Oleh
Kleopas Sondegau MIGANIJU
(Mahasiswa Magister Ilmu Teologi Pasca-Sarjana, Universitas
Katolik Parahyangan Bandung).
Foto Kleopas Sondegau Dokumen Pribadi. |
Perjumpaan Gereja dengan kultur orang
Migani membantu masyarakat setempat menggali kembali nilai-nilai positif yang
terdapat dalam kebudayaan mereka. Nilai-nilai positif yang digali oleh umat
setempat antara lain adanya kepercayaan terhadap Wujud/Daya Tertinggi yakni EMO sebagai sang pencipta alam semesta,
penghayatan terhadap nilai-nilai adat yang positif sebagai standar etika,
moral, dan sosial serta adanya penghayatan terhadap sejumlah tokoh ideal/mitis
seperti tokoh Duanisuani, Soti, Meti, Wati dan Peagabega. Dari sejumlah unsur kultural
tersebut, orang Migani menampilkan tokoh Peagabega
sebagai Yesus menurut pola kebudayaannya sendiri. Peagabega dianggap Yesus karena kisah hidupnya mirip dengan kisah
hidup tokoh historis Yesus dari Nazaret sebagaimana dimaklumkan Gereja kepada
mereka. Dalam hidupnya, Peagabega
sangat populer kala itu karena perkataan dan perbuatannya sungguh mengagumkan
banyak orang. Peagabega tidak
mengajar seperti Yesus lakukan kepada para pengikut-Nya tetapi ia tunjukkan
hidup yang baik secara etis, sosial dan moral kepada orang-orang Migani melalui
sikap hidupnya.
Pada akhirnya orang Migani menyadari
bahwa ternyata Yesus Kristus yang dimaklumkan Gereja itu mirip dengan kisah
hidup dan karya tokoh Peagabega yang
terdapat dalam kebudayaan mereka.[i] Oleh
karena itu, mengetahui segala yang dilakukan Peagabega dalam kehidupan orang Migani, maka masyarakat setempat
mulai melihat dan memaknai hal-hal yang sama pada diri Kristus, yakni keduanya
memiliki sifat manusiawi dan adi-manusiawi, kisah hidupnya berbeda dan unik
dari orang-orang yang hidup pada zamannya, Kristus datang ke dunia untuk
mewartakan Kerajaan Allah[ii] dan
Kerajaan Allah yang diwartakan bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal
kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Rom 14:17) mirip dengan
apa yang dilakukan Peagabega yaitu
memberi umur panjang, mencegah berbagai kejahatan, kematian, dan juga mencegah
terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor. Selain itu, sikap dan
teladan hidup Peagabega mengenai
pentingnya memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang diwujudkan melalui sikap
hidup sama dengan ajaran Kristus kepada murid-murid-Nya dan kepada semua orang
yang Ia layani.[iii] Dalam ceritera Peagabega juga dikatakan bahwa ia dalam hidup dan karyanya
mendatangkan konflik dalam masyarakat umum mirip dengan hidup dan karya Yesus
yang dianggap melawan tradisi orang Yahudi.[iv]
Begitu pun dengan kisah sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus memiliki
kemiripan dengan ceritera tentang pembunuhan dan “kebangkitan” Peagabega.
Bertolak dari penjelasan tersebut maka
tokoh ideal Peagabega telah dijadikan
sarana oleh Gereja bersama umat setempat untuk berkristologi kontekstual. Dalam
rangka menggali sebuah kristologi yang kontekstual, maka tokoh Peagabega dilihat sebagai sarana
kultural yang cocok bagi orang Migani dalam upaya menerima dan mengimani Yesus
Kristus. Dalam arti ini, tokoh Peagabega
merupakan medium yang dipakai Gereja bersama umat setempat dalam rangka
mengimani Yesus Kristus secara lebih mendalam lagi. Maka itu, jelaslah bahwa Peagabega bukanlah tujuan dan sasaran
iman melainkan hanya sebagai sarana. Oleh karena itu, penghayatan iman yang
kontekstual melalui tokoh Peagabega
ini dapat menghantar orang Migani pada tujuan yang sesungguhnya yakni agar
mereka semakin beriman kepada Yesus Kristus sebagai puncak Wahyu dan pusat iman
kristiani.[v]
Inilah tujuan utama yang hendak dicapai oleh Gereja bersama orang Migani Katolik
di Paroki Bilogai melalui upaya inkulturasi tokoh Peagabega dalam liturgi Jumat Agung.
Pengungkapan iman yang kontekstual
tersebut amat membantu orang Migani dalam menghayati Yesus Kristus secara lebih
mendalam. Maka itu, hasil akhir yang hendak dicapai melalui upaya inkulturasi
tokoh Peagabega dalam liturgi Jumat
Agung adalah agar orang Migani dapat berkristologi
secara kontekstual; sehingga dengan demikian, mereka mampu mengungkapkan
imannya akan Yesus Kristus sesuai dengan pola kulturnya sendiri.[vi]
Maka, melalui pewartaan Gereja mengenai Kristus dan ajaran-Nya tersebut, orang
Migani pun mulai menerima, menghayati, dan kemudian mengakui Yesus Kristus
sebagai puncak Wahyu, mediator Allah dan manusia, serta pusat iman kristiani.
Pengakuan ini tentu muncul karena mereka percaya, dalam hal ini, mereka
mempunyai pengalaman iman. Pengalaman iman mereka itu tentu berbeda dengan
pengalaman para rasul dan orang-orang Yahudi, yang secara fisik dapat melihat,
mendengarkan dan menjamah Yesus secara langsung.[vii]
Maka dapat dikatakan bahwa pengalaman iman orang Migani melalui tokoh Peagabega
dilihat sebagai bagian dari karya Roh Kudus dalam konteks kebudayaan setempat.[viii]
Dalam kaitannya dengan karya Roh Kudus tersebut,
refleksi iman yang sesuai konteks juga merupakan karya Roh Kudus bagi setiap
orang di berbagai kebudayaan. Karya Roh Kudus yang dimaksud bersandar pada
dimensi Kristus iman (fungsional) yang hadir dan menyapa setiap suku bangsa di
dunia ini dalam bentuk/wujud yang lain, terutama sesudah mengalami kebangkitan-Nya.[ix]
Dengan demikian, setiap orang mengalami Roh Kudus dalam situasi dan konteks
kebudayaannya yang konkret. Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk
mendalami arti Yesus Kristus dalam hidup dengan berpangkal pada pengalamannya
sendiri. Maka, sejak Konsili Vatikan II Gereja semakin menyadari dirinya bukan
hanya sebagai penderma agung yang menyampaikan kebenaran-kebenaran kepada
dunia, melainkan juga sebagai penerima. Dalam hal ini, budaya-budaya yang
mendengarkan pewartaan mengenai Yesus Kristus dapat memperkaya Gereja.[x]
Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa upaya inkulturasi tokoh Peagabega dalam liturgi Gereja hendak menunjukkan adanya kekayaan
nilai kultural yang positif dalam kehidupan suku bangsa Migani. Kekayaan nilai
kultural tersebut diambil oleh Gereja sebagai sarana dalam memperkenalkan
Kristus dan ajaran-Nya kepada orang Migani; sehingga dengan demikian,
pewartaannya sungguh-sungguh mengakar dalam kultur setempat.[xi]
Dalam hal ini, Gereja tidak bersikap eksklusif terhadap nilai-nilai positif
yang terdapat di dalam setiap suku bangsa di dunia ini.[xii]
Atau dengan kata lain, Gereja tetap bersikap inklusif dan siap menerima
nilai-nilai kultural yang positif untuk kemudian dijadikan sarana dan partner
dialog dalam menyampaikan warta tentang Yesus Kristus sesuai konteks kebudayaan
setempat;[xiii]
dan tentu sejauh nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan ortodoksi iman
Katolik; sehingga dengan demikian, umat setempat semakin mengenal, menghayati
dan kemudian mengakui Kristus sebagai Kepenuhan Wahyu Allah dan satu-satunya
penyelamat umat manusia.[xiv]
CATATAN AKHIR:
[ii]
Bdk. Frans Harjawiyata, Yesus dan Situasi
Zaman-Nya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, 106-125; Lih. juga, Dr. C. Groenen,
OFM, Peristiwa Yesus, Yogyakarta:
Kanisius, 1979, hlm. 66-91.
[iii]
Bdk. B. F. Drewes, Satu Injil Tiga
Pekabar, Jakarta: Gunung Mulia, 2001, hlm. 208-212.
[iv]
Bdk. I. Suharyo, Pengantar Injil Sinoptik, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 21.
[v] Bdk. JB. Banawiratma, SJ, (Editor), Kristologi dan Allah Tritunggal, hlm. 24-25.
[vi]Bdk. Daniel, J. Adams, Teologi
Lintas Budaya, Jakarta: Gunung Mulia, 1992, hlm. 63.
[vii] Bagian ini mengikuti pemikiran JB. Banawiratma, SJ, (Editor), Kristologi dan Allah Tritunggal, hlm.
42.
[viii] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan
tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri
Dokumen Gerejawi No. 60, Dokpen KWI, Jakarta: KWI, 2001, hlm. 32.
[ix] Anscar J. Chupungco, Penyesuaian
Liturgi dalam Budaya (terj.), Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 76; Lih. juga, RMi 28.
[x] JB. Banawiratma, SJ, (Editor), Kristologi
dan Allah Tritunggal, hlm. 42-43; Bdk. De Liturgia Romana et
Inculturazione (Liturgi Romawi dan inkulturasi), dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 40, Dokpen KWI, Jakarta: KWI,
2004, hlm. 13-14; Lih. juga, RMi. 63.
[xi] Bdk. Bernardus Boli Ujan, dkk (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan, hlm. 74-75; Bdk. EN 63, GS, art. 44.
[xii] Selengkapnya baca GS, art. 58.
[xiii] Dalam proses menjumpai pelbagai kebudayaan dunia, Gereja tidak
hanya menyalurkan kebenaran-kebenaran dan nilai-nilainya, tetapi mengangkat
juga dari pelbagai kebudayaan unsur-unsur positif yang sudah terdapat di dalamnya.
Lih. Yohanes Paulus II: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal di New Delhi tentang
Gereja di Asia (Church in Asia), dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 57,
Dokpen KWI, Jakarta: KWI, 1990, hlm. 54.
[xiv] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan
tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri
Dokumen Gerejawi No. 60, hlm. 22-27.
0 komentar:
Post a Comment