Dewan Paroki Bilogai, Yohanes Abugau |
Latar Belakang
Dunia
ketahui bahwa Pilkada Kabupaten Intan Jaya Tahun 2017, telah melahirkan konflik
antar warga (pendukung pasangan calon Bupati nomor urut dua dan tiga). Konflik
yang sudah diketahui ini lahir pada 24 Februari 2017. Sesudah terlahir,
selanjutnya para pendukung saling menyerang mulai dari Yokatapa, Tigamajigi, Lapangan
Terbang dan di halaman Gereja
Katolik, Paroki Missael Bilogai. Menurut Dewan Paroki Bilogai, Yohanes Abugau, “pertikaian di halaman
Gereja Katolik Bilogai terjadi begitu sengit. Anak-panah dari berbagai sisi mengalir
seperti air hujan ke arah Gereja dan Pastoran, tempat di mana salah satu
pasangan calon Bupati berlindung. Panah-panah itu sebagian mengkenai umat yang
berusaha melindungi gedung Gereja dan Pastoran, termasuk seorang Pewarta (Gembala) dari Stasi Nggalunggama.
Pewarta Nggalunggama ini tewas tertusuk
anak-panah tajam, tepat di pintu masuk Pastoran. Sebagian anak-panah tertancap
di halaman Gereja dan atap Pastoran”.
Demikian
juga pertikaian serupa terjadi di sekitar Yokatapa,
Tigamajigi, Lapangan Terbang dan sekitarnya. “Dalam pertikaian itu pernah tercatat
tujuh orang meninggal dunia dan enam ratus orang terluka parah. Untuk persoalan
warga yang sudah meninggal, telah diselesaikan secara adat oleh Bupati terpilih
dengan keluarga korban baru-baru ini. Sementara mereka yang terluka, sudah
mendapatkan perawatan dan telah pulih kembali. Konflik itu juga disertai dengan
saling membakar rumah, barak-barak Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan kantor-kantor
pemerintahan yang sudah terbangun. Semuanya ini masih rata dengan tanah hingga
saat ini” lanjut Dewan Paroki.
Foto atap Pastoran Bilogai yang tertancap panah. |
Sebelumnya Pastor Dekan, Dekenat
Migani – Puncak Jaya, Pastor Yustinus
Rahanggiar Pr, pernah menceritakan pengalamannya kepada penulis, saat
penulis ada di Bilogai pada 5 Juli 2018, bahwa “saya baru melihat pertarungan
sengit seperti itu di halaman Gereja hingga Pastoran ini. Bayangkan, saya yang
menggunakan jubah dan berusaha menghentikan konflik itu pun mereka serang
dengan anak-panah, tetapi tidak tahu apa yang menghindarkan saya dari serangan
itu. Sayang, serangan itu justru mengkenai pewarta Stasi Nggalunggama yang berada di belakang saya”. Sesudah Pastor
sharingkan pengalamannya, ia juga menyatakan niatnya untuk segera adakan
upacara rekonsiliasi, yang melibatkan semua kalangan masyarakat tanpa memandang
perbedaan bersama Pemerintah yang lebih dulu menyatakan niatnya untuk itu.
Sejalan dengan penjelasan
konflik dan sharing di atas, pada saat yang sama Pastor Paroki dan Dewannya pernah
mengatakan bahwa “Wajah Paroki kami ini masih berlumuran darah, darah yang
telah tertumpah dalam konflik Pilkada. Tubuhnya juga masih tertusuk oleh panah
yang tertancap. Maka kami refleksikan bahwa, apakah ini ada pengaruhnya dengan
kenyataan hidup umat yang semakin jauh dari Gereja? Apakah itu ada hubungannya
dengan tingginya masalah-masalah sosial dan kematian umat kami?. Kedua
pertanyaan ini menuntut kami untuk segera adakan upacara rekonsiliasi bersama
umat, meskipun belum ada kejelasan dari pihak Pemerintah”.
Selanjutnya mereka komunikasikan
refleksi itu kepada Pastor Paroki Bilai,
Pastor Ronal Sitanggang Pr, Pastor
Paroki Titigi, Pastor Yanuarisus Yogi Pr, dan para pendeta
serta tokoh adat dan umat yang ada. Sesudah mendapat persetujuan para pemimpin
ini, bersama mereka mulai menyiapkan sebuah upacara rekonsiliasi yang
inkulturatif bersama umat mereka.
Sesudah seluruh persiapan
selesai, maka pada hari Senin, 3 September 2018 terlaksanalah upacara
rekonsiliasi Inkulturatif yang diimpikan itu di halaman Gereja Paroki Misael Bilogai. Menurut dewan
paroki, sesuai dengan rencana, peserta yang hadir dalam upacara itu adalah umat
Katolik dari Paroki Bilogai, Paroki
Titigi, Paroki Bilai, perwakilan umat Protestan yang ada di sana dan masyarakat adat setempat. Bagaimana dengan pemerintah Kabupaten Intan Jaya? Ia menjawab Pemerintah Kabupaten Intan
Jaya tidak ada satu pun yang hadir. Bagaimana tanggapannya atas ketidakhadiran
Pemerintah Kabupaten Intan Jaya ini?
Tanggapan Dewan Paroki Missael Bilogai
Sesudah 18 hari melaksanakan upacara rekonsiliasi itu, pada 22 September 2018, Dewan Paroki, Paroki Missael Bilogai, Yohanes Abugau mengirim informasi tentang pelaksanaan upacara itu dan tanggapannya atas ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Intan Jaya. Informasi dan tanggapannya ini, ia kirim melalui Massenger kepada penulis. Berkaitan dengan informasi pelaksanaan rekonsiliasi, ia mengatakan “Kami umat Paroki Bilogai, Bilai, Titigi dan umat Kristen Protestan dari Dogandoga dan Kemandoga sudah melaksanakan Upacara Perayaan Pencabutan Panah dan Pembersihan Darah secara Inkulturatif (Adat – Gerejani). Perayaan ini kami tanggung sendiri, tidak ada apa pun dari pihak pemerintah Kabupaten intan Jaya (dalang konflik)”. Setelah memberitahukan informasi ini, ia melanjutkan dengan penjelasan tentang tanggapannya atas ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Intan jaya dalam upacara rekonsiliasi itu.
Sesudah 18 hari melaksanakan upacara rekonsiliasi itu, pada 22 September 2018, Dewan Paroki, Paroki Missael Bilogai, Yohanes Abugau mengirim informasi tentang pelaksanaan upacara itu dan tanggapannya atas ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Intan Jaya. Informasi dan tanggapannya ini, ia kirim melalui Massenger kepada penulis. Berkaitan dengan informasi pelaksanaan rekonsiliasi, ia mengatakan “Kami umat Paroki Bilogai, Bilai, Titigi dan umat Kristen Protestan dari Dogandoga dan Kemandoga sudah melaksanakan Upacara Perayaan Pencabutan Panah dan Pembersihan Darah secara Inkulturatif (Adat – Gerejani). Perayaan ini kami tanggung sendiri, tidak ada apa pun dari pihak pemerintah Kabupaten intan Jaya (dalang konflik)”. Setelah memberitahukan informasi ini, ia melanjutkan dengan penjelasan tentang tanggapannya atas ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Intan jaya dalam upacara rekonsiliasi itu.
Dewan Paroki mengirim
tanggapannya; Pertama, upacara Pencabutan
Panah dan Pembersihan Darah (rekonsiliasi) itu seharusnya dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Intan Jaya, sebagai satu bentuk pertanggungjawabannya atas
konflik yang telah ia lahirkan. Iya, mestinya Pemerintah hadir dalam upacara
rekonsiliasi itu dan bersama umat melaksanakannya. Perhitungannya adalah supaya
mereka menggunakan kesempatan itu untuk memohon maaf kepada umat (masyarakat)
dan pimpinan Gereja-Gereja yang ada.
Kedua, kenyataan membuktikan bahwa sejak tahun 1974 hingga
tahun 2018 ini, Gereja-Gereja yang ada telah menjadi fasilitator untuk
Pemerintah dalam segala hal, tetapi sampai saat ini, Pemerintah tidak
memperlihatkan jasa baiknya kepada Gereja. Pemerintah justru telah mengancam
Gereja dengan kerusuhan yang berujung pada penumpahan darah, pembunuhan Pewarta Stasi Nggalunggama dan umat kami
yang lain di halaman Gerejanya sendiri. Hal ini berarti bahwa akibat konflik
pilkada itu, kami telah mengalami pengorbanan sana-sini, seperti; nyawa umat, harta benda, rumah dan moral
umat. Sehingga efeknya saat ini banyak umat telah menjauh dari Gereja. Pengalaman
ini merupakan tantangan sekaligus ujian yang telah kami hadapi sebagai pihak
yang senantiasa menanggani kemanusiaan.
Ketiga, dalam hal memperbaiki relasi antar sesama, alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi atas konfik itu, kami tidak menunggu Pemerintah. Waktu
menunggu mereka sudah enam bulan berlalu. Maka kami telah memilih untuk tetap
maju, walaupun tidak ada dukungan sama sekali dari Pemerintah. Pilihan ini
dengan pertimbangan bahwa masyarakat Intan Jaya mau maju. Pihak Gereja juga mau
maju dengan memulai program-program Pastoral yang telah direncanakan, seperti;
pembinaan iman umat dewasa, pendampingan kaum muda-mudi, memulai pendalaman
Kitab Suci, pada Bulan Kitab Suci ini, persiapkan acara Ulang Tahun Paroki yang
akan dirayakan 12 Oktober, dengan berbagai lomba antar Stasi, membuka SMP YPPK
di Bilogai yang baru, pelebaran lapangan sepak bola dan selesaikan gedung Gereja Stasi Tanah Putih yang telah
macet. Oleh karena keinginan kami mau maju dan melayani umat melalui
program-program kerja seperti ini, maka kami telah melakukan rekonsiliasi tanpa
harus menunggu pemerintah.
Keempat, kami sudah melaksanakan upacara rekonsiliasi dan
berusaha memohon Tuhan Allah mendamaikan kami dengan sesama, alam, leluhur dan dengan Dia sendiri demi keselamatan hidup kami di dunia ini dan di akhirat
nanti. Dengan ini, batin kami sudah merasa lebih nyaman dan dalam keadaan ini kami
telah memulai kehidupan kami yang baru. Maka, kalau Pemerintah Kabupaten Intan Jaya mau melaksanakan rekonsiliasi lagi,
maka silahkan datang dan lakukanlah sendiri. Kami tidak akan ikut campur
dalam rekonsiliasi Pemerintah. Dalam hal ini, umat sudah menyatakan niat mereka
untuk hadir sebagai penonton saja.
Demikianlah tanggapan Dewan
Paroki Bilogai atas ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Intan Jaya dalam
Rekonsiliasi pasca Konflik Pilkada Tahun 2017, yang dapat kami sampaikan
melalui tulisan ini. Semoga penjelasan singkat di bagian latar belakang membantu
pembaca mengerti konteks dan selanjutnya memahami tanggapan Dewan Paroki ini,
terutama Pemerintah kabupaten Intan Jaya.
Penulis, Yeskiel Belau
Penulis, Yeskiel Belau
0 komentar:
Post a Comment