Oleh Yeskiel Belau
Salib BerCorpus |
Retret akhir Tahun Orientasi Rohani yang saya tekuni selama delapan hari (20 – 29 Mei) adalah saat di mana saya menimbah kekuatan dari sumber kerohanian Gereja untuk hidup di zaman ini, sekaligus membangun satu rasa, satu budi, satu hati, satu keprihatinan dengan Gereja dewasa ini yang merindukan pribadi-pribadi yang:
Pertama; mampu mengembangkan bahasa berbuat dalam paguyuban masyarakat madern khususnya masyarakat miskin ekonomi dalam menyebar, membela dan memberdayakan hidup.
Kedua; Mendayakan masing-masing pribadi dengan nilai-nilai Kerajaan Allah dan spiritualias Gereja.
Ketiga; Rela bersedia diikutsertakan dalam gerak kerasulan sebagai tanda tanggung jawab terhadap arus keselamatan yang dipercayakan Allah pada tiap pribadi beriman di zaman ini.
Pertama; mampu mengembangkan bahasa berbuat dalam paguyuban masyarakat madern khususnya masyarakat miskin ekonomi dalam menyebar, membela dan memberdayakan hidup.
Kedua; Mendayakan masing-masing pribadi dengan nilai-nilai Kerajaan Allah dan spiritualias Gereja.
Ketiga; Rela bersedia diikutsertakan dalam gerak kerasulan sebagai tanda tanggung jawab terhadap arus keselamatan yang dipercayakan Allah pada tiap pribadi beriman di zaman ini.
Pelaksanaan retret tersebut didampingi oleh Romo R. S. Sarto Pandoyo SJ dan Romo Rektor TOR (Romo Basilius Soedibja SJ.) dalam perspektif ketiga hal yang diutarakan di atas. Tujuannya adalah agar kami (para formandi) dapat mewujudkan inti jiwa hidup Imamat dalam zaman yang terus berubah ini. Ada pun Pokok-pokok retret dari hari perama hingga hari terakhir:
Hari pertama; Asas dan Dasar Hidup Imamat. Hari kedua; Kebebasan Batin Sebagai Disposisi Menjawab Panggilan. Hari ketiga; Miseri Dosa dan Rahmat Pengampunan. Hari keempat Kontemplasi Kerajaan Allah. Hari kelima; Yesus Jalan Kebenaran dan Hidup. Hari keenam; Kontemplasi Atas Kesengsaraan dan Miseri Paskah. Hari ketujuh; Miseri Yang Hilang Ditemukan Kembali. Hari kedelapan; Bina Diri terus-Menerus. Juga dibantu dengan pendalaman materi tentang Discernment dalam setiap konferensi.
Dalam menekuni retret itu, saya sungguh merasa terbantu dalam mendalami kerohanian serta refleksi sejarah hidup yang berahmat. Saya melihat dan mengalami Kasih Allah yang begitu berlimpah dalam hidup saya. Saat ketiadaan segalanya di kampung, tiba-tiba saja saya berada di pusat Paroki dan berhasil dalam usaha studi pada Sekolah Dasar, di luar dugaan saya berada di Jayapura. Di sana saya jatuh-bangun mencari, mengusahakan dan menemukan kehidupan edukasi yang layak. Selain itu, tidak sedikit orang yang menaruh kasih dan perhatian pada saya dalam suka maupun duka hidup itu. Jikalau demikian bukankah itu Karya Allah bagi saya? Jawabku, sungguh itulah Kasih Allah bagi saya yang nyata.
Pengalaman Kasih Allah Melalui Sesama
Dalam retret pada hari keempat, siang itu saya mengalami kegelisahan yang hebat. Kontemplasi Kerajaan Allah yang saya kontemplasikan sepertinya tidak terarah. Enta mengapa alasannya? Tiba-tiba saja, saya buka mata dan memandang ke arah Salib besar yang disertakan Korpus besar di depan Kapela. Saya bertanya kepada-Nya, Tuhan mengapa saya gelisah? Adakah sesuatu yang belum beres? Salahkah pertanyaan dua Minggu lalu tentang kehadiran-Mu dalam hidupku? (Mengapa Krisus tidak pernah beremu dengan saya? Apakah saya orang berdosa? Atau justru saya yang tidak sadar akan kehadiran-Mu?). Sambil memandang salib, saya terus berkata-kata dalam hati di seputar pertanyaan itu dan pertanyaan ini.
Dalam konteks pikiran saya yang seperti itu, saya berusaha mengingat kembali akan pengalaman hidup saya yang sudah saya lupakan. Sekejap saja fantasiku menuju pada pengalaman hidup di masa-masa Sekolah Dasar. Saya ingat, saat itu saya berada diposisi anak yang amat serba terbatas dalam segala hal (anak miskin). Dalam situasi seperti ini, saya mendapat informasi dari pimpinan sekolah (Kepala Sekolah) bahwa “setiap siswa diwajibkan mengenakan busana sekolah yang lengkap, yaitu; Baju Putih, Celana Merah, Dasi, Topi dan Sepatu Hitam”. Mendengar intruksi Kepala Sekolah ini, saya pernah merasa binggung dan rasanya tidak mampu untuk memenuhinya. Perasaan seperti ini tentu, karena selama itu saya gunakan satu baju dan satu celana saja setiap hari. Pakaian yang saya gunakan itu tentu saja pakaian olahraga yang juga sudah kumal dan sebetulnya tidak layak pakai lagi, karena sudah robek-robek di bagian punggung (baju) dan bagian pantat belakang (celana), tetapi selalu saya tutupi dengan noken.
Dalam keadaan sikap batin saya yang binggung seperti itu, saya berniat untuk berusaha melengkapinya. Usaha yang saya lakukan saat itu adalah masuk ke hutan mencari rotan dan menjualnya di pasar. Saat itu, setiap pulang sekolah saya pergi ke hutan dan mengambil rotan lalu jual di pasar. Aktifitas seperti ini saya lakukan selama tiga Minggu. Dalam proses seperti ini saya mengalami kesulitan yang tidak sedikit. Lapar, haus, kedinginan, hujan dan ketidakpastian selalu saya rasakan. Demikian juga saat menjual pun tidak selamanya dibeli oleh pembeli. Seringkali saya membawanya pulang ke rumah karena tidak dibeli oleh pembeli.
Suatu hari (hari terakhir), saya membawa satu ikat rotan ke pasar Yokatapa dan menunggunya dengan harapan kalau-kalau ada pembeli yang mendatangiku untuk membelinya. Ternyata tidak ada satu manusia pun yang datang mendekatinya untuk membelinya, hingga semua orang pada pulang! Merasakan mengalam seperti ini, hati saya sangat hancur. Bagi saya, hari itu adalah hari terakhir yang saya harapkan untuk segera mengakhiri usaha itu dengan membeli keperluan sekolah tadi. Dengan hati yang kecewa, saya ancang-ancang kembali ke rumah. Saya tunduk mengambil ikatan rotan itu dan dalam keadaan mata berkaca-kaca angkat rotan itu. Sementara itu, muncullah seorang mono (Deba Me/sebutannya dalam bahasa daerah Migani), yang belum saya kenal. Deba Me itu berada di jembatan dan masuk ke arah pasar. Ia memakai maju kumal warna hitam, celana pendek bergaris hitam-biru dan memakai noken kulit kayu di bahu belakangnya. Ia datang mendekat lalu menanyakan dengan mimik (tanpa mengeluarkan suara). Gerakan tangannya tunjuk pada rotan dan mimik bibirnya jelas menunjukkan bahwa ia menanyakan harga rotan itu.
Saya pun kembali telakkan rotan yang cukup berat itu di tanah dan dengan mimik pula menggoyangkan ibu jari tangan saya, yang mengatakan bahwa harganya cuma satu (hagoma/dalam bahasa daerah Migani) yang artinya seribu rupiah. Padahal harga sebenarnya ialah lima ribu rupiah, tetapi karena saya sudah lelah dan soak, maka memilih jalan itu. Pemudah mono itu membuka nokennya dan mengeluarkan uang sebesar sepuluh ribuh rupiah dan memberikan uang itu kepada saya. Saya merasa binggung, karena bagi saya itu uang besar, yang tidak bisa saya kembalikan pecahannya dan memang di zaman itu uang itu sama sekali tidak sesuai dengan ukuran rotan. Namun ia memberikan uang itu pada saya tanpa mengharapkan uang kembaliannya dan malahan ia memeluk saya, lalu menyuruku pulang ke rumah. Saya pun sambil hati berbunga-bunga, undur pelan-pelan ke belakang hendak melihat reaksi selanjutnya dari beliau. Saya melihat beliau senyum lebar tanpa memandang ke arah saya lagi. Ia mengangkat rotan itu meletakkan di atas bahunya dan membelakangi saya. Saya memperhatikan kepergiannya itu dengan mata tajam dan secara saksama, hingga pemuda mono itu menghilang di ujung jalan bagian timur sana.
Saya pun kembali telakkan rotan yang cukup berat itu di tanah dan dengan mimik pula menggoyangkan ibu jari tangan saya, yang mengatakan bahwa harganya cuma satu (hagoma/dalam bahasa daerah Migani) yang artinya seribu rupiah. Padahal harga sebenarnya ialah lima ribu rupiah, tetapi karena saya sudah lelah dan soak, maka memilih jalan itu. Pemudah mono itu membuka nokennya dan mengeluarkan uang sebesar sepuluh ribuh rupiah dan memberikan uang itu kepada saya. Saya merasa binggung, karena bagi saya itu uang besar, yang tidak bisa saya kembalikan pecahannya dan memang di zaman itu uang itu sama sekali tidak sesuai dengan ukuran rotan. Namun ia memberikan uang itu pada saya tanpa mengharapkan uang kembaliannya dan malahan ia memeluk saya, lalu menyuruku pulang ke rumah. Saya pun sambil hati berbunga-bunga, undur pelan-pelan ke belakang hendak melihat reaksi selanjutnya dari beliau. Saya melihat beliau senyum lebar tanpa memandang ke arah saya lagi. Ia mengangkat rotan itu meletakkan di atas bahunya dan membelakangi saya. Saya memperhatikan kepergiannya itu dengan mata tajam dan secara saksama, hingga pemuda mono itu menghilang di ujung jalan bagian timur sana.
Usai perisiwa itu, dengan hati yang sungguh bahagia saya menjumlahkan seluruh perolehan uang hasil jualan rotan itu. Ternyata hasilnya mencapai Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah. Uang ini sangat banyak di zaman itu, maka wajarlah kebahagiaan saya itu. Dalam suasana batin yang bahagia itu, saya memutuskan untuk belanja keperluan sekolah seperti yang diinfokan oleh Kepala Sekolah tiga Minggu lalu. Hari itu juga saya menuju ke kios tempat jual pakaian seragam Sekolah Dasar (SD) beserta sepatu di sekitar pasar. Setelah menemukannya, saya membeli Celana Merah, Baju Putih, Dasi, Topi, Sepatu Hitam, Buku Tulis, Bolpen dan Pensil serta pakaian biasa satu pasang (baju & celana). Ya, maklumlah saat itu harga barang sangatlah murah, lima ribuh rupiah bisa dapat satu pasang pakaian. Dalam keadaan bahagian yang tak terbilang sebagai seorang anak kampung ini, saya pulang ke rumah. Selanjutnya, setiap hari saya kenakan busana itu ke sekolah. Saat-saat sekolah, di sekolah saya menjadi anak teladan di sekolah itu, hingga pernah menjadi ketua OSIS dan menamatkan pendidikan dasar ini dengan meraih Juarah Umum dalam Ujian Nasional di Tingkat dua Distrik, yaitu; Distrik Sugapa dan Distrik Homeo, yang Tahun 2002 pusatkan Ujian Nasionalnya di SD YPPK Bilogai itu.
Saya masih memandang salib, saya mengucapkan terimakasih kepada Tuhan secara spontan. Sambil berterimakasih, saya mengajukan pertanyaan “Tuhan, melalui pengalamanku itu apa yang hendak Engkau katakan?” Apakah Sabda ini “Hai kamu orang bodoh betapa lambannya hatimu, sehinggah kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan Nabi (Lks 24:25) kepada saya juga?.
Oh….Tuhan, sungguh benar betapa lambannya hatiku melihat kehadiran-Mu, yang menyelamatkanku! Maafkanlah aku yang berdosa ini! Saya selalu mencari Engkau dan mengharapkan kehadiran-Mu dalam hal-hal yang lebih besar. Inilah kelambananku. Kini saya bersyukur atas usaha-Mu mendayakan saya akan kehadiran-Mu dalam hidupku itu. Engkau sudah hadir dan telah menyelamatkan saya. Engkau begitu baik dan mengasihi saya bersama dengan segala kerapuhan saya. Engkau juga pasti akan mengampuni saya. Maka saya yang rapuh ini, tanpa ragu ingin tinggal di dalam kasih-Mu. “Terimalah persembahan hidup ini.”
Tuntunan para Romo untuk berefleksi seperti itu serta pengalaman hidup rohani, mampu mendayai saya melihat panggilan Imamat sebagai Rahmat Tuhan yang harus saya perjuangkan. Saya merasa berdaya juga karena kelambanan hatiku itu, sungguh menjadi pulih berkat tuntunan yang sama. Teristimewa daya untuk menangkap kehadiran Tuhan. Oleh sebab itu, saya merasa mengalaman tersebut merupakan salah satu dari awal perjumpaanku dengan-Nya (Krisus). Karena itu, pada akhir retret dengan sadar dan mau saya memutuskan bahwa “saya siap dan mau menjadi Imam Projo Keuskupan Timika. Saya bersedia dipakai oleh Tuhan dalam mewarakan karya keselamatan-Nya di Keuskupan Timika dalam bimbingan Bapa Uskup.
Melalui tuntunan pula saya menetapkan Visi dan Misi Perjalanan Pendidikan Panggilanku, yaitu;
Visi
Menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berprinsip dan tegas pada keputusan serta bersahabat dengan Yesus Kristus Sang Imam Agung, Nabi dan Raja, untuk kemudian menjadi Imam Projo di Keuskupan Timika yang mampu mengabdikan diri dalam karya penyelamatan Jiwa-jiwa Umat Manusia.
Misi
Kerja Keras membenuk empat (4) aspek hidup:
Pertama: Hidup Rohani, mencakup, memiliki iman yang kokoh, budayakan doa-doa pribadi, menerima sakramen, memperdalam Kiab Suci, Devosi, bimbingan Rohani, Rekoleksi, memperdalam ajaran-ajaran Gereja dan surat-surat apostolik.
Kedua: Hidup kematangan Pribadi; mencakup; menjaga kesehatan, studi, lepas bebas, belajar melayani dengan adil, benar dan baik, tanggung jawab, jujur serta bijaksana.
Ketiga: Unsur sosial, mencakup; pekah terhadap keadaan, kerja sama, tanggung jawab pada janji, menghargai, relasi yang luas.
Keempat: Pengembangan diri, mencakup; memiliki kemauan dan siap sedia untuk belajar terus-menerus, peduli pada perkembangan zaman dan sebagainya.
Visi
Menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berprinsip dan tegas pada keputusan serta bersahabat dengan Yesus Kristus Sang Imam Agung, Nabi dan Raja, untuk kemudian menjadi Imam Projo di Keuskupan Timika yang mampu mengabdikan diri dalam karya penyelamatan Jiwa-jiwa Umat Manusia.
Misi
Kerja Keras membenuk empat (4) aspek hidup:
Pertama: Hidup Rohani, mencakup, memiliki iman yang kokoh, budayakan doa-doa pribadi, menerima sakramen, memperdalam Kiab Suci, Devosi, bimbingan Rohani, Rekoleksi, memperdalam ajaran-ajaran Gereja dan surat-surat apostolik.
Kedua: Hidup kematangan Pribadi; mencakup; menjaga kesehatan, studi, lepas bebas, belajar melayani dengan adil, benar dan baik, tanggung jawab, jujur serta bijaksana.
Ketiga: Unsur sosial, mencakup; pekah terhadap keadaan, kerja sama, tanggung jawab pada janji, menghargai, relasi yang luas.
Keempat: Pengembangan diri, mencakup; memiliki kemauan dan siap sedia untuk belajar terus-menerus, peduli pada perkembangan zaman dan sebagainya.
Pada akhir retret dan akhir refleksi ini, saya ingin dan telah memutuskan untuk menjadi Imam Projo Keuskupan Timika. Inilah jalanku dan arah hidupku. Semoga EMO terus memberi semangat dan kesehatan dalam lalui jalan-Nya ini.
0 komentar:
Post a Comment