(Studi Kearifan Lokal Tentang Pikiran Menurut Orang Migani & Pikiran Menurut Rene Deskartes)
|
Foto Yeskiel Belau |
ABSTRAK
Konsep Megomenurut orang Migani
hubungannya dengan teori pikiran Rene
Deskartes “Cogito Ergo Sum”, inilah topik yang telah dibahas dalam tulisan
ini. Topik ini dibahas
di sini dengan tujuan perkenalkan konsep Mego
menurut orang Migani sebagai
nilai kearifan lokal yang khas dan mendalami “Cogito Ergo Sum” sebagai teori pikiran Rene Deskartes yang terkenal. Kemudian, apa yang sudah
diperkenalkan dan dalami itu saling dihubungkannya, sehingga nampaklah kesatuan
antar mereka. Dalam mewujudkan tujuan ini, saya menggunakan metode wawancara
dan studi pustaka dengan pendekatan ilmu budaya dan filosofis. Dengan bantuan
metode dan pendekatan ini, saya menemukan bahwa konsep Mego dan pikiran Deskartes mempunyai
hubungan erat. Secara alami keduanya membahas dan pahami obyek yang satu dan
sama, yakni pikiran manusia dan maknanya yang sesunggungnya.
Kata Kunci: Mego/Mego-Au,
Kearifan-Lokal, EMO, Pikiran, Cogito Ergo Sum.
INTRODUKSI
Kearifan lokal dalam
budaya Suku Migani berkaitan dengan
rumusan nilai-nilai yang telah tertata dalam budaya Migani yang senantiasa
orang Migani hidupi dalam usaha meraih
kesejahteraan hidup mereka. Rumusan nilai-nilai yang senantiasa mereka hidupi
itu diyakini bersumber dari Mego (pikiran).
Melalui Mego ini, lahirlah rumusan
nilai-nilai yang tertata rapih dalam budaya orang Migani seperti; Amakane (salam
damai), Hajii (konsep keselamatan), Nggane-Au (cinta kasih)), Pea Wogo Waya (ritual perdamaian), Jeba Disia (rekonsiliasi), Hagomahitia (persatuan), Mai Wogo Waga Mindia (ritual perizinan),
Dua Dia (kerja), Nduni (rumah laki-laki) dan Minai
(rumah perempuan)
serta lain sebagainya.
Memahami akan Mego
yang telah melahirkan nilai-nilai itu, maka selanjutnya saya akan menjelaskan Mego secara khusus beserta dua rumusan
nilai lain yang telah ia lahirkan, yaitu; Hajii
dan Jebadisia, sebagai bagian
dari sekian banyak kearifan lokal yang juga terdapat dalam budaya Migani. Pertimbangan atas pilihan
seperti ini adalah luas dan dalamnya cakupan pengetahuan yang tidak mungkin
saya jelaskan secara lengkap dalam tulisan sederhana ini.
Sejalan dengan tujuan itu, sesudah kemukakan Mego, Hajii dan Jeba Disia, bagian berikut akan saya perkenalkan tokoh Rene Deskartes, karya-karyanya dan pokok-pokok
pemikirannya. Dalam proses ini, saya
lebih pemberi perhatian pada teori pemikirannya “Cogito Ergo Sum”, yang artinya “saya
berpikir, maka saya ada”. Penekanan dalam
hal ini ialah subyek yang berpikir sebagai ungkapan keberadaan eksistensi
kemanusiaannya. Kemudian bagian akhir
akan saya kemukakan hubungkan antara muatan kearifan lokal dalam budaya orang Migani dengan pemikiran Rene Deskartes itu, dengan harapan agar menemukan
hubungan yang bisa dijadikan sebagai pengetahuan positif, yang juga dapat
membantu orang Migani masupun orang
lain untuk hidup baik di dunia yang terus berkembang ini.
PENGERTIAN
MEGO
Kata “Mego”
dalam bahasa Migani mempunyai arti “pikiran”. Kata pikiran dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata pikir,
yang artinya “akal budi”. Maka
kata Mego dalam konteks ini
kita pahami sebagai proses orang Migani
berpikir tentang segala sesuatu. Segala sesuatu yang dimaksud adalah tentang
diri sendiri, sesama, alam, Yang Ilahi
dan segala kebutuhan hidup mereka sebagai manusia itu sendiri. Dengan definisi
ini, kita mengetahui bahwa pengertian Mego
menurut orang Migani itu adalah
pikirannya sendiri atau akal budinya sendiri sebagai manusia. Di sini kita bisa
melihat hubungannya dengan pikiran yang dimaksud Rene Deskartes “saya berpikir, maka saya ada”.
Sehubungan dengan penjelasan pengertian itu, kita
mengetaui bahwa melalui pikiran; Pertama,
orang Migani dapat mengarahkan diri
dan sesamanya kepada kebaikan sejati. Kedua,
menjalin relasi yang harmonis dengan sesama, alam dan dengan Yang Ilahi. Ketiga, menciptakan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup
sehari-hari. Keempat, mampu
menyesuaikan diri dengan alam. Kelima,
orang Migani menetapkan norma-norma
hidup. Keenam, menghasilkan penghayatan-penghayatan
khusus yang bisa membawa mereka pada kebahagiaan (keselamatan) hidup, yaitu; tatanan
rumusan nilai yang kita sebut sebagai kearifan lokal itu.
Pemaparan
pengertian Mego dan pengaruhnya dalam
seluruh aspek kehidupan orang Migani itu
membuka wawasan kita untuk melihat lebih jauh tentang Mego. Melihat Mego lebih
jauh berarti telusuri asal-usul Mego itu
sendiri. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa kita dapat menemukan dia
(sumber mego) yang ditelusuri dan menemukan maknanya secara jelas dalam seluruh
aspek kehidupan orang Migani. Untuk
mencapai tujuan ini, marilah kita mulai telusuri dengan melihat petunjuk
asal-usul Mego dalam penggunaan kata Mego oleh orang Migani.
Dalam hal itu, ada beberapa istilah yang selalu
digunakan oleh orang Migani dalam
komunikasi. Istilah-istilah yang dimaksud itu ada yang berperan seperti
penunjuk arah kepada keberadaan asal-usul mego
itu sendiri. Oleh karenanya, maka istilah-istilah yang dimaksud termasuk
istilah penunjuk arah itu disebutkan di sini, yaitu; Mego-Tui/Hiwa (ada pikiran), mego
tawa (tidak ada pikiran), mego enoa
(pikiran dewasa), mego sao (pikiran
belum dewasa), mego usua (pikiran
terpuji), mego biga (pikiran tidak
terpuji) dan Mego-Au (sumber pikiran)
dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini selalu digunakan oleh orang Migani dalam komunikasi sesuai dengan
konteks tertentu. Dan, dari sekian istilah ini, istilah Mego-Au berperan sebagai penunjuk arah adanya asal-usul Mego. Oleh karena keyakinan
ini, maka Mego-au menjadi pokok
pembicaraan berikut ini.
MEGO-AU
Mego-Au
terdiri dari dua kata dalam bahasa Migani
(Miga Dole), yaitu; “Mego” dan “Au”. Secara harufiah kata “Mego” artinya pikiran seperti yang
dikatakan di atas. Sedangkan “Au”
artinya sumber atau asal-usul. Maka secara mendalam dapat diartikan bahwa; Pertama,
Mego-Au adalah sumber pikiran atau
asal-usul pikiran. Kedua, Mego-Au
ialah kekuatan pikiran dalam menggerakkan manusia Migani untuk bertindak dan memilih semua yang baik, benar, jujur
dan adil. Mengerti akan penjelasan bagian ini, maka selanjutnya akan saya
jelaskan Mego-Au sebagai sumber
pikiran atau asal-usul pikiran dan Mego-Au
sebagai kekuatan pikiran.
Mego-Au
Sumber/Asal-usul Pikiran
Bagian ini akan dijelaskan dengan menelaah kebiasaan
hidup suku bangsa Migani. Dalam hal
ini, suku bangsa Migani senantiasa
menjalani kehidupan mereka dengan kekuatan Mego-Au
(sumber pikiran). Oleh karena seperti ini, maka pertanyaan selanjutnya adalah
siapa sumber atau asal-usul pikiran itu? Pertanyaan ini menuntun saya dalam
menyelesaikan bagian ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Migani selalu mengutamakan pikiran. Mengutamakan
pikiran berarti bahwa Mego-Au itu mereka
apriorikan dalam seluruh aktifitas hidup
mereka. Oleh karena mengapriorikan Mego-Au
ini, maka semua orang Migani
mengetahui dengan baik bahwa semua pilihan hidup dan keputusan-keputusan orang Migani atas pilihan-pilihan itu pasti
benar, baik, adil dan jujur. Namun dalam praktek hidup, ternyata ada orang yang
memilih apa yang jauh dari pemikiran seperti ini, yakni; tidak benar, buruk,
tidak adil dan bohong serta memutuskan itu untuk dilakukan, maka mereka yang
bertingka seperti itu senantiasa disebut sebagai orang yang Mego-Au Tawa (tidak ada pikiran/sumber pikiran).
Identitas baru yang dikenakan kepada orang yang
hidup tidak sesuai dengan Mego-Au itu
mengandung makna kemarahan yang bersifat membangun. Kemarahan yang bersifat
membangun berarti bahwa dalam kata itu telah memuat ajakan bagi orang yang
bersangkutan untuk segera sadar dan mengakui bahwa tindakannya itu tidak sesuai
dengan Mego-Au. Oleh karenanya maka
orang seperti itu harus kembali kepada nilai-nilai hidup yang baik (kesadaran).
Sehingga melalui sikap hidupnya yang baik itu, orang mengenalnya sebagai orang
yang Mego-Au Hiwa. Kata hiwa artinya ada. Maka Mego-Au Hiwa berarti orang yang
mempunyai pikiran, yang mempunyai sumber pikiran atau asal-usul pikiran dalam
dirinya. Berikut ini adalah sebuah contoh yang bisa memperjelas bagian ini:
“Bapak
Linus menyuruh anaknya Yulius yang sedang bermain game, supaya ia
segera belajar semua mata pelajaran yang akan diujikan pada SMP N.1 Sugapa –
Kabupaten Intan Jaya. Namun Yulius tidak menghiraukan ajakan ayahnya, ia terus asyik bermain game. Oleh karena seperti ini, maka sekali lagi Bapak Linus mengajak
anaknya dengan suara yang keras dan tegas. Kata Bapak Linus “Yulius engkau
Mego-Au tawa (engkau tidak mempunyai pikiran sama sekali). Mendengar itu,
anaknya lantas kaget, merasa malu dan lekas sadar. Yulius diam terpaku di
tempat, kemudian sesudahnya ia mulai belajar tekun. Dengan proses ini, saat
melaksanakan ujian di sekolah, Yulius pun mampu menjawab pertanyaan ujian
dengan sesuai, sehingga dinyatakan lulus. Selanjutnya melihat keberhasilan
anaknya, bapak Linus pun memujinya dengan berkata, “Yulius engkau Mego hiwa
(Engkau membunyai pikiran/sumber pikiran)”.
Demikianlah contoh yang memperjelas keberadaan Mego-Au dalam diri manusia dan kekuatan
yang termuat dalam kata Mego-Au yang
mampu mendarkan manusia seraya membawa mereka kembali kepada (kesadaran) kebaikan
sejati. Bayangkalah, jika Bapak Linus tidak mengatakan Mego-Au tawa, pasti Yulius anaknya tidak akan belajar dan hasilnya
sangat menyedihkan.
Setelah menelusuri sepintas tentang peranan Mego-Au dalam hidup orang Migani, kita kembali lagi kepada
pertanyaan tadi, siapa sumber Mego-Au/asal-usul
Mego-Au itu? Sebetulnya jawaban atas
pertanyaan ini telah dikemukakan melalui penjelasan di atas secara tersirat,
tetapi supaya lebih jelas lagi, maka saya menjawabnya di sini pula. Jadi, Mego-Au yang diapriorikan oleh orang Migani dalam seluruh hidupnya itu mereka
yakini bersumber dari EMO. EMO adalah nama Wujud Tertinggi atau Yang Ilahi menurut suku mereka. Hal ini
berarti bahwa Yang Ilahi menurut
mereka inilah sumber dan asal-usul Mego-Au.
Oleh karena seperti ini, maka orang Migani
mempercayai akan adanya muatan dua pemahaman yang mempunyai pengaruh besar pada
aktifitas pikiran mereka, yaitu; pikiran
murni dan sumber pikiran murni
itu sendiri.
Sesudah mengetahui penjelasan itu, akhirnya kita
mengetahui bahwa dalam seluruh aktifitas hidup orang Migani amat dituntun oleh pikiran
murni dan asal-usul pikiran murni
itu sendiri. Kedua hal ini tentu mempunyai peranannya yang khas sendiri. Peranan
pikiran murni adalah membantu manusia
mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia melalui, perkataan, pebuatan dan
sikap hidup. Sedangkan peranan asal-usul pikiran
itu adalah menyediakan energi (seperti produsen) dan penyalur kekuatan (seperti
distributor) kepada pikiran murni
untuk menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh sebab mengerti akan bagian
ini, maka secara alamiah pikiran manusia Migani
itu mempunyai hubungan yang langsung dengan sang sumbernya,
yaitu; EMO. Maka berikut ini akan
dijelaskan Mego-Au sebagai kekuatan
pikiran.
Mego-Au
Sebagai Kekuatan Pikiran
Kita telah mempunyai sejumlah pengetahuan tentang EMO sebagai asal-usul Mego-Au. Maka bagian ini, akan
diperlihatkan pemahaman Mego-Au sebagai
kekuatan pikiran orang Migani. Dalam
hal ini, orang Migani menyakini bahwa
Mego-Au mempunyai peranan yang sangat
besar dalam mengungkapkan eksistensi kemanusiaan manusia Migani dalam seluruh aktifitasnya. Hal ini berarti bahwa EMO sendiri yang memampukan pikiran
orang Migani untuk mengungkapkan
Eksistensi kemanusiaannya. Eksistensi kemanusiaan mereka dapat mereka ungkapkan
melalui; perkataan, pilihan tepat, perbuatan baik dan sikap hidup yang sesuai
dengan kehendak EMO sendiri.
Dengan lalui proses seperti itu, aktifitas pikiran para
pendahulu orang Migani menghasilkan
nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan generasinya saat ini. Hasil
pemikiran mereka yang sedang dihidupi oleh orang Migani itu sekarang disebut
sebagai kearifan lokal dalam budaya suku Migani, sebagaimana yang telah disebutkan
pada bagian awal di atas. Maka sesuai dengan perjanjian, selanjutnya akan
dijelaskan tentang Hajii dan Jeba Disia sebagai bagian dari hasil
pemikiran para nenek-moyang orang Migani
dan juga sebagai kearifan lokal yang sedang dihidupi oleh generasi orang Migani.
Kata Hajii dalam bahasa Migani (Miga Dole) adalah sebuah kata yang utuh (bukan kata
majemuk). Maka, dalam mengartikan kata Hajii
ini, saya tidak bertolak dari etimologi kata, tetapi bertolak dari apa yang
telah lama orang Migani pahami dan hayati dalam kehidup mereka setiap hari.
Dengan memahami maksud ini, maka dapat saya katakan bahwa arti kata Hajii yang dimaksud itu adalah suatu
keadaan hidup yang kekal/eskaton dan keadaan hidup selamat/sejahtera yang bisa
dirasakan kini dan di sini/inisial.
Keadaan hidup kekal
Keadaan hidup yang
kekal berarti hidup tanpa semua bentuk kesusahan (Oto Tawa), tanpa kesedihan (Mego
Dinggi Tawa), tanpa kesakitan (Jema
Tawa) dan orang hanya mengalami hidup yang menyenangkan (Jigu-jaga Dia), membahagiakan (Siju Dia), kedamaian (Asugata Umbi-tuwi Dia) dan mengalami
ketenteraman hidup (Usuapogoma Toa Uma
Dia) untuk selama-lamanya. Kata Hajii
bukan hanya mengandung arti kedaan hidup seperti ini (kekal) saja, tetapi
juga memuat keadaan hidup yang inisial.
Keadaan hidup inisial
Keadaan hidup yang
inisial adalah keadaan selamat dari marabahaya/penyakit dll, kenyang
(kelimpahan kebutuhan hidup/makanan), senang oleh karena berbagai pengalaman
menyenangkan, bahagia, damai dan lain sebagainya, yang bisa dialami oleh orang Migani kini dan di sini dengan upayanya
sendiri.
Pemahaman Hajii Konprehensif
Jadi, arti Hajii adalah keadaan hidup kekal yang
mencakup suasana hidup tanpa susah, tanpa sedih, tanpa sakit dan hanya terdapat
keadaan hidup yang menyenangkan, membahagiakan, mendamaikan dan tenteram untuk
selama-lamanya, maupun keadaan hidup inisial seperti selamat dari mara bahaya,
merasa kenyang, merasa damai, bahagia, nyaman, aman, selamat dan sebagainya
yang bisa dialami oleh orang Migani kini dan di sini.
Keadaan hidup seperti
itulah yang termuat dalam kata Hajii,
sehingga orang Migani menghayatinya dalam hidup mereka sebagai keadaan hidup
yang kekal (eskaton/ideal) maupun inisial (kekinian). Maka bagian berikut ini akan
dijelaskan pengertian tentang Hajii Ideal
maupun Hajii Inisial.
Hajii Ideal (Hajii Ondo)
Berdasar pada
penjelasan mengenai arti Hajii di
atas, maka Hajii Ideal yang dimaksud
pada bagian ini pun akan dijelaskan dalam hubungannya dengan penjelasan tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, maka orang Migani
memahami Hajii Ideal sebagai keadaan
hidup kekal dan abadi, yang mencakup suasana hidup bahagia untuk
selama-lamanya, sejahtera untuk selamanya, damai, aman, nyaman dan lainnya yang
tak berkesudahan (Hajii Ondo).
Keadaan hidup
seperti itu bersifat kekal. Saking kekal dan abadinya dia, maka generasi orang Migani hanya membayangkan keadaan hidup
seperti itu di ide mereka, tanpa menikmatinya secara nyata, meskipun nenek
moyang mereka telah mengalaminya secara nyata. Oleh karena itu, generasi orang Migani menyebut keadaan hidup kekal dan
abadi itu sebagai Hajii Ideal atau Hajii
Ondo. Gambaran hidup seperti inilah yang selalu terbayang di benak setiap
generasi orang Migani, bilamana
mereka mengucapkan atau mendengar ucapan kata Hajii.
Generasi orang Migani dewasa ini, meyakini bahwa hidup
dalam situasi Hajii yang dijelaskan
di atas itu merupakan bagian hidup yang pernah dialami oleh nenek moyangnya.
Hal ini tentu, karena pengalaman hidup seperti itu dikisahkan juga melalui
cerita warisan dalam budayanya yang disebut Hajii
Hoga. Hajii Hoga artinya
selembar daun Hajii atau sehelai daun
Hajii (keselamatan). Kata Hajii dalam konteks ini berarti kekal
dan Hoga berarti selembar daun,
sehelai daun atau sebuah daun. Jadi, secara lengkap Hajii Hoga dipahami sebagai sebuah judul cerita tentang Hajii (kekekalan) dalam budaya Migani.
Keyakinan generasi
orang Migani itu bermula dari apa yang mereka dengarkan dari orangtuanya secara
turun-temurun yang juga diwariskan melalui cerita rakyat, pepatah, dongeng dan
nasehat. Berdasar pada budaya warisan ini, maka semua orang Migani meyakini
akan pengalaman hidup nenekmoyangnya sebagai manusia Hajii. Nenek-moyang telah hidup dalam keharmonisan relasi, baik
relasi dengan sesama, alam, leluhur maupun dengan Yang Ilahi (EMO). Oleh
karena itu, betul bahwa mereka tidak pernah mengalami penderitaan atau ketidak-adilan
dalam hidup, bahkan bebas dari kematian.
Dengan demikian Hajii yang telah dialami oleh nenek-moyang
itu merupakan suasana hidup yang
bahagia, damai, sejahtera, rukun dan memiliki keharmonisan relasi. Pemahaman seperti ini telah tertanam
dalam benak gererasi orang Migani, sehingga suasana hidup nenek-moyangnya itu
telah menjadi Hajii yang ideal bagi
mereka. Di sini terlihat akan perbedaan pandangan terhadap Hajii. Menurut nenek-moyang, Hajii
bukanlah sesuatu yang ideal (Hajii
Ondo), tetapi apa yang nyata. Sedangkan menurut generasinya Hajii merupakan suasana hidup yang ideal
(Hajii Ondo) dan Inisial (Aepahitia). Oleh
karenanya, maka keduanya perlu diusahakan dalam hidup ini, sehingga saat hidup
maupun mati tetap menikmati Hajii.
Pemahaman mengenai arti
Hajii Ideal telah dikemukakan di
atas. Maka, pada bagian selanjutnya akan diberikan pengertian tentang Hajii yang Inisial (Aepahitia). Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa kata Hajii amat terkesan terlalu
melebih-lebihkan suasana selamat, aman, gembira dan lain sebagainya yang konkrit
dan biasa saja itu, diserupakan dengan stuasi yang kekal, maka orang Migani selalu
menggunakan kata Aepahitia (selamat dari
suatu bahaya). Sebab kata Aepahitia
mengandung arti yang lebih dekat dengan Hajii
yang bisa dialami kini dan di sini. Maka pengertian tentang Hajii Inisial atau Aepahitia itu akan dijelaskan berikut ini.
Hajii Inisial (Aepahitia)
Hajii orang Migani itu menekankan Hajii
yang Inisial (Aepahitia) juga. Dalam
kerangka pemikiran ini, maka saya akan merumuskan pengertian tentangnya, dengan
telusuri aktifitas kehidupan orang Migani. Melalui upaya itu, dapat dirumuskan
bahwa; Hajii Inisial adalah keadaan
yang selamat dari suatu mara bahaya secara nyata, keadaan ketika orang merasa
kenyang, merasa damai, bahagia, nyaman, aman dan sebagainya yang bisa dialami
oleh orang Migani kini dan di sini secara nyata. Hajii Inisial juga dapat dialami melalui hasil kebun yang berlimpah,
ternak bertambah banyak, kesehatan terjamin, keharmonisan relasi dengan sesama,
alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi.
Pengertian Hajii Inisial itu terlihat hampir sama dengan
Hajii Ideal, tetapi sebenarnya
memiliki perbedaan. Perbedaan itu bermula dari pengalaman akan Hajii itu sendiri, bahwa nenek-moyang
justru telah mengalaminya secara nyata. Oleh karena itu, mereka tidak
memikirkan Hajii Ideal maupun Hajii Inisial. Sebab mereka sendiri adalah
orang-orang Hajii. Sedangkan generasi
berikut hanya dapat “memandang”
pengalaman nenek-moyangnya itu sebagai kehidupan
ideal yang mesti diperjuangkan secara baik dalam hidupnya. Menyadari akan
hal ini, maka dalam hidupnya, generasi orang Migani senantiasa berusaha
mengarahkan seluruh hidupnya kepada Hajii
melalui jalan menurut versinya sendiri.
Dalam kebudayaan
orang Migani ada sebuah jalan menuju kepada Hajii,
yaitu jalan memelihara relasi (Asugata
Umbi-tuwi Dia) yang berdasar pada Ngganeau. Jalan
memelihara relasi yang dimaksud adalah relasi dengan sesama, relasi dengan
alam, relasi dengan leluhur dan relasi dengan EMO. Jalan inilah yang diyakini oleh orang Migani bahwa melaluinya
orang akan sampai ke dalam kehidupan Hajii
Ideal maupun Aepahitia. Dalam
proses melalui jalan ini, orang mesti memperhatikan rambu-rambu yang ada dalam
bentuk norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan secara baik, sehingga pejalan
bisa sampai pada tujuannya, yaitu mengalami keselamatan (Aepahitia).
Generasi orang
Migani saat ini berada pada jalan memelihara relasi. Mereka memelihara relasi
dengan sesama, alam, leluhur dan dengan EMO.
Dalam memelihara relasi ini, mereka bersandar pada norma-norma yang berlaku
dalam budaya, yaitu seluruh pedoman hidup baik. Pemeliharaan relasi itu
bertujuan supaya mereka pun semakin mampu mengarahkan hidupnya pada Hajii, baik untuk dinikmati kini maupun
di akhirat nanti.
Berkaitan dengan
hal itu, diyakini bahwa jika orang yang dengan kesungguhan hati memelihara
relasi itu dengan baik, maka dengan mudah saja ia akan mencicipi Hajii kini dan di sini (Aepahitia) dalam bentuk yang sederhana.
Misalnya; mengalami kelimpahan bahan makanan (Imbu Tawa), bersahabat dengan semua orang (Asugata Umbi-tuwi Dia), tidak ada dendaman atau permusuhan (Jau Tawa, Mbole Tawa), semua anggota
keluarga sehat (Jema Tawa), selalu
berhasil dalam usaha, baik dalam berburu (Tinawi
Dia), berkebun (Kagi Dia), bisnis
(Muna), ternak berkembang baik maupun
lain sebagainya. Pengalaman Hajii ini
merupakan tahap awal menuju pada Hajii
yang sempurna.
Kata Jeba dan Disia
ini dua kata yang berbeda dalam bahasa Migani, tetapi mempunyai arti yang sama
dalam bahasa Indonesia, yaitu; Rekonsiliasi. Kata Jeba dalam Miga Dole mempunyai arti kotoran yang
menempel pada wajah manusia. Oleh karena kotoran menempel pada wajah manusia,
maka wajah manusia terlihat tidak tampan atau cantik, tidak menarik bahkan
menjijikkan. Sedangkan kata, Disia dalam bahasa Migani berarti bersihkan. Bersihkan
menggunakan air bersih. Maka dalam konteks ini, Jeba Disia ini dipahami sebagai proses pembersihan kotoran dengan menggunakan air bersih. Sesungguhnya kotoran yang dimaksud adalah
lambang dosa. Sedangkan air yang dimaksud itu lambang kekuatan Yang Ilahi
“EMO”.
Sejalan dengan pemahaman itu, Jeba-Disia bisa dilakukan atas dasar
kesepakatan bersama seluruh warga di dalam kampung. Semua warga yang dipimpin
oleh kepala suku adat (tugu sonowi)
sepakat mengadakan Jebadisia,
apabilah keamanan hidup semua warga dalam kampung itu terancam. Misalnya; musim
sakit menular, bencana alam mengporak-porandakan rumah, kebun bahkan merengut
nyawa manusia, hujan berkepanjangan, musim panas berlebihan, mendapat serangan
dari luar, meningkatnya kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, kebencian
serta peperangan dalam kampung dan sebagainya, maka upacara Jebadisia harus diadakan guna
memperbaiki semua relasi hidup.
Dalam rangka itu,
upacara Jebadisia diadakan dibawah
pimpinan Tugu Sonowi. Upacara itu
harus dipimpin oleh seorang tTugu Sonowi,
karena ia memiliki kemampuan untuk mengarahkan semua orang ke dalam konteks
upacara dan mengetahui bahasa-bahasa “dalam”
yang akan didialogkan dengan sesama,
alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi.
Dalam proses
melangsungkan upacara seperti itu, semua orang dituntut untuk datang dan berada
di sekeliling kolam yang sudah dibuat secara khusus dan dihiasi dengan berbagai
macam tumbuhan. Lalu setelah pemimpin upacara berkata-kata khusus, ia
mempersilahkan semua warga untuk masuk membasuh seluruh tubuh mereka dalam
kolam itu secara bergilir dibantu oleh beberapa orang yang ditunjuk untuk
membantu dalam proses itu. Setelah semua anggota masyarakat membasuh diri
mereka, terakhir pemimpin berkata “Indi,
EMO sengapa kobiga-kabiga dega, mbusata doga du augapa ka hataia digio. Hindago,
imbandona aiga pea jigi naga (sambil
memandang ke langit) higinuo.
Artinya; “Kami telah melakukan hal-hal
yang kurang berkenang di hati sesama, alam, leluhur dan EMO, maka itu kami
mengakuinya dengan sungguh-sungguh dan melepaskannya melalui air ini. Dan, kami
berharap menjadi putih seperti awan di langit sana”.
Usai berkata
demikian, sang pemimpin mempersilahkan para petugas untuk membongkar kolam itu,
lalu semua orang berteriak secara serentak dan bernyanyi-nyanyi sambil
membelakanggi alirnya kolam itu, hingga genangan air itu habis. Setelah lalui
tahap seperti ini, semua orang tanpa memandang ke belakang kembali ke sebuah
rumah yang dikhususkan untuk makan gemuk babi yang disiapkan. Dengan demikian
acara Jeba-Disia dapat dikatakan
selesai, sehingga orang bisa kembali ke rumah masing-masing.
Ungkapan sang
pemimpin upacara Jeba-Disia di atas
memperlihatkan bahwa semua ancaman yang terjadi dalam hidup warga di kampung
itu merupakan akibat dari kesalahan-kesalahan mereka sendiri dalam membangun
relasi yang baik dengan sesama, alam, leluhur dan Yang Ilahi (EMO). Karena
itu, mereka mengakui semua itu seraya berharap menjadi putih, sama seperti awan
di langit. Arti dari ungkapan menjadi putih seperti awan di langit adalah
mereka ingin hidup sehat, mereka ingin hidup bebas dari bencana alam, ingin
hidup bersahabat dengan alam, ingin hidup bersahabat dengan sesama, ingin hidup
berdamai dengan leluhur serta berdamai dengan EMO. Selain itu, mereka juga berharap supaya hasil perkebunan dan
hewan peliharaan mereka tetap terjaga, mengalami pergantian musim yang tepat
dan merindukan kenyamanan hidup dalam kampungnya. Harapan-harapan tersebut
semuanya termuat dalam kata Hajii,
maka sesungguhnya orang Migani
merindukan Hajii.
|
Foto Rene Descartes |
RENE DESKARTES DAN TEORI PIKIRANNYA
Rene Deskartes
Rene Deskartes lahir di kota La
Haye Totiraine, Perancis pada 31
Maret 1596 M. Ayahnya seorang anggota parlemen Inggris yang cukup berada. Dia
dilahirkan sebagai anak ketiga. Sebagai anak ketiga, ia bertumbuh dan mulai
menimbah pendidikan di College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M.
Dalam proses studi ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin
dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Juga belajar filsafat,
matematika, fisika dan logika. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan
tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi dan ajaran metafisika
dari filsafat Thomas Aquinas. Selanjutnya dalam pendidikan, ia merasakan
beberapa kebinggungan dalam memahami berbagai aliran filafat yang saling
berlawanan.
Pada tahun 1612
M, Deskartes pergi ke Paris
dan di sana ia mengasingkan diri ke Faobourg
Sain German untuk mengerjakan ilmu ukur. Kemudian pada tahun 1617 M,
Descartes mengalami suasana damai dan tentram, sehingga ia menjalani renungan
filsafatnya dengan baik. Pada tahun 1619 M, Descartes
mendapatkan pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam buku pertamanya Discours
de la Methode. Pengalaman unik yang ia tuangkan itu tentang mimpi yang
dialami sebanyak tiga kali dalam satu malam.
Selanjutnya ia
mengembangkan filsafatnya dengan konsekuen pada abad pertengahan, maka dia
dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Gelar ini diberikan karena dialah orang
yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang
dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Deskartes
orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang
kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan
perasaan, bukan iman, bukan ayat dls.
Corak pemikiran
yang rasional merupakan sebuah kontribusi pemikiran yang ia berikan kepada
dunia. Selain itu, ada beberapa kontribusi berupa karya-karya buku.
Karya-karyanya yang terpenting dalam bidang filsafat murni dintaranya Dicours
de la Methode (1637) yang menguraikan tentang metode. Selain itu
ada Meditations de Prima Philosophia (1642), sebuah buku yang
menguraikan tentang meditasi-meditasi tentang filsafat pertama. Di dalam kedua
buku inilah Deskartes menuangan metodenya yang terknal
itu, metode Cogito Ergo Sum, metode
keraguan Descartes.
Deskartes menetap di
belanda selama 20 tahun (1629-1649M.) dalam
iklim kebebasan berfikir. Di negeri ini ia juga menyusun karya-karya ilmu
filsafat dengan leluasa.
Kemudian Deskartes memenuhi undangan Ratu Christine yang menginginkan pelajaan-pelajaran
darinya. Dalam proses pengajaran, ia jatuh sakit radang paru-paru dan akhirnya
ajal menjemput dia pada 1650M. Dikatakan bahwa sebelumnya ia pernah menikah dan
mempunyai seorang anak perempuan, namun pada umur lima tahun meninggal, maka pengalaman
ini merupakan kesedihan mendalam bagi Deskartes selama hidup katanya.
Pokok-pokok
pemikiran Deskartes
Cogito Ergo Sum
Cogito Ergo Sum,
yang artinya “aku berpikir maka aku ada”
merupakan sebuah pemikiran yang dihasilkan oleh Rene Deskartes
melalui sebuah
meditasi tentang keragu-raguan. Deskartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil
ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh
kebenaran pasti Deskartes memepunyai
metodenya sendiri. Upayanya
ini menjadi mungkin, karena ia berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan
metode tersendiri agar hasilnya benar-benar
logis.
Berdasar
pada pernyataan itu, Cogito Ergo
Sum dimulai dengan metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan
seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh
pengetahuan yang dimiliki, termasuk
kebenaran-kebenaran
yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa
saya mempunyai tubuh, bahwa Tuhan ada).
Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu,
maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi
seluruh ilmu pengetahuan. Dan, Deskartes tidak dapat
meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka, Cogito Ergo Sum: saya
yang sedang menyangsikan,
ada. Inilah kebenaran yang tidak dapat
disangkal, betapa pun besar usahaku.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah
sebab kebenaran
itu bersifat sama sekali pasti? Karena saya
mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah. Maka, hanya yang
saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar.
Itulah norma untuk menentukan kebenaran. Cogito Ergo sum, aku berfikir, jadi aku ada. Tahapan
metode Descartes ini dapat diringkas sebagai berikut.
Ide-ide Bawaan
Kesaksian apa
pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya
dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah
hasilnya? Deskartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat
ditemukan tiga “ide bawaan” .
Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah
pemikiran, Tuhan dan keluasan. Pemikiran: Sebab saya
memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna: Karena saya
mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang
sempurna itu tidak lain daripada Tuhan. Keluasan: Materi sebagai
keluasan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh
ahli-ahli ilmu ukur.
Substansi
Deskartes menyimpulkan
bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi:
Pertama, jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya
dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan
keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia
materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi
saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun
yang sesuai dengannya. Dengan demikian,
keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya
ada dunia materil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.
Manusia
Descartes memandang
manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan
tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak
lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang
satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Deskartes menganut suatu
dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Deskartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh
tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia
mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula
pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil).
Akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak
memadai bagi Deskartes sendiri.
Hubungan Kearifan Lokal Suku Migani
(Mego) Dengan Pikiran Menurut Deskartes
Sesudah
memperoleh pengetahuan tentang Mego dan kedua nilai lain yang telah ia
lahirkan sebagai kearifan lokal dalam budaya orang Migani, biografi Deskartes,
karya-karyanya dan teorinya tentang pikiran, kita mempunyai kesempatan untuk
menghubungkan keduanya di sini. Upaya menghubungkan keduanya ini dilakukan
dengan melihat kesamaan-kesamaan yang ada.
Hubungan antara Mego menurut
orang Migani dan pikiran menurut Deskartes dapat dijelaskan di
sini, bahwa keduanya membunyai hubungan, dapat menyinggung bahkan membahas
obyek yang sama, yaitu pikiran itu sendiri. Berhubungan dengan pikiran berarti
berhubungan langsung dengan manusia yang mempunyai pikiran. Maka konsep Mego
orang Migani maupun pikiran menurut Deskartes berbicara tentang
hal yang satu dan sama yaitu, pikiran manusia. Artinya bahwa pikiran yang
benar-benar terdapat dalam diri manusia yang sesungguhnya. Inilah yang dibahas
secara khas oleh Deskartes dan dipahami oleh orang Migani.
Sehubungan dengan penjelasan
itu, manusia yang dimaksud itu tentunya subyek (bukan obyek), manusia yang
rasional dan yang berakal budi. Sehingga pembahasan panjang lebar oleh orang Migani
maupun Deskartes itu di seputar bagaimana manusia yang adalah subyek, rasional
dan yang berakal budi itu dapat menggunakan rasio dan akal budinya dalam
memikirkan tentang segala sesuatu. Memikirkan tentang segala sesuatu yang
dimaksud ialah memikirkan tentang dirinya sendiri, memikirkan tentang
sesamanya, memikirkan tentang cara yang tepat untuk menciptakan sarana-sarana
yang mampu menghasilkan kebutuhan-kebutuhan hidup, memikirkan tentang alam
lingkungannya, leluhurnya dan Yang Ilahi.
Sejalan dengan penjelasan
itu, Deskartes mengatakan “Cogito Ergo Sum”, yang artinya “saya
berpikir maka saya ada”. Makna yang dimuat oleh Deskartes melalui
pernyataan ini adalah bahwa hal yang pasti di dunia ini hanyalah keberadaan
seseorang sendiri yang berpikir. Dalam hal ini sesungguhnya Deskartes
hendak mencari kebenaran dengan meragukan segala sesuatu. Benar, ia meragukan
keberadaan benda-benda di sekelilingnya, bahkan meragukan keberadaan dirinya
sendiri. Ia meragukan dirinya sendiri, tetapi dia tidak meragukan kalau dia
sedang meragu-ragukan diri dan segala sesuatu. Artinya bahwa proses ia berpikir
dan menemukan sesuatu yang ia yakini benar, inilah yang paling benar. Di sini
kita bisa menemukan hubungan yang jelas dengan Mego, yaitu; pada
ketidak-percayaan orang Migani akan kesadaran manusia yang berpikir,
yang kemudian tindakannya membuktikan bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai
pikiran “Mego Tawa”. Ini bagian dari meragu-ragukan sesala-sesuatu. Hal
yang pasti, benar serta patut dipercayai sebagai yang benar bagi mereka ialah
tindakan orang Mego Hiwa seperti dirinya sendiri.
Dalam hal itu
sesungguhnya Deskartes berpikir bahwa dengan cara meragukan seperti itu,
semua hal termasuk dirinya sendiri dibersihkan dari segala prasangka yang
mungkin menuntunnya ke jalan yang salah, seperti contoh dalam budaya Migani.
Maka ia mengalami rasa takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak
membawanya pada kebenaran. Sampai di sini, Deskartes sadar bahwa
bagaimana pun juga pikiran memang mengarahkan dirinya pada kesalahan, namun ia
tetap berpikir. Pilihan tetap berpikir inilah yang Deskartes akui
sebagai satu-satunya yang paling jelas, satu-satunya yang tidak mungkin salah.
Maksudnya, tidak mungkin kekuatan lain membuat kalimat “ketika berpikir, saya
yang berpikir” salah. Dengan demikian, deskartes sampai pada kesimpulan bahwa
ketika ia berpikir, maka ia ada “cogito ergo sum”.
Seluruh penjelasan Deskartes tentang “cogito
ergo sum” itu sesungguhnya menekankan tindakan seseorang yang berpikir
tentang segala-sesuatu seperti yang telah dikemukakan di atas sebagai bukti
bahwa seorang individu yang sedang berpikir itu “ada”. Dengan kata lain,
keberadaan seseorang itu dapat dibuktikan oleh aktifitas berpikirnya sendiri.
Maka di sini kita bisa menemukan hubungan yang jelas antara Mego menurut
orang Migani dengan teori pikiran menurut Deskartes. Penjelasan
hubungan antar keduanya disajikan berikut ini:
Orang Migani
mengapriorikan Megonya sendiri sebagai pusat pengetahuan yang benar.
Oleh karena Mego milik mereka sendiri yang dipercayai sebagai pusat
pengetahuan yang benar, maka pengetahuan yang benar ini mereka gunakan
sekaligus memampuhkan mereka dalam mengusahakan sarana-sarana yang bisa
memproduksi kebutuhan-kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun sekunder
bahkan tersiel seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini mengandung
arti bahwa pada pulanya orang Migani tidak pernah menerima saran pikiran
apa pun dari pihak luar. Di dini terlihat unsur keragu-raguan orang Migani
juga. Selanjutnya mereka sungguh-sungguh bertolak dari diri mereka sendiri,
sebagaimana yang telah dikatakan Deskartes bahwa semua yang bukan dari
dalam itu belum tentu benar dan ada kemungkinan besar untuk membawa orang pada
jalan yang salah. Dan, memang kenyataan membuktikan bahwa pilihan orang Migani
berpikir secara interen itu benar dan baik adanya. Buktinya ialah itu memungkinkan
keberadaan manusia Migani berserta segala atributnya hingga saat ini.
Selanjutnya dalam
menjelaskan “cogito ergo sum”, Deskartes melangkah lebih jauh
lagi dan menjelaskan tentang ide bawaan, substansi dan hakekat manusia. Dalam
pembahasannya tentang ide bawaan, ia mengatakan manusia dilahirkan dengan tiga
ide bawaan yaitu, pikiran, Tuhan dan keluasan. Sementara dalam pembahasannya
tentang substansi, ia mengatakan selain Tuhan ada dua substansi, yaitu; jiwa
yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan.
Sedangkan dalam pembahasannya tentang manusia ia mengatakan manusia itu terdiri
dari jiwa dan tubuh (dualitas) dan sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa.
Penjelasan
lebih lanjut pada bagian akhir itu semakin memperjelas hubungan antara Mego dengan teori pikiran menurut Deskartes. Hubungan yang dimaksud itu
dapat dilihat pada konsep Mego sebagai
pikiran murni, Mego-Au sebagai sumber
atau asal-usul pikiran dan pemberi atau penyediah energi bagi pikiran manusia
untuk fungsikan dirinya dan mengungkapkan eksistensi manusia itu sendiri dalam
tindakan-tindakan konkrit dan sikap hidupnya. Serta pikiran Deskartes tentang Ide Bawaan, yang
meliputi pikiran, Tuhan dan keluasan. Dalam hal ini dilihat bahwa keduanya
berbicara tentang pikiran yang sama, yaitu Mego
dan pikiran Deskartes, sumber
pikiran atau asal-usul pikiran yang sama yaitu; Tuhan menurut Deskartes dan EMO menurut orang Migani.
Demikian juga keluasan eksistensi menurut Deskartes
dan pikiran sebagai pemberi kekuatan kepada pikiran manusia untuk mengungkapkan
eksistensi manusia itu sendiri menurut orang Migani.
Hubungan selanjutnya ialah Deskartes dan orang Migani percaya bahwa hanya melalui pikiran sendiri mereka bisa
menghasilkan sesuatu yang paling jelas bagi mereka yang telah memikirkannya.
Bukti dalam hal ini yang bisa kita temukan adalah filsafat Deskartes yang adalah hasil buah pikirannya sendiri telah
berkembang hingga saat ini dan banyak nilai-nilai budaya dalam budaya orang Migani yang kita sebut sebagai kearifan
lokal, termasuk Hajii dan Jeba Diasia yang adalah hasil buah
pikiran orang Migani sendiri yang
masih dipertahankan dan dihidupi oleh generasinya hingga kini. Oleh karena
kenyataan ini, maka saya mengakui bahwa keduanya juga mempunyai hubungan yang
erat.
PENUTUP
Orang Migani memahami pikiran
sebagai pusat pengetahuan. Pikiran sebagai pusat pengetahuan, pikiran orang Migani yang didayai oleh EMO telah memampukan mereka dalam
mengusahakan semua kebutuhan hidup dan mengungkapkan kemanusiaan mereka lewat
perilaku hidup yang pantas sebagai manusia. Dalam hal mengusahakan kebutuhan
hidup, pikiran orang Migani menuntun
mereka mencari dan menemukan peralatan-peralatan yang bisa menunjang
mengusahakan kebutuhan hidup, seperti; kampak, parang, api, busur dan
anak-panah serta lain sebagainya. Dengan kampak dan parang, orang Migani bisa membuat kebun dan rumah,
sehingga ada makanan dan tempat tinggal. Temuan api dapat membantu orang Migani dalam memasak makanan dan
menghangatkan tubuh. Demikian juga busur dan anak-panah ditemukan untuk
berburuh dan mendapatkan kebutuhan lauk.
Sementara
dalam hal mengungkapkan kemanusiaan mereka, pikiran murni (Mego) menuntun orang Migani
dalam bertingkah-laku yang baik seperti yang dikehendaki oleh Yang Ilahi (EMO). Ia (Mego/Mego-Au)
menuntun orang Migani agar berkata
benar dan jujur, memilih yang baik dan bermanfaat, bersikap yang sopan dan
bijaksana.
Penjelasan
itu berarti bahwa pikiran yang dimengerti oleh orang Migani dengan sebutan “Mego”
itu benar-benar telah memberikan kontribusi posif kepada orang Migani dalam segala hal seperti yang
telah di jelaskan di atas. Melalui Mego,
segala yang sudah dan sedang dihidupi oleh orang Migani itu mungkin, ada dan tercipta, termasuk paham Hajii sebagai konsep keselamatan mereka
dan kebiasaan rekonsiliasi (Jeba Disia)
sebagai cara mereka berdamai dengan sesama, alam, leluhur dan dengan Yang Ilahi.
Selanjutnya
saya juga telah perkenalkan siapa itu Rene
Deskartes, karya-karyanya dan pokok-pokok pikirannya, secara khusus
ungkapan terkenalnya yaitu Cogito Ergo
Sum serta makna mendalamnya. Sesudah proses ini, tulisan ini diakhiri
dengan memghubungkan kearifan lokal dalam budaya Migani terhadap “Mego”
dengan teori pikiran menurut Rene
Deskartes, yaitu; “Cogito Ergo Sum”.
Dalam proses ini, saya telah menemukan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang
sangat erat. Sesungguhnya keduanya membahas tentang hal yang satu dan sama,
yaitu; pikiran manusia, sumbernya dan peranannya dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga ini menjadi bahan pembelajaran lebih lanjut.
Natalis
Tabuni, Relasi Orang Migani Dengan EMO. (Skripsi. STFT “FT” Jayapura,
1997).hlm.10.
Regina
Belau. Kematian Menurut Penghayatan Orang
Migani di Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandaga. (Skripsi. STF Pineleng, Manado).hlm.173-175.
Zubaedi, Filsafat
Barat; dari logika baru Deskartes hingga revolusi sains ala Thomas
Khun, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2010).hlm.18.
Atang Abdul
hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metodologi sampai
teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).hlm.249.
Ibid. Atang Abdul
hakim dan Beni Ahmad Saebani.hlm.248.
Ibid.Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani.hlm.250.
Diterjemahkan
secara harfiah, perkataan Latin “cogito ergo sum” berarti “saya berfikir, jadi saya ada”. Tetapi
yang dimaksudkan Descartes dengan “berfikir” ialah “menyadari”. Jika saya
sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung
menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern kata cogito sering
kali digunakan dalam arti “kesadaran”.
Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990).hlm.132.
Ibid.
Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani.hlm.257.