (Kej. 2:22-24; Ef. 25-33). Cinta kasih ini amat manusiawi karena bersifat pribadi dan bebas. Cinta kasih mencakup kebaikan dan ungkapan jiwa serta badan sebagai tanda hidup perkawinan. Cinta kasih itu dimeterai dengan kesetiaan, disucikan dengan Sakramen Kristus. Sementara Dalam perjanjian Baru (PB) ikatan itu pun menjadi tanda cinta kasih Yesus Kristus terhadap gereja-Nya. Artinya bahwa cinta kasih suami-istri berteladan pada pertahanan cinta antara Kristus dengan gereja-Nya yang tak mengenal batas, tanpa syarat, penuh pengorbanan dan setia seumur hidup (Ef. 5:22-27).
5. Proses Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Proses perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik terdiri dari beberapa tahap yakni, pertama: pendaftaran pernikahan di Gereja melalui sekretariat pada Paroki masing-masing pada hari kerja, membawa surat pengantar dari lingkungan calon mempelai baik pria maupun wanita. Dalam hal ini surat pengantar untuk mengikuti KPP (Kursus Persiapan Perkawinan), membawa foto kopi surat baptis. Bila semua proses ini sudah diselesaikan, maka melalui katekis menghubungi Pastor untuk melanjutkan perkawinan[18].
a. Peneguhan Perkawinan Gereja Katolik
Dalam upacara perkawinan Katolik, terbagi atas empat bagian yaitu, upacara pembukaan, upacara peralihan pertama, peralihan kedua dan ketiga. Dalam upacara pembukaan, mempelai pria dan wanita memasuki ruang perayaan dengan perarakan dan diantar oleh kedua orang tua dan para undangan. Sementara pada upacara peralihan pertama, mempelai pria dan wanita duduk di tengah orang tua atau keluarga masing-masing atau wali yang ikut berpartispasi. Kemudian bagian upacara peralihan kedua, mempelai pria dan wanita membangun hubungan baru yaitu; mempelai saling mengucapkan janji perkawinan. Selanjutnya mempelai pria dan wanita saling menukar dan memasang cincin. Upacara peralihan ketiga menyalakan lilin menandakan bahwa mereka dipanggil untuk hidup suci dan terlibat dalam  karya Kristus di dunia, menanggung konsekuensi hidup sebagai keluarga Kristen baru yakni melayani dan menghayati Sakramen Perkawinan sebagaimana misteri paskah.
Penjelasan mengenai perkawinan menurut hukum Gereja Katolik itu saya akhiri, karena percaya bahwa pemahaman tentang perkawinan dari perspektif Hukum Gereja Katolik secara menyeluruh tidaklah mudah dalam tulisan sederhana ini dan sebagian kecil yang telah saya kemukakan di atas dipercayai telah menerangi sistem perkawinan adat menurut suku bangsa Migani. Berdasar pada keyakinan ini, maka berikut ini akan saya jelaskan secara singkat tentang perkawinan adat suku Migani dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik.

5.   PERKAWINAN ADAT SUKU MIGANI DALAM TERANG HUKUM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK
Maksud judul bagian ini bukan berniat menjelaskan ulang tentang sistem perkawinan adat dalam tradisi orang Migani dan perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik, tetapi melihat sistem perkawinan adat yang telah saya jelaskan di atas itu dalam terang hukum perkawinan Gereja Katolik, yang juga telah saya jelaskan di atas. Melihat perkawinan adat orang Migani dalam terang hukum perkawinan Gereja Katolik berarti melihat kembali secara cermat akan keberadaan tradisi perkawinan orang Migani yang tidak membawa keselamatan bagi manusia Migani sendiri dan memperbaikinya seturut nilai-nilai luhur yang diajarkan lewat Hukum Gereja yang dimaksud. Sehingga selanjutnya generasi orang Migani memahami nilai-nilai luhur tentang perkawinan yang diterangi hukum Gereja Katolik dan hidup menghayatinya, agar dengan demikian dapat membawa mereka pada hidup soaial maupun hidup perkawinan khas mereka yang lebih sempurna.
Memahami akan maksud bagian ini yang dikemukakan itu, lantas saya mulai melihat sistem perkawinan adat dalam budaya orang Migani yang perlu diperbaiki, yaitu; eksplisitisitas spiritual perkawinan, ketiadaan ritual perkawinan, pembayaran belis yang setinggi langit, penceraian atas dasar alasan yang tidak manusiawi, halangan-halangan perkawinan yang perlu disempurnakan serta penghayatan perkawinan yang monogam, tak terceraikan dan kekal. Maksud dari bagian-bagian yang disebutkan ini akan dijelaskan berikut ini. Pertama, eksplisitisitas spiritual perkawinan. Hal yang dimaksudkan bagian ini berhubungan dengan tidak adanya ketegasan tentang dasar perkawinan itu sendiri dalam budaya orang Migani. Orang Migani mengetahui bahwa ada yang melampaui mereka, ada Yang Ilahi, yaitu; EMO[19], tetapi keyakinan ini tidak pernah mereka hubungkan dengan perkawinan. Sejauh ini, orang Migani menghayati perkawinan sebagai suatu kenyataan alamiah yang bersifat insani. Kebiasaan ini bararti bahwa spiritual perkawinan yang hakiki, yaitu perkawinan yang bersumber dari Yang Ilahi “EMO” itu terlihat hanya eksplisit, terselubung dalam insani, bukan tidak ada sama sekali. Sebab dalam perkawinan adat orang Migani, orang Migani selalu mengatakan jika EMO berkenan (EMO Ge Ngganeo Ni Dogo Go), mereka akan menikahi wanita ini atau itu dan pria itu atau ini. Kebiasaan ini jika dilihat dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, maka kita akan menemukan bahwa perkawinan dalam kebudayaan orang Migani itu sesunggungnya bersumber dari Allah (Kej. 2:23), yang mereka sebut EMO itu. Maka pemahaman seperti ini perlu diperlihatkan secara gamblang oleh orang Migani dalam mempersiapkan perkawinan (pendidikan) maupun dalam praktek hidup perkawinan itu sendiri dalam hidup berkeluarga sehari-hari.
Kedua, ketiadaan ritual perkawinan. Dalam kebudayaan orang Migani tidak ada ritual perkawinan yang resmi seperti perkawinan dalam tradisi suku bangsa yang lain. Perkawinan dalam tradisi orang Migani selalu terjadi amat praktis dengan mengikuti salah satu dari jenis-jenis perkawinan  yang telah dijelaskan di atas dan selanjutnya melakukan acara sambut anggota keluarga baru (Mina Buga Mindia) serta diakhiri dengan proses pembayaran belis sesuai dengan permintaan pihak keluarga perempuan. Perkawinan seperti ini sah dalam tradisi orang Migani. Kebiasaan seperti ini jikalau dilihat dalam terang Hukum Gereja Katolik, maka kita berpikir betapa pentingnya suatu upacara ritual perkawinan khas orang Migani yang bisa membawa jaminan perkawinan yang monogam, kekal dan tak terceraikan.
Ketiga, pembayaran belis yang setinggi langit. Mengenai pembayaran belis dalan tradisi orang Migani telah dijelaskan di atas bahwa harta kekayaan yang harus dibayarkan terdiri dari tingkat paling tinggi hingga paling rendah. Semua ada sekitar lima tingkat, yang harus dilunasi oleh pihak laki-laki. Dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik, kebiasaan seperti ini perlu disempurnakan. Pembayaran belis, mesti bersifat realistis dengan pertimbangkan berbagai sisi kehidupan. Sehingga hidup generasi selanjutnya pun dipermudah, mewujudkan hidup perkawinan yang harmonis, agar mengalami keselamat hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Keempat, penceraian atas dasar alasan yang tidak manusiawi. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa penceraian perkawinan dalam tradisi orang Migani selalu terjadi dengan alasan yang sesungguhnya tidak begitu mendasar, yang saya sebut tidak manusiawi, yaitu; penceraian dari pihak perempuan karena pihak laki-laki tidak membayar belis akibat kemiskinannya. Penceraian dari pihak laki-laki dengan alasan istri tidak memberikan keturunan (soal alamiah) dan tidak melayani pihak keluarga dengan baik (soal situasional). Kedua alasan ini terlihat dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik sebagai alasan yang tidak manusiawi. Karena soal pembayaran belis merupakan suatu kewajiban, maka pihak keluarga laki-laki pasti akan menyelesaikannya pada waktu yang tepat, maka perkawinan yang luhur tidak harus diceraikan begitu saja dengan mengabaikan nilai kesakralan perkawinan itu sendiri. Demikian juga soal ketiadaan keturunan, sesungguhnya ketiadaan keturunan itu urusan kedua belah pihak (suami-istri), bukan istri saja dan jika terbukti perempuan yang mandul maka itu soal alamiah, bukan kesalahannya. Selanjutnya soal pelayanan yang dinilai buruk. Semua ini bukan alasan masuk akal yang harus berujung pada penceraian. Kebiasaan cerai oleh karena kedua alasan ini tentu amat mengabaikan perjanjian perkawinan sah yang disaksikan EMO melalui orang tua kedua bela pihak. Maka jangan heran jika dalam hidup selalu terus ditimpah begitu banyak persoalan hidup. Mestinya tetap bertahan, apa pun alasannya, karena itu akan menjadi berkat untuk hidup ke depannya.
Selanjunya berkaitan dengan halangan-halangan perkawinan yang perlu disempurnakan. Mengenai halangan-halangan ini, seperti yang telah sisinggung sebelumnya bahwa terdapat beberapa halangan yang sebagiannya cukup masuk akal, tetapi sebagian perlu disempurnakan. Halangan yang perlu disempurnakan adalah halangan karena dendaman, kemiskinan dan jarak perkampungan. Halangan-halangan ini jika dilihat dari perspektif Hukum Perkawinan Gereja katolik, maka semua ini terkesan mengabaikan cinta seorang perempuan dan laki-laki yang telah terjalin kuat. Juga merupakan pemaksaan terhadap anak-anak untuk haknya tidak dipenuhi. Oleh karena kenyataan ini, maka halangan-halangan yang sesunggungnya tidak membawa keselamatan itu mesti disempurnakan dengan cara-cara yang masuk akal. Misalnya menyelesaikan masalah dendaman jika ada dan biarkan anak-anak memilih jalan hidupnya sendiri, asalkan pendidikan sebelumnya sudah mantap.
Bagian akhir adalah perkawinan monogam, tak terceraikan serta kekal. Model perkawinan seperti ini sungguh-sungguh telah dihayati oleh orang Migani sejak dahulu hingga sedang dihayati oleh generasinya sekarang ini. Namun khusus di zaman ini, banyak generasi orang Migani yang tidak perhatikan sistem perkawinan seperti yang telah ada dalam tradisinya sendiri. Banyak yang beristri lebih dari satu, suka bercerai dan menganggap perkawinan itu hanya bersifat sementara. Kebiasaan yang semakin bertumbuh ini bahaya dan memang bertolak belakang dengan pandangan Hukup Perkawinan menurut Gereja Katolik pada Kanon 1055 yang membahas tentang hakikat perkawinan yaitu nilai monogami, tak terceraikan dan kekal serta sakramentalitasnya. Demikian menurutnya perkawinan monogam, tak diceraikan dan kekal karena “perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Dan, “dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak[20]. Oleh karena memahami akan dasar hukum ini, sesungguhnya perkawinan menurut orang Migani mesti juga monogam, tak terceraikan dan bersifa kekal.

6. PENUTUP
Tulisan tentang perkawinan adat menurut suku Migani dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik ini telah mengungkapkan kekhasan sistem perkawinan orang Migani, mulai dari gambaran umum tentang orang Migani sebagai pintu masuk untuk memahami maksud dari tulisan ini, pengertian tentang perkawinan yang khas, jenis-jenis perkawinan yang khas, cara membayar belis atas sebuah perkawinan yang sah dan halangan-halangan perkawinan dalam tradisi orang Migani yang khas pula. Juga telah ditampilkan paham perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik mulai dari Kanon 1055 – 1156), beserta kutipan-kutipan Kitab Suci Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB) sebagai dasar dari Hukum Gereja yang telah menerangi perkawinan adat orang Migani.
Sesudah lalui proses seperti itu, selanjutnya telah melihat sistem perkawinan adat orang Migani dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Sistem perkawinan adat orang Migani yang dilihat dalam terang Hukum Perkawinan Gereja Katolik itu berkaitan dengan sejumlah kebiasaan dalam tradisi perkawinan orang Migani yang tidak relevan dengan kemanusiaan, yang tidak relevan dengan kebebasan (hak asasi) pria dan wanita dalam memilih jodohnya sendiri dan kebiasaan buruk lain yang tidak membawa manusia pada keselamatan sejati. Semoga semua yang telah dijelaskan dalam terang hukum Perkawinan Gereja Katolik itu membantu orang Migani hidup menghayati perkawinan secara sempurna.

                                                                                                                            Penulis Yeskiel Belau

Daftar Pustaka
A.Tjatur Raharso. 2014. Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik. Malang. Dioma.
---------------------.2016. Halangan-Halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik. Malang. Dioma.
Elias Japugau.  2007. Dinamika Hidup Suku Migani. Makalah. Timika: Usaha Mandiri.
-----------------. 2010. Tutup Mata di Bilogai, Cuci Mata di Timika: Analisa tentang situasi ini. Makalah. Nabire: Usaha Mandiri.
Konferensi Wali Gereja indonesia. 2016. Kitab Hukum Kanonik. Bogor. Grafika Mardi Yuana.
Kleopas Sondegau. 2014. Menemukan Wajah Yesus dalam Mitos Tokoh Peagbega Orang Migani. Skripsi. STFT Fajar Timur Abepura –Jayapura.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2009. Alkitab Deuterokanonika. Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta.
Louiz Markus Zonggonau. 1976. Praktek dan Latar Belakang Larangan perkawian Antara Suku Mee dengan Migani yang diungkapkan dengan istilah Wiyee atau Wize. Skripsi. STFT Fajar Timur Abepura Jayapura.
Natalis Tabuni. 1997. Relasi Orang Migani dengan EMO. Skripsi. STFT Fajar Timur Abepura – Jayapura.
Neno Tabuni. 2010. Rekam Jejak: sebuah refleksi perjuangan mayarakat Migani menuju Intan Jaya. Pemerintah Kabupaten Intan Jaya.
Timpas Dekenat Migani Puncak Jaya. 2008. Pesan-pesan Musyawarah Pastoral (MUSPAS). Upaya Menjaga Jati Diri. Paroki Bilogai: Intan Jaya.
Undang-undang No 54. 2008. Tentang pembentukan Kabupaten Intan Jaya.
Yeskiel Belau. 2015. Hajii: Konsep Keselamatan Menurut Orang Migani Relevansi Dengan Keselamatan Menurut Ajaran Gereja Katolik. Skripsi: STFT “Fajar Timur” Abepura – Jayapura.

Sumber Personal: Daniel Hagimuni S.IP.


[1]A. Tjatur Raharso. Paham Perkawinan. (Malang: Dioma, 2014).hlm.17.
[2]Ibid.
[3]Yeskiel Belau. Hajii: Konsep Keselamatan Menurut Orang Migani Relevansi Dengan Keselamatan Menurut Ajaran Gereja Katolik”. (Skripsi: STFT “Fajar Timur”, 2015).hlm.11-13.
[4]Mbulu-Mbulu sampai Magataga merupakan nama wilayah yang menjadi milik orang Migani dan sekaligus menjadi pembatas Wilayah orang Migani dengan Wilayah suku-suku tetangga lainnya. Mbulu-Mbulu berada di bagian Timur yang berbatasan dengan suku bangsa Lani (Kabupaten Puncak). Sedangkan Magataga berada dibagian barat yang menjadi pembatas antara daerah suku bangsa Migani dengan suku bangsa Mee (Kabupaten Paniai). 
[5]Timpas Dekenat Migani – Puncak Jaya. Pesan-pesan Musyawarah Pastoral (MUSPAS): Upaya Menjaga Jati Diri. (Paroki Bilogai: Intan  Jaya 2008).hlm.8.
[6]Ibid.,
[7]Lihat Undang-undang No 54 2008 tentang pembentukan Kabupaten Intan Jaya.
[8]Ibid.,
[9]Kleopas Sondegau. Menemukan Wajah Yesus dalam Mitos Tokoh Peagbega Orang Migani. (Skripsi: STFT “Fajar Timur”, 2014).hlm.11.
[10]Ibid.
[11]Elias Japugau, Dinamika hidup suku Migani. (Makalah: Usaha mandiri, 2002).hlm.1.
[12]Kleopas Sondegau Lop. Cit.
[13]Louiz Markus Zonggonau Praktek dan Latar Belakang Larangan perkawian Antara Suku Ekagi dengan Migani yang diungkapkan dengan istilah Wiyee atau Wize. Skripsi. (Jayapura: STFT, 1976).hlm.4.
[14]Tabuni Neno. Rekam Jejak: sebuah refleksi perjuangan mayarakat Migani menuju Intan Jaya. (Pemerintah: Kabupaten Intan Jaya, 2010).hlm.59.
[15]Halangan-halangan Nikah versi Hukum Gereja Katolik lihat dam buku A. TJatur. Raharso. “Halangan-halangan Nikah menurut Hukum Gereja Katolik”. (Malang: Dioma, 2016).hlm.14-16, 39 dst.
[16]Lebih mendalam bisa lihat dalam Buku A. Tjatur Raharso. Paham Perkawinan.hlm.59-80.
[17]Ibid.hlm.100-113.
[18]Ibid. Paham Perkawinan.hlm.275-290.
[19] Ibid, Natalis Tabuni.
[20]Konferensi wali Gereja indonesia. Kitab Hukum Kanonik. (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2016).hlm.303.

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT