Foto Yeskiel Belau |
Suku Bangsa Migani
yang mendiami wilayah Dogandoga,
Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga (Kabupaten Intan Jaya), mempunyai
rupa-rupa kebiasaan dalam mempertahankan eksistensi mereka sebagai satu Suku Bangsa. Apa yang saya katakan ini mengandung arti bahwa dalam kebudayaan Suku Bangsa Migani terdapat banyak kebiasaan yang senantiasa dihidupi sebagai upaya mereka lestarikan budayanya setiap saat di mana pun mereka berada. Meskipun begitu banyak dan kaya, tanpa mengurangi rasa
hormat, kesempatan ini saya hanya mengemukakan kebiasaan orang Migani mewariskan nilai-nilai budaya kepada
generasinya.
Memahami akan pembatasan masalah itu, maka kita langsung memulai
dengan penjelasan tentang kebiasaan orang Migani
mewariskan nilai-nilai budaya. Kebiasaan orang Migani dalam mewariskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan
selalu terjadi pada momen terbaik (Usua Mbutu).
Momen terbaik seperti ini biasanya diupayakan oleh setiap orang tua dalam keluarganya
masing-masing. Dalam hal ini, tentu bahwa jika para orang tua berniat mewariskan pengetahuan
penting tentang nilai-nilai budaya dan kehidupan kepada anak-anak mereka, maka pasti mereka persiapkannya
dengan baik.
Persiapan yang penting dan selalu diupayakan itu; makanan enak seperti; Keladi (Wa), Ubi Jalar (Senggo), Petatas Nggelkoe (Mbalaga),
Sayur (Nuga), Pisang (Puji), Ijii (Tebu). Juga daging-dagingan seperti; Daging Babi (Wogo) dan Kus-Kus (So).
Persiapan seperti ini diyakini sebagai lambang persiapan batin untuk mendengarkan
pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan. Hal ini tentu, karena makanan sedap seperti
itu sungguh memberikan semangat, rasa kekeluargaan serta kekuatan yang tinggi. Dan,
melalui dorongan dari sini, proses pertemuan itu bisa dilalui dengan saling membuka
diri antara satu sama lain. Singkat kata, saling menumbuhkan kesediaan diri untuk saling mendengarkan.
Pada momen terbaik seperti itu, biasanya orang tua selalu mengajak
anak-anaknya untuk mendengarkan mereka. Setelah mengajak untuk mendengarkan,
mereka mempunyai caranya sendiri untuk memulai ceritera yang dimaksud, supaya pendengarnya antusias
dan tidak mengantuk lalu tertidur. Dalam suasana seperti ini, mereka bisa saja mengangkat sebuah
cerita donggeng atau kisah pengalaman hidup. Ceritera yang diangkat biasanya ditokohi oleh seseorang yang
memiliki kemampuan luar biasa, tokoh yang mempu melakukan keajaiban-keajaiban
dan seluruh tindakannya baik untuk dihormati dan pantas ditiru dalam praktek hidup.
Dalam hal itu, misalnya ceritera yang berjudul “Mego Hiwaju”. Dalam ceritera ini amat memperlihatkan pergulatan seorang pemuda yang bernama Mego Hiwaju itu dalam melawan Komambego (setan) yang berusaha membunuh semua manusia. Mego Hiwa Ju berusaha untuk menyelamatkan manusia dari cengkraman tangan Komambego. Dan, pada akhirnya ia berhasil mengalahkan Komambego dan membebaskan manusia.
Dalam hal itu, misalnya ceritera yang berjudul “Mego Hiwaju”. Dalam ceritera ini amat memperlihatkan pergulatan seorang pemuda yang bernama Mego Hiwaju itu dalam melawan Komambego (setan) yang berusaha membunuh semua manusia. Mego Hiwa Ju berusaha untuk menyelamatkan manusia dari cengkraman tangan Komambego. Dan, pada akhirnya ia berhasil mengalahkan Komambego dan membebaskan manusia.
Dalam Donggeng itu,
pencerita menggaris-bawahi nilai-nilai penting bagi pendengarnya.
Nilai-nilai itu lantas akan diterima baik oleh anak-anak atau orang lain yang
mendengarnya, karena situasi pun mendukung. Maksud dari pada penekanan pencerita
pada nilai-nilai penting dan makna cerita itu adalah supaya anak-anaknya dapat memahami
dengan baik. Sehingga mereka sanggup menjalani hidup dengan baik dan pada
akhirnya dapat mengalami kebahagiaan hidup kini dan di sini maupun di akhirat nanti.
Harapan kebahagiaan hidup yang ada pada benak orang tua bagi mereka mau pun anak-naknya
inilah yang kita sebut sebagai Hajii.
Maka, kebiasaan para orang tua Migani mewariskan nilai-nilai budaya itu sesungguhnya
mengarahkan generasinya kepada Hajii.
Supaya anak-anak mereka mengalami Hajii secara
nyata, baik saat mereka masih di dunia ini maupun sesudah mereka beralih dari
dunia ini (kematian) menghadap EMO.
Dengan mendalami sepintas tradisi orang Migani dalam mewariskan nilai-nilai budaya itu, muncul pertanyaan baru; Apakah kebiasaan itu masih dipertahankan oleh mereka hingga saat ini? Silahkan jawab sesuai dengan penelitiamu sendiri-sendiri.
Dengan mendalami sepintas tradisi orang Migani dalam mewariskan nilai-nilai budaya itu, muncul pertanyaan baru; Apakah kebiasaan itu masih dipertahankan oleh mereka hingga saat ini? Silahkan jawab sesuai dengan penelitiamu sendiri-sendiri.
Oleh Yeskiel Belau
0 komentar:
Post a Comment