Gerakan Tungku
Api Kehidupan:
"Mengakarkan Injil, Membangun Budaya Literasi Kehidupan"
|
Foto Mgr John Philip Saklil Pr. |
Selamat Memasuki Masa Prapaskah!
Masa prapaskah diawali dengan penerimaan abu pada hari
rabu abu. Kita diingatkan bahwa kita hanyalah debu
yang tak berarti, Namun Allah memberi hidup kepada manusia dengan Roh-Nya (Kejadian 2: 7). Manusia itu suci sejak penciptaanya sebab ketika Allah
menciptakan manusia, Dia menghembuskan Roh-Nya sendiri ke dalamnya. Maka itu hidup
manusia adalah anugerah Allah yang harus dijaga, dipelihara dan tidak
dihancurkan oleh siapapun.
Saya ingatkan beberapa hal yang biasanya kita dijalani
sebagai ungkapan tobat dalam masa prapaskah a.l:
- Berdoa
dan merenungkan Firman Tuhan Yesus Kristus yang hidup, menderita dan wafat di
kayu Salib untuk menebus dosa-dosa kita;
- Kita
menyatakan pertobatan melalui pantang dan puasa agar kita dapat mampu
mengendalikan segala godaan yang membelenggu hidup kita;
- Kita
juga menjalani Aksi Puasa Pembangunan (APP) sebagai ungkapan semangat berbagi
kepada mereka yang kecil dan tak berdaya.
Secara khusus dalam masa prapaska tahun ini saya mau
menyampaikan tugas kita semua untuk mengakarkan Injil dan membangun budaya literasi
kehidupan. Keuskupan Timika
menggagas Gerakan Tungku Api Kehidupan agar setiap orang menyadari pentingnya
melindungi dan mengelola sumber-sumber hak hidup sebagai masyarakat beriman dan
berbudaya. Tungku api harus selalu menyala sebagai symbol hidup yang harus
dijalankan dalam terang Tuhan dan hidup yang harus diola dengan layak dan
bermartabat demi kesejahteraan bagi semua makluk semesta alam. Untuk dengan mengakarkan
injil dan membangun budaya Literasi kehidupan, kita membangun hidupnya yang lebih
berkualitas melalui dunia penddidikan.
Mengakarkan Injil
Allah menciptakan
manusia menurut ‘gambar dan citra’ Allah sendiri (bdk. Kej, 1,27). Gambar dan
citra Allah ini di wujudkan oleh manusia dalam kebersamaannya dengan Allah
untuk ikut menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan bumi dengan segala
isinya demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama dan
keberlangsungan keutuhan ciptaan. Sebagai citra Allah, manusia mempunyai
martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari
kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk
ciptaan yang lain.
Mengakarkan Injil disasarkan pada spiritualitas
inkarnatoris-transformatif yang berpangkal dari misteri penjelmaan Allah dalam
hidup manusia, “Firman itu telah menjadi
manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Dalam proses inkarnasi itu,
Allah menunjukkan solidaritas dengan manusia :“mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:7). Yesus, Sang Sabda, menunjukkan
semangat belarasa kepada mereka yang menderita (Mat 9:36), mengupayakan hidup
baru dan berkelimpahan dengan membawa kabar baik bagi orang miskin, pembebasan
bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta, dan pembebasan bagi orang tertindas
dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4, 18). Sebagai tanggapan manusia secara etis ekologis, segala usaha manusia demi damai
sejahtera, manusia
mengusahakan kebaikan dan kelestarian seluruh ekosistem, bumi serta
keanekaragaman hayatinya. Bumi bisa menjadi tempat
tinggal bersama dan sekaligus bisa menjadi rahim pangan bagi semua. Maka itu “Lingkungan
alam adalah harta kita bersama, menjadi tanggung jawab semua orang” (Laudato Si art. 95).
Kita diutus menjalani
tanggungjawab menurut
teladan Yesus, yaitu; melindungi dan mengelola kebaikan dan keindahan dunia selaras dengan alam.
Budaya Literasi Kehidupan
Hampir
satu abad gereja di Tanah Papua Keuskupan Timika. Gereja membuka ruang perjumpaan agar
pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dapat memberi harapan dan sukacita atas apa
yang mereka miliki. Evangeli Nuntiandi (art.20) mempertegas dengan mengatakan
bahwa pertemua antara Injil dan kebudayaan merupakan drama zaman kita. Gereja
diutus untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa dalam kebudayaannya
masing-masing. Gereja tidak bermaksud menciptakan keseragaman budaya yang
berkarakter kristiani tetapi berusaha untuk mengungkapkan diri dalam Injil dan
melalui eskpersi budaya setempat (GS58). Patokan yang dipakai adalah kedamaian
dalam hidup, kesejahteraan umum, kelestarian ciptaan, kelanjutan serta
perkembangan menuju hidup yang lebih manusiawi.
Budaya
literasi bukan sekedar tahu membaca dan menulis, tetapi mampu memahami ,
menganalisa dan menyampaikan nilai-nilai kehidupan secara benar. Kemampuan
membaca dan menulis melalui dunia Pendidikan, meningkatkan kualitas manusia di
tengah arus perubahan dan perkembangan. Perkembangan tehnologi di bidang komunikasi
sangat memungkinkan orang menambah pengetahuan dan membangun hidup lebih
produktif. Maka itu sejak awal, para misionaris membuka wilayah pelayanan
gereja disertai dengan pendidirian sekolah-sekolah agar dapat mendidik dan
menghasilkan kader setempat yang mampu melindungi dan mengelolah sumber-sumber
hak hidup. Budaya pendidikan warisan leluhur dan budaya pendidikan di era
perobahan menjadi satu kesatuan yang ditumbuhkembangkan dalam rana pengelolaan
harkat dan martabat manusia bagi generasi ke generasi.
Peran gereja
dalam kerjasama dengan semua pihak yang
berkehendak baik adalah bagaimana setiap
manusia mendapatkan segala kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk bisa hidup
secara layak. Termasuk dalam kondisi-kondisi umum seperti pendidikan,
kesehatan, fasilitas air bersih, penerapan hukum yang adil, perlindungan
terhadap hak-hak dan hak milik, ketersediaan pelayanan-pelayanan bagi kebutuhan
yang umum, dan seterusnya. Jadi upaya pembangunan kesejahteraan manusia adalah
kewajiban setiap orang yang harus dibangun di atas dasar solidaritas.
Tantangan
Gereja di tanah papua
Mengakarkan
sukacita Injil dan membangun budaya literasi di Papua tidak lepas dari arus
perobahan dan perkembangan yang sudah, sedang dan akan terjadi. Injil yang
tidak mengakar dan kehancuran budaya literasi
kehidupan, sama dengan kehancuran keluarga dan lingkungannya serta peradaban
suatu bangsa.
Saya mau menyebutkan beberapa kenyataan yang sedang terjadi sebagai akar
persoalan yang menghambat gerakan mengakarkan Injil dan membangun budaya literasi
kehidupan di Tanah Papua:
- Pemiskinan. Papua memegang posisi keempat tingkat tertinggi PRDB (pendapatan
regional domestik bruto), yang sebagian besar berasal dari industri yang
terkait dengan sumber daya alam. Sayangnya, kondisi ini tidak diimbangi dengan
kenyataan sulitnya akses terhadap pelbagai kebutuhan pokok (misalnya
pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat),
Tingginya angka kematian bayi , rendahnya akses
terhadap layanan umum, meningkatnya arus urbanisasi. Ketidakseimbangan
komposisi penduduk tidak hanya terjadi di antara penduduk daerah perkotaan dan
pedesaan, tetapi juga antara masyarakat asli Papua dan non Papua. Kasus
transmigrasi dan migrasi spontan menunjukkan distribusi penduduk yang tidak
sejalan dengan distribusi kesejahteraan. Pengambilan sumber daya alam dalam
jumlah yang besar terdiri atas pertambangan, penebangan kayu, perikanan ilegal,
perkebunan kelapa sawil, persawahan dll. Sumber-sumber daya alam yang kaya di
Papua akan tetap menjadi salah satu keluhan utama dan pemicu konflik (baik
vertikal antara negara dan rakyat juga secara horisontal antara para anggota masyarakat)
selama pembagian dari kekayaan yang terkumpul dari eksploitasi alam itu tidak
dibagi secara adil dan jelas. Proses pembangunan berskala besar yang berfokus
pada pertumbuhan, kurang mengindahkan
kearifan lokal termasuk nilai-nilai dari tanah adat sebagai tanda penghormatan
terhadap kebudayaan lokal.
- Krisis Pendidikan. Kekayaan sumber daya alam Papua tidak setara dengan tingkat
pendidikan. Di tengah kemudahan, semakin banyak generasi yang kurang lancar
baca tulis dan hitung. Banyak sekolah di kantong-kantong masyarakat local yang
proses belajar dan mengajar tidak berjalan lancar. Sekolah-sekolah menghasilkan
banyak lulusan tetapi anak anak tidak bisa meneruskan pendidikan di jenjang yang
lebih tinggi karena tidak lulus tes atau
diterima tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah. Banyak sekolah tingkat
SMP dan SMA yang didirikan pemerintah hampir di setiap distrik tanpa
memperhitungkan ketenagaan dan fasilitas pendukung bagi para didik dan
pendidik. Banak sekolah di kantorng masyarakat local bagaikan pabrik
penghancuran generasi bangsa. Lebih baik tidak lancer baca dan tulis karena
tidak sekolah daripada sekolah tapi tidak lancar baca dan tulis. Banyak anak
didik yang mencari sekolah yang tidak berkualitas agar dengan muda mendapat
ijazah. . Kualitas pendidikan rendah akan menghasilkan rendahnya kualitas hidup
masyarakat. Gereja termasuk mengalami
krisis pewarta dan pengurus gereja yang berkualitas. Banyak anak yang tidak
lulus masuk seminari karena hasil testing tak dapat ditoleransi.
- Krisis peradaban. Para tetua di desa-desa semua khawatir mengenai kelanjutan tradisi
adat mereka seiring dengan meningkatnya jumlah pemuda yang pindah ke kota.
Kelompok pemuda tersebut tidak ikut serta dalam ritual-ritual adat tradisional
karena mereka merasa bahwa itu sudah ketinggalan jaman, tetapi mereka tidak
dapat ikut serta dalam modernisasi juga karena mereka tidak mempunyai kapasitasnya.
Perilaku yang tidak mendukung misalnya kurangnya motivasi untuk belajar di
sekolah, semakin meningkatnya kejahatan (baik di kota-kota maupun desa-desa)
termasuk pembunuhan, perkosaan, pencurian, penganiayaan, penipuan dan kekerasan
dalam rumah tangga yang dipicu oleh konsumsi alkohol. Epidemi tertentu yang
mempengaruhi sumber daya manusia di Papua seperti penyebaran HIV/AIDS, yang
terus meningkat dari tahun ke tahun. Kehancuran bagi papua akan terus terjadi selama
tingkat pendidikan masih rendah, jarak dengan akar kebudayaan seseorang semakin
melebar, tidak adanya perlindungan struktural melalui peraturan, penyimpangan
sosial, sumber-sumber daya manusia yang rendah (secara kuantitatif dan
kualitatif) dan kekerasan pada akar rumput.
Ajakan
Gagasan keuskupan tetang gerakan Tungku Api khususnya
untuk masa prapaskah 2019 adalah gerakan untuk mengakarkan Injil membangun
budaya literasi. Tungku api tetap
menyala kalau injil mengakar dalam hidup kita. Sukacita bisa dialami oleh
manusai kalau manusia percaya bahwa alam semesta diptakan oleh Tuhan bagi
manusia untuk menjaga dan melesatarikan demi kesejahteranan hidup manusia dan
semua makluk hidup di atas dunia. Secara
khusus dalam masa prapaskah ini, saya mengajak kita semua untuk merenungakan
tiga hal penting:
· Membangun Tungku Api Keluarga. Tungku api Keluarga adalah
menjamin hidup keluarga yang beriman, damai dan sejahtera. Dapur keluarga tetap
berasap agar anak anak bertumbuh dengan sehat, mendapat pendidikan yang layak,
dan mewarisi nilai-nilai budaya kehidupan. Dekenat Paniai dan Tigi menggagas
dengan istilah ‘Owada Emawa’, bahwa setiap keluarga mengelolah rumah dan
pekarangan sebagai sumber kebutuhan hidup dan menjamin perlindungan keutuhan
ciptaan Tuhan. Maka itu saya mengajak setiap keluarga untuk punya rumah
sendiri, punya kebun sendiri dan punya kandang sendiri. “jangan pernah hidup
bergantung pada orang lain”
· Melindungi dan mengelola tanah dan dususn. Keuskupan Timika menggagas
Gerakan Tungku Api Kehidupan agar setiap orang melindungi dan mengelola dusun
sebagi sumber kehidupan manusia dan semua makluk ciptaan Allah. Dusun terdiri
dari tanah, hutan, sungai, rawa adalah sumber kehidupan manusia dan semua
makluk hidup. Dusun adalah sumber hak hidup karena manusia hidup dari hasil
kekayaan alam. Maka itu Keuskupan mengajak agar kita ikut serta melindungi dan
mengelola dusun sebagai sumber kehidupan manusia dan semua makhluk alam. Tungku api tetap akan menyala selama kita
masih punya tanah dan dusun. Secara khusus saya berpesan: “Jangan hidup dari
hasil jual tanah dan dusun tetapi hidup dari hasil ola tanah dan dusun”.
· Membangun budaya literasi. Membangun budaya literasi adalah membangun hidup dalam dunia
Pendidikan agar setiap orang dapat memahami segala yang terjadi dan bertindak
sesuai dengan apa yang dipahami. Gagasan gerakan Tungku Api, bisa menjadi mimpi
buruk kalau tidak diimbangi dengan pendidikan sebagai media pewartaan dan
pencerdasan generasi anak bangsa. Kehancuran dunia Pendidikan sama dengan
kehancuran peradaban gereja dan masyarakat. Maka itu pewartaan iman dan
pembangunan dunia pendidikan perlu mendapat perhatian serius bagi keluarga dan
Lembaga-lembaga penyelenggaan pendidikan. Sekolah bukan untuk ijazah tetapi
mendorong kita untuk membaca dan menulis lebih banyak daripada mengajar dan
bicara. Secara khusus saya mengajak orang tua untuk berusaha dengan cara apapun
yang penting anak sekolah sampai di jenjang yang paling tinggi. Anak yang tidak
sekolah atau putus sekolah akan membawa malapetaka dalam hidup keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
· Nasehat kunci
- “Jangan hidup dari hasil jual tanah dan dusun tetapi hidup
dari hasil ola tanah dan dusun”
-“Membaca dan menulis lebih penting daripada Bicara, Belajar
lebih penting dari Mengajar”.
-“Lebih baik tidak lancar baca dan tulis karena tidak
sekolah daripada sekolah tapi tidak lancar
baca dan tulis “.
-“Anak tidak sekolah atau putus sekolah akan membawa
malapetaka dalam hidup keluarga dan masyarakat”.
-“Kehancuran pendidikan sama dengan kehancuran
masyarakat”.
Selamat menjalani masa prapaskah
2019. Tuhan memberkati.
Mgr John Philip saklil Pr.
Uskup Keuskupan Timika