Yeheskiel Belau
Kata orang “hidup yang tidak direfleksikan tak layak untuk dijalani”, maka
hidup ini perlu direfleksikan, apalagi merefleksikan perjalanan hidup panggilan
sebagai calon imam. Refleksi perjalanan hidup panggilan sebagai calon imam ini penting,
karena ini merupakan cerminan untuk menjadi yang lebih baik. Pertanyaaannya apa
itu refleksi? Refleksi berasal dari kata “re
dan flaxa”. Re artinya kembali. Flaxa artinya
melengkung. Jadi, refleksi adalah kembali melengkung. Artinya; kembali
melengkung ke arah dirinya sendiri. Melihat kembali seluruh pengalaman hidup
dalam terang Iman akan Yesus Kristus. Kemudian mendirikan suatu sikap yang
jelas untuk memaknai pengalaman tersebut dan juga sebagai kekuatan hidup ke
depan. Refleksi hubungannya dengan panggilanku adalah melengkung ke arah
panggilanku sendiri untuk melihat pengalaman perjalanan panggilanku pada
semester ini seraya menyegarkan dan mengambil sikap yang jelas untuk menjalani
panggilanku sebagai calon imam.
Refleksi akhir semester ini merupakan
refleksi lanjutan dari refleksi pada semester-semester sebelumnya. Refleksi
pada semester ini juga, saya berusaha merefleksikan pengalaman hidup mengalami pembinaan-pembinaan
di seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru secara umum dan secara khusus pembinaan
yang telah saya alami bersama pastor pembinaku (Pater Yoseph Igitaro Pr). Sehubungan dengan itu, saya merasa bahwa
proses pembinaan yang saya alami di sini telah mencakup berbagai segi: Pertama: Pembinaan manusia, sebagai
dasar dari segala pembinaan panggilan Imamat. Kedua: Pembinaan Rohani; sebagai dasar dalam bersekutuh dengan
Allah – mencari Yesus. Ketiga:
Pembinaan Intelektual; memahami dan mengalami iman akan Yesus Kristus. Keempat: Pendidikan Pastoral;
persekutuaan cinta kasih Yesus Kristus Sang Gembala Baik.
Sejalan dengan segi-segi tersebut, saya ingin menjelaskan judul refleksi ini “Hidup yang menghidupkan hidup”. Jadi, judul refleksi ini betul-betul lahir dari kedalaman
hatiku sendiri. Maka maksud judul Hidup yang menghidupkan
adalah segala bentuk pembinaan panggilan yang sudah saya alami dan rasakan dari
para pembina di Seminari Tinggi ini. Sedangkan hidup
yang saya maksud adalah saya yang menerima seluruh proses pembinaan sebagai insan yang hidup ini. Artinya bahwa mereka (para pembina) yang telah menghidupkan panggilan
Tuhan itu sudah berusaha menghidupkan panggilanku juga. Maka berikut ini saya
dapat merefleksikan perjalanan panggilanku selama semester ini di Seminari
Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru.
Merefleksikan keempat segi pembinaan yang
telah saya sebutkan di atas secara lengkap adalah mustahil dalam waktu sesingkat ini. Artinya bahwa saya dibatasi oleh waktu untuk
merefleksikannya secara lengkap, berhubung informasi tentang refleksi yang baru saja saya
peroleh pada hari ini (14/06/2014). Hal ini terjadi atas kesalahanku sndiri,
sebab saat pertemuan keuskupan saya tidak hadir. Katidakhadiranku dalam
pertemuan itu disebabkan oleh berita tentang kematian seorang saudari kami,
sehingga kami (para Frater asal suku Migani) berduka hari itu. Selain itu,
akhir-akhir ini saya juga agak sibuk membantu adik-adik yang baru datang dari
kampung untuk studi di Jayapura. Kemudian alasan lainnya adalah menggarap dan
mencari buku referensi untuk menulis skripsi saya.
Berdasar pada sejumlah alasan di atas,
maka refleksi saya saat ini hanya bersifat rangkuman dari segi-segi yang
dimaksud dan ditutup dengan penegasan atas panggilanku. Lantas, pembinaan
manusia adalah dasar dari segala pembinaan panggilan Imamat selanjutnya bagiku.
Oleh karena itu, saya sudah mengalaminya di lembaga pendidikan calon Imam ini. Pengalaman
tersebut dialami dalam bentuk pembinaan pribadi dengan pastor pembina,
pertemuan keuskupan, pertemuan bersama, rekoleksi/ret-ret bersama, nasehat-nasehat
Injili saat perayaan Ekaristi harian, irama hidup komunitas, hidup bersama di
wisma dan sebagainya.
Refleksiku atas proses pembinaan dan irama hidup yang saya lalui itu amat manusiawi, baik dan memang urgen untuk seorang calon imam. Namun saya merasa hampa, kosong dan tidak semangat lagi untuk menjalani panggilan imamatku ini. Hal ini bermula dari Bulan Desember Tahun 2012 di rumah Transit Timika saat saya diusir oleh Pater Dominikus Dulione Hodo Pr. Saat itu saya berlibur ke Bilogai, setelah mendapat ijin dari Bapak Harianto selaku pembina kami saat itu. Setelah liburan, saya hendak kembali ke Seminari lewat Timika dan saya penah singgah di Katedral Keuskupan Timika seraya melaporkan diri sebagai calon imam keuskupan Timika yang baru saja kembali dari liburan. Di sana saya disambut baik oleh Frater TOP dan Suster ekonom. Kemudian mereka mengarahanku ke rumah Transit, maka saya pun menuju ke rumah Transit dan sesampaiku di sana, saya disambut oleh Pater Domin Hodo dengan amarah yang menurut saya tidak masuk akal. Amarah di seputar pembinaan bisa dapat dimaklumi, tetapi pertanyaan “kamu ada uang untuk bayarkah?” Dan, pernyataan “Orang yang tinggal di sini itu bayar tiga ratus ribu per-hari, jadi, kau pulang saja” yang diajukan padaku ini belum bisa saya terima. Sebab kehadiranku di rumah Transit sudah sesuai dengan arahan suster ekonom Keuskupan Timika saat itu. Namun pada akhirnya saya sudah diusir betul-betul, maka pada waktu yang sama saya sudah putuskan untuk tidak injak rumah itu lagi sampai kapan pun, karena mungkin Imam tidak membutuhkan calon Imam yang jatuh (berdosa).
Persoalan itu bisa dilihat dari berbagai sisi, tetapi bagiku sudah cukup, saya sudah ambil keputusan untuk tidak tinggal di rumah itu jika ada kesempatan ke sana. Sebab memang persoalan itu telah meredam semangat untuk menjalani panggilanku sampai di Seminari ini. Sehubungan dengan hal ini, sudah saya katakan bahwa semua proses pembinaan yang baik bagi calon imam itu belum berhasil mengembalikan semangat panggilanku. Saya justru mengalami kekosongan dan kekeringan panggilan. Oleh karena itu, dalam menjalani hidup panggilanku di Seminari selama semester ini masih berjalan atas dasar persoalan tersebut. Namun saya selalu berusaha untuk aktif dalam proses pembinaan, irama hidup komunitas dan membangun relasi yang baik dengan sesama. Niat ini juga merupakan berkat pendampingan Pater Yoseph Igitaro Pr sendiri yang bagi saya cukup rendah hati yang juga patut saya diteladani. Perjumpaanku dengan Pater Yoseph, saya masih bisa bertahan menjalani panggilanku sebagai calon Imam. Seandainya beliau tidak ada di sini, mungkin saya sudah mundur dari semester yang lalu.
Kualitas dan ketangguhan panggilanku yang amat rendah itu, terasa disiram, dipupuk dan ditumbuhkan oleh Bapa Uskupku sendiri saat ret-ret di Sentani. Saya secara pribadi merasa amat terbantu, karena mendapat banyak nasehat dan pesan untuk hidup bertahan menjalani panggilan lewat sikap dan pendampingan Bapa Uskup. Juga kujungan dubes Vatikan Mgr. Antonio Guido Filipazzi yang berbicara banyak tentang pentingnya panggilan imamat dapat menguatkan panggilanku.
Refleksi akhir semester ini saya akhiri dengan menegaskan kembali apa yang saya maksudkan dalam refleksi ini dan menegaskan juga panggilanku. Maksud saya reflesi itu penting, maka dalam reflesi ini saya telah mengungkapkan isi hatiku bahwa proses pembinaan yang saya butuhkan sebagai calon imam telah berlangsung dalam persoalan pribadiku yang saya kemukakan di atas. Namun hal itu tidak membuat saya harus mundur dari jalan panggilanku, karena ini menyangkut kecintaaku pada Kristus yang telah mengangkat saya dari parit. Saat ini saya merasa panggilanku semakin bertumbuh dan saya harus tumbuhkan sampai menjadi Imam Keuskupan Timika. Saya adalah Yeheskiel Belau, calom Imam Keuskupan Timika, maka saya berniat membangun kematangan panggilan, kerohanian, kepribadiaan, hidup berkomunitas dan kerasulanlan secara baik.
Refleksiku atas proses pembinaan dan irama hidup yang saya lalui itu amat manusiawi, baik dan memang urgen untuk seorang calon imam. Namun saya merasa hampa, kosong dan tidak semangat lagi untuk menjalani panggilan imamatku ini. Hal ini bermula dari Bulan Desember Tahun 2012 di rumah Transit Timika saat saya diusir oleh Pater Dominikus Dulione Hodo Pr. Saat itu saya berlibur ke Bilogai, setelah mendapat ijin dari Bapak Harianto selaku pembina kami saat itu. Setelah liburan, saya hendak kembali ke Seminari lewat Timika dan saya penah singgah di Katedral Keuskupan Timika seraya melaporkan diri sebagai calon imam keuskupan Timika yang baru saja kembali dari liburan. Di sana saya disambut baik oleh Frater TOP dan Suster ekonom. Kemudian mereka mengarahanku ke rumah Transit, maka saya pun menuju ke rumah Transit dan sesampaiku di sana, saya disambut oleh Pater Domin Hodo dengan amarah yang menurut saya tidak masuk akal. Amarah di seputar pembinaan bisa dapat dimaklumi, tetapi pertanyaan “kamu ada uang untuk bayarkah?” Dan, pernyataan “Orang yang tinggal di sini itu bayar tiga ratus ribu per-hari, jadi, kau pulang saja” yang diajukan padaku ini belum bisa saya terima. Sebab kehadiranku di rumah Transit sudah sesuai dengan arahan suster ekonom Keuskupan Timika saat itu. Namun pada akhirnya saya sudah diusir betul-betul, maka pada waktu yang sama saya sudah putuskan untuk tidak injak rumah itu lagi sampai kapan pun, karena mungkin Imam tidak membutuhkan calon Imam yang jatuh (berdosa).
Persoalan itu bisa dilihat dari berbagai sisi, tetapi bagiku sudah cukup, saya sudah ambil keputusan untuk tidak tinggal di rumah itu jika ada kesempatan ke sana. Sebab memang persoalan itu telah meredam semangat untuk menjalani panggilanku sampai di Seminari ini. Sehubungan dengan hal ini, sudah saya katakan bahwa semua proses pembinaan yang baik bagi calon imam itu belum berhasil mengembalikan semangat panggilanku. Saya justru mengalami kekosongan dan kekeringan panggilan. Oleh karena itu, dalam menjalani hidup panggilanku di Seminari selama semester ini masih berjalan atas dasar persoalan tersebut. Namun saya selalu berusaha untuk aktif dalam proses pembinaan, irama hidup komunitas dan membangun relasi yang baik dengan sesama. Niat ini juga merupakan berkat pendampingan Pater Yoseph Igitaro Pr sendiri yang bagi saya cukup rendah hati yang juga patut saya diteladani. Perjumpaanku dengan Pater Yoseph, saya masih bisa bertahan menjalani panggilanku sebagai calon Imam. Seandainya beliau tidak ada di sini, mungkin saya sudah mundur dari semester yang lalu.
Kualitas dan ketangguhan panggilanku yang amat rendah itu, terasa disiram, dipupuk dan ditumbuhkan oleh Bapa Uskupku sendiri saat ret-ret di Sentani. Saya secara pribadi merasa amat terbantu, karena mendapat banyak nasehat dan pesan untuk hidup bertahan menjalani panggilan lewat sikap dan pendampingan Bapa Uskup. Juga kujungan dubes Vatikan Mgr. Antonio Guido Filipazzi yang berbicara banyak tentang pentingnya panggilan imamat dapat menguatkan panggilanku.
Refleksi akhir semester ini saya akhiri dengan menegaskan kembali apa yang saya maksudkan dalam refleksi ini dan menegaskan juga panggilanku. Maksud saya reflesi itu penting, maka dalam reflesi ini saya telah mengungkapkan isi hatiku bahwa proses pembinaan yang saya butuhkan sebagai calon imam telah berlangsung dalam persoalan pribadiku yang saya kemukakan di atas. Namun hal itu tidak membuat saya harus mundur dari jalan panggilanku, karena ini menyangkut kecintaaku pada Kristus yang telah mengangkat saya dari parit. Saat ini saya merasa panggilanku semakin bertumbuh dan saya harus tumbuhkan sampai menjadi Imam Keuskupan Timika. Saya adalah Yeheskiel Belau, calom Imam Keuskupan Timika, maka saya berniat membangun kematangan panggilan, kerohanian, kepribadiaan, hidup berkomunitas dan kerasulanlan secara baik.
0 komentar:
Post a Comment