Video Of Day

Subscribe Youtube

Friday, 25 October 2013

MAKNA ACARA WISUDAH MAHASISWA-MAHASISWI MIGANI JAYAPURA



Oleh Yeheskiel Belau 

        "Gelar Sarjana Jangan Jadikan Bantal. Bekalilah dirimu dengan skill yang dapat  membantu masa depan hidup kariermu. Dan, budayakan sikap sopan santun di kota studi ini. Demikian pesan-pesan Anggota DPR Propinsi Papua Bapak Thomas Sondegau dalam sambutan acara Wisudah Mahasiswa/i Migani Intan Jaya, Kamis, 30/08/2012 di Asrama Migani Buper Jayapura".

Fato Dokomen Pribadi.
Gelar sarjana jangan jadikan bantal. Demikian salah satu pesan anggota DPR Propinsi Papua Thomas Sondegau. Bukan hanya itu, dalam sambutannya beliau menyampaikan cukup banyak pesan yang bermakna. Tetapi kalau dilihat secara saksama semuanya bermuara pada pesan yang dikemukakan. Bagi kami, pesan yang ditujukan kepada ketujuh mahasiswa/i yang telah wisudah tersebut amat penting. Karena melaluinya kita dapat memetik nilai-nilai luhur yang tersirat.  Beliau menguraiakannya bertolak dari realitas global di dunia kerja. Menurutnya, banyak orang memiliki gelar sarjana yang menawan, tetapi di dunia kerja justru kesarjanaannya itu tidak diperlihatkan. Mengapa? Karena gelar sarjana itu dijadikan bantal". Bagaimana bisa? Temukan maksud pernyataan itu. Di sini kami merefleksikannya agar dapat membantu kita dalam studi dan pengabdian.
Secara sederhana kata sarjana adalah gelar. Kata jangan berarti larangan. Kata jadikan berarti sesuatu yang dikorbankan. Bantal adalah benda yang hanya digunakan untuk meletakkan kepala saat tidur (supaya nyaman). Jadi, ini merupakan analogi yang memuat makna. Di mana Bapak Thomas hendak melarang agar gelar sarjana itu tidak dikorbankan dengan tujuan positif.
Dikorbankan berarti menjadikan sesuatu sebagai korban. Biasanya korban dipahami pada benda, hewan atau manusia yang menderita (mati) karena akibat suatu kejadian. Namun hal yang dimaksudkan di sini amat berbeda dari itu. Dalam hal ini yang dikorbankan adalah gelar sarjana. Korbankan gelar sarjana berarti, gelar itu mengalami penderitaan (mati). Karena gelar tersebut dijadikan sebagai jalan masuk untuk menyombongkan diri, bangga dan akhirnya mengorbankan nilai-nilai moral dalam pelayan. Katakanlah polah hidupnya lebih buruk dari orang yang tidak berpendidikan. Selalu mengikuti kemauan dan kesenangan instan semata. Seperti mabuk-mabukan, pacaran yang tidak sehat, berkecimpung dalam narkoba dan sebagainya. Jikalau demikian gelar sarjana akan menjadi korban mabuk-mabukan dan semacamnya. Gelar sarjana akan tinggal sebuah nama belaka. Hanya menjadi tempat pelarian (menyembunyikan diri dalam gelar). Supaya dihormati masyarakat dan akhirnya ia merasa nyaman.

Bagaimana cara orang menjadikan gelarnya bagaikan bantal? Karena orang sudah merasa nyaman (kecanduan) dalam situasi yang sedemikian, ia berpikir; tanpa yang satu ini saya tidak bisa hidup. Dan, setiap hari ia berada dan hidup dalam situasi yang begitu-begitu saja. Karena itulah Bapak Thomas melarang situasi hidup seperti itu.
Menurut Bapak Thomas Sondegau yang juga berbicara sebagai pembina mahasiswa kota studi Jayapura, "supaya hal itu tidak terjadi, alangkah baiknya para sarjanawan/i muda ini perlu pembelajaran berlanjut. Pengalaman apa saja yang anda dapatkan di kampus, supaya terus pelajari dan kembangkan serta memiliki skilnya. Supaya kelak adik-adik tidak mengalami kesulitan di dunia karier. Ingat Kabupaten Intan Jaya adalah negerimu. Anda harus menjadi tuan atas negerimu itu. Tetapi jikalau anda menganggap diri sebagai sarjana dan membuang semua pengalaman pengetahuan yang anda dapatkan, apa artinya gelar sarjana? Bapa sarankan supaya kalian membekali diri dengan berbagai macam pelatihan. Bila perlu mengusahakan kursus-kursus teknologi (komputer, mobil, motor dll)" akrabnya.

Bapak anggota DPR Propinsi ini melanjutkan sambutannya dengan topik tentang masyarakat yang dikorbankan. Banyak pengalaman telah terjadi dalam Pilkada perdana Intan Jaya. Dalam hal ini Bapak Thomas mengatakan bahwa "masyarakat telah menjadi korban". Mengapa? Barangkali pada pesta demokrasi itu, kita yang mahasiswa sempat memihak  kandinat tertentu dan memihak cara-cara yang fanatik. Sehingga terkesan mendobrak-ambrik kealamian pandangan masyarakat. 
Masyarakat menjadi korban? Menurut Pak Thomas “Ya, tentunya usai persoalan, para mahasiswa kembali ke kota studi masing-masing dan hidup sebagai saudara. Minum kopi atau teah dan bercanda riah bersama. Namun masyarakat yang tinggal di Intan Jaya saling bertikai dan bermusuhan. Jika demikian bukankah masyarakat menjadi korban? Hal semacam ini tidak boleh tejadi. Mahasiswa mesti hadir dan berdiri netral” tegasnya. 

Bapak Thomas adalah wakil masyarakat sendiri, maka apa pun yang terjadi, terutama hal yang berbauh merugikan pihak masyarakat, tentunya beliau akan selidiki. Karena itu, hal yang perlu kita lakukan adalah terbuka dan refleksi. Tidak perlu tanyakan siapa pelaku dan sebagainya. 

Sambutan terakhir, Bapak Thomas menegaskan betapa pentingnya sopan santun hidup di kota studi Jayapura. Menurutnya, sebagai junior (pelajar dan mahasiswa baru) berlagalah sebagai junior. Menghargai para senior bukan hanya karena ia cukup berpengalaman di dunia pendidikan dan pengalaman hidup merantau, tetapi sebagai sesama manusia. Begitu pun sebaliknya, sebagai senior berlagalah seperti seorang kakak yang baik. Memberikan nasehat, dukungan dan motivasi yang memajukan adik-adikmu".

ü  Don’t Forget 
v  Untuk membangun Daerah, harus membangun diri terlebih dahulu ( Perwakilan dari          orang tua yang ada di Jayapura). 

v  Milikilah skill sebanyak mungkin, supaya anda menjadi tuan atas negerimu sendiri (Perwakilan orang tua Intan Jaya: Bapak Jermias Migau). 

v  Jadikan Kejujuran budaya kita, supaya kejujuran menjadi budaya Intan Jaya (Wakil Ketua IPMMJ. Karel Kobogau).



·         Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura Papua

0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT