Video Of Day

Subscribe Youtube

Wednesday, 20 March 2019

SURAT GEMBALA USKUP KEUSKUPAN TIMIKA (PRAPASKAH 2019)

Gerakan Tungku Api Kehidupan:

"Mengakarkan Injil, Membangun Budaya Literasi Kehidupan"

Foto Mgr John Philip Saklil Pr.
Selamat Memasuki Masa Prapaskah!

Masa prapaskah diawali dengan penerimaan abu pada hari rabu abu. Kita diingatkan bahwa kita hanyalah debu yang tak berarti, Namun Allah memberi hidup kepada manusia dengan Roh-Nya (Kejadian 2: 7). Manusia itu suci sejak penciptaanya sebab ketika Allah menciptakan manusia, Dia menghembuskan Roh-Nya sendiri ke dalamnya. Maka itu hidup manusia adalah anugerah Allah yang harus dijaga, dipelihara dan tidak dihancurkan oleh siapapun. 
Saya ingatkan beberapa hal yang biasanya kita dijalani sebagai ungkapan tobat dalam masa prapaskah a.l: 
-    Berdoa dan merenungkan Firman Tuhan Yesus Kristus yang hidup, menderita dan wafat di kayu Salib untuk menebus dosa-dosa kita;
-       Kita menyatakan pertobatan melalui pantang dan puasa agar kita dapat mampu mengendalikan segala godaan yang membelenggu hidup kita;
-   Kita juga menjalani Aksi Puasa Pembangunan (APP) sebagai ungkapan semangat berbagi kepada mereka yang kecil dan tak berdaya. 
Secara khusus dalam masa prapaska tahun ini saya mau menyampaikan tugas kita semua untuk mengakarkan Injil dan membangun budaya literasi kehidupan. Keuskupan Timika menggagas Gerakan Tungku Api Kehidupan agar setiap orang menyadari pentingnya melindungi dan mengelola sumber-sumber hak hidup sebagai masyarakat beriman dan berbudaya. Tungku api harus selalu menyala sebagai symbol hidup yang harus dijalankan dalam terang Tuhan dan hidup yang harus diola dengan layak dan bermartabat demi kesejahteraan bagi semua makluk semesta alam. Untuk dengan mengakarkan injil dan membangun budaya Literasi kehidupan, kita membangun hidupnya yang lebih berkualitas melalui dunia penddidikan. 
Mengakarkan Injil
Allah menciptakan manusia menurut ‘gambar dan citra’ Allah sendiri (bdk. Kej, 1,27). Gambar dan citra Allah ini di wujudkan oleh manusia dalam kebersamaannya dengan Allah untuk ikut menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan bumi dengan segala isinya demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama dan keberlangsungan keutuhan ciptaan. Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain.
Mengakarkan Injil disasarkan pada spiritualitas inkarnatoris-transformatif yang berpangkal dari misteri penjelmaan Allah dalam hidup manusia, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Dalam proses inkarnasi itu, Allah menunjukkan solidaritas dengan manusia :“mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:7). Yesus, Sang Sabda, menunjukkan semangat belarasa kepada mereka yang menderita (Mat 9:36), mengupayakan hidup baru dan berkelimpahan dengan membawa kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta, dan pembebasan bagi orang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4, 18).  Sebagai tanggapan manusia secara etis ekologis, segala usaha manusia demi damai sejahtera, manusia mengusahakan kebaikan dan kelestarian seluruh ekosistem, bumi serta keanekaragaman hayatinya. Bumi bisa menjadi tempat tinggal bersama dan sekaligus bisa menjadi rahim pangan bagi semua. Maka itu Lingkungan alam adalah harta kita bersama, menjadi tanggung jawab semua orang” (Laudato Si art. 95). 
Kita diutus menjalani tanggungjawab menurut teladan Yesus, yaitu; melindungi dan mengelola kebaikan dan keindahan dunia selaras dengan alam.

Budaya Literasi Kehidupan

Hampir satu abad gereja di Tanah Papua Keuskupan Timika.  Gereja membuka ruang perjumpaan agar pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dapat memberi harapan dan sukacita atas apa yang mereka miliki. Evangeli Nuntiandi (art.20) mempertegas dengan mengatakan bahwa pertemua antara Injil dan kebudayaan merupakan drama zaman kita. Gereja diutus untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa dalam kebudayaannya masing-masing. Gereja tidak bermaksud menciptakan keseragaman budaya yang berkarakter kristiani tetapi berusaha untuk mengungkapkan diri dalam Injil dan melalui eskpersi budaya setempat (GS58). Patokan yang dipakai adalah kedamaian dalam hidup, kesejahteraan umum, kelestarian ciptaan, kelanjutan serta perkembangan menuju hidup yang lebih manusiawi.

Budaya literasi bukan sekedar tahu membaca dan menulis, tetapi mampu memahami , menganalisa dan menyampaikan nilai-nilai kehidupan secara benar. Kemampuan membaca dan menulis melalui dunia Pendidikan, meningkatkan kualitas manusia di tengah arus perubahan dan perkembangan. Perkembangan tehnologi di bidang komunikasi sangat memungkinkan orang menambah pengetahuan dan membangun hidup lebih produktif. Maka itu sejak awal, para misionaris membuka wilayah pelayanan gereja disertai dengan pendidirian sekolah-sekolah agar dapat mendidik dan menghasilkan kader setempat yang mampu melindungi dan mengelolah sumber-sumber hak hidup. Budaya pendidikan warisan leluhur dan budaya pendidikan di era perobahan menjadi satu kesatuan yang ditumbuhkembangkan dalam rana pengelolaan harkat dan martabat manusia bagi generasi ke generasi.

Peran gereja dalam kerjasama dengan  semua pihak yang berkehendak baik adalah  bagaimana setiap manusia mendapatkan segala kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara layak. Termasuk dalam kondisi-kondisi umum seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas air bersih, penerapan hukum yang adil, perlindungan terhadap hak-hak dan hak milik, ketersediaan pelayanan-pelayanan bagi kebutuhan yang umum, dan seterusnya. Jadi upaya pembangunan kesejahteraan manusia adalah kewajiban setiap orang yang harus dibangun di atas dasar solidaritas.

Tantangan Gereja di tanah papua
Mengakarkan sukacita Injil dan membangun budaya literasi di Papua tidak lepas dari arus perobahan dan perkembangan yang sudah, sedang dan akan terjadi. Injil yang tidak mengakar dan kehancuran budaya literasi kehidupan, sama dengan kehancuran keluarga dan lingkungannya serta peradaban suatu bangsa. 
Saya mau menyebutkan beberapa kenyataan yang sedang terjadi sebagai akar persoalan yang menghambat gerakan mengakarkan Injil dan membangun budaya literasi kehidupan di Tanah Papua:

- Pemiskinan. Papua memegang posisi keempat tingkat tertinggi PRDB (pendapatan regional domestik bruto), yang sebagian besar berasal dari industri yang terkait dengan sumber daya alam. Sayangnya, kondisi ini tidak diimbangi dengan kenyataan sulitnya akses terhadap pelbagai kebutuhan pokok (misalnya pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat),   Tingginya  angka kematian bayi , rendahnya akses terhadap layanan umum, meningkatnya arus urbanisasi. Ketidakseimbangan komposisi penduduk tidak hanya terjadi di antara penduduk daerah perkotaan dan pedesaan, tetapi juga antara masyarakat asli Papua dan non Papua. Kasus transmigrasi dan migrasi spontan menunjukkan distribusi penduduk yang tidak sejalan dengan distribusi kesejahteraan. Pengambilan sumber daya alam dalam jumlah yang besar terdiri atas pertambangan, penebangan kayu, perikanan ilegal, perkebunan kelapa sawil, persawahan dll. Sumber-sumber daya alam yang kaya di Papua akan tetap menjadi salah satu keluhan utama dan pemicu konflik (baik vertikal antara negara dan rakyat juga secara horisontal antara para anggota masyarakat) selama pembagian dari kekayaan yang terkumpul dari eksploitasi alam itu tidak dibagi secara adil dan jelas. Proses pembangunan berskala besar yang berfokus pada pertumbuhan, kurang mengindahkan kearifan lokal termasuk nilai-nilai dari tanah adat sebagai tanda penghormatan terhadap kebudayaan lokal.

Krisis Pendidikan. Kekayaan sumber daya alam Papua tidak setara dengan tingkat pendidikan. Di tengah kemudahan, semakin banyak generasi yang kurang lancar baca tulis dan hitung. Banyak sekolah di kantong-kantong masyarakat local yang proses belajar dan mengajar tidak berjalan lancar. Sekolah-sekolah menghasilkan banyak lulusan tetapi anak anak tidak bisa meneruskan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi karena tidak lulus tes  atau diterima tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah. Banyak sekolah tingkat SMP dan SMA yang didirikan pemerintah hampir di setiap distrik tanpa memperhitungkan ketenagaan dan fasilitas pendukung bagi para didik dan pendidik. Banak sekolah di kantorng masyarakat local bagaikan pabrik penghancuran generasi bangsa. Lebih baik tidak lancer baca dan tulis karena tidak sekolah daripada sekolah tapi tidak lancar baca dan tulis. Banyak anak didik yang mencari sekolah yang tidak berkualitas agar dengan muda mendapat ijazah. . Kualitas pendidikan rendah akan menghasilkan rendahnya kualitas hidup masyarakat.   Gereja termasuk mengalami krisis pewarta dan pengurus gereja yang berkualitas. Banyak anak yang tidak lulus masuk seminari karena hasil testing tak dapat ditoleransi.

Krisis peradaban. Para tetua di desa-desa semua khawatir mengenai kelanjutan tradisi adat mereka seiring dengan meningkatnya jumlah pemuda yang pindah ke kota. Kelompok pemuda tersebut tidak ikut serta dalam ritual-ritual adat tradisional karena mereka merasa bahwa itu sudah ketinggalan jaman, tetapi mereka tidak dapat ikut serta dalam modernisasi juga karena mereka tidak mempunyai kapasitasnya. Perilaku yang tidak mendukung misalnya kurangnya motivasi untuk belajar di sekolah, semakin meningkatnya kejahatan (baik di kota-kota maupun desa-desa) termasuk pembunuhan, perkosaan, pencurian, penganiayaan, penipuan dan kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu oleh konsumsi alkohol. Epidemi tertentu yang mempengaruhi sumber daya manusia di Papua seperti penyebaran HIV/AIDS, yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kehancuran bagi papua akan terus terjadi selama tingkat pendidikan masih rendah, jarak dengan akar kebudayaan seseorang semakin melebar, tidak adanya perlindungan struktural melalui peraturan, penyimpangan sosial, sumber-sumber daya manusia yang rendah (secara kuantitatif dan kualitatif) dan kekerasan pada akar rumput.
Ajakan
Gagasan keuskupan tetang gerakan Tungku Api khususnya untuk masa prapaskah 2019 adalah gerakan untuk mengakarkan Injil membangun budaya literasi. Tungku api tetap menyala kalau injil mengakar dalam hidup kita. Sukacita bisa dialami oleh manusai kalau manusia percaya bahwa alam semesta diptakan oleh Tuhan bagi manusia untuk menjaga dan melesatarikan demi kesejahteranan hidup manusia dan semua makluk hidup di atas dunia.  Secara khusus dalam masa prapaskah ini, saya mengajak kita semua untuk merenungakan tiga hal penting:
·    Membangun Tungku Api Keluarga. Tungku api Keluarga adalah menjamin hidup keluarga yang beriman, damai dan sejahtera. Dapur keluarga tetap berasap agar anak anak bertumbuh dengan sehat, mendapat pendidikan yang layak, dan mewarisi nilai-nilai budaya kehidupan. Dekenat Paniai dan Tigi menggagas dengan istilah ‘Owada Emawa’, bahwa setiap keluarga mengelolah rumah dan pekarangan sebagai sumber kebutuhan hidup dan menjamin perlindungan keutuhan ciptaan Tuhan. Maka itu saya mengajak setiap keluarga untuk punya rumah sendiri, punya kebun sendiri dan punya kandang sendiri. “jangan pernah hidup bergantung pada orang lain”
·    Melindungi dan mengelola tanah dan dususn.  Keuskupan Timika menggagas Gerakan Tungku Api Kehidupan agar setiap orang melindungi dan mengelola dusun sebagi sumber kehidupan manusia dan semua makluk ciptaan Allah. Dusun terdiri dari tanah, hutan, sungai, rawa adalah sumber kehidupan manusia dan semua makluk hidup. Dusun adalah sumber hak hidup karena manusia hidup dari hasil kekayaan alam. Maka itu Keuskupan mengajak agar kita ikut serta melindungi dan mengelola dusun sebagai sumber kehidupan manusia dan semua makhluk alam. Tungku api tetap akan menyala selama kita masih punya tanah dan dusun. Secara khusus saya berpesan: “Jangan hidup dari hasil jual tanah dan dusun tetapi hidup dari hasil ola tanah dan dusun”.
·     Membangun budaya literasi. Membangun budaya literasi adalah membangun hidup dalam dunia Pendidikan agar setiap orang dapat memahami segala yang terjadi dan bertindak sesuai dengan apa yang dipahami. Gagasan gerakan Tungku Api, bisa menjadi mimpi buruk kalau tidak diimbangi dengan pendidikan sebagai media pewartaan dan pencerdasan generasi anak bangsa. Kehancuran dunia Pendidikan sama dengan kehancuran peradaban gereja dan masyarakat. Maka itu pewartaan iman dan pembangunan dunia pendidikan perlu mendapat perhatian serius bagi keluarga dan Lembaga-lembaga penyelenggaan pendidikan. Sekolah bukan untuk ijazah tetapi mendorong kita untuk membaca dan menulis lebih banyak daripada mengajar dan bicara. Secara khusus saya mengajak orang tua untuk berusaha dengan cara apapun yang penting anak sekolah sampai di jenjang yang paling tinggi. Anak yang tidak sekolah atau putus sekolah akan membawa malapetaka dalam hidup keluarga dan masyarakat sekitarnya.
·       Nasehat kunci
-  “Jangan hidup dari hasil jual tanah dan dusun tetapi hidup dari hasil ola tanah dan dusun”
-“Membaca dan menulis lebih penting daripada Bicara, Belajar lebih penting dari Mengajar”.
-“Lebih baik tidak lancar baca dan tulis karena tidak sekolah daripada sekolah tapi tidak      lancar baca dan tulis “.
-“Anak tidak sekolah atau putus sekolah akan membawa malapetaka dalam hidup keluarga dan masyarakat”.
-“Kehancuran pendidikan sama dengan kehancuran masyarakat”. 

Selamat menjalani masa prapaskah 2019. Tuhan memberkati.
Mgr John Philip saklil Pr.
Uskup Keuskupan Timika
Lokasi: JL. Cendrawasih, 12, Kwamki, Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Papua 99971, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT