Video Of Day

Subscribe Youtube

Friday, 27 April 2018

TOKOH PEAGABEGA SEBAGAI SARANA DALAM PEWARTAAN KRISTUS DI WILAYAH SUKU MIGANI


Oleh
Kleopas Sondegau MIGANIJU
(Mahasiswa Magister  Ilmu Teologi Pasca-Sarjana, Universitas Katolik Parahyangan Bandung).



Foto Kleopas Sondegau Dokumen Pribadi.
Perjumpaan Gereja dengan kultur orang Migani membantu masyarakat setempat menggali kembali nilai-nilai positif yang terdapat dalam kebudayaan mereka. Nilai-nilai positif yang digali oleh umat setempat antara lain adanya kepercayaan terhadap Wujud/Daya Tertinggi yakni EMO sebagai sang pencipta alam semesta, penghayatan terhadap nilai-nilai adat yang positif sebagai standar etika, moral, dan sosial serta adanya penghayatan terhadap sejumlah tokoh ideal/mitis seperti tokoh Duanisuani, Soti, Meti, Wati dan Peagabega. Dari sejumlah unsur kultural tersebut, orang Migani menampilkan tokoh Peagabega sebagai Yesus menurut pola kebudayaannya sendiri. Peagabega dianggap Yesus karena kisah hidupnya mirip dengan kisah hidup tokoh historis Yesus dari Nazaret sebagaimana dimaklumkan Gereja kepada mereka. Dalam hidupnya, Peagabega sangat populer kala itu karena perkataan dan perbuatannya sungguh mengagumkan banyak orang. Peagabega tidak mengajar seperti Yesus lakukan kepada para pengikut-Nya tetapi ia tunjukkan hidup yang baik secara etis, sosial dan moral kepada orang-orang Migani melalui sikap hidupnya.

Pada akhirnya orang Migani menyadari bahwa ternyata Yesus Kristus yang dimaklumkan Gereja itu mirip dengan kisah hidup dan karya tokoh Peagabega yang terdapat dalam kebudayaan mereka.[i] Oleh karena itu, mengetahui segala yang dilakukan Peagabega dalam kehidupan orang Migani, maka masyarakat setempat mulai melihat dan memaknai hal-hal yang sama pada diri Kristus, yakni keduanya memiliki sifat manusiawi dan adi-manusiawi, kisah hidupnya berbeda dan unik dari orang-orang yang hidup pada zamannya, Kristus datang ke dunia untuk mewartakan Kerajaan Allah[ii] dan Kerajaan Allah yang diwartakan bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Rom 14:17) mirip dengan apa yang dilakukan Peagabega yaitu memberi umur panjang, mencegah berbagai kejahatan, kematian, dan juga mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor. Selain itu, sikap dan teladan hidup Peagabega mengenai pentingnya memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang diwujudkan melalui sikap hidup sama dengan ajaran Kristus kepada murid-murid-Nya dan kepada semua orang yang Ia layani.[iii] Dalam ceritera Peagabega juga dikatakan bahwa ia dalam hidup dan karyanya mendatangkan konflik dalam masyarakat umum mirip dengan hidup dan karya Yesus yang dianggap melawan tradisi orang Yahudi.[iv] Begitu pun dengan kisah sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus memiliki kemiripan dengan ceritera tentang pembunuhan dan “kebangkitan” Peagabega.

Bertolak dari penjelasan tersebut maka tokoh ideal Peagabega telah dijadikan sarana oleh Gereja bersama umat setempat untuk berkristologi kontekstual. Dalam rangka menggali sebuah kristologi yang kontekstual, maka tokoh Peagabega dilihat sebagai sarana kultural yang cocok bagi orang Migani dalam upaya menerima dan mengimani Yesus Kristus. Dalam arti ini, tokoh Peagabega merupakan medium yang dipakai Gereja bersama umat setempat dalam rangka mengimani Yesus Kristus secara lebih mendalam lagi. Maka itu, jelaslah bahwa Peagabega bukanlah tujuan dan sasaran iman melainkan hanya sebagai sarana. Oleh karena itu, penghayatan iman yang kontekstual melalui tokoh Peagabega ini dapat menghantar orang Migani pada tujuan yang sesungguhnya yakni agar mereka semakin beriman kepada Yesus Kristus sebagai puncak Wahyu dan pusat iman kristiani.[v] Inilah tujuan utama yang hendak dicapai oleh Gereja bersama orang Migani Katolik di Paroki Bilogai melalui upaya inkulturasi tokoh Peagabega dalam liturgi Jumat Agung.

Pengungkapan iman yang kontekstual tersebut amat membantu orang Migani dalam menghayati Yesus Kristus secara lebih mendalam. Maka itu, hasil akhir yang hendak dicapai melalui upaya inkulturasi tokoh Peagabega dalam liturgi Jumat Agung adalah agar orang Migani dapat berkristologi secara kontekstual; sehingga dengan demikian, mereka mampu mengungkapkan imannya akan Yesus Kristus sesuai dengan pola kulturnya sendiri.[vi] Maka, melalui pewartaan Gereja mengenai Kristus dan ajaran-Nya tersebut, orang Migani pun mulai menerima, menghayati, dan kemudian mengakui Yesus Kristus sebagai puncak Wahyu, mediator Allah dan manusia, serta pusat iman kristiani. Pengakuan ini tentu muncul karena mereka percaya, dalam hal ini, mereka mempunyai pengalaman iman. Pengalaman iman mereka itu tentu berbeda dengan pengalaman para rasul dan orang-orang Yahudi, yang secara fisik dapat melihat, mendengarkan dan menjamah Yesus secara langsung.[vii] Maka dapat dikatakan bahwa pengalaman iman orang Migani melalui tokoh Peagabega dilihat sebagai bagian dari karya Roh Kudus dalam konteks kebudayaan setempat.[viii]

Dalam kaitannya dengan karya Roh Kudus tersebut, refleksi iman yang sesuai konteks juga merupakan karya Roh Kudus bagi setiap orang di berbagai kebudayaan. Karya Roh Kudus yang dimaksud bersandar pada dimensi Kristus iman (fungsional) yang hadir dan menyapa setiap suku bangsa di dunia ini dalam bentuk/wujud yang lain, terutama sesudah mengalami kebangkitan-Nya.[ix] Dengan demikian, setiap orang mengalami Roh Kudus dalam situasi dan konteks kebudayaannya yang konkret. Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk mendalami arti Yesus Kristus dalam hidup dengan berpangkal pada pengalamannya sendiri. Maka, sejak Konsili Vatikan II Gereja semakin menyadari dirinya bukan hanya sebagai penderma agung yang menyampaikan kebenaran-kebenaran kepada dunia, melainkan juga sebagai penerima. Dalam hal ini, budaya-budaya yang mendengarkan pewartaan mengenai Yesus Kristus dapat memperkaya Gereja.[x]

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa upaya inkulturasi tokoh Peagabega dalam liturgi Gereja hendak menunjukkan adanya kekayaan nilai kultural yang positif dalam kehidupan suku bangsa Migani. Kekayaan nilai kultural tersebut diambil oleh Gereja sebagai sarana dalam memperkenalkan Kristus dan ajaran-Nya kepada orang Migani; sehingga dengan demikian, pewartaannya sungguh-sungguh mengakar dalam kultur setempat.[xi] Dalam hal ini, Gereja tidak bersikap eksklusif terhadap nilai-nilai positif yang terdapat di dalam setiap suku bangsa di dunia ini.[xii] Atau dengan kata lain, Gereja tetap bersikap inklusif dan siap menerima nilai-nilai kultural yang positif untuk kemudian dijadikan sarana dan partner dialog dalam menyampaikan warta tentang Yesus Kristus sesuai konteks kebudayaan setempat;[xiii] dan tentu sejauh nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan ortodoksi iman Katolik; sehingga dengan demikian, umat setempat semakin mengenal, menghayati dan kemudian mengakui Kristus sebagai Kepenuhan Wahyu Allah dan satu-satunya penyelamat umat manusia.[xiv]

CATATAN AKHIR:



[i] Bdk. Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, Maumere: Ledalero, 2002, hlm. 162-163.
[ii] Bdk. Frans Harjawiyata, Yesus dan Situasi Zaman-Nya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, 106-125; Lih. juga, Dr. C. Groenen, OFM, Peristiwa Yesus, Yogyakarta: Kanisius, 1979, hlm. 66-91.
[iii] Bdk. B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, Jakarta: Gunung Mulia, 2001, hlm. 208-212.
[iv] Bdk.  I. Suharyo, Pengantar Injil Sinoptik, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 21.
[v] Bdk. JB. Banawiratma, SJ, (Editor), Kristologi dan Allah Tritunggal, hlm. 24-25.
[vi]Bdk. Daniel, J. Adams, Teologi Lintas Budaya, Jakarta: Gunung Mulia, 1992, hlm. 63.
[vii] Bagian ini mengikuti pemikiran JB. Banawiratma, SJ, (Editor), Kristologi dan Allah Tritunggal, hlm. 42.
[viii] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 60, Dokpen KWI, Jakarta: KWI, 2001, hlm. 32.
[ix] Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (terj.), Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 76; Lih. juga, RMi 28.
[x] JB. Banawiratma, SJ, (Editor), Kristologi dan Allah Tritunggal, hlm. 42-43; Bdk. De Liturgia Romana et Inculturazione (Liturgi Romawi dan inkulturasi), dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 40, Dokpen KWI, Jakarta: KWI, 2004, hlm. 13-14; Lih. juga, RMi. 63.
[xi] Bdk. Bernardus Boli Ujan, dkk (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan, hlm. 74-75; Bdk. EN 63, GS, art. 44.
[xii] Selengkapnya baca GS, art. 58.
[xiii] Dalam proses menjumpai pelbagai kebudayaan dunia, Gereja tidak hanya menyalurkan kebenaran-kebenaran dan nilai-nilainya, tetapi mengangkat juga dari pelbagai kebudayaan unsur-unsur positif yang sudah terdapat di dalamnya. Lih. Yohanes Paulus II: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal di New Delhi tentang Gereja di Asia (Church in Asia), dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 57, Dokpen KWI, Jakarta: KWI, 1990, hlm. 54.
[xiv] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 60, hlm. 22-27.


0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT