Video Of Day

Subscribe Youtube

Friday, 25 October 2013

PERISTIWA DAN PENGALAMAN HIDUP MANUSIA TAKDIR ATAU TIDAK?

                                                          Oleh Yeskiel Belau 

Foto Ilustrasi Download Dari Internet.
Dalam kehidupan dewasa ini, manusia seringkali menanggapi segala macam peristiwa dan pengalaman hidup sebagai “takdir”. Pertanyaannya, apakah tanggapan itu berdasar pada pemahaman yang mendalam dan ilmiah? Sepertinya kita harus mengakui bahwa pengetahuan tentang “takdir”  hanya sepotong-sepotong. Tanggapan itu bisa jadi dipandang dari sudut iman, tetapi iman yang belum dewasa. Mengapa kami katakan demikian? Karena manusia cenderung memperlihatkan ke-mahakuasaan Tuhan, tetapi manusia sendiri segan untuk terbuka  dan mengungkapkan “keberadaan” Tuhan secara logis. Manusia hanya menerima ke-mahakuasaan Tuhan tanpa bertanya. Dalam benak manusia menyimpan pemahaman bahwa Tuhan itu maha kuasa, jadi tidak layak mempertanyakan keberadaan-Nya. Kemudian manusia menyerah pada situasi tanpa menyalurkan energi dalam usaha untuk ke luar dari peristiwa dan situasi hidup yang dialaminya. Pandangan seperti ini terkesan lantas mengfonis semua peristiwa dan pengalaman hidup sebagai takdir.  

Dalam alam pikiran manusia Indonesia masih nyata bahwa hubungan Tuhan dengan manusia diberi bentuk “takdir.” Manusia cenderung memahami “takdir”  sebagai “Tindakan langsung dari Tuhan yang menentukan nasib manusia”. Pemahaman ini sangat menonjolkan ke-mahakuasaan Tuhan. Dan, karenanya secara tidak langsung manusia memandang Allah seperti “dalang” segala peristiwa/kejadian, pengalaman dan riwayat manusia. Seperti; “Hidup, Mati, Jodoh, Nasib baik dan buruk”. Semacam semuanya sudah direncanakan dan ditentukan oleh Tuhan.  Benarkah demikian?

Menurut teori evolusi, manusia bukanlah semacam “boneka” yang digerakkan oleh tangan Tuhan. Tetapi manusia itu adalah makluk yang dilengkapi dengan akal budi. Berakal budi berarti makluk yang merdeka. Dengan bebas ia mampu menentukan nasibnya sendiri. Sebab justru itulah kehendak Tuhan. Supaya manusia dengan daya budi dan cintanya bergerak, menjadi kreatif dan dengan demikian mencerminkan kreativitas  Tuhan sendiri. Dengan akal budinya manusia bukan hanya menjadi lebih sadar akan kemampuan dan tanggung jawabnya terhadap masa depan, tetapi juga memahami keberadaan Tuhan secara mendalam, menyeluruh dan dewasa. Dengang demikian manusia yakin bahwa bahagia atau tidaknya hidup di dunia ini ada pada budi manusia itu sendiri. Karena hanya melalui hasil kreasi budinya, manusia dapat menerangi sengsara dan merencanakan wujud situasi hidup, hingga menjadi lebih manusiawi. Ia meneruskan penciptaan dunia, dengan resiko, bahwa ia bisa gagal, tetapi juga dengan harapan  bahwa ia akan berhasil. Jika manusia menjalani hidup seperti demikian, maka pemahaman  hidup sebagai nasib atau takdir yang harus diterima secara sabar akan diganti sebagai suatu tantangan yang menuntut segala kekuatan dan keberaniannya. Sikap ini merupakan pembebasan manusia dari sikap pasif dan fatalistis.

Hindari pandangan demikian:  “Manusia boleh berbuat apa saja dengan akal budinya dan harus berusaha sebaik-baiknya. Tetapi jika ia mengalami suatu peristiwa yang fatal, usahanya gagal dan sebagainya, lalu itu dikatakan  takdir”. Dari mana kita tahu bahwa semua itu merupakan takdir Tuhan? Apakah Tuhan memang menakdirkan kegagalan dan sengsara? Bukankah Kitab Suci memperkenalkan Tuhan yang menghendaki keselamatan manusia di dunia ini? Tidakkah Kristus menampilkan cinta kasih Allah dengan menyembuhkan orang-orang sakit di dunia kita?

Maka jika manusia mengalami peristiwa yang menyakitkan, merasa gagal dalam usaha dan terus-menerus berada dalam situasi yang kurang bahagia, mesti ditanyakan duhulu. Apakah tidakan-tindakannya memang merupakan pilihan tepat, manusiawi dan bermoral, sehingga mengalami peristiwa seperti ini? Apakah pilihannya sesuai dengan nurani, bakat dan kemampuan? Kalau daya tahan tubuh seseorang menurun dia harus istirahat, tetapi perlu disadari bahwa itu bukan takdir, melainkan merupakan pemenuhan kebutuhan tubuh yang logis. Namun jika ia kurang memberi kesempatan kepada tubuh untuk istirahat, pasti ia akan mengalami sakit dan bahkan bisa berujung pada kematian. Peristiwa seperti ini juga bukan merupakan takdir. Contoh lain; seseorang sebenarnya tidak berbakat dalam ilmu kedokteran, tetapi ia nekat memilihnya. Kemudian ternyata gagal dalam ujian, maka jelaslah bahwa itu tidak merupakan takdir, melainkan akibat pilihan yang salah dari mahasiswa itu sendiri.

Peristiwa menyakitkan dan kegagalan bisa terjadi karena manusia kurang bertekun, kurang membaca dan mematuhi tanda-tanda kehadiran Tuhan dan kehendak-Nya. Kurang bertanya pada realitas yang terlintas di depan mata. Atau kurang memaknai pengalaman kongkritnya dan sesama (global). Mestinya menjadikan momen-momen kongkrit yang terlintas di depan mata sebagai guru dan pelajaran berharga untuk mengerti, memahami dan membaharui diri serta senantiasa berusaha untuk berbuat keutamaan-keutamaan hidup yang mengarahkan manusia pada kebaikan sejati.

Pada hakekatnya paham takdir mengaburkan hubungan manusia dengan Tuhan. Kita adalah anak Allah yang merdeka, bukan budaknya. Dengan menyangkal paham takdir, kita tidak menyangkal mengaruh Tuhan  atas manusia. Pengaruh itu sebaiknya kita namakan “bimbingan”, sesuai dengan bahasa Alkitab. Bimbingan Tuhan itu menggunakan banyak jalur. Tuhan berbicara secara lembut kepada kita lewat hati nurani, melalui nasehat sesama, melalui penyelidikan ilmiah yang jujur dan melalui alam semesta. Di sanalah  Allah menyampaikan pesan kepada manusia untuk membaharui hidup terus-menerus. Sehinga manusia mengusahakan hidupnya sendiri untuk menjadi sempurna sebagaimana Allah adalah sempurna ada-Nya. Titik inilah yang mesti diperjuangkan oleh setiap insan. Dengan jalan hidup baik (melihat secara baik, berpikir secara baik dan berbuat yang terbaik) bagi dirinya sesamanya dan alam di sekitarnya. Sebab inilah yang “dikehendaki Allah” bagi hidup manusia di dunia, sebagai syarat menuju kesempurnaan hidup yang dikehendaki Allah sendiri. Maka sesungguhnya tujuan hidup manusia di dunia adalah mencapai kesempurnaan hidup dalam “Diri Allah”. Titik inilah yang disebut “omega”. Jadi, Allah tidak mengurangi kebebasan manusia, tetapi menunjang kebebasa manusia seluas-luasnya. Allah tidak menakdirkan, tetapi mencintai, kirannya seperti seorang Bapak mencintai putera atau puterinya.


0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT