Video Of Day

Subscribe Youtube

Sunday, 4 March 2018

PAROKI ST. FRANSISKUS OBANO MERAYAKAN PASKAH BERNUANSA BUDAYA



Oleh Yeskiel Belau
Foto Umat Paroki St. Fransisku Obano.
Dokumen Yeskiel Belau
“Kita Berdamai Dengan Tuhan Dan Segala Ciptaan-Nya”. Demikian tema sentral Perayaan Paskah Tahun 2016 ini bagi kami umat Paroki St. Fransiskus Obano. Tema ini lahir dari diskusi mendalam bersama tua-tua adat setempat dan para pewarta serta petugas Pastoral yang ada. Sejalan dengan tema utama, peserta diskusi juga memilih sub tema “Kurban Dan Kebangkitan Kristus Menjadi Kekuatan Kita Untuk Bersatu”.

Kedua tema itu sangat sesuai dengan konteks kami saat ini di Paroki St. Fransiskus Obano. Sebab konteks kami saat ini adalah sedang mempersiapkan upacara Rekonsiliasi Kampung, yang biasa kami sebut dengan nama Witogai Kamuu. Upacara yang sedang kami siapkan ini mempunyai tujuan yang sesungguhnya sudah terungkap dalam tema tersebut. Memang kami sedang mengusahakannya supaya selanjutnya kami berdamai dengan Tuhan dan segala Ciptaan-Nya. Sehingga pada akhirnya persekutuan kami dengan sesama, leluhur, alam dan Tuhan terpancar dari kampung kami sendiri.

Foto umat beserta ragam bibit tanaman
 pada Miggu Malma.
Dokumen Yeskiel belau
Dalam konteks itu, seperti biasa Pekan Suci diawali dengan Minggu Palma. Perayaan Minggu Palma ini kami rayakan sebagai Minggu bibit-bibit. Minggu bibit-bibit yang jatuh tanggal 20 Maret ini, kami lakoni dengan tema khusus “Mee Umina Gaipeu Maida Make Ekowai” (bekerja untuk menghidupi banyak orang). Perayaan yang diawali dari depan Emawaa Maipai Wiyai ini, betul-betul diramaikan dengan bibit-bibit tanaman.

Dalam perayaan itu, Pastor Maipai Pr. mengajak umat untuk menyadari diri sebagai petani yang termulia di hadapan Allah. Sebab dengan kariernya, para petani turut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah (Ugatamee). Juga bersyukur kepada Ugatamee, dengan mengangkat apa yang senantiasa menghidupkan kami (bibit-bibit) atas kebaikan dan kesediaan-Nya masuk ke dalam hidup dan hati para petani sebagai Raja. Bibit-bibit tanaman yang dikumpulkan itu juga merupakan lambang persembahan keutuhan diri para petani bagi Sang Raja, yang memasuki Yerusalem hidup dan hati para petani termulia.

Bibit-bibit tanaman lambang diri para petani, yang juga diangkat untuk menghormati Sang Raja Damai itu terdiri dari bibit petatas (nota), keladi (nomo), tebu (eto), bibit pisang, jagung, sayur lilin dan sayur-sayur lain sebagainya. Katakan saja bahwa para petani sudah menyiapkan semua jenis bibit yang ada di rumah dan kebun mereka. Maka Pastor Paroki memohon Ugatamee memberkatinya dengan berdoa, memberi berkat serta mendupai.

Sesudah upacara pembukaan Minggu bibit di Emawaa Maipai, umat yang dijuluki para petani termulian itu bersama pemimpin perayaan berarak memasuki gedung Gereja. Sementara itu, para petani termulia yang lain mengiringinya dengan tari-tarian khas budaya suku bangsa Mee. Dalam proses ini, para petugas lain membentangkan dedaunan hijau di jalan yang akan dilalui, hingga di dalam Gereja. Di dalam Gereja, mereka mengalasi jalan menuju panti Imam dan menghiasi sekitar altar dengan dedaunan bibit-bibit tadi. Kemudian perayaan dilanjutkan dengan Liturgi Sabda dan Ekaristi Kudus. Perayaan ini ditutup dengan berkat meriah oleh Pastor Paroki dan nyanyian yang berciri khas suku bangsa Mee.

Perayaan Kamis Putih, kami rayakan dengan bakar batu seekor babi seharga Tujuh Juta Rupiah. Acara barapen ini dipimpin oleh Petrus Pigai dan selesai tepat pukul 06.00 Waktu Obano. Dengan selesainya acara ini, maka selanjutnya semua umat yang terkumpul siapkan diri untuk mengikuti perayaan Kamis Putih di Aula Paroki yang sudah disiapkan oleh Ibu Ance Pigai. Perayaan Kamis Putih dimulai jam 07.00 dan berakhir jam 11.30. Memang proses perayan ini cukup panjang, tetapi bagi kami yang turut merayakannya terasa begitu cepat. Sebab bagian-bagian liturgi yang kami lalui bernuansa budaya kami sendiri.

Foto Proses Perayaan Tobat.
Dokumen Yeskiel Belau.
Liturgi bagian awal: Sesudah kata pengantar Pastor mengajak umat untuk mengikuti upacara pembasuhan kaki. Dalam upacara ini, setiap marga membawa air milik mereka sendiri (air warisan nenek moyangnya) di kampung masing-masing, yang sudah terisi di dalam tempayan asli hasil pertanian mereka. Air ini dibawa ke depan altar oleh perwakilan umat dari masing-masing marga. Kemudian Pastor memberkati air itu dan membasuh kaki mereka dengan airnya sendiri. Sesudah itu, mereka yang sudah mengalami pembasuhan kaki, kembali ke tengah-tengah sesama marganya dan membasuh kaki semua anggota marganya tanpa terkecuali. Demikian juga saya dengan Bapa Pastor, kami saling membasuh kaki dengan air yang kami siapkan sendiri dalam tempayan asli yang bulat (air ini kami bawa sendiri dari Pastoran).

Sesudah pembasuhan kaki, berikutnya kami lanjutkan dengan upacara pertobatan. Upacara pertobatan berlangsung seperti ini: Air milik setiap marga tadi disumbang seukuran tiga gelas, kemudian ditampung dalam sebuah baskom sedang yang berwarna putih dan di siapkan di depan altar. Tahap kedua, gusung seekor ayam kampung yang berbuluh warna puti ke hadapan Pastor. Tahap ketiga, ayam itu dan bahan pembuat api tradisional (mamo) diberkati oleh Pastor dengan doa singkat. Tahap keempat, ayam itu dikorbankan dan darahnya dicampurkan dengan sumbangan air tadi. Sementara proses ini berlangsung, petugas sudah memasang api dengan mamo tadi di depan altar. Sesudah semua materi tersedia, maka tahap kelima umat berarak maju ke depan dengan membawa sebuah kertas, yang bertuliskan susunan dosa-dosa. Sesudah berhadapan dengan air dan darah ayam yang digabungkan itu, mereka mencelupkan kertas tadi ke dalam dan membakarnya di api yang tersedia di situ. Umat yang sudah melalui proses ini kembali ke tempat semula dan minum air milik mereka yang sudah diberkati tadi. Tahap keenam, Pastor membuat tanda salib di dahi umat dengan air dan darah yang dipaduhkan itu, dengan kata-kata absolusi. Tahap terakhir, Pastor memberi absolusi secara umum.

Sesudah upacara pertobatan, kami melanjutkan dengan proses pembaruan janji baptis. Dalam proses ini, Pastor berdialog dengan kami (umat) dan sejanjutnya perciki umat dengan air berkat. Kemudian Liturgi Sabda, Ekaristi dan Ritus penutup berlangsung seperti biasa, tetapi bagian paling terakhir kami mengadakan upacara penghormatan Tubuh Kristus (Tuguran). Prosesi upacara tuguran dimulai dari tempat perayaan (Aula) menuju Tabernakel yang sudah disiapkan di dalam Gereja. Di depan Sakramen Mahakudus ini, setiap marga datang berdoa secara bergilir sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan para pewarta.

Dengan selesainya seluruh Liturgi Perayaan Kamis Putih itu, maka sebelum kembali ke rumah kami masing-masing, kami menikmati perjamuan malam bersama. Perjamuan yang kami nikmati ini adalah makanan hasil barapen tadi, yang terdiri dari daging babi, keladi, petatas, dan sayuran. Jenis-jenis makanan inilah yang pernah kami santap bersama, sama seperti perjamuan Paskah Yesus bersama murid-murid-Nya di Malam Terakhir itu.

Keesokan harinya Perayaan Jumat Agung dilangsungkan. Prosesi perayaan ini dipandu oleh Orang Muda Katolik (OMK) setempat, dengan Jalan Salib Hidup. OMK Paroki yang sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari bersama Frater Yesi ini, berarak ke arena titik star Jalan Salib, sesudah make up dan kenakan busana khas tempur.

Dengan melihat kesiapan para pemeran drama Kisah Sengsara Yesus itu, panitiaa dan para pewarta dibawah pimpinan Pastor Paroki pun segera mengarahkan seluruh umat ke titik star Jalan Salib yang sama. Dan, tepat pukul 02.15 Waktu Obano, para pemeran Jalan Salib maupun umat yang akan memaknai peristiwa itu telah siap di tempat. Oleh karena itu, kami langsung memulainya dari perbatasan Desa Bado dengan Tipakotu.

Jalan Salib titik awal pada Jumat Agung.
Foto Theodorus Pigai.
Drama Jalan Salib dimulai dengan adegan pertama. Pada adegan ini, Yesus yang diperankan oleh Theodorus Pigai yang juga memiliki rambut, kumis dan wajah yang mirip dengan Yesus serta murid-muridnya yang berbusana jubah putih itu sudah mulai berdialog. Sementara itu Yance Keiya yang berperan sebagai Yudas itu menghindar Yesus dan teman-temannya, menuju ke arah Imam besar serta berdialog untuk menjual gurunya.

Foto Pemeran Imam Besar
dan para prajuritnya. Theo Foto.
Sesudah mendapat sejumlah uang dari Imam besar, Yudas pun datang bersama dengan para pasukan menghampiri Yesus dengan murid-muridnya untuk menangkap Yesus.  Setelah Yesus ditangkap, para pasukan prajurit membawa Yesus ke hadapan Makamah Agama dan usai menginterogasinya, ia di kirim lagi ke Pilatus. Selanjutnya Pilatus yang diperankan oleh Stevanus Pigai mengadili Yesus dan akhirnya ia menjatuhkan hukuman mati terhadap Yesus, atas desakan warganya yang semakin riuh dengan teriakan “salibkan dia, salibkan dia dan salibkan dia”. Saat itu, mereka yang berperan sebagai rakyat berteriak serentak dengan bahasa daerah setempat. Mereka berteriak “Wagii…Wagii…Wagii…”.

Foto pemeran Yesus dihadapkan
pada pemeran Pilatus. Theo Foto.
Keputusan Pilatus itu diterima baik oleh para pasukan prajurit dan mereka mulai melancarkan penyiksaan yang kejih terhadap Yesus, seperti jalan salib sungguhan. Penyiksaan terhadap Yesus terus dilancarkan dengan mengikuti seluruh perhentian yang sudah disiapkan di samping kiri dan kanan jalan raya. Sementara itu seluruh umat yang sudah berbusana budaya maupun berbusana modern mengikuti dalan salib hidup ini dengan amat teratur dari belakang. Demikian juga para sutradara (kameramen) dibawah pimpinan Bapak Anton Pigai yang ditugaskan oleh sekertaris dewan Paroki, Vitalis Pigai pun menyibukkan diri dengan pengambilan gambar dari seluruh arah.

Foto pemeran Yesus disalibkan.
Foto Theodorus P.
Proses jalan salib terus dilanjutkan hingga sampai di bukit Obay yang menjadi tempat penyaliban Yesus dengan dua penjahat lain yang diperankan oleh Davit dan Marthen Pigai. Proses penyaliban dilakukan tepat pukul 02.50 sore. Dalam keadaan tergantung di kayu salib, Yesus dengan kedua penjahat itu berdialog sesuai dengan peran mereka sendiri-sendiri. Sementara itu, para prajurit pun mengolok-olok Yesus sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Proses ini kelihatannya agak lama dan waktu tinggal lima detik jam 3, maka saya lantas memberi kode kepada tokoh Yesus supaya ia segera menyerahkan nyawanya kepada Bapanya. Memberian kode ini ditanggapi dengan cerdik oleh tokoh Yesus, kemudian ia berkata: “Ya Bapa, Kedalam Tangan-Mu Kuserahkan Nyawaku”. Sesudah berkata demikian, ia menundukkan kepala dan wafat  di kayu salib tepat jam 3 sore.

Foto pemeran Maria dan sahabat-sahabatnya
yang meratapi Jenazah Yesus.
Foto Anton Pigai.
Dengan melihat Yesus sudah wafat di salib, maka bapak Millem Boma dengan pewarta Kombas Idetaka yang berbusana koteka itu mengalaskan mazmur ratapan, yang bercirikhaskan budaya Mee (Uga). Usai mazmur ratapan ini, mereka mengurbankan seekor bebek sumbangan bapak Nikho Pigai di depan, lalu darahnya ditumpahkan di bawah setiap salib yang sudah didirikan mulai dari salib Yesus. Proses ini berakhir, maka para prajurit menurunkan jenazah-jenazah itu dari salib dan jenazah Yesus diletakkan di pangkuan Maria. Sementara itu, kelompok mama-mama pun mendekati Maria dan bersamanya meratapi jenazah Yesus sama seperti kebiasaan ratap mereka saat orang meninggal. Mama-mama selagi ratapan, umat yang hadir pun turut menundukkan kepala dan merenungkan semua itu. Proses ratapan ini berlangsung selama 10 menit dan berakhir. Tidak lama kemudian, bapak Nikho Pigai tampil membawakan Madah Pujian Salib, dengan gaya khasnya yang amat puitis serta memukau hati para umat, lalu mengakhirinya dengan kata amin. Dengan berakhirnya pujian ini, maka berakhirlah juga seluruh proses Jalan Salib hidup itu.

Foto umat saat memberikan
penghormatan kepada Salib Yesus.
Fofo Yeskiel Belau.
Ritus selanjutnya kami mengikuti perarakan Salib dan menghormatinya dengan cara mencium Salib Kristus. Upacara perarakan dan penghormatan Salib Kristus ini terjadi di tempat yang sama, yaitu; tempat penyalibab tokoh Yesus tadi. Di sini semua umat maju dan menghormati Salib sambil membawa amplop APP dan mengisinya di dalam noken yang sudah disiapkan. Proses ini berlangsung di alam terbuka dengan amat lancar, lagi pula cuaca saat itu cukup mendukung (cerah). Proses ini pun berlalu dengan saksama, maka berikutnya kami bangkit berdiri dan mendoakan “Doa Bapa Kami” dan teruskan dengan sambut Komuni Kudus serta menerima berkat penutup dari Pastor Paroki, Pastor Sebastianus Pr. Akhirnya keseluruhan Perayaan Jumat Agung ini ditutup dengan lagu penutup oleh umat dari Stasi Waipa.

Perayaan Malam Paskah dan Hari Raya Paskah pun kami rayakan dengan penuh suka cita dalam nuansa budaya kami. Penjelasan mengenai kedua perayaan ini bersambung! Semoga Kurban dan Kebangkitan Kristus Menjadi Kekuatan Kita Untuk Bersatu padu dalam “Kasih Bapa, Putera dan Roh Kudus”. Amin.

Lokasi: Obano, Paniai Bar., Kabupaten Paniai, Papua, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT