Video Of Day

Subscribe Youtube

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, 7 March 2018

HIDUP YANG MENGHIDUPKAN HIDUP


                                                             Yeheskiel Belau
  
Kata orang “hidup yang tidak direfleksikan tak layak untuk dijalani”, maka hidup ini perlu direfleksikan, apalagi merefleksikan perjalanan hidup panggilan sebagai calon imam. Refleksi perjalanan hidup panggilan sebagai calon imam ini penting, karena ini merupakan cerminan untuk menjadi yang lebih baik. Pertanyaaannya apa itu refleksi? Refleksi berasal dari kata “re dan flaxa”. Re artinya kembali. Flaxa artinya melengkung. Jadi, refleksi adalah kembali melengkung. Artinya; kembali melengkung ke arah dirinya sendiri. Melihat kembali seluruh pengalaman hidup dalam terang Iman akan Yesus Kristus. Kemudian mendirikan suatu sikap yang jelas untuk memaknai pengalaman tersebut dan juga sebagai kekuatan hidup ke depan. Refleksi hubungannya dengan panggilanku adalah melengkung ke arah panggilanku sendiri untuk melihat pengalaman perjalanan panggilanku pada semester ini seraya menyegarkan dan mengambil sikap yang jelas untuk menjalani panggilanku sebagai calon imam. 

Refleksi akhir semester ini merupakan refleksi lanjutan dari refleksi pada semester-semester sebelumnya. Refleksi pada semester ini juga, saya berusaha merefleksikan pengalaman hidup mengalami pembinaan-pembinaan di seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru secara umum dan secara khusus pembinaan yang telah saya alami bersama pastor pembinaku (Pater Yoseph Igitaro Pr). Sehubungan dengan itu, saya merasa bahwa proses pembinaan yang saya alami di sini telah mencakup berbagai segi: Pertama: Pembinaan manusia, sebagai dasar dari segala pembinaan panggilan Imamat. Kedua: Pembinaan Rohani; sebagai dasar dalam bersekutuh dengan Allah – mencari Yesus. Ketiga: Pembinaan Intelektual; memahami dan mengalami iman akan Yesus Kristus. Keempat: Pendidikan Pastoral; persekutuaan cinta kasih Yesus Kristus Sang Gembala Baik. 

Sejalan dengan segi-segi tersebut, saya ingin menjelaskan judul refleksi ini “Hidup yang menghidupkan hidup”. Jadi, judul refleksi ini betul-betul lahir dari kedalaman hatiku sendiri. Maka maksud judul Hidup yang menghidupkan adalah segala bentuk pembinaan panggilan yang sudah saya alami dan rasakan dari para pembina di Seminari Tinggi ini. Sedangkan hidup yang saya maksud adalah saya yang menerima seluruh proses pembinaan sebagai insan yang hidup ini. Artinya bahwa mereka (para pembina) yang telah menghidupkan panggilan Tuhan itu sudah berusaha menghidupkan panggilanku juga. Maka berikut ini saya dapat merefleksikan perjalanan panggilanku selama semester ini di Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru. 

Merefleksikan keempat segi pembinaan yang telah saya sebutkan di atas secara lengkap adalah mustahil dalam waktu sesingkat ini. Artinya bahwa saya dibatasi oleh waktu untuk merefleksikannya secara lengkap, berhubung informasi tentang refleksi yang baru saja saya peroleh pada hari ini (14/06/2014). Hal ini terjadi atas kesalahanku sndiri, sebab saat pertemuan keuskupan saya tidak hadir. Katidakhadiranku dalam pertemuan itu disebabkan oleh berita tentang kematian seorang saudari kami, sehingga kami (para Frater asal suku Migani) berduka hari itu. Selain itu, akhir-akhir ini saya juga agak sibuk membantu adik-adik yang baru datang dari kampung untuk studi di Jayapura. Kemudian alasan lainnya adalah menggarap dan mencari buku referensi untuk menulis skripsi saya.

Berdasar pada sejumlah alasan di atas, maka refleksi saya saat ini hanya bersifat rangkuman dari segi-segi yang dimaksud dan ditutup dengan penegasan atas panggilanku. Lantas, pembinaan manusia adalah dasar dari segala pembinaan panggilan Imamat selanjutnya bagiku. Oleh karena itu, saya sudah mengalaminya di lembaga pendidikan calon Imam ini. Pengalaman tersebut dialami dalam bentuk pembinaan pribadi dengan pastor pembina, pertemuan keuskupan, pertemuan bersama, rekoleksi/ret-ret bersama, nasehat-nasehat Injili saat perayaan Ekaristi harian, irama hidup komunitas, hidup bersama di wisma dan sebagainya.

Refleksiku atas proses pembinaan dan irama hidup yang saya lalui itu amat manusiawi, baik dan memang urgen untuk seorang calon imam. Namun saya merasa hampa, kosong dan tidak semangat lagi untuk menjalani panggilan imamatku ini. Hal ini bermula dari Bulan Desember Tahun 2012 di rumah Transit Timika saat saya diusir oleh Pater Dominikus Dulione Hodo Pr. Saat itu saya berlibur ke Bilogai, setelah mendapat ijin dari Bapak Harianto selaku pembina kami saat itu. Setelah liburan, saya hendak kembali ke Seminari lewat Timika dan saya penah singgah di Katedral Keuskupan Timika seraya melaporkan diri sebagai calon imam keuskupan Timika yang baru saja kembali dari liburan. Di sana saya disambut baik oleh Frater TOP dan Suster ekonom. Kemudian mereka mengarahanku ke rumah Transit, maka saya pun menuju ke rumah Transit dan  sesampaiku di sana, saya disambut oleh Pater Domin Hodo dengan amarah yang menurut saya tidak masuk akal. Amarah di seputar pembinaan bisa dapat dimaklumi, tetapi pertanyaan “kamu ada uang untuk bayarkah?” Dan, pernyataan “Orang yang tinggal di sini itu bayar tiga ratus ribu per-hari, jadi, kau pulang saja” yang diajukan padaku ini belum bisa saya terima. Sebab kehadiranku di rumah Transit sudah sesuai dengan arahan suster ekonom Keuskupan Timika saat itu. Namun pada akhirnya saya sudah diusir betul-betul, maka pada waktu yang sama saya sudah putuskan untuk tidak injak rumah itu lagi sampai kapan pun, karena mungkin Imam tidak membutuhkan calon Imam yang jatuh (berdosa).

Persoalan itu bisa dilihat dari berbagai sisi, tetapi bagiku sudah cukup, saya sudah ambil keputusan untuk tidak tinggal di rumah itu jika ada kesempatan ke sana. Sebab memang persoalan itu telah meredam semangat untuk menjalani panggilanku sampai di Seminari ini. Sehubungan dengan hal ini, sudah saya katakan bahwa semua proses pembinaan yang baik bagi calon imam itu belum berhasil mengembalikan semangat panggilanku. Saya justru mengalami kekosongan dan kekeringan panggilan. Oleh karena itu, dalam menjalani hidup panggilanku di Seminari selama semester ini masih berjalan atas dasar persoalan tersebut. Namun saya selalu berusaha untuk aktif dalam proses pembinaan, irama hidup komunitas dan membangun relasi yang baik dengan sesama. Niat ini juga merupakan berkat pendampingan Pater Yoseph Igitaro Pr sendiri yang bagi saya cukup rendah hati yang juga patut saya diteladani. Perjumpaanku dengan Pater Yoseph, saya masih bisa bertahan menjalani panggilanku sebagai calon Imam. Seandainya beliau tidak ada di sini, mungkin saya sudah mundur dari semester yang lalu.

Kualitas dan ketangguhan panggilanku yang amat rendah itu, terasa disiram, dipupuk dan ditumbuhkan oleh Bapa Uskupku sendiri saat ret-ret di Sentani. Saya secara pribadi merasa amat terbantu, karena mendapat banyak nasehat dan pesan untuk hidup bertahan menjalani panggilan lewat sikap dan pendampingan Bapa Uskup. Juga kujungan dubes Vatikan Mgr. Antonio Guido Filipazzi yang berbicara banyak tentang pentingnya panggilan imamat dapat menguatkan panggilanku.

Refleksi akhir semester ini saya akhiri dengan menegaskan kembali apa yang saya maksudkan dalam refleksi ini dan menegaskan juga panggilanku. Maksud saya reflesi itu penting, maka dalam reflesi ini saya telah mengungkapkan isi hatiku bahwa proses pembinaan yang saya butuhkan sebagai calon imam telah berlangsung dalam persoalan pribadiku yang saya kemukakan di atas. Namun hal itu tidak membuat saya harus mundur dari jalan panggilanku, karena ini menyangkut kecintaaku pada Kristus yang telah mengangkat saya dari parit.  Saat ini saya merasa panggilanku semakin bertumbuh dan saya harus tumbuhkan sampai menjadi Imam Keuskupan Timika. Saya adalah Yeheskiel Belau, calom Imam Keuskupan Timika, maka saya berniat membangun kematangan panggilan, kerohanian, kepribadiaan, hidup berkomunitas dan kerasulanlan secara baik.

Sunday, 4 March 2018

PAROKI ST. FRANSISKUS OBANO MERAYAKAN PASKAH BERNUANSA BUDAYA



Oleh Yeskiel Belau
Foto Umat Paroki St. Fransisku Obano.
Dokumen Yeskiel Belau
“Kita Berdamai Dengan Tuhan Dan Segala Ciptaan-Nya”. Demikian tema sentral Perayaan Paskah Tahun 2016 ini bagi kami umat Paroki St. Fransiskus Obano. Tema ini lahir dari diskusi mendalam bersama tua-tua adat setempat dan para pewarta serta petugas Pastoral yang ada. Sejalan dengan tema utama, peserta diskusi juga memilih sub tema “Kurban Dan Kebangkitan Kristus Menjadi Kekuatan Kita Untuk Bersatu”.

Kedua tema itu sangat sesuai dengan konteks kami saat ini di Paroki St. Fransiskus Obano. Sebab konteks kami saat ini adalah sedang mempersiapkan upacara Rekonsiliasi Kampung, yang biasa kami sebut dengan nama Witogai Kamuu. Upacara yang sedang kami siapkan ini mempunyai tujuan yang sesungguhnya sudah terungkap dalam tema tersebut. Memang kami sedang mengusahakannya supaya selanjutnya kami berdamai dengan Tuhan dan segala Ciptaan-Nya. Sehingga pada akhirnya persekutuan kami dengan sesama, leluhur, alam dan Tuhan terpancar dari kampung kami sendiri.

Foto umat beserta ragam bibit tanaman
 pada Miggu Malma.
Dokumen Yeskiel belau
Dalam konteks itu, seperti biasa Pekan Suci diawali dengan Minggu Palma. Perayaan Minggu Palma ini kami rayakan sebagai Minggu bibit-bibit. Minggu bibit-bibit yang jatuh tanggal 20 Maret ini, kami lakoni dengan tema khusus “Mee Umina Gaipeu Maida Make Ekowai” (bekerja untuk menghidupi banyak orang). Perayaan yang diawali dari depan Emawaa Maipai Wiyai ini, betul-betul diramaikan dengan bibit-bibit tanaman.

Dalam perayaan itu, Pastor Maipai Pr. mengajak umat untuk menyadari diri sebagai petani yang termulia di hadapan Allah. Sebab dengan kariernya, para petani turut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah (Ugatamee). Juga bersyukur kepada Ugatamee, dengan mengangkat apa yang senantiasa menghidupkan kami (bibit-bibit) atas kebaikan dan kesediaan-Nya masuk ke dalam hidup dan hati para petani sebagai Raja. Bibit-bibit tanaman yang dikumpulkan itu juga merupakan lambang persembahan keutuhan diri para petani bagi Sang Raja, yang memasuki Yerusalem hidup dan hati para petani termulia.

Bibit-bibit tanaman lambang diri para petani, yang juga diangkat untuk menghormati Sang Raja Damai itu terdiri dari bibit petatas (nota), keladi (nomo), tebu (eto), bibit pisang, jagung, sayur lilin dan sayur-sayur lain sebagainya. Katakan saja bahwa para petani sudah menyiapkan semua jenis bibit yang ada di rumah dan kebun mereka. Maka Pastor Paroki memohon Ugatamee memberkatinya dengan berdoa, memberi berkat serta mendupai.

Sesudah upacara pembukaan Minggu bibit di Emawaa Maipai, umat yang dijuluki para petani termulian itu bersama pemimpin perayaan berarak memasuki gedung Gereja. Sementara itu, para petani termulia yang lain mengiringinya dengan tari-tarian khas budaya suku bangsa Mee. Dalam proses ini, para petugas lain membentangkan dedaunan hijau di jalan yang akan dilalui, hingga di dalam Gereja. Di dalam Gereja, mereka mengalasi jalan menuju panti Imam dan menghiasi sekitar altar dengan dedaunan bibit-bibit tadi. Kemudian perayaan dilanjutkan dengan Liturgi Sabda dan Ekaristi Kudus. Perayaan ini ditutup dengan berkat meriah oleh Pastor Paroki dan nyanyian yang berciri khas suku bangsa Mee.

Perayaan Kamis Putih, kami rayakan dengan bakar batu seekor babi seharga Tujuh Juta Rupiah. Acara barapen ini dipimpin oleh Petrus Pigai dan selesai tepat pukul 06.00 Waktu Obano. Dengan selesainya acara ini, maka selanjutnya semua umat yang terkumpul siapkan diri untuk mengikuti perayaan Kamis Putih di Aula Paroki yang sudah disiapkan oleh Ibu Ance Pigai. Perayaan Kamis Putih dimulai jam 07.00 dan berakhir jam 11.30. Memang proses perayan ini cukup panjang, tetapi bagi kami yang turut merayakannya terasa begitu cepat. Sebab bagian-bagian liturgi yang kami lalui bernuansa budaya kami sendiri.

Foto Proses Perayaan Tobat.
Dokumen Yeskiel Belau.
Liturgi bagian awal: Sesudah kata pengantar Pastor mengajak umat untuk mengikuti upacara pembasuhan kaki. Dalam upacara ini, setiap marga membawa air milik mereka sendiri (air warisan nenek moyangnya) di kampung masing-masing, yang sudah terisi di dalam tempayan asli hasil pertanian mereka. Air ini dibawa ke depan altar oleh perwakilan umat dari masing-masing marga. Kemudian Pastor memberkati air itu dan membasuh kaki mereka dengan airnya sendiri. Sesudah itu, mereka yang sudah mengalami pembasuhan kaki, kembali ke tengah-tengah sesama marganya dan membasuh kaki semua anggota marganya tanpa terkecuali. Demikian juga saya dengan Bapa Pastor, kami saling membasuh kaki dengan air yang kami siapkan sendiri dalam tempayan asli yang bulat (air ini kami bawa sendiri dari Pastoran).

Sesudah pembasuhan kaki, berikutnya kami lanjutkan dengan upacara pertobatan. Upacara pertobatan berlangsung seperti ini: Air milik setiap marga tadi disumbang seukuran tiga gelas, kemudian ditampung dalam sebuah baskom sedang yang berwarna putih dan di siapkan di depan altar. Tahap kedua, gusung seekor ayam kampung yang berbuluh warna puti ke hadapan Pastor. Tahap ketiga, ayam itu dan bahan pembuat api tradisional (mamo) diberkati oleh Pastor dengan doa singkat. Tahap keempat, ayam itu dikorbankan dan darahnya dicampurkan dengan sumbangan air tadi. Sementara proses ini berlangsung, petugas sudah memasang api dengan mamo tadi di depan altar. Sesudah semua materi tersedia, maka tahap kelima umat berarak maju ke depan dengan membawa sebuah kertas, yang bertuliskan susunan dosa-dosa. Sesudah berhadapan dengan air dan darah ayam yang digabungkan itu, mereka mencelupkan kertas tadi ke dalam dan membakarnya di api yang tersedia di situ. Umat yang sudah melalui proses ini kembali ke tempat semula dan minum air milik mereka yang sudah diberkati tadi. Tahap keenam, Pastor membuat tanda salib di dahi umat dengan air dan darah yang dipaduhkan itu, dengan kata-kata absolusi. Tahap terakhir, Pastor memberi absolusi secara umum.

Sesudah upacara pertobatan, kami melanjutkan dengan proses pembaruan janji baptis. Dalam proses ini, Pastor berdialog dengan kami (umat) dan sejanjutnya perciki umat dengan air berkat. Kemudian Liturgi Sabda, Ekaristi dan Ritus penutup berlangsung seperti biasa, tetapi bagian paling terakhir kami mengadakan upacara penghormatan Tubuh Kristus (Tuguran). Prosesi upacara tuguran dimulai dari tempat perayaan (Aula) menuju Tabernakel yang sudah disiapkan di dalam Gereja. Di depan Sakramen Mahakudus ini, setiap marga datang berdoa secara bergilir sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan para pewarta.

Dengan selesainya seluruh Liturgi Perayaan Kamis Putih itu, maka sebelum kembali ke rumah kami masing-masing, kami menikmati perjamuan malam bersama. Perjamuan yang kami nikmati ini adalah makanan hasil barapen tadi, yang terdiri dari daging babi, keladi, petatas, dan sayuran. Jenis-jenis makanan inilah yang pernah kami santap bersama, sama seperti perjamuan Paskah Yesus bersama murid-murid-Nya di Malam Terakhir itu.

Keesokan harinya Perayaan Jumat Agung dilangsungkan. Prosesi perayaan ini dipandu oleh Orang Muda Katolik (OMK) setempat, dengan Jalan Salib Hidup. OMK Paroki yang sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari bersama Frater Yesi ini, berarak ke arena titik star Jalan Salib, sesudah make up dan kenakan busana khas tempur.

Dengan melihat kesiapan para pemeran drama Kisah Sengsara Yesus itu, panitiaa dan para pewarta dibawah pimpinan Pastor Paroki pun segera mengarahkan seluruh umat ke titik star Jalan Salib yang sama. Dan, tepat pukul 02.15 Waktu Obano, para pemeran Jalan Salib maupun umat yang akan memaknai peristiwa itu telah siap di tempat. Oleh karena itu, kami langsung memulainya dari perbatasan Desa Bado dengan Tipakotu.

Jalan Salib titik awal pada Jumat Agung.
Foto Theodorus Pigai.
Drama Jalan Salib dimulai dengan adegan pertama. Pada adegan ini, Yesus yang diperankan oleh Theodorus Pigai yang juga memiliki rambut, kumis dan wajah yang mirip dengan Yesus serta murid-muridnya yang berbusana jubah putih itu sudah mulai berdialog. Sementara itu Yance Keiya yang berperan sebagai Yudas itu menghindar Yesus dan teman-temannya, menuju ke arah Imam besar serta berdialog untuk menjual gurunya.

Foto Pemeran Imam Besar
dan para prajuritnya. Theo Foto.
Sesudah mendapat sejumlah uang dari Imam besar, Yudas pun datang bersama dengan para pasukan menghampiri Yesus dengan murid-muridnya untuk menangkap Yesus.  Setelah Yesus ditangkap, para pasukan prajurit membawa Yesus ke hadapan Makamah Agama dan usai menginterogasinya, ia di kirim lagi ke Pilatus. Selanjutnya Pilatus yang diperankan oleh Stevanus Pigai mengadili Yesus dan akhirnya ia menjatuhkan hukuman mati terhadap Yesus, atas desakan warganya yang semakin riuh dengan teriakan “salibkan dia, salibkan dia dan salibkan dia”. Saat itu, mereka yang berperan sebagai rakyat berteriak serentak dengan bahasa daerah setempat. Mereka berteriak “Wagii…Wagii…Wagii…”.

Foto pemeran Yesus dihadapkan
pada pemeran Pilatus. Theo Foto.
Keputusan Pilatus itu diterima baik oleh para pasukan prajurit dan mereka mulai melancarkan penyiksaan yang kejih terhadap Yesus, seperti jalan salib sungguhan. Penyiksaan terhadap Yesus terus dilancarkan dengan mengikuti seluruh perhentian yang sudah disiapkan di samping kiri dan kanan jalan raya. Sementara itu seluruh umat yang sudah berbusana budaya maupun berbusana modern mengikuti dalan salib hidup ini dengan amat teratur dari belakang. Demikian juga para sutradara (kameramen) dibawah pimpinan Bapak Anton Pigai yang ditugaskan oleh sekertaris dewan Paroki, Vitalis Pigai pun menyibukkan diri dengan pengambilan gambar dari seluruh arah.

Foto pemeran Yesus disalibkan.
Foto Theodorus P.
Proses jalan salib terus dilanjutkan hingga sampai di bukit Obay yang menjadi tempat penyaliban Yesus dengan dua penjahat lain yang diperankan oleh Davit dan Marthen Pigai. Proses penyaliban dilakukan tepat pukul 02.50 sore. Dalam keadaan tergantung di kayu salib, Yesus dengan kedua penjahat itu berdialog sesuai dengan peran mereka sendiri-sendiri. Sementara itu, para prajurit pun mengolok-olok Yesus sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Proses ini kelihatannya agak lama dan waktu tinggal lima detik jam 3, maka saya lantas memberi kode kepada tokoh Yesus supaya ia segera menyerahkan nyawanya kepada Bapanya. Memberian kode ini ditanggapi dengan cerdik oleh tokoh Yesus, kemudian ia berkata: “Ya Bapa, Kedalam Tangan-Mu Kuserahkan Nyawaku”. Sesudah berkata demikian, ia menundukkan kepala dan wafat  di kayu salib tepat jam 3 sore.

Foto pemeran Maria dan sahabat-sahabatnya
yang meratapi Jenazah Yesus.
Foto Anton Pigai.
Dengan melihat Yesus sudah wafat di salib, maka bapak Millem Boma dengan pewarta Kombas Idetaka yang berbusana koteka itu mengalaskan mazmur ratapan, yang bercirikhaskan budaya Mee (Uga). Usai mazmur ratapan ini, mereka mengurbankan seekor bebek sumbangan bapak Nikho Pigai di depan, lalu darahnya ditumpahkan di bawah setiap salib yang sudah didirikan mulai dari salib Yesus. Proses ini berakhir, maka para prajurit menurunkan jenazah-jenazah itu dari salib dan jenazah Yesus diletakkan di pangkuan Maria. Sementara itu, kelompok mama-mama pun mendekati Maria dan bersamanya meratapi jenazah Yesus sama seperti kebiasaan ratap mereka saat orang meninggal. Mama-mama selagi ratapan, umat yang hadir pun turut menundukkan kepala dan merenungkan semua itu. Proses ratapan ini berlangsung selama 10 menit dan berakhir. Tidak lama kemudian, bapak Nikho Pigai tampil membawakan Madah Pujian Salib, dengan gaya khasnya yang amat puitis serta memukau hati para umat, lalu mengakhirinya dengan kata amin. Dengan berakhirnya pujian ini, maka berakhirlah juga seluruh proses Jalan Salib hidup itu.

Foto umat saat memberikan
penghormatan kepada Salib Yesus.
Fofo Yeskiel Belau.
Ritus selanjutnya kami mengikuti perarakan Salib dan menghormatinya dengan cara mencium Salib Kristus. Upacara perarakan dan penghormatan Salib Kristus ini terjadi di tempat yang sama, yaitu; tempat penyalibab tokoh Yesus tadi. Di sini semua umat maju dan menghormati Salib sambil membawa amplop APP dan mengisinya di dalam noken yang sudah disiapkan. Proses ini berlangsung di alam terbuka dengan amat lancar, lagi pula cuaca saat itu cukup mendukung (cerah). Proses ini pun berlalu dengan saksama, maka berikutnya kami bangkit berdiri dan mendoakan “Doa Bapa Kami” dan teruskan dengan sambut Komuni Kudus serta menerima berkat penutup dari Pastor Paroki, Pastor Sebastianus Pr. Akhirnya keseluruhan Perayaan Jumat Agung ini ditutup dengan lagu penutup oleh umat dari Stasi Waipa.

Perayaan Malam Paskah dan Hari Raya Paskah pun kami rayakan dengan penuh suka cita dalam nuansa budaya kami. Penjelasan mengenai kedua perayaan ini bersambung! Semoga Kurban dan Kebangkitan Kristus Menjadi Kekuatan Kita Untuk Bersatu padu dalam “Kasih Bapa, Putera dan Roh Kudus”. Amin.

MASYARAKAT PANIAI BARAT BAKAR DOSA



Oleh Yeskiel Belau
Pembukaan Witogai Kamuu
Masyarakat Paniai Barat, Kabupaten Paniai membakar dosa secara besar-besaran pada Minggu Kerahiman Ilahi, 3 April 2016 di Distrik Obano. Upacara pembakaran dosa ini dipimpin oleh Pastor Yulianus Bidau Mote, Imam Projo Keuskupan Jayapura di halaman Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Obano.

Masyarakat Paniai Barat sehati-sepikir membakar dosa secara masal pada 3 April 2016. Pembakaran dosa ini berlangsung di Distrik Obano, Paroki St. Fransiskus Obano. Pilihan membakar dosa di tempat ini dengan alasan bahwa Distrik Obano adalah Distrik tertua dari tiga Distrik baru yang lain dan Paroki induk. Berdasar pada kenyataan ini, maka masyarakat Paniai Barat mengundang Pastor Yulianus Bidau Mote Imam Projo Keuskupan Jayapura, untuk memimpin upacara pembakaran dosa itu.



Masyarakat Paniai Barat memilih Pastor Yulianus Bidau Mote, didorong oleh karena beberapa alasan: Pertama, beliau adalah Imam yang memiliki kharisma khusus dalam menghubungkan kambali relasi baik yang sudah putus antara sesama manusia, manusia dengan leluhur, manusia dengan alam dan manusia dengan Yang Ilahi. Kedua, masyarakat Paniai Barat mengetahui bahwa Pastor Bidau mempunyai pengalaman yang cukup dalam memimpin upacara pembakaran dosa di beberapa Kabupaten. Ketiga, masyarakat mengetahui bahwa ketrampilan memimpin upacara pembakaran dosa merupakan bidang khusus yang pernah didalaminya saat kuliah S-2 di Italia. Keempat, masyarakat mendengar bahwa di Papua hanya ada dua Imam termasuk Pastor Bidau Mote, yang dianugerahi berkat khusus dari Kepausan untuk menghalau semua kejahatan di bumi Papua ini, dengan berdoa dan absolusi. Kelima, masyarakat juga percaya bahwa mereka akan menikmati relasi yang harmonis lagi dengan sesama manusia, dengan leluhur, alam dan dengan Yang Ilahi, seperti semula dan sejanutnya hidup baik sebagai anak-anak Allah. 

Pastor Yulianus Bidau Mote yang diundang oleh karena dorongan kelima alasan itu pun tiba di lokasi pembakaran dosa sehari sebelum upacara berlangsung (Tanggal 2 April 2016). Kehadiran beliau ini disambut secara terhormat oleh para tuan rumah dibawah pimpinan Pastor Sebastianus Maipai Wiyai Pr. (Pastor Paroki St. Fransiskus Obano). Sambutan terhormat ini diungkapkan dengan acara bakar batu di Emawaa Maipai Wiyai, yang adalah Emawaa induk dari Emawaa-emawa lain yang tersebar di seluruh Stasi yang terhimpun dalam Paroki St. Fransiskus Obano. Sambil menikmati sajian khas suku bangsa Mee ini, Pastor tamu bersama Pastor Paroki dengan rombongannya mengadakan pertemuan besar-besaran mengenai kegiatan pembakaran dosa keesokan harinya. 

Dalam pertemuan itu, Pastor Paroki mengawali pembicaraan dengan ucapan selamat datang kepada Pastor Yulianus Bidau Mote dan mengungkapkan perasaan syukur bersama seluruh masyarakat Paniai Barat atas kehadiran Pastor yang telah memenuhi undangan. Selanjutnya ia menjelaskan tentang semua kegiatan persiapan upacara pembakaran dosa dari awal hinggah di hari akhir itu kepada Pastor Yulianus. Pastor Paroki menjelaskan kegiatan persiapan bahwa “saya bersama masyarakat di Paniai barat ini sudah mempersiapkannya selama empat bulan (Desember – Maret). Dalam persiapan ini, kami mengawalinya dengan pembentukan panitia dan menyepakati upacara pembakaran dosa sebagai Rekonsiliasi Kampung, yang biasa kami biasa sebut dengan nama Witogai Kamuu. Persiapan tahap kedua yang kami lalui adalah mengadakan sosialisasi tentang Rekonsiliasi Kampung ini dari Kampung ke Kampung. Tahap ketiga, mengadakan pencarian dana lewat kegiatan Porseni Bas atau Pekan Olahraga, Seni dan Basar. Kegiatan ini kami lakukan mulai dari Kampung Bado, Kampung Tipakotu, Kampung Waipa dan Kampung Muye (Epobutu)”.  

Lanjut Pastor Paroki: “Sesudah kegiatan itu, kami teruskan lagi dengan pengecekan (konfirmasi) peserta Rekonsiliasi Kampung ini. Pada bagian konfirmasi ini, kami lalui dengan berjalan keliling dari Kampung ke Kampung juga. Dalam proses ini, secara interen telah kami memulai upacara Witogai Kamuu sebagai langkah awal di setiap Emawaa yang ada. Kemudian semua kegiatan Persiapan upacara Witogai Kamuu Kampung ini telah berakhir dalam Perayaan Paskah beberapa hari yang lalu. Dan, belakangan ini, kami sedang menantikan kehadiran Pastor di tengah-tengah kami. Ternyata kini Pator sudah berada di tengah-tengah kami. Oleh karena itu, sekali lagi kami mengucapkan terimakasih atas kehadiran Pastor di Kampung kami”. 

Setelah Pastor Paroki membuka pertemuan itu, selanjutnya ia memberikan kesempatan sepenuhnya kepada Pastor Bidau Mote Pr. Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Pastor Bidau. Ia pun dengan senang hati membuka pembicaraan dengan salam dan ucapan syukur atas perjumpaan berahmat itu. Usai kata-kata pengantar secara singkat, ia mengawali pembicaraannya dengan ucapan terimakasih kepada Pastor Paroki yang telah mengkordinir seluruh umat dalam seluruh persiapan. Kemudian, berikutnya ia memberikan keterangan mengenai makna upacara Rekonsiliasi Kampung bahwa “dengan mendengar nama Witogai Kamuu, leluhur (malaikat pelindung) dan alam kita di tanah ini sedang bergembira, karena melaluinya kita mau berdamai dengannya. Sebab kedamaian (kebaikan) itu sudah ditanam oleh Tuhan, tetapi karena kita (manusia) tidak mampu menjaganya, maka kesusahan, kesakitan, permusuhan, kesengsaraan dan kematian selalu menjadi bagian dari hidup kita. Ketiga, upacara Witogai Kamuu diadakan untuk memohon pengampunan, damai, belaskasih dan kehidupan kekal dari Ugatame (Tuhan). Kita juga mau memohon agar dalam nama Yesus Kristus yang telah wafat dan bangkit itu Ugatamee sucikan kampung, keturunan, marga, keluarga dan kita semua”. 

Pastor Bidau juga menjelaskan tentang tahapan pengakuan dosa bahwa “pengakuan dosa dalam upacara Witogai Kamuu harus dilakukan menurut garis keturunan. Dalam hal ini perlu perhatikan  dan selidiki secara baik akan dosa-dosa keturunan dan ungkapkan secara jujur. Sehubungan dengan anjuran ini, ia juga menekankan dua tahapan pengakuan dosa, yakni; pengakuan dosa pribadi dan tempat perbuatan dosa itu berlangsung”. Selanjutnya Pastor melarang mereka yang mau bergabung menjadi peserta upacara Witogai Kamuu tanpa melalui tahapan persiapan. Larangan ini berdasar pada pertimbangan bahwa batin mereka belum siap secara baik. 

Selanjutnya Pastor Yulianus Bidau mengajak peserta pertemuan memaknai seluruh proses upacara yang akan dibuka keesokan harinya itu sebagai upaya bersama menuju dan mengalami Kerahiman Ilahi. Lanjutnya; “besok adalah Minggu Kerahiman Ilahi, maka kita akan membuka upacara Witogai Kamuu ini secara resmi bersama dengan seluruh masyarakat Paniai Barat. Oleh karena itu, perlu diketahui lagi bahwa bentuk pengakuan dosa ada tiga tahap. Tahap pertama adalah pengakuan dosa para leluhur. Kedua, pengakuan kejahatan (dosa) pribadi dan ketiga adalah tahapan pengakuan dosa tempat kejahatan berlangsung”. Sementara Pastor menjelaskan, para peserta pun mendengarkannya dengan saksama.  

Perayaan pembukaan upacara Rekonsiliasi Kampung terjadi pada tanggal 3 April 2016, di Gereja Katolik, Paroki St. Fransiskus Obano, Distrik Obano. Perayaan ini dikuka secara resmi di halaman Gereja dengan melangsungkan seluruh proses upacaranya. Keberlangsungan upacara pembukaan Witogai Kamuu terjadi demikian: Seluruh umat Paniai Barat sudah menanti Pemimpin upacara Witogai Kamuu dengan posisi baris melingkar berlapis lima di halaman Gereja.  Pastor Paroki bersama Pastor Yulianus Bidau Mote memasuki arena upacara dengan busana Imami. Kedua Imam ini disambut dengan nyanyian dan tarian adat setempat. Sesudah itu, Pastor Bidau lantas membuka perayaan ini dengan tanda salib, salam dan kata pengantar. Dalam kata pengantar ini beliau menjajak seluruh peserta perayaan itu supaya siapkan batin secara baik untuk memohon Tuhan membersihkan diri, keluarga, marga leluhur dan kampung dari dosa-dosa. Sehingga selanjutnya Ugatamee sendirilah yang melimpahkan belaskasih-Nya dalam seluruh hidup. 

Seusai kata pengantar Pastor Bidau mulai melambungkan doa-doa pemberkatan. Dalam proses ini, Pastor memberkati dua ekor babi, air dan pembuat api tradisional (mamo). Sesudah diberkati, petugas membunuh kedua babi itu dan darahnya dipaduhkan dengan air berkat tadi dalam sebuah baskom yang berwarnah putih. Sementara itu, petugas pasang api tradisional pun sudah berhasil membuat api di depan mata seluruh peserta perayaan. Tahap berikutnya, Pastor Bidau memberi kesempatan kepada tua-tua adat untuk mengungkapkan dosa-dosa kampung di wilayah Paniai Barat secara umum. Kesempatan ini pun dimanfaatkan dengan baik oleh rombongan bapak Willem Boma. Mereka menjelaskan secara detail tentang dosa-dosa kampung, baik menyangkut penumpahan darah yang disebabkan oleh peperangan maupun tindakan lainnya. Juga, menyebutkan kekutan-kekuatan jahat yang selalu mengganggu masyarakat sejauh ini di wilayah Paniai Barat. Selain ini, mereka juga memohon untuk mendoakan kenyataan hidup masyarakat Paniai Barat saat ini. Semua ini dijelaskan mulai dari masa leluhur hingga masa kini dengan baik dan teratur. 

Pengakuan dosa itu berakhir, maka selanjutnya Pastor memberkati api dengan perpaduan darah dan air berkat tadi. Proses pemberkatan dilanjutkan dengan perciki air dan darah yang sama ke arah Timur sebanyak tiga kali, ke arah barat tiga kali, arah utara dan selatan pun tiga kali. Sesudah proses ini, ia memberkati seluruh umat dengan air dan darah itu. Pastor juga memberkati seluruh lingkungan Gereja dan lingkungan lain di sekitarnya. Kemudian, bagian berikutnya Pastor Bidau mengajak seluruh peserta membakar susunan dosa, yang mereka siapkan sendiri. 

Proses pembakaran dosa berlangsung di halaman Gereja Katolik St. Fransiskus Obano, Distrik Obano, Paniai Barat, Kabupaten Paniai. Dalam proses pembakaran dosa ini para pembakar dosa melalui beberapa tahap, yakni: pertama, mereka maju ke depan mendekati api yang sedang menyala secara bergilir. Kedua, mencelupkan lembaran kertas yang berisikan susunan dosa ke dalam perpaduan air dan darah yang sudah diberkati. Ketiga, lembaran kertas itu dipegang dengan tangan mereka sendiri, lalu memutarkannya mulai dari bagian kepala, leher, kedua tangan, badan hingga ke kedua kaki. Keempat, mereka mengucapkan kata-kata pelepasan dosa. Tahap terakhir adalah membuang susunan dosa itu ke dalam api yang sedang menyala, dengan posisi badan membelakangi dan api itu pun membakarnya sampai habis. 

Upacara pembakaran dosa selesai, maka seluruh peserta yang telah membakar dosa itu, baik mereka yang beragama katolik maupun beragama Protestan serta Bunani (agama aslih setempat) diajak masuk ke dalam Gereja untuk lanjutkan dengan Perayaan Ekaristi Kudus.  Dalam perayaan Ekaristi ini Pastor mengajak seluruh peserta untuk merenungkan Sabda Allah yang menjadi pokok permenungan di Minggu Kerahiman Ilahi itu, yaitu; “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya”. 

Pokok permenungan itu merupakan kata-kata yang betul-betul keluar dari mulut Yesus Kristus (Werry Autores) yang sudah bangkit. Oleh karena itu, Pastor Bidau mengfokuskan diri untuk mengarahkan seluruh perhatian umat guna mengalami kebahagiaan. ,Mengalami kebahagiaan kerena apa? Mengalami kebahagiaan karena beriman kepada Allah melalui Yesus Kristus  yang sudah bangkit. Sehubungan dengan hal ini, ia juga mengakui bahwa persekutuan yang sedang berlangsung ini adalah ungkapan iman akan Allah dalam Yesus Kristus yang nyata. Maka kebahagiaan hidup pasti akan selalu menjadi bagian dari pengalaman hidup setiap orang yang hadir. Hal ini tentu, karena upacara Witogai Kamuu yang sedang dibuka itu pun sepenuhnya mengarah pada kebahagiaan yang sama. Sebab upacara ini bertujuan membangun kembali relasi harmonis yang sudah putus, antara sesama, leluhur, alam dan Yang Ilahi (Ugatamee) sendiri. Sehingga selanjutnya semua orang Paniai Barat yang telah dan akan melaksanakan upacara Witogai Kamuu sesuai dengan garis keturunan betul-betul mengalami persatuan dan perdamaian dengan semua, sebagai pintu masuk ke dalam kebahagiaan sejati.  

Perayaan pembakaran dosa di Distrik Obano, Paroki St. Fransiskus Asisi, Paniai Barat, Kabupaten Paniai ini ditutup dengan berkat penutup oleh Pastor Yulianus Bidau Mote, Imam Projo Keuskupan Jayapura. Sesudah perayaan pembukaan, selanjutnya semua umat makan bersama dan kembali ke kampung masing-masing guna mempersiapkan diri untuk melaksanakan upacara Rekonsiliasi Kampung sesuai dengan jadwal di setiap kampung Paniai Barat.  

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT