Video Of Day

Subscribe Youtube

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, 24 November 2018

DONGGENG MIGANI "TUGAPA DUBUJU"

Foto Daerah Kemandoga
Sebelum mengikuti kisah ini, bayangkanlah terlebih dahulu akan letak geografis daerah orang Migani yang berbukit-bukit, gunung-gemunung, stepa dan sabana di bagian ketinggian, berudarah amat dingin dan jarak antar perkampungan yang sangat berjauhan seperti; jarak antara perkampungan wilayah Weandoga dengan Mbiandoga, Kemandoga dengan Dogandoga dan sebaliknya. Daerah-daerah ini membutuhkan satu hari lebih untuk berjalan dari satu kampung ke kampung yang lain.

TUGAPA DUBUJU

Hiduplah seorang ibu di daerah Kemandoga. Ibu ini sedang hamil, tetapi saat ini ia memilih untuk berjalan seorang diri ke Dogandoga. Pilihanya ini, ia buktikan dengan mulai berjalan pada jam 06.00 (pagi). Dalam perjalanan, ia istirahat di beberapa tempat seperti di Usulu Ndoga, Kendea Agapa, Buuga Kumbate dan beberapa tempat lainnya, tetapi ia belum pernah merasakan capek maupun rasa sakit. Dalam keadaan aman-aman seperti ini, ia melanjutkan perjalanannya hingga sampai di suatu tempat yang tidak pernah ia duga bahwa di tempat itu akan terjadi sesuatu pada dirinya. Dari tempat ini, tiba-tiba saja ia merasa sakit persalinan yang luar-biasa. Maka, terpaksa ia duduk di rerumputan dan melahirkan bayinya di situ. Sesudah melahirkan seorang bayi laki-laki, entah bagaimana ia meninggalkan bayi itu di rerumputan tersebut dan pergi meninggalkannya.

Ilustrasi Foto 
Anjing Penyelamat
Setelah beberapa menit kemudian, datanglah seekor anjing hutan, mengambil bayi itu dan membawanya ke Tugapa (stepa) tempat tinggalnya. Di sana, ia meletakkan bayi itu di tempat tidurnya yang sudah dialasi dengan rumput kering hangat. Sesudah mengamankannya, Anjing itu sungguh-sungguh berusaha keras, agar anak itu tidak mati dengan berbagai macam cara, mulai dari memberi kehangatan, memberi makan dan minuman. Pokoknya, Anjing ini tanpa hentinya berupaya piarah anak itu hingga umur satu bulan. Pada usia ini, anak itu diberi nama “Tugapa Dubuju”. Tugapa Dubuju ini dibesarkan oleh anjing itu dengan penuh kasih sayang seperti tadi. Kasih sayang anjing ini selalu ia perlihatkannya lewat berbagai usahanya dalam seluruh proses memelihara anak itu dengan mengusahakan makanan, minuman, daging-dangingan, buah-buahan, menyediakan tempat tidur yang hangat, pakaian dan sarana-sarana hidup lainnya, hingga Tugapa Dubuju berumur 15 Tahun. Oleh karenanya, maka anak ini sungguh-sungguh sadar dan menerima kenyataan bahwa Anjing itu adalah Ayah sekaligus Ibu kandungnya.

Pada umur 15 Tahun, bapaknya berpikir untuk segera carikan sebuah kampak dan parang untuk anaknya, supaya ia bisa gunakan untuk belajar membangun rumah dan membuat kebun untuk mereka. Untuk mewujudkan tujuan ini, ia menuju ke hutan dan berburu selama tiga hari. Dan, di hutan itu, ia berhasil menangkap banyak kus-kus (so). Sesudah memperolehnya, ia membawanya ke salah satu perkampungan di tanah orang Migani untuk menemui seorang Sonowi. Di sana, ia berhasil menemui seorang Sonowi. Setelah ia bertemu dengan Sonowi yang ia cari, ia menyatakan niatnya kepada Sonowi itu sambil menyerahkan semua hasil buruan kepadanya. Sonowi ini pun menerima Anjing itu dengan sangat ramah, mendengarkannya dengan baik serta menerima seluruh hasil buruan yang ia serahkan itu. Kemudian kepada Anjing itu diberikan sebuah kampak dan sebuah parang seperti yang ia inginkan. Parang dan kampak yang telah ia dapatkan ini ia bawa dengan penuh suka cita dan selanjutnya ia menyerahkan kedua sarana kerja itu kepada anaknya Tugapa Dubuju.

Ilustrasi Tugapa Dubuju 
bersama Ayahnya
Tugapa Dubuju pun menyambut kedatangan ayahnya dengan antusias serta menerima usaha ayahnya itu dengan penuh syukur. Selanjutnya ia mulai menggunakan sarana itu membangun sebuah rumah (Nduni) yang sangat hangat, bagus (usua) dan kebun besar (tope indo) untuk mereka. Di dalam kebun ini mereka menanam segala jenis bibit tanaman dan semua ini tumbuh subur, sehingga memberikan hasil yang sangat memuaskan. Karena itu mereka amat kelimpahan berbagai jenis makanan maupun buah-buahan. Dalam kelimpahan ini, Ayah Tugapa Dubuju berjalan-jalan di dalam kebun itu dan melihat-lihat seluruh hasil tanaman mereka dan mengaguminya sambil berpikir bahwa sesungguhnya anaknya itu mesti mempunyai seorang kekasih (istri). Kini ia mencari akal untuk menemukan istri untuk anaknya.

Keesokan harinya, ayah Tugapa Dubuju menyatakan niatnya untuk pergi ke perkampungan masyarakat yang cukup jauh. Di hari itu, ia mulai berjalan hingga pada malam hari ia sampai juga di perkampungan yang ia tuju. Di sana, ia mencari Nduni dan setelah menemukannya ia tidur di situ hingga bangun pada siang hari karena kecapean. Setelah bangun, ia mendengar banyak suara dari arah kebun baru. Maka ia pun keluar dari Nduni itu, lalu mendengarkan dengan baik. Sesudah mendengarkan dari halaman Nduni itu, ia ketahui bahwa suara-suara itu tidak jauh dari tempat itu. Maka ia memilih untuk menuju ke sana dan melihat apa yang terjadi di sana. Ternyata di kebun baru itu ada beberapa gadis sedang bekerja. Mereka bekerja dengan gantungkan noken-noken mereka yang dibuat dari jembelo dan dome itu secara rapih di kayu pagar samping (jabopa) yang juga tidak terlalu jauh dari posisi keberadaan mereka. Anjing itu mendekati noken-noken para putri itu dan menyembunyikan semua noken mereka, kecuali satu noken yang berisikan kulit bia yang ternama.  Noken ini dia ambil, gantungkan di leher dan lari setelah bersuara kepada putri-putri itu tanda bahwa dia sedang membawa sesuatu kepunyaan mereka.

Ilustrasi Foto 
Tempat Timbah 
Air Minum
Anjing itu terus berlari dan semua gadis tadi mengejarnya dengan sangat cepat, tetapi mereka tidak berhasil. Maka terpaksa, putri yang lain kembali, tetapi putri pemilik noken yang dibawa Anjing tadi, terus berlari seorang diri mengejar anjing itu hingga sampai di rumah mereka di Tugapa. Perempuan itu mengikuti anjing itu secara diam-diam dari belakang dan sembunyi di tempat mereka timbah air minum. Sementara itu, anjing tersebut masuk ke dalam rumah dengan hosa sekali. Dalam keadaan ini, ia minta Tugapa Dubuju untuk segera timbahkan air minum untuknya. Maka Tugapa Dubuju pun mengambil tempayang (buni) dan menuju ke tempat timbah air untuk mengambil air buat ayahnya. Saat ia hendak menimbah air ini, ia kaget sekali ketika melihat seorang gadis cantik yang bersenbunyi di situ. Demikian juga gadis itu pun kaget melihat Tugapa Dubuju yang begitu gagah. Mereka saling memandang dan berkenalan. Kata laki-laki itu "Amee... Aga go tau-mina te, Miga mina" (Hei... engkau putri setan atau putri manusia). Jawab perempuan itu "Amee... Ago tau-mina dua, miga-mina dua, Miga Minangga". (Hei... saya bukan putri setan, saya putri manusia). Setelah mereka bercakap-cakap dan kenalan Tugapa Dubuju membawanya ke rumah.

Gadis itu pun mengikuti pemuda yang baru saja ia temuai ini ke rumahnya, di sana ia bertemu juga dengan Anjing yang telah ia ikuti tadi. Perempuan itu ketakutan, tetapi Anjing itu mengajak dia untuk tetap rileks dan santai. Kemudian, setelah beberapa saat, ia mengembalikan nokennya dan menerima perempuan itu sebagai anak mantu. Putri itu pun menerima semua yang diberikan dan sampaikan oleh Anjing itu kepadanya dengan sangat suka cita, karena memang Tugapa Dubuju calon suaminya itu sangat tampan. Usai proses ini berlalu, Anjing itu memberikan sejumlah harta kepada perempuan itu supaya ia gunakan dalam hidup dan sebagian disimpannya untuk keturunannya nanti. Selanjutnya, di hari itu mereka pesta (mina buga-mindia) dan siapkan harta maskawin secukupnya. Setelah semuanya sudah beres, anjing itu mulai sakit, karena memang sudah sangat tua. Maka anaknya berusaha merawat dengan penuh kasih sayang, tetapi ia tidak tertolong. Anjing yang dianggap ayah kandung oleh Tugapa Dubuju itu tutup usia di pelukan anaknya yang ia cintai. Sayang, kini Tugapa Dubuju benar-benar Dubuju, benar-benar yatim-piatu.

Ilustrasi Ingatan 
Tugapa Dubuju 
Perasaan duka atas kepergian ayahnya adalah pengalaman terburuk bagi Tugapa Dubuju dalam seluruh hidupnya. Berhari-hari ia begitu tampak muram memikirkan sang ayahnya yang sangat mencintainya. Namun, kehadiran istrinya yang telah diperjuangkan oleh ayahnya tadi benar-benar menjadi kekuatan terbesar baginya untuk tetap bertahan dengan menerima kenyataan sambil lalui hidup secara lebih dewasa. “Ayahmu sangat bahagia, ia sukses menyelamatkanmu, menyelamatkan kita. Semuanya seperti terencana, karena itu bukalah matamu dan lihatlah ayahmu sangat bahagia di sana, kamu harus kuat. Inilah hidup, laluilah hidup ini apa pun pahitnya, aku akan selalu menemanimu” kata sang istri menghibur suaminya.

Tugapa Dubuju pun bangkit, memeluk istrinya dan kembali jalani hidupnya. Dalam hidup, Tugapa Dubuju dan istrinya selalu ingat akan hak-hak ayahnya. Mereka selalu menaruh makanan di makam, berkomunikasi dengannya di makam bila mereka hendak melakukan sesuatu, memberitahukan niat-niat baik mereka kepadanya dengan bekata-kata di makam dan melakukan ritual-ritual. Dengan demikian hidup mereka diberkati, mereka hidup di Tugapa sebagai sebuah keluarga yang sangat harmonis. Dalam suasana ini, mereka berhasil melahirkan lebih dari seratus anak***. Kisah Dalam Bahasa Migani Menyusul.**. Cerita ini dikisahkan oleh Yulianus Belau & Penulis adalah Yeskiel Belau.

Ilustrasi Anjing Penyelamat
(Ayah Tugapa Dubuju)
dalam ingatan Tugapa Dubuju.







Saturday, 17 November 2018

KONSEP MEGO MENURUT ORANG MIGANI HUBUNGANNYA DENGAN PIKIRAN MENURUT RENE DESKARTES

(Studi Kearifan Lokal Tentang Pikiran Menurut Orang Migani & Pikiran Menurut Rene Deskartes)


Foto Yeskiel Belau
ABSTRAK
Konsep Mego[1] menurut orang Migani[2] hubungannya dengan teori pikiran Rene Deskartes “Cogito Ergo Sum”, inilah topik yang telah dibahas dalam tulisan ini. Topik ini dibahas di sini dengan tujuan perkenalkan konsep Mego menurut orang Migani sebagai nilai kearifan lokal yang khas dan mendalami “Cogito Ergo Sum” sebagai teori pikiran Rene Deskartes yang terkenal. Kemudian, apa yang sudah diperkenalkan dan dalami itu saling dihubungkannya, sehingga nampaklah kesatuan antar mereka. Dalam mewujudkan tujuan ini, saya menggunakan metode wawancara dan studi pustaka dengan pendekatan ilmu budaya dan filosofis. Dengan bantuan metode dan pendekatan ini, saya menemukan bahwa konsep Mego dan pikiran Deskartes mempunyai hubungan erat. Secara alami keduanya membahas dan pahami obyek yang satu dan sama, yakni pikiran manusia dan maknanya yang sesunggungnya.
Kata Kunci: Mego/Mego-Au, Kearifan-Lokal, EMO, Pikiran, Cogito Ergo Sum.

INTRODUKSI 
Kearifan lokal[3] dalam budaya Suku Migani berkaitan dengan rumusan nilai-nilai yang telah tertata dalam budaya Migani yang senantiasa orang Migani hidupi dalam usaha meraih kesejahteraan hidup mereka. Rumusan nilai-nilai yang senantiasa mereka hidupi itu diyakini bersumber dari Mego (pikiran). Melalui Mego ini, lahirlah rumusan nilai-nilai yang tertata rapih dalam budaya orang Migani seperti; Amakane (salam damai), Hajii (konsep keselamatan), Nggane-Au (cinta kasih)), Pea Wogo Waya (ritual perdamaian), Jeba Disia (rekonsiliasi), Hagomahitia (persatuan), Mai Wogo Waga Mindia (ritual perizinan), Dua Dia (kerja), Nduni (rumah laki-laki) dan Minai (rumah perempuan)[4] serta lain sebagainya.
Memahami akan Mego yang telah melahirkan nilai-nilai itu, maka selanjutnya saya akan menjelaskan Mego secara khusus beserta dua rumusan nilai lain yang telah ia lahirkan, yaitu; Hajii dan Jebadisia, sebagai bagian dari sekian banyak kearifan lokal yang juga terdapat dalam budaya Migani. Pertimbangan atas pilihan seperti ini adalah luas dan dalamnya cakupan pengetahuan yang tidak mungkin saya jelaskan secara lengkap dalam tulisan sederhana ini.
Sejalan dengan tujuan itu, sesudah kemukakan Mego, Hajii dan Jeba Disia, bagian berikut akan saya perkenalkan tokoh Rene Deskartes, karya-karyanya dan pokok-pokok pemikirannya. Dalam proses ini, saya lebih pemberi perhatian pada teori pemikirannya “Cogito Ergo Sum”, yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”[5]. Penekanan dalam hal ini ialah subyek yang berpikir sebagai ungkapan keberadaan eksistensi kemanusiaannya[6]. Kemudian bagian akhir akan saya kemukakan hubungkan antara muatan kearifan lokal dalam budaya orang Migani dengan pemikiran Rene Deskartes itu, dengan harapan agar menemukan hubungan yang bisa dijadikan sebagai pengetahuan positif, yang juga dapat membantu orang Migani masupun orang lain untuk hidup baik di dunia yang terus berkembang ini.
PENGERTIAN MEGO
Kata “Mego” dalam bahasa Migani mempunyai arti “pikiran”. Kata pikiran dalam bahasa Indonesia berasal dari kata pikir, yang artinya “akal budi”[7]. Maka kata Mego dalam konteks ini kita pahami sebagai proses orang Migani berpikir tentang segala sesuatu. Segala sesuatu yang dimaksud adalah tentang diri sendiri, sesama, alam, Yang Ilahi dan segala kebutuhan hidup mereka sebagai manusia itu sendiri[8]. Dengan definisi ini, kita mengetahui bahwa pengertian Mego menurut orang Migani itu adalah pikirannya sendiri atau akal budinya sendiri sebagai manusia. Di sini kita bisa melihat hubungannya dengan pikiran yang dimaksud Rene Deskartes “saya berpikir, maka saya ada”.
Sehubungan dengan penjelasan pengertian itu, kita mengetaui bahwa melalui pikiran; Pertama, orang Migani dapat mengarahkan diri dan sesamanya kepada kebaikan sejati. Kedua, menjalin relasi yang harmonis dengan sesama, alam dan dengan Yang Ilahi. Ketiga, menciptakan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup sehari-hari. Keempat, mampu menyesuaikan diri dengan alam. Kelima, orang Migani menetapkan norma-norma hidup. Keenam, menghasilkan penghayatan-penghayatan khusus yang bisa membawa mereka pada kebahagiaan (keselamatan) hidup, yaitu; tatanan rumusan nilai yang kita sebut sebagai kearifan lokal itu.
Pemaparan pengertian Mego dan pengaruhnya dalam seluruh aspek kehidupan orang Migani itu membuka wawasan kita untuk melihat lebih jauh tentang Mego. Melihat Mego lebih jauh berarti telusuri asal-usul Mego itu sendiri. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa kita dapat menemukan dia (sumber mego) yang ditelusuri dan menemukan maknanya secara jelas dalam seluruh aspek kehidupan orang Migani. Untuk mencapai tujuan ini, marilah kita mulai telusuri dengan melihat petunjuk asal-usul Mego dalam penggunaan kata Mego oleh orang Migani.
Dalam hal itu, ada beberapa istilah yang selalu digunakan oleh orang Migani dalam komunikasi. Istilah-istilah yang dimaksud itu ada yang berperan seperti penunjuk arah kepada keberadaan asal-usul mego itu sendiri. Oleh karenanya, maka istilah-istilah yang dimaksud termasuk istilah penunjuk arah itu disebutkan di sini, yaitu; Mego-Tui/Hiwa (ada pikiran), mego tawa (tidak ada pikiran), mego enoa (pikiran dewasa), mego sao (pikiran belum dewasa), mego usua (pikiran terpuji), mego biga (pikiran tidak terpuji) dan Mego-Au (sumber pikiran) dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini selalu digunakan oleh orang Migani dalam komunikasi sesuai dengan konteks tertentu. Dan, dari sekian istilah ini, istilah Mego-Au berperan sebagai penunjuk arah adanya asal-usul Mego[9]. Oleh karena keyakinan ini, maka Mego-au menjadi pokok pembicaraan berikut ini.
MEGO-AU
Mego-Au terdiri dari dua kata dalam bahasa Migani (Miga Dole), yaitu; “Mego” dan “Au”. Secara harufiah kata “Mego” artinya pikiran seperti yang dikatakan di atas. Sedangkan “Au” artinya sumber atau asal-usul. Maka secara mendalam dapat diartikan bahwa; Pertama, Mego-Au adalah sumber pikiran atau asal-usul pikiran. Kedua, Mego-Au ialah kekuatan pikiran dalam menggerakkan manusia Migani untuk bertindak dan memilih semua yang baik, benar, jujur dan adil. Mengerti akan penjelasan bagian ini, maka selanjutnya akan saya jelaskan Mego-Au sebagai sumber pikiran atau asal-usul pikiran dan Mego-Au sebagai kekuatan pikiran.
Mego-Au Sumber/Asal-usul Pikiran
Bagian ini akan dijelaskan dengan menelaah kebiasaan hidup suku bangsa Migani. Dalam hal ini, suku bangsa Migani senantiasa menjalani kehidupan mereka dengan kekuatan Mego-Au (sumber pikiran). Oleh karena seperti ini, maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa sumber atau asal-usul pikiran itu? Pertanyaan ini menuntun saya dalam menyelesaikan bagian ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Migani selalu mengutamakan pikiran. Mengutamakan pikiran berarti bahwa Mego-Au itu mereka apriorikan dalam seluruh aktifitas hidup mereka. Oleh karena mengapriorikan Mego-Au ini, maka semua orang Migani mengetahui dengan baik bahwa semua pilihan hidup dan keputusan-keputusan orang Migani atas pilihan-pilihan itu pasti benar, baik, adil dan jujur. Namun dalam praktek hidup, ternyata ada orang yang memilih apa yang jauh dari pemikiran seperti ini, yakni; tidak benar, buruk, tidak adil dan bohong serta memutuskan itu untuk dilakukan, maka mereka yang bertingka seperti itu senantiasa disebut sebagai orang yang Mego-Au Tawa (tidak ada pikiran/sumber pikiran)[10].
Identitas baru yang dikenakan kepada orang yang hidup tidak sesuai dengan Mego-Au itu mengandung makna kemarahan yang bersifat membangun. Kemarahan yang bersifat membangun berarti bahwa dalam kata itu telah memuat ajakan bagi orang yang bersangkutan untuk segera sadar dan mengakui bahwa tindakannya itu tidak sesuai dengan Mego-Au. Oleh karenanya maka orang seperti itu harus kembali kepada nilai-nilai hidup yang baik (kesadaran). Sehingga melalui sikap hidupnya yang baik itu, orang mengenalnya sebagai orang yang Mego-Au Hiwa. Kata hiwa artinya ada. Maka Mego-Au Hiwa berarti orang yang mempunyai pikiran, yang mempunyai sumber pikiran atau asal-usul pikiran dalam dirinya. Berikut ini adalah sebuah contoh yang bisa memperjelas bagian ini[11]:
“Bapak Linus menyuruh anaknya Yulius yang sedang bermain game, supaya ia segera belajar semua mata pelajaran yang akan diujikan pada SMP N.1 Sugapa – Kabupaten Intan Jaya. Namun Yulius tidak menghiraukan ajakan ayahnya, ia terus asyik bermain game. Oleh karena seperti ini, maka sekali lagi Bapak Linus mengajak anaknya dengan suara yang keras dan tegas. Kata Bapak Linus “Yulius engkau Mego-Au tawa (engkau tidak mempunyai pikiran sama sekali). Mendengar itu, anaknya lantas kaget, merasa malu dan lekas sadar. Yulius diam terpaku di tempat, kemudian sesudahnya ia mulai belajar tekun. Dengan proses ini, saat melaksanakan ujian di sekolah, Yulius pun mampu menjawab pertanyaan ujian dengan sesuai, sehingga dinyatakan lulus. Selanjutnya melihat keberhasilan anaknya, bapak Linus pun memujinya dengan berkata, “Yulius engkau Mego hiwa (Engkau membunyai pikiran/sumber pikiran)”.
Demikianlah contoh yang memperjelas keberadaan Mego-Au dalam diri manusia dan kekuatan yang termuat dalam kata Mego-Au yang mampu mendarkan manusia seraya membawa mereka kembali kepada (kesadaran) kebaikan sejati. Bayangkalah, jika Bapak Linus tidak mengatakan Mego-Au tawa, pasti Yulius anaknya tidak akan belajar dan hasilnya sangat menyedihkan.
Setelah menelusuri sepintas tentang peranan Mego-Au dalam hidup orang Migani, kita kembali lagi kepada pertanyaan tadi, siapa sumber Mego-Au/asal-usul Mego-Au itu? Sebetulnya jawaban atas pertanyaan ini telah dikemukakan melalui penjelasan di atas secara tersirat, tetapi supaya lebih jelas lagi, maka saya menjawabnya di sini pula. Jadi, Mego-Au yang diapriorikan oleh orang Migani dalam seluruh hidupnya itu mereka yakini bersumber dari EMO[12]. EMO adalah nama Wujud Tertinggi atau Yang Ilahi menurut suku mereka. Hal ini berarti bahwa Yang Ilahi menurut mereka inilah sumber dan asal-usul Mego-Au. Oleh karena seperti ini, maka orang Migani mempercayai akan adanya muatan dua pemahaman yang mempunyai pengaruh besar pada aktifitas pikiran mereka, yaitu; pikiran murni dan sumber pikiran murni itu sendiri.
Sesudah mengetahui penjelasan itu, akhirnya kita mengetahui bahwa dalam seluruh aktifitas hidup orang Migani amat dituntun oleh pikiran murni dan asal-usul pikiran murni itu sendiri. Kedua hal ini tentu mempunyai peranannya yang khas sendiri. Peranan pikiran murni adalah membantu manusia mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia melalui, perkataan, pebuatan dan sikap hidup. Sedangkan peranan asal-usul pikiran itu adalah menyediakan energi (seperti produsen) dan penyalur kekuatan (seperti distributor) kepada pikiran murni untuk menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh sebab mengerti akan bagian ini, maka secara alamiah pikiran manusia Migani itu mempunyai hubungan yang langsung dengan sang sumbernya[13], yaitu; EMO. Maka berikut ini akan dijelaskan Mego-Au sebagai kekuatan pikiran.
Mego-Au Sebagai Kekuatan Pikiran
Kita telah mempunyai sejumlah pengetahuan tentang EMO sebagai asal-usul Mego-Au. Maka bagian ini, akan diperlihatkan pemahaman Mego-Au sebagai kekuatan pikiran orang Migani. Dalam hal ini, orang Migani menyakini bahwa Mego-Au mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengungkapkan eksistensi kemanusiaan manusia Migani dalam seluruh aktifitasnya. Hal ini berarti bahwa EMO sendiri yang memampukan pikiran orang Migani untuk mengungkapkan Eksistensi kemanusiaannya. Eksistensi kemanusiaan mereka dapat mereka ungkapkan melalui; perkataan, pilihan tepat, perbuatan baik dan sikap hidup yang sesuai dengan kehendak EMO sendiri[14].
Dengan lalui proses seperti itu, aktifitas pikiran para pendahulu orang Migani menghasilkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan generasinya saat ini. Hasil pemikiran mereka yang sedang dihidupi oleh orang Migani itu sekarang disebut sebagai kearifan lokal dalam budaya suku Migani, sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian awal di atas. Maka sesuai dengan perjanjian, selanjutnya akan dijelaskan tentang Hajii dan Jeba Disia sebagai bagian dari hasil pemikiran para nenek-moyang orang Migani dan juga sebagai kearifan lokal yang sedang dihidupi oleh generasi orang Migani[15].
HAJII[16]
Kata Hajii dalam bahasa Migani (Miga Dole) adalah sebuah kata yang utuh (bukan kata majemuk). Maka, dalam mengartikan kata Hajii ini, saya tidak bertolak dari etimologi kata, tetapi bertolak dari apa yang telah lama orang Migani pahami dan hayati dalam kehidup mereka setiap hari. Dengan memahami maksud ini, maka dapat saya katakan bahwa arti kata Hajii yang dimaksud itu adalah suatu keadaan hidup yang kekal/eskaton dan keadaan hidup selamat/sejahtera yang bisa dirasakan kini dan di sini/inisial.
Keadaan hidup kekal
Keadaan hidup yang kekal berarti hidup tanpa semua bentuk kesusahan (Oto Tawa), tanpa kesedihan (Mego Dinggi Tawa), tanpa kesakitan (Jema Tawa) dan orang hanya mengalami hidup yang menyenangkan (Jigu-jaga Dia), membahagiakan (Siju Dia), kedamaian (Asugata Umbi-tuwi Dia) dan mengalami ketenteraman hidup (Usuapogoma Toa Uma Dia) untuk selama-lamanya. Kata Hajii bukan hanya mengandung arti kedaan hidup seperti ini (kekal) saja, tetapi juga memuat keadaan hidup yang inisial.
Keadaan hidup inisial
Keadaan hidup yang inisial adalah keadaan selamat dari marabahaya/penyakit dll, kenyang (kelimpahan kebutuhan hidup/makanan), senang oleh karena berbagai pengalaman menyenangkan, bahagia, damai dan lain sebagainya, yang bisa dialami oleh orang Migani kini dan di sini dengan upayanya sendiri.
Pemahaman Hajii Konprehensif
Jadi, arti Hajii adalah keadaan hidup kekal yang mencakup suasana hidup tanpa susah, tanpa sedih, tanpa sakit dan hanya terdapat keadaan hidup yang menyenangkan, membahagiakan, mendamaikan dan tenteram untuk selama-lamanya, maupun keadaan hidup inisial seperti selamat dari mara bahaya, merasa kenyang, merasa damai, bahagia, nyaman, aman, selamat dan sebagainya yang bisa dialami oleh orang Migani kini dan di sini.
Keadaan hidup seperti itulah yang termuat dalam kata Hajii, sehingga orang Migani menghayatinya dalam hidup mereka sebagai keadaan hidup yang kekal (eskaton/ideal) maupun inisial (kekinian). Maka bagian berikut ini akan dijelaskan pengertian tentang Hajii Ideal maupun Hajii Inisial.
Hajii Ideal (Hajii Ondo)
Berdasar pada penjelasan mengenai arti Hajii di atas, maka Hajii Ideal yang dimaksud pada bagian ini pun akan dijelaskan dalam hubungannya dengan penjelasan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka orang Migani memahami Hajii Ideal sebagai keadaan hidup kekal dan abadi, yang mencakup suasana hidup bahagia untuk selama-lamanya, sejahtera untuk selamanya, damai, aman, nyaman dan lainnya yang tak berkesudahan (Hajii Ondo[17]).
Keadaan hidup seperti itu bersifat kekal. Saking kekal dan abadinya dia, maka generasi orang Migani hanya membayangkan keadaan hidup seperti itu di ide mereka, tanpa menikmatinya secara nyata, meskipun nenek moyang mereka telah mengalaminya secara nyata. Oleh karena itu, generasi orang Migani menyebut keadaan hidup kekal dan abadi itu sebagai Hajii Ideal atau Hajii Ondo. Gambaran hidup seperti inilah yang selalu terbayang di benak setiap generasi orang Migani, bilamana mereka mengucapkan atau mendengar ucapan kata Hajii.
Generasi orang Migani dewasa ini, meyakini bahwa hidup dalam situasi Hajii yang dijelaskan di atas itu merupakan bagian hidup yang pernah dialami oleh nenek moyangnya. Hal ini tentu, karena pengalaman hidup seperti itu dikisahkan juga melalui cerita warisan dalam budayanya yang disebut Hajii Hoga. Hajii Hoga artinya selembar daun Hajii atau sehelai daun Hajii (keselamatan). Kata Hajii dalam konteks ini berarti kekal dan Hoga berarti selembar daun, sehelai daun atau sebuah daun. Jadi, secara lengkap Hajii Hoga dipahami sebagai sebuah judul cerita tentang Hajii (kekekalan) dalam budaya Migani.
Keyakinan generasi orang Migani itu bermula dari apa yang mereka dengarkan dari orangtuanya secara turun-temurun yang juga diwariskan melalui cerita rakyat, pepatah, dongeng dan nasehat. Berdasar pada budaya warisan ini, maka semua orang Migani meyakini akan pengalaman hidup nenekmoyangnya sebagai manusia Hajii. Nenek-moyang telah hidup dalam keharmonisan relasi, baik relasi dengan sesama, alam, leluhur maupun dengan Yang Ilahi (EMO)[18]. Oleh karena itu, betul bahwa mereka tidak pernah mengalami penderitaan atau ketidak-adilan dalam hidup, bahkan bebas dari kematian[19].
Dengan demikian Hajii yang telah dialami oleh nenek-moyang itu merupakan suasana hidup yang bahagia, damai, sejahtera, rukun dan memiliki keharmonisan relasi. Pemahaman seperti ini telah tertanam dalam benak gererasi orang Migani, sehingga suasana hidup nenek-moyangnya itu telah menjadi Hajii yang ideal bagi mereka. Di sini terlihat akan perbedaan pandangan terhadap Hajii. Menurut nenek-moyang, Hajii bukanlah sesuatu yang ideal (Hajii Ondo), tetapi apa yang nyata. Sedangkan menurut generasinya Hajii merupakan suasana hidup yang ideal (Hajii Ondo) dan Inisial (Aepahitia)[20]. Oleh karenanya, maka keduanya perlu diusahakan dalam hidup ini, sehingga saat hidup maupun mati tetap menikmati Hajii.
Pemahaman mengenai arti Hajii Ideal telah dikemukakan di atas. Maka, pada bagian selanjutnya akan diberikan pengertian tentang Hajii yang Inisial (Aepahitia). Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa kata Hajii amat terkesan terlalu melebih-lebihkan suasana selamat, aman, gembira dan lain sebagainya yang konkrit dan biasa saja itu, diserupakan dengan stuasi yang kekal, maka orang Migani selalu menggunakan kata Aepahitia (selamat dari suatu bahaya). Sebab kata Aepahitia mengandung arti yang lebih dekat dengan Hajii yang bisa dialami kini dan di sini. Maka pengertian tentang Hajii Inisial atau Aepahitia itu akan dijelaskan berikut ini.
Hajii Inisial (Aepahitia)
Hajii orang Migani itu menekankan Hajii yang Inisial (Aepahitia) juga. Dalam kerangka pemikiran ini, maka saya akan merumuskan pengertian tentangnya, dengan telusuri aktifitas kehidupan orang Migani. Melalui upaya itu, dapat dirumuskan bahwa; Hajii Inisial adalah keadaan yang selamat dari suatu mara bahaya secara nyata, keadaan ketika orang merasa kenyang, merasa damai, bahagia, nyaman, aman dan sebagainya yang bisa dialami oleh orang Migani kini dan di sini secara nyata. Hajii Inisial juga dapat dialami melalui hasil kebun yang berlimpah, ternak bertambah banyak, kesehatan terjamin, keharmonisan relasi dengan sesama, alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi[21].
Pengertian Hajii Inisial itu terlihat hampir sama dengan Hajii Ideal, tetapi sebenarnya memiliki perbedaan. Perbedaan itu bermula dari pengalaman akan Hajii itu sendiri, bahwa nenek-moyang justru telah mengalaminya secara nyata. Oleh karena itu, mereka tidak memikirkan Hajii Ideal maupun Hajii Inisial. Sebab mereka sendiri adalah orang-orang Hajii. Sedangkan generasi berikut hanya dapat “memandang” pengalaman nenek-moyangnya itu sebagai kehidupan ideal yang mesti diperjuangkan secara baik dalam hidupnya. Menyadari akan hal ini, maka dalam hidupnya, generasi orang Migani senantiasa berusaha mengarahkan seluruh hidupnya kepada Hajii melalui jalan menurut versinya sendiri.
Dalam kebudayaan orang Migani ada sebuah jalan menuju kepada Hajii, yaitu jalan memelihara relasi (Asugata Umbi-tuwi Dia) yang berdasar pada Ngganeau[22]. Jalan memelihara relasi yang dimaksud adalah relasi dengan sesama, relasi dengan alam, relasi dengan leluhur dan relasi dengan EMO. Jalan inilah yang diyakini oleh orang Migani bahwa melaluinya orang akan sampai ke dalam kehidupan Hajii Ideal maupun Aepahitia. Dalam proses melalui jalan ini, orang mesti memperhatikan rambu-rambu yang ada dalam bentuk norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan secara baik, sehingga pejalan bisa sampai pada tujuannya, yaitu mengalami keselamatan (Aepahitia).
Generasi orang Migani saat ini berada pada jalan memelihara relasi. Mereka memelihara relasi dengan sesama, alam, leluhur dan dengan EMO. Dalam memelihara relasi ini, mereka bersandar pada norma-norma yang berlaku dalam budaya, yaitu seluruh pedoman hidup baik. Pemeliharaan relasi itu bertujuan supaya mereka pun semakin mampu mengarahkan hidupnya pada Hajii, baik untuk dinikmati kini maupun di akhirat nanti.
Berkaitan dengan hal itu, diyakini bahwa jika orang yang dengan kesungguhan hati memelihara relasi itu dengan baik, maka dengan mudah saja ia akan mencicipi Hajii kini dan di sini (Aepahitia) dalam bentuk yang sederhana. Misalnya; mengalami kelimpahan bahan makanan (Imbu Tawa), bersahabat dengan semua orang (Asugata Umbi-tuwi Dia), tidak ada dendaman atau permusuhan (Jau Tawa, Mbole Tawa), semua anggota keluarga sehat (Jema Tawa), selalu berhasil dalam usaha, baik dalam berburu (Tinawi Dia), berkebun (Kagi Dia), bisnis (Muna), ternak berkembang baik maupun lain sebagainya. Pengalaman Hajii ini merupakan tahap awal menuju pada Hajii yang sempurna[23].
JEBA DISIA[24]
Kata Jeba dan Disia ini dua kata yang berbeda dalam bahasa Migani, tetapi mempunyai arti yang sama dalam bahasa Indonesia, yaitu; Rekonsiliasi. Kata Jeba dalam Miga Dole mempunyai arti kotoran yang menempel pada wajah manusia. Oleh karena kotoran menempel pada wajah manusia, maka wajah manusia terlihat tidak tampan atau cantik, tidak menarik bahkan menjijikkan. Sedangkan kata, Disia dalam bahasa Migani berarti bersihkan. Bersihkan menggunakan air bersih. Maka dalam konteks ini, Jeba Disia ini dipahami sebagai proses pembersihan kotoran dengan menggunakan air bersih. Sesungguhnya kotoran yang dimaksud adalah lambang dosa. Sedangkan air yang dimaksud itu lambang kekuatan Yang Ilahi “EMO”.
Sejalan dengan pemahaman itu, Jeba-Disia bisa dilakukan atas dasar kesepakatan bersama seluruh warga di dalam kampung. Semua warga yang dipimpin oleh kepala suku adat (tugu sonowi) sepakat mengadakan Jebadisia, apabilah keamanan hidup semua warga dalam kampung itu terancam. Misalnya; musim sakit menular, bencana alam mengporak-porandakan rumah, kebun bahkan merengut nyawa manusia, hujan berkepanjangan, musim panas berlebihan, mendapat serangan dari luar, meningkatnya kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, kebencian serta peperangan dalam kampung dan sebagainya, maka upacara Jebadisia harus diadakan guna memperbaiki semua relasi hidup[25].
Dalam rangka itu, upacara Jebadisia diadakan dibawah pimpinan Tugu Sonowi. Upacara itu harus dipimpin oleh seorang tTugu Sonowi, karena ia memiliki kemampuan untuk mengarahkan semua orang ke dalam konteks upacara dan mengetahui bahasa-bahasa “dalam” yang akan didialogkan dengan sesama, alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi.
Dalam proses melangsungkan upacara seperti itu, semua orang dituntut untuk datang dan berada di sekeliling kolam yang sudah dibuat secara khusus dan dihiasi dengan berbagai macam tumbuhan. Lalu setelah pemimpin upacara berkata-kata khusus, ia mempersilahkan semua warga untuk masuk membasuh seluruh tubuh mereka dalam kolam itu secara bergilir dibantu oleh beberapa orang yang ditunjuk untuk membantu dalam proses itu. Setelah semua anggota masyarakat membasuh diri mereka, terakhir pemimpin berkata “Indi, EMO sengapa kobiga-kabiga dega, mbusata doga du augapa ka hataia digio. Hindago, imbandona aiga pea jigi naga (sambil memandang ke langit) higinuo. Artinya; “Kami telah melakukan hal-hal yang kurang berkenang di hati sesama, alam, leluhur dan EMO, maka itu kami mengakuinya dengan sungguh-sungguh dan melepaskannya melalui air ini. Dan, kami berharap menjadi putih seperti awan di langit sana”[26].
Usai berkata demikian, sang pemimpin mempersilahkan para petugas untuk membongkar kolam itu, lalu semua orang berteriak secara serentak dan bernyanyi-nyanyi sambil membelakanggi alirnya kolam itu, hingga genangan air itu habis. Setelah lalui tahap seperti ini, semua orang tanpa memandang ke belakang kembali ke sebuah rumah yang dikhususkan untuk makan gemuk babi yang disiapkan. Dengan demikian acara Jeba-Disia dapat dikatakan selesai, sehingga orang bisa kembali ke rumah masing-masing.
Ungkapan sang pemimpin upacara Jeba-Disia di atas memperlihatkan bahwa semua ancaman yang terjadi dalam hidup warga di kampung itu merupakan akibat dari kesalahan-kesalahan mereka sendiri dalam membangun relasi yang baik dengan sesama, alam, leluhur dan Yang Ilahi (EMO). Karena itu, mereka mengakui semua itu seraya berharap menjadi putih, sama seperti awan di langit. Arti dari ungkapan menjadi putih seperti awan di langit adalah mereka ingin hidup sehat, mereka ingin hidup bebas dari bencana alam, ingin hidup bersahabat dengan alam, ingin hidup bersahabat dengan sesama, ingin hidup berdamai dengan leluhur serta berdamai dengan EMO. Selain itu, mereka juga berharap supaya hasil perkebunan dan hewan peliharaan mereka tetap terjaga, mengalami pergantian musim yang tepat dan merindukan kenyamanan hidup dalam kampungnya. Harapan-harapan tersebut semuanya termuat dalam kata Hajii, maka sesungguhnya orang Migani merindukan Hajii[27].
Foto Rene Descartes
RENE DESKARTES DAN TEORI PIKIRANNYA
Rene Deskartes
Rene Deskartes lahir di kota La Haye Totiraine, Perancis pada 31 Maret 1596 M. Ayahnya seorang anggota parlemen Inggris yang cukup berada. Dia dilahirkan sebagai anak ketiga. Sebagai anak ketiga, ia bertumbuh dan mulai menimbah pendidikan di College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Dalam proses studi ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Juga belajar filsafat, matematika, fisika dan logika[28]. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Selanjutnya dalam pendidikan, ia merasakan beberapa kebinggungan dalam memahami berbagai aliran filafat yang saling berlawanan[29].
Pada tahun 1612 M, Deskartes pergi ke Paris dan di sana ia mengasingkan diri ke Faobourg Sain German untuk mengerjakan ilmu ukur. Kemudian pada tahun 1617 M, Descartes mengalami suasana damai dan tentram, sehingga ia menjalani renungan filsafatnya dengan baik. Pada tahun 1619 M, Descartes mendapatkan pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam buku pertamanya Discours de la Methode. Pengalaman unik yang ia tuangkan itu tentang mimpi yang dialami sebanyak tiga kali dalam satu malam[30].
Selanjutnya ia mengembangkan filsafatnya dengan konsekuen pada abad pertengahan, maka dia dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Gelar ini diberikan karena dialah orang yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Deskartes orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuatyang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat dls[31].
Corak pemikiran yang rasional merupakan sebuah kontribusi pemikiran yang ia berikan kepada dunia. Selain itu, ada beberapa kontribusi berupa karya-karya buku. Karya-karyanya yang terpenting dalam bidang filsafat murni dintaranya Dicours de la Methode (1637) yang menguraikan tentang metode. Selain itu ada Meditations de Prima Philosophia (1642), sebuah buku yang menguraikan tentang meditasi-meditasi tentang filsafat pertama. Di dalam kedua buku inilah Deskartes menuangan metodenya yang terknal itu, metode Cogito Ergo Sum, metode keraguan Descartes[32].
Deskartes menetap di belanda selama 20 tahun (1629-1649M.) dalam iklim kebebasan berfikir. Di negeri ini ia juga menyusun karya-karya ilmu filsafat dengan leluasa[33]. Kemudian Deskartes memenuhi undangan Ratu Christine yang menginginkan pelajaan-pelajaran darinya. Dalam proses pengajaran, ia jatuh sakit radang paru-paru dan akhirnya ajal menjemput dia pada 1650M. Dikatakan bahwa sebelumnya ia pernah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan, namun pada umur lima tahun meninggal, maka pengalaman ini merupakan kesedihan mendalam bagi Deskartes selama hidup katanya[34].
Pokok-pokok pemikiran Deskartes
Cogito Ergo Sum
Cogito Ergo Sum, yang artinya “aku berpikir maka aku ada”[35] merupakan sebuah pemikiran yang dihasilkan oleh Rene Deskartes melalui sebuah meditasi tentang keragu-raguan. Deskartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Deskartes memepunyai metodenya sendiri. Upayanya ini menjadi mungkin, karena ia berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasilnya benar-benar logis[36].
Berdasar pada pernyataan itu, Cogito Ergo Sum dimulai dengan metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa Tuhan ada)[37]. Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dan, Deskartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka, Cogito Ergo Sum: saya yang sedang menyangsikan, ada. Inilah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku[38].
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah sebab kebenaran itu bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah. Maka, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran[39]. Cogito Ergo sum, aku berfikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes ini dapat diringkas sebagai berikut[40].
Ide-ide Bawaan
Kesaksian apa pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah hasilnya? Deskartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan[41]. Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan dan keluasan. Pemikiran: Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna: Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan. Keluasan: Materi sebagai keluasan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur[42].
Substansi
Deskartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna[43].
Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Deskartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Deskartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Deskartes sendiri[44].
Hubungan Kearifan Lokal Suku Migani (Mego) Dengan Pikiran Menurut Deskartes
Sesudah memperoleh pengetahuan tentang Mego dan kedua nilai lain yang telah ia lahirkan sebagai kearifan lokal dalam budaya orang Migani, biografi Deskartes, karya-karyanya dan teorinya tentang pikiran, kita mempunyai kesempatan untuk menghubungkan keduanya di sini. Upaya menghubungkan keduanya ini dilakukan dengan melihat kesamaan-kesamaan yang ada.
Hubungan antara Mego menurut orang Migani dan pikiran menurut Deskartes dapat dijelaskan di sini, bahwa keduanya membunyai hubungan, dapat menyinggung bahkan membahas obyek yang sama, yaitu pikiran itu sendiri. Berhubungan dengan pikiran berarti berhubungan langsung dengan manusia yang mempunyai pikiran. Maka konsep Mego orang Migani maupun pikiran menurut Deskartes berbicara tentang hal yang satu dan sama yaitu, pikiran manusia. Artinya bahwa pikiran yang benar-benar terdapat dalam diri manusia yang sesungguhnya. Inilah yang dibahas secara khas oleh Deskartes dan dipahami oleh orang Migani.
Sehubungan dengan penjelasan itu, manusia yang dimaksud itu tentunya subyek (bukan obyek), manusia yang rasional dan yang berakal budi. Sehingga pembahasan panjang lebar oleh orang Migani maupun Deskartes itu di seputar bagaimana manusia yang adalah subyek, rasional dan yang berakal budi itu dapat menggunakan rasio dan akal budinya dalam memikirkan tentang segala sesuatu. Memikirkan tentang segala sesuatu yang dimaksud ialah memikirkan tentang dirinya sendiri, memikirkan tentang sesamanya, memikirkan tentang cara yang tepat untuk menciptakan sarana-sarana yang mampu menghasilkan kebutuhan-kebutuhan hidup, memikirkan tentang alam lingkungannya, leluhurnya dan Yang Ilahi.
Sejalan dengan penjelasan itu, Deskartes mengatakan “Cogito Ergo Sum”, yang artinya “saya berpikir maka saya ada”. Makna yang dimuat oleh Deskartes melalui pernyataan ini adalah bahwa hal yang pasti di dunia ini hanyalah keberadaan seseorang sendiri yang berpikir. Dalam hal ini sesungguhnya Deskartes hendak mencari kebenaran dengan meragukan segala sesuatu. Benar, ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya, bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri. Ia meragukan dirinya sendiri, tetapi dia tidak meragukan kalau dia sedang meragu-ragukan diri dan segala sesuatu. Artinya bahwa proses ia berpikir dan menemukan sesuatu yang ia yakini benar, inilah yang paling benar. Di sini kita bisa menemukan hubungan yang jelas dengan Mego, yaitu; pada ketidak-percayaan orang Migani akan kesadaran manusia yang berpikir, yang kemudian tindakannya membuktikan bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai pikiran “Mego Tawa”. Ini bagian dari meragu-ragukan sesala-sesuatu. Hal yang pasti, benar serta patut dipercayai sebagai yang benar bagi mereka ialah tindakan orang Mego Hiwa seperti dirinya sendiri.
Dalam hal itu sesungguhnya Deskartes berpikir bahwa dengan cara meragukan seperti itu, semua hal termasuk dirinya sendiri dibersihkan dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah, seperti contoh dalam budaya Migani. Maka ia mengalami rasa takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya pada kebenaran. Sampai di sini, Deskartes sadar bahwa bagaimana pun juga pikiran memang mengarahkan dirinya pada kesalahan, namun ia tetap berpikir. Pilihan tetap berpikir inilah yang Deskartes akui sebagai satu-satunya yang paling jelas, satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tidak mungkin kekuatan lain membuat kalimat “ketika berpikir, saya yang berpikir” salah. Dengan demikian, deskartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada “cogito ergo sum”.
Seluruh penjelasan Deskartes tentang “cogito ergo sum” itu sesungguhnya menekankan tindakan seseorang yang berpikir tentang segala-sesuatu seperti yang telah dikemukakan di atas sebagai bukti bahwa seorang individu yang sedang berpikir itu “ada”. Dengan kata lain, keberadaan seseorang itu dapat dibuktikan oleh aktifitas berpikirnya sendiri. Maka di sini kita bisa menemukan hubungan yang jelas antara Mego menurut orang Migani dengan teori pikiran menurut Deskartes. Penjelasan hubungan antar keduanya disajikan berikut ini:
Orang Migani mengapriorikan Megonya sendiri sebagai pusat pengetahuan yang benar. Oleh karena Mego milik mereka sendiri yang dipercayai sebagai pusat pengetahuan yang benar, maka pengetahuan yang benar ini mereka gunakan sekaligus memampuhkan mereka dalam mengusahakan sarana-sarana yang bisa memproduksi kebutuhan-kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun sekunder bahkan tersiel seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini mengandung arti bahwa pada pulanya orang Migani tidak pernah menerima saran pikiran apa pun dari pihak luar. Di dini terlihat unsur keragu-raguan orang Migani juga. Selanjutnya mereka sungguh-sungguh bertolak dari diri mereka sendiri, sebagaimana yang telah dikatakan Deskartes bahwa semua yang bukan dari dalam itu belum tentu benar dan ada kemungkinan besar untuk membawa orang pada jalan yang salah. Dan, memang kenyataan membuktikan bahwa pilihan orang Migani berpikir secara interen itu benar dan baik adanya. Buktinya ialah itu memungkinkan keberadaan manusia Migani berserta segala atributnya hingga saat ini. 
Selanjutnya dalam menjelaskan “cogito ergo sum”, Deskartes melangkah lebih jauh lagi dan menjelaskan tentang ide bawaan, substansi dan hakekat manusia. Dalam pembahasannya tentang ide bawaan, ia mengatakan manusia dilahirkan dengan tiga ide bawaan yaitu, pikiran, Tuhan dan keluasan. Sementara dalam pembahasannya tentang substansi, ia mengatakan selain Tuhan ada dua substansi, yaitu; jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan. Sedangkan dalam pembahasannya tentang manusia ia mengatakan manusia itu terdiri dari jiwa dan tubuh (dualitas) dan sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa.
Penjelasan lebih lanjut pada bagian akhir itu semakin memperjelas hubungan antara Mego dengan teori pikiran menurut Deskartes. Hubungan yang dimaksud itu dapat dilihat pada konsep Mego sebagai pikiran murni, Mego-Au sebagai sumber atau asal-usul pikiran dan pemberi atau penyediah energi bagi pikiran manusia untuk fungsikan dirinya dan mengungkapkan eksistensi manusia itu sendiri dalam tindakan-tindakan konkrit dan sikap hidupnya. Serta pikiran Deskartes tentang Ide Bawaan, yang meliputi pikiran, Tuhan dan keluasan. Dalam hal ini dilihat bahwa keduanya berbicara tentang pikiran yang sama, yaitu Mego dan pikiran Deskartes, sumber pikiran atau asal-usul pikiran yang sama yaitu; Tuhan menurut Deskartes dan EMO menurut orang Migani. Demikian juga keluasan eksistensi menurut Deskartes dan pikiran sebagai pemberi kekuatan kepada pikiran manusia untuk mengungkapkan eksistensi manusia itu sendiri menurut orang Migani.
Hubungan selanjutnya ialah Deskartes dan orang Migani percaya bahwa hanya melalui pikiran sendiri mereka bisa menghasilkan sesuatu yang paling jelas bagi mereka yang telah memikirkannya. Bukti dalam hal ini yang bisa kita temukan adalah filsafat Deskartes yang adalah hasil buah pikirannya sendiri telah berkembang hingga saat ini dan banyak nilai-nilai budaya dalam budaya orang Migani yang kita sebut sebagai kearifan lokal, termasuk Hajii dan Jeba Diasia yang adalah hasil buah pikiran orang Migani sendiri yang masih dipertahankan dan dihidupi oleh generasinya hingga kini. Oleh karena kenyataan ini, maka saya mengakui bahwa keduanya juga mempunyai hubungan yang erat.
PENUTUP
Orang Migani memahami pikiran sebagai pusat pengetahuan. Pikiran sebagai pusat pengetahuan, pikiran orang Migani yang didayai oleh EMO telah memampukan mereka dalam mengusahakan semua kebutuhan hidup dan mengungkapkan kemanusiaan mereka lewat perilaku hidup yang pantas sebagai manusia. Dalam hal mengusahakan kebutuhan hidup, pikiran orang Migani menuntun mereka mencari dan menemukan peralatan-peralatan yang bisa menunjang mengusahakan kebutuhan hidup, seperti; kampak, parang, api, busur dan anak-panah serta lain sebagainya. Dengan kampak dan parang, orang Migani bisa membuat kebun dan rumah, sehingga ada makanan dan tempat tinggal. Temuan api dapat membantu orang Migani dalam memasak makanan dan menghangatkan tubuh. Demikian juga busur dan anak-panah ditemukan untuk berburuh dan mendapatkan kebutuhan lauk.
Sementara dalam hal mengungkapkan kemanusiaan mereka, pikiran murni (Mego) menuntun orang Migani dalam bertingkah-laku yang baik seperti yang dikehendaki oleh Yang Ilahi (EMO). Ia (Mego/Mego-Au) menuntun orang Migani agar berkata benar dan jujur, memilih yang baik dan bermanfaat, bersikap yang sopan dan bijaksana.
Penjelasan itu berarti bahwa pikiran yang dimengerti oleh orang Migani dengan sebutan “Mego” itu benar-benar telah memberikan kontribusi posif kepada orang Migani dalam segala hal seperti yang telah di jelaskan di atas. Melalui Mego, segala yang sudah dan sedang dihidupi oleh orang Migani itu mungkin, ada dan tercipta, termasuk paham Hajii sebagai konsep keselamatan mereka dan kebiasaan rekonsiliasi (Jeba Disia) sebagai cara mereka berdamai dengan sesama, alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi.
Selanjutnya saya juga telah perkenalkan siapa itu Rene Deskartes, karya-karyanya dan pokok-pokok pikirannya, secara khusus ungkapan terkenalnya yaitu Cogito Ergo Sum serta makna mendalamnya. Sesudah proses ini, tulisan ini diakhiri dengan memghubungkan kearifan lokal dalam budaya Migani terhadap “Mego” dengan teori pikiran menurut Rene Deskartes, yaitu; “Cogito Ergo Sum”. Dalam proses ini, saya telah menemukan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Sesungguhnya keduanya membahas tentang hal yang satu dan sama, yaitu; pikiran manusia, sumbernya dan peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Semoga ini menjadi bahan pembelajaran lebih lanjut.




[1]Kata “Mego” dalam bahasa daerah Suku Migani artinya pikiran, nalar atau akal budi.
[2]Migani adalah nama sala-satu suku bangsa Papua yang mendiami Kabupaten Intan Jaya (Wilayahnya meliputi Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga).
[3]Sumber tentang budaya orang Migani sangat sulit ditemukan, kecuali skripsi-skripsi yang pernah dituliskan. Maka tulisan ini bertolak dari skripsi-skripsi yang ada dan merupakan hasil refleksi sendiri atas kebudayaan saya sendiri serta wawancara dengan tokoh-tokoh orang Migani yang dipercaya melalui Telepon.
[4]Hasil Wawancara dengan Bapak Markus Ulau (Pewarta Tua) di Stasi Baitapa - Intan Jaya, Papua melalui Telepon Seluler, pada Sabtu 04 November 2018, jam 03.45 WIB.
[5]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1990).hlm.129.
[6]Jindrich Zenleny. Logiga Marx. (Jakarta Hata Mulia,2004).hlm.147.
[7]Pius A. Partanto, Trisno Yuwono “Kamus Kecil Bahasa Indonesia” Arkola Surabaya, 1994. hal. 365.
[8]Hasil Wawancara Bapak Moses Belau di Jayapura melalui Telepone Seluler, Senin, 5/11/2018:02:20 WIB.
[9]Hasil Wawancara dengan Abraham Selegani “Pewarta Tua Stasi Baitapa” Intan Jaya-Papua melalui HP. Pada Senin, 05 November 2018,pukul 05:20 WIB. 
[10]Hasil Wawancara Dominikus Belau melalui Telepon Seluler di Desa Puyagia, Intan Jaya, pada 04/11/2018:01:15 WIB.
[11]Hasil Wawancara dengan Bapak Linus Belau melalui Telepone Seluler di Desa Puyagia, Intan Jaya - Papua, pada Minggu 04 November 2018, pukul 12:30 WIB.
[12]Natalis Tabuni, Relasi Orang Migani Dengan EMO. (Skripsi. STFT “FT” Jayapura, 1997).hlm.10.
[13]Bdk.Frans Magnis Suseno. Berfilsafat Dari Konteks. (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1991).hlm.81-99.
[14]Hasil Wawancara dengan Bapak Hendrikus Belau Pewarta Stasi Baita melaui HP pada Selasa 06/11/2018.
[15]Bdk.Frans Magnis.Filsafat Kebudayaan Politik:Butir pemikiran Kritis. (Jakarta: Gramedia, 1992). hlm.23.
[16]Yeskiel Belau. Hajii: Konsep Keselamatan Orang Migani Relevansi dengan Keselamatan Menurut Ajaran Gereja Katolik. (Skripsi. STFT “Fajar Timur” Abepura-Jayapura, 2015).11-23.
[17]Hajii Ondo berarti Hajii yang sesungguhnya (Ondo) atau Hajii yang inti (Ondo).
[18]Wawancara Bapak John Mirip di Jayapura melalui HP, Minggu 04 November 2018, pukul 06:30 WIB.
[19]Regina Belau. Kematian Menurut Penghayatan Orang Migani di Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandaga. (Skripsi. STF Pineleng, Manado).hlm.173-175.
[20]Hajii Inisial dalam kebudayaan orang Migani berbeda dengan Hajii Ideal. Hajii Inisial lebih akrab menggunakan kata Aepahitia. Aepahitia berarti suatu suasana aman, bebas dari bahaya, suatu keselamatan yang dialami oleh seseorang kini dan di sini secara nyata. 
[21]Hasil Wawancara dengan Kleopas Sondegau di Asrama Migani Jayapura memalui HP, 01/11/2018.
[22]Ngganeau terdiri dari dua kata, yaitu Nggane dan Au. Nggane artinya kasih, sayang atau cinta kasih. Sedangkan Au artinya akar atau bumber. Jadi, Ngganeau berarti sumber cinta-kasih atau sumber kasih sayang. Maka Ngganeau adalah falsafah hidup orang Migani. Orang Migani meyakini bahwa Ngganeau merupakan semangat hidup yang bersumber dari EMO.
[23]Ibid. Skripsi Yeskiel Belau.
[24]Ibid. Skripsi Natalis Tabuni.hlm.18-22.
[25]Hasil Wawancara dengan Bapak Agustinus Belau “Ketua Adat Migani” melalui HP di Desa Puyagia – Intan Jaya, pada 02 November 2018. Pukul 04:15 WIB.
[26]Ibid. Natalis Tabuni.hlm.23.
[27]Ibid. Natalis Tabuni.
[28]Zubaedi, Filsafat Barat; dari logika baru Deskartes hingga revolusi sains ala Thomas Khun, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2010).hlm.18.
[29]Bertnand Russell, History of Western Philosophy vol.1 (London : George Allen and UnminLtd,1961).hlm.542.
[30]Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metodologi sampai teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).hlm.249.
[31]Ibid. Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani.hlm.248.
[32]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1990).hlm.129.
[33]Ibid. Atang.hlm.249.
[34]Ibid. Bertnand Russell.hlm.735.
[35]Armada Riyanto, CM. Relasionalitas. Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan. Fenomen. (Yogyakarta:PT.Kanisius,2018).hlm.159.
[36]Ibid.Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani.hlm.250.
[37]K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm.48.
[38]Diterjemahkan secara harfiah, perkataan Latin “cogito ergo sum” berarti “saya berfikir, jadi saya ada”. Tetapi yang dimaksudkan Descartes dengan “berfikir” ialah “menyadari”. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern kata cogito sering kali digunakan dalam arti “kesadaran”.
[39]Ibid. K. Bertens.hlm.49.
[40]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990).hlm.132.
[41]Op Cit. Atang. hlm.256.
[42]Ibid. K.Bertens.hlm.49.
[43]Ibid. Atang.hlm.256.
[44]Ibid. Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani.hlm.257.

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT