Oleh Yeskiel Belau
Foto Ilustrasi Download Dari Internet. |
Dalam alam pikiran manusia
Indonesia masih nyata bahwa hubungan Tuhan dengan manusia diberi bentuk
“takdir.” Manusia cenderung memahami “takdir” sebagai “Tindakan
langsung dari Tuhan yang menentukan nasib manusia”. Pemahaman ini sangat menonjolkan
ke-mahakuasaan Tuhan. Dan, karenanya secara tidak langsung manusia memandang
Allah seperti “dalang” segala peristiwa/kejadian, pengalaman dan
riwayat manusia. Seperti; “Hidup, Mati, Jodoh, Nasib baik dan buruk”. Semacam
semuanya sudah direncanakan dan ditentukan oleh Tuhan. Benarkah demikian?
Menurut teori evolusi, manusia
bukanlah semacam “boneka” yang digerakkan oleh tangan Tuhan. Tetapi
manusia itu adalah makluk yang dilengkapi dengan akal budi. Berakal budi
berarti makluk yang merdeka. Dengan bebas ia mampu menentukan nasibnya sendiri.
Sebab justru itulah kehendak Tuhan. Supaya manusia dengan daya budi dan
cintanya bergerak, menjadi kreatif dan dengan demikian mencerminkan kreativitas
Tuhan sendiri. Dengan akal budinya manusia bukan hanya menjadi lebih
sadar akan kemampuan dan tanggung jawabnya terhadap masa depan, tetapi juga
memahami keberadaan Tuhan secara mendalam, menyeluruh dan dewasa. Dengang
demikian manusia yakin bahwa bahagia atau tidaknya hidup di dunia ini ada pada
budi manusia itu sendiri. Karena hanya melalui hasil kreasi budinya, manusia
dapat menerangi sengsara dan merencanakan wujud situasi hidup, hingga menjadi
lebih manusiawi. Ia meneruskan penciptaan dunia, dengan resiko, bahwa ia bisa
gagal, tetapi juga dengan harapan bahwa ia akan berhasil. Jika manusia
menjalani hidup seperti demikian, maka pemahaman hidup sebagai nasib atau
takdir yang harus diterima secara sabar akan diganti sebagai suatu tantangan
yang menuntut segala kekuatan dan keberaniannya. Sikap ini merupakan pembebasan
manusia dari sikap pasif dan fatalistis.
Hindari pandangan
demikian: “Manusia boleh berbuat apa saja dengan akal budinya dan
harus berusaha sebaik-baiknya. Tetapi jika ia mengalami suatu peristiwa yang
fatal, usahanya gagal dan sebagainya, lalu itu dikatakan takdir”. Dari
mana kita tahu bahwa semua itu merupakan takdir Tuhan? Apakah Tuhan memang
menakdirkan kegagalan dan sengsara? Bukankah Kitab Suci memperkenalkan Tuhan
yang menghendaki keselamatan manusia di dunia ini? Tidakkah Kristus menampilkan
cinta kasih Allah dengan menyembuhkan orang-orang sakit di dunia kita?
Maka jika manusia mengalami
peristiwa yang menyakitkan, merasa gagal dalam usaha dan terus-menerus berada
dalam situasi yang kurang bahagia, mesti ditanyakan duhulu. Apakah tidakan-tindakannya
memang merupakan pilihan tepat, manusiawi dan bermoral, sehingga mengalami
peristiwa seperti ini? Apakah pilihannya sesuai dengan nurani, bakat dan
kemampuan? Kalau daya tahan tubuh seseorang menurun dia harus istirahat, tetapi
perlu disadari bahwa itu bukan takdir, melainkan merupakan pemenuhan kebutuhan
tubuh yang logis. Namun jika ia kurang memberi kesempatan kepada tubuh untuk
istirahat, pasti ia akan mengalami sakit dan bahkan bisa berujung pada
kematian. Peristiwa seperti ini juga bukan merupakan takdir. Contoh lain;
seseorang sebenarnya tidak berbakat dalam ilmu kedokteran, tetapi ia nekat
memilihnya. Kemudian ternyata gagal dalam ujian, maka jelaslah bahwa itu tidak
merupakan takdir, melainkan akibat pilihan yang salah dari mahasiswa itu sendiri.
Peristiwa menyakitkan dan
kegagalan bisa terjadi karena manusia kurang bertekun, kurang membaca dan
mematuhi tanda-tanda kehadiran Tuhan dan kehendak-Nya. Kurang bertanya pada
realitas yang terlintas di depan mata. Atau kurang memaknai pengalaman kongkritnya
dan sesama (global). Mestinya menjadikan momen-momen kongkrit yang terlintas di
depan mata sebagai guru dan pelajaran berharga untuk mengerti, memahami dan
membaharui diri serta senantiasa berusaha untuk berbuat keutamaan-keutamaan
hidup yang mengarahkan manusia pada kebaikan sejati.
Pada hakekatnya paham takdir mengaburkan hubungan manusia dengan Tuhan.
Kita adalah anak Allah yang merdeka, bukan budaknya. Dengan menyangkal paham
takdir, kita tidak menyangkal mengaruh Tuhan atas manusia. Pengaruh itu
sebaiknya kita namakan “bimbingan”, sesuai dengan bahasa Alkitab. Bimbingan
Tuhan itu menggunakan banyak jalur. Tuhan berbicara secara lembut kepada kita
lewat hati nurani, melalui nasehat sesama, melalui penyelidikan ilmiah yang
jujur dan melalui alam semesta. Di sanalah Allah menyampaikan pesan
kepada manusia untuk membaharui hidup terus-menerus. Sehinga manusia
mengusahakan hidupnya sendiri untuk menjadi sempurna sebagaimana Allah adalah
sempurna ada-Nya. Titik inilah yang mesti diperjuangkan oleh setiap insan.
Dengan jalan hidup baik (melihat secara baik, berpikir secara baik dan berbuat
yang terbaik) bagi dirinya sesamanya dan alam di sekitarnya. Sebab inilah yang
“dikehendaki Allah” bagi hidup manusia di dunia, sebagai syarat menuju
kesempurnaan hidup yang dikehendaki Allah sendiri. Maka sesungguhnya tujuan
hidup manusia di dunia adalah mencapai kesempurnaan hidup dalam “Diri Allah”.
Titik inilah yang disebut “omega”. Jadi, Allah tidak mengurangi
kebebasan manusia, tetapi menunjang kebebasa manusia seluas-luasnya. Allah
tidak menakdirkan, tetapi mencintai, kirannya seperti seorang Bapak mencintai
putera atau puterinya.
0 komentar:
Post a Comment