Video Of Day

Subscribe Youtube

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, 28 October 2013

“KESELAMATAN, TUNTUNAN MORAL DAN KETERBUKAAN TERHADAP ROH KUDUS”



Pengantar

Ringkasan[1] Etika Kristen I ini, merupakan kemasan dari pembicaraan mengenai keselamatan dari Allah bagi manusia, yang rumusannya begitu panjang dan memang tidak mudah menarik benang-benang merah yang kita harapkan, tetapi demi kebaikan, kami meringkasnya sejauh kemampuan kami. Secara garis besar, ringkasan ini mengungkap fakta hidup manusia dan tawaran rahmat keselamatan Allah. Memang dunia dewasa ini, manusia mengalami kehilangan identitasnya sebagai ciptaan Allah. Ia bingung dan cenderung mengikuti nafsu dan egoismenya, tanpa mengandalkan Allah yang mampu menyelamatkannya dari dosa dan keterburukan hidup. Inilah fakta hidup manusia dalam sejarah dan kini. Dalam situasi seperti ini, Yesus hadir sebagai penyelamat definitif bagi manusia yang hatinya terbuka dan mengimani Dia. Di samping itu kehadiran-Nya juga menjadi kutukan bagi mereka yang menolak-Nya. Namun sesungguhnya, kehadiran Yesus merupakan suatu tawaran rahmat keselamatan bagi semua orang. Asalkan manusia hidup mengikuti tuntunan moral, membuka diri kepada tuntunan Roh kudus dan kehendak Allah. Sebab inilah yang dikehendaki Allah, supaya tindakan manusia menjadi kehendak dan kemuliaan bagi-Nya, juga demi kemuliaan manusia.
A.    Keselamatan Dan Tuntunan Moral
Kitab suci menyebutkan keselamatan manusia disamping kemuliaan dan Kerajaan Allah sebagai motif ketaatan terhadap perintah Allah. Dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja, keselamatan memainkan peran yang penting sebagai motif dan tujuan upaya moral. Pertanyaannya, dapatkah orang Kristen mendambahkan keselamatan jiwanya sebagai tujuan utama perilaku moralnya? Apakah kemuliaan Allah sebagai pusat segala nilai, maka harus unggul terhadap motivasi keselamatan manusia? Apakah keselamatan manusia mempunyai aspek jesmani atau pembebasan terhadap kemalangan duniawi? Pertanyaa-pertanyaan inilah yang menuntun kita dalam pembahasan berikutnya.
1.      Ajaran Kitab Suci
Konsep keselamatan dalam Kitab Suci menjadi konsep kunci seperti kemulian Allah dan KerajaanNya. Keselamatan merupakan pembebasan dari situasi kesulitan yang dihadapi dalam dunia ini, tetapi juga mengandung makna eskatologis. Perjanjian Lama selalu mengulang-ulang tema penyelamatan Allah bagi umatNya. Ketika umat Israel berada dalam kesulitan, Allah membawa mereka keluar dari situasi itu dan itu diyakini sebagai tanda penyelamatan Allah. Masa eksodus Allah menyelamatkan mereka dari perbudakan Mesir (Kel. 14:13; Mzm. 106:7-10). Termasuk mengalami tanda keselamatan Allah melalui bapak-bapak bangsa, bersama Umat Israel (Yes. 63:8-9; Yer. 31:7-9). Umat Israel kadang menyimpang, namun mereka meyakini tidak ada penyelamat lain selain Allah (Yes. 43:11-12; Hos 13:4).
Mengenai kehadiran Penyelamat, para nabilah yang selalu ramalkan, terutama mengenai janji Allah akan mesianis. Janji Allah selalu bermakna eskatologis, yang akan menjadi nyata kemudian. Allah yang disapa Yahweh adalah penyelamat yang membwa umat Israel kepada negeri asal mereka. Ia yang menghantarnya kepada padang rumput yang hijau (Yeh. 34:22-23). Ia akan membebaskan umat Israel dari keluhan dengan menganugrahkan Roh-Nya (Yeh. 36:26-27). Keselamatan adalah tindakan Allah yang utama pada saat rahmat, apabila Ia datang untuk mewujudkan kembali keadilan dan kesucian bagi umat dan seluruh jagat raya (Yes. 45:21-25). Supaya  semuanya terejawantahkan, Ia mengutus hambaNya yang akan menjadi terang bagi bangsa-bangsa, sehingga keselamatan Allah dapat sampai pada ujung bumi (Yes. 49:6-8).
Dalam Perjanjian Baru, keselamatan mendapat tempat yang penting. Injil melihat keselamatan manusia sebagai tugas utama hidup Kristus. Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan yang telah hilang (Luk. 19:9-10), menyelamatkan dunia dan bukan menghukum (Yoh. 3:17;12:42). Matius menegaskan Yesus sebagai penyelamat, “anak yang dikandung Maria hendaknya diberi nama Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Khotbah-khotbah Yohanes Pembaptis seluruhnya berkenaan dengan persiapan jalan bagi Tuhan, sehingga semua orang “melihat keselamatan yang dari Tuhan” (Luk. 3:6). Perwartaan jemaat atau kehidupan Gereja perdana bertujuan menyelamatkan kaum Yahudi dan kafir (Kis. 13:26, 47). Kabar gembira yang dibawa oleh Kristus didefinisikan sebagai ‘kabar keselematan (13:26; bdk. 11:14). Para rasul selanjutnya membuka satu-satunya ‘jalan keselamatan’ (Kis. 16:17).
Surat-surat para rasul memperlihatkan keselamatan sebagai makna kehidupan kristiani. Allah menghendaki keselamatan semua orang (1 Tim. 2;4). Karenanya Ia mengutus Putera-Nya sebagai penyelamat ke dunia (Ibr. 5:8-9). Injil telah dijadikannya sebagai sarana keselamatan bagi setiap orang yang percaya (Rm. 1:6). Keselamatan merupakan pengalaman puncak pada akhir zaman. Allah memelihara yang dipilih-Nya, agar mereka mencapai keselamatan ‘yang telah tersedia untuk dinyatakan pada akhir zaman (1 Ptr. 1:5).’ Wahyu dan Penyelamatan akan mewujudkan “keselamatan, kuasa dan pemerintahan Allah kita, maka Ia diurapi-Nya (Why. 12:10).”
Keselamatan diungkapkan dan dilukiskan dalam berbagai konsep juga gambaran. Misalnya, sebagai hiburan, upah, damai dan keadilan Allah, pembebasan, status sebagai anak Allah, penglihatan Allah dan terutama kehidupan kekal. Karena Kristus telah datang ‘supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal’ (Yoh. 3:15). Orang yang menolak atau tidak memuliakan Allah adalah menolak undangan Allah untuk masuk dalam Kerajaan Allah atau membiarkan dirinya menuju kebinasaan.
2.      Peran keselamatan dalam refleksi teologis
Teolog-teolog melihat dambaan akan keselamatan sebagai suatu hal yang sah dan bahkan merupakan kewajiban, meskipun mereka memandangnya sebagai lebih rendah daripada kemuliaaan Allah yang merupakan pusat bagi nilai-nilai lain. Satu tujuan akhir adalah demi kemuliaan Allah (ad maiorem Dei Gloriam) dan Kerajaan-Nya.
Dambaan hati manusia akan kebahagiaan tidak begitu saja dinilai sebagai ungkapan hati yang belum sempurna. Kegelisahan jiwa yang mendambakan ketenangan dalam Allah, telah ditanam Pencipta dalam hati manusia. Kenyataannya manusia mencari kebahagian demi kepentingan diri atau bersifat egois dan dengan cara egois pula, namun dambaan jiwa dalam arti Kristiani adalah suatu yang lain daripada pengalaman kebahagiaan yang terpusat pada diri sendiri. Keselamatan menyangkut kebaikan segenap pribadi dan melampaui diri pribadi menyangkut keselamatan segenap umat Allah. Keselamatan persekutuan dengan Kristus; keselamatan adalah persatuan dengan Allah. Manusia senantiasa mendambahkan suatu sasaran, apabila sasaran itu baik dan bernilai, berarti dalam perwujudannya orang mesti menemukan kegembiraan dan kesempurnaan. Penghargaan akan nilai amat terkait erat dengan setiap bentuk nilai, juga dengan nilai tertinggi ‘nilai ultimatum’ yakni kemuliaan Allah dan Kerajaan-Nya.
Kesatuan antara Kerajaan Allah dan keselamatan manusia memperjelas bahwa keselamatan juga mengandung dimensi duniawi dan terlibat dalam pengembangan dunia.  Teologi pembebasan memberi suatu kesadaran akan dimensi keselamatan duniawi yakni berjuang secara konkrit.  Paus Paulus VI tidak sungkan-sungkan menegaskan  bahwa, “Gereja mempunyai kewajiban untuk mewartakan pembebasan bagi jutaan umat manusia, kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anaknya sendiri. Gereja mempunyai tugas membantu lahirnya pembebasan ini, untuk memberi kesaksian mengenai hal itu, untuk menjamin bahwa hal tadi lengkap”. Gereja berada di pihak manusia dalam perjuangannya untuk mengatasi segala hal yang menindas, seperi kelaparan, penyakit kronis, buta huruf, kemiskinan, ketidakadilan dan sebagainya.
Etika Kristiani tidak dapat menerima pendapat bahwa kebebasan hanya dibatasi pada dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya. “Gereja menghubungkan pembebasan  manusia dengan penebusan dalan Yesus Kristus, namun Gereja tidak pernah menyamakan penebusan dengan pembesan. Karena Gereja tahu melalui pewahyun, pengalaman sejarah dan refleksi iman…agar Kerajaan Allah datang tidak cukup hanya dengan mengadakan pembebasan dan menciptakan kemakmuran dan perkembangan (EN 35). Manusia tidak perlu melupakan pembebasan mencakup tugas untuk berjuang melawan egoisme dan kecenderungan dosa dalam hati manusia.
“Sebagai Poros dan pusat kabar baik-Nya, Kristus mewartakan penebusan. Karunia besar yang berasal dari Allah ini merupakan pembebasan dari setiap hal yang menindas manusia namun lebih-lebih pembebasan diri dari dosa dan kejahatan. Juga sukacita karena mengenal Allah dan dikenal oleh Allah, kerena melihat-Nya dan karena diserahkan kepada-Nya (EN 9).
B.     Ciri Kategoris Tuntunan Moral
Pada setiap manusia, bila integritas moralnya terancam, ia akan merasakan bahwa dalam memberikan jawaban kepada Allah, ia mempertaruhkan sebagai pribadi dan keselamatannya. Kewajiban moral adalah ungkapan kehendak yang tegas, yang membutuhkan ketaatan mutlak. Berbeda dari aturan hipotetis, misalnya aturan estetika atau gramatika yang ditentukan untuk tujuan temporal dan mengikat sejauh manusia memutuskan untuk memilih tujuan itu, aturan moral bersifat kategoris (tidak bisa ditawar-tawar). Hukum moral menuntut ketaatan tanpa syarat dan tidak memberikan kemungkinan bagi penolakan karena makna eksistensi semua ciptaan.
Kitab Suci menyadari sepenuhnya ciri kategoris perintah Allah. Pertama; Perjanjian Lama menjanjikan berkat abadi bagi setiap manusia yang taat pada perintah dan hukum Allah; setiap orang yang melanggar dan tidak menaati hukum itu menghadapi ancaman. Hukum perjanjian Sinai, yang dibuat pada awal sejarah Israel dibumbui dengan ganjaran: berkat bagi yang taat dan ancaman musibah bagi yang melanggar (Kel. 23:20-28; Im. 26; Ul.30:5-20). Juga dalam Kitab-kitab Kebijaksanaan gagasan tentang ganjaran cukup mencolok ditampilkan. “setiap orang mendapat apa yang setimpal dengan perbuatannya. (Sir. 16:14).” Ganjaran Allah berupa kemenangan dan kekalahan, kesejahteraan dan cobaan, penyakit dan kemalangan, kesuburan dan banyak anak, kebahagian, kesehatan dan harta kekayaan, persahabatan, cinta dan kemuliaan. Ajaran ini mengandung kesulitan kerena justru tak jarang banyak orang benar yang ditimpa bencana dan kemalangan (bdk. Kitab Ayub), sedangkan penjahat selalu mendapat keuntungan. Namun ketakserasian ini tidak menghilangkan keyakinan akan ganjaran yang adil bagi yang baik dan jahat. Ganjaran mengandung spiritualitas di mana mengalami kesatuan kekal dengan Allah dan pengambilan bagian dalam Kerajaan-Nya atau sebaliknya kehilangan harta itu (Keb. 1:6). Kematian dan keselamatan menjadi ungkapan bagi upah transenden (Keb. 5:15). Tujuan pengadilan Allah adalah pelaksanaan kemuliaan Allah. Yahwe sangat menaruh perhatian pada kemuliaan dan pujian bagi nama-Nya, dan pelanggaran terhadap hal itu akan dihukum (Yes 48:11; Yeh. 39;21). Kedua, Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru penantian akan pengadilan terakhir yang akan terselenggara pada hari yang ditentukan, mempunyai tempat yang paling penting dan sentral. Kristus sendiri menyatakan pengadilan yang menentukan bagi segenap umat manusia (Mat. 25:31-46). Hari pengadilan akan membawa keselamatan bagi mereka yang percaya dan melakukan perbuatan baik, dan akan membawa api siksaan bagi mereka yang tidak mau bertobat dan percaya, tidak menunjukan belas kasihan tetapi melakukan kejahatan. Hakekat ganjaran bersifat transenden dan rohani, dibaliknya terdapat hidup kekal dan kematian kekal. Hasil pengadilan pada satu pihak melukiskan sebagai sukacita, berkat, kemuliaan, kesejahteraan, ketenangan, pada pihak lain sebagai ratap tangis dan kertak gigi, api yang kekal, ketakutan, kesecemasan dan pernderiatan hingga tidak sampai kepada Allah. Kriteria bagi pengadilan akhir bukan mengikuti standar bangsa tertentu atau kelompok tertentu, Kriteria itu melulu bersifat religius dan moral. Setiap orang akan diadili seturut sikap terhadap Kristus (Mat. 10:32-33; Mrk. 8:38). ‘Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu  melakukannya juga untuk Aku’ (Mat. 25:40,45).
Keyakinan bahwa manusia dan dunia ada untuk tujuan yang ditetapkan baginya oleh Allah, bukan suatu tindakan iman semata-mata tanpa dasar akal rasional. Pemahaman yang benar mengenai Allah sebagai asal mula yang bijaksana dan penuh perhatian terhadap ciptaan-Nya akan sampai kepada kesimpulan yang tidak terelakkan bahwa Allah telah menentukan suatu tujuan bagi dunia dan memberinya nilai yang layak bagi penciptaan-Nya.

C.    Keterbukaan Terhadap Tuntunan Roh Kudus
Karena kodrat dan wujud konkret tujuan akhir sejarah manusia dan ciptaan tidak dikenal oleh manusia, tetapi hanya oleh Allah, maka manusia harus terbuka kepada tuntutan Roh Kudus (tujuh karunia Roh Kudus). Ketika akal manusia membentur batas kemampuannya, dorongan dan ilham Roh Kudus terus menerus menggerakkan manusia untuk memilih jalan yang harus ditempuhnya yang selaras dengan kehendak Allah. “Apabila kita berpegang teguh kepada kenyataan bahwa struktur mendasar kehidupan moral kristiani terletak di dalam jawaban kita terhadap inisiatif dan panggilan Allah, maka karena Allah menjadi pusat nilai bagi kita, kita harus melihat semua hal dari sudut pandang Allah dan mengintegrasikan semua hal dalam cinta Allah. Kemampuan untuk membeda-bedakan roh (discernment), kita sangat membutuhkan untuk melakukan hal itu. Sungguh menjadi tugas penting kita untuk memberikan jawaban personal dan autentik kepada Allah atas penggilan-Nya” (R. M. Gula, Reason Informed by Faith; New York: 1989:317). St. Paulus menggolongkan kemampuan membedakan roh sebagai salah satu karisma yang diberikan kepada Gereja (1Kor. 12:10). Ada beberapa orang yang memiliki karunia, membedakan roh lebih dari yang lain. Meski demikian semua orang Kristen dituntut untuk melakukan upaya discernment. ‘Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik’, Paulus menulis kepada Jemaat di Tesalonika, “jauhkanlah dirimu dari segala kejahatan” (1 Tes 5:21-22). St. Yohanes mengingatkan: “Saudara-saudara yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh 4:1).
Doa dan pengalaman akan Allah, dambaan akan keikhlasan dan kejujuran serta kerendahan hati merupakan syarat dasar dalam membedakan roh. Aturan-aturan penting dalam membedakan roh, yaitu; 1). Allah berkarya secara tanang, damai dan biasanya pelan. Konflik batin akan berhenti apabila manusia berhasil mencapai keserasian dengan Allah. Keputusan yang serasi dengan kehendak Allah senantiasa diiringi kedamaian batin. 2). Suatu keputusan yang benar lazimnya membutuhkan bantuan penilaian yang objektif dari pihak lain. Siapa yang menuntun dirinya sendiri, berarti ia sedang dituntun oleh orang gila, bahwa di mana  orang berhadapan dengan ilham pribadi, selalu besar peluang bagi timbulnya ilusi dan tipu diri, sehingga kita membutuhkan penilaian objektif. 3). Karya dari Roh yang baik dapat diketahui dari adanya buah yang baik, sedangkan karya roh-roh yang salah nampak dalam buah yang buruk. ‘tak ada pohon yang baik menghasilkan buah yang tidak baik’ (Luk. 6:43-44; bdk., Mat. 7:15-20). Dalam penilaian tentang perilaku para teolog moral menekankan kewajiban memperhitungkan konsekuensi perilaku. 4). Khususnya bagi orang-orang Kristen, cinta kepada Kristus merupakan kriteria dasar dalam mengambil keputusan. Mengakui Yesus selalu berkanaan dengan rahmat Roh Kudus, “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap Roh yang mengaku Bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah dan setiap orang yag tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah (1Yoh. 4:2-3).” 5). Katerikatan dengan persekutuan iman. Bagi umat Kristen, Gereja merupakan persekutuan yang satu dan terpenting. Pelanggaran atas ajaran Gereja merupakan petunjuk yang jelas atas ketidak-aslian. “barang siapa tidak mengenal Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan” (1Yoh. 4:6). Tradisi moral merupakan sumber penting bagi pertimbangan etis. Gereja merupakan konteks yang niscaya agar kehidupan moral Kristen dapat memperoleh jati dirinya.
Kamunitarianisme menekankan peran persekutuan, lain dengan pandangan yang mendasarkan pada penentuan norma moral atas akal budi individu (kant, Rawl) atau wawancara rasional kelompok masyarakat (etika diskursus). Pengetahuan moral terikat secara hakiki dengan persekutuan dan tradisi.  KV II sangat yakin bahwa Roh Kudus hadir dan menuntun umat Allah secara langsung. Karenanya, konsili menyadari perlu adanya kerterbukaan terhadap Roh Kudus, agar dapat mencapai pemahaman yang tidak bakal dicapai oleh akal budi sendiri. Gaudium et Spess 11 dan 22 berbicara mengenai tuntutan Roh Kudus bagi umat Allah.
D.    Penutup
Manusia adalah milik Allah atau ciptaan Allah, untuk lebih mengenal ciptaan pada eksistensinya perlu rahmat dari Allah. Keterbukaan terhadap karya Allah menandakan manusia mampu melakukan tindakan etis moral, perlu adanya kategorisasi atas tindakan moral dan pembedaan terhadap tindak sebagai seorang manusia, paling tidak mampu membeda-bedakan roh-roh (discernment). Bagaimana manusia kristiani hendaknya melakukan tindakan moral dan  dalam mempertimbangkan atau membedakan roh perlu adanya pemahaman mendalam atas sumber-sumber iman Kristiani; Kitab Suci, Tradisi Gereja dan Magisterium Gereja terutama perlu adanya doa dan keheningan dalam membuka diri terhadap Kehendak Allah. Dalam kehidupan bersama sebagai Gereja juga masyarakat kebebasan, kedamain, keselamatan dapat terpenuhi di dunia ini dan di akhirat. Sehingga tindakan-tindakan orang Kristiani adalah demi kemuliaan Allah, Kerajaan-Nya dan keselamatan manusia.




[1] Ringkasan Etika Kristen 1, hlm. 53-70.

Friday, 25 October 2013

MAKNA ACARA WISUDAH MAHASISWA-MAHASISWI MIGANI JAYAPURA



Oleh Yeheskiel Belau 

        "Gelar Sarjana Jangan Jadikan Bantal. Bekalilah dirimu dengan skill yang dapat  membantu masa depan hidup kariermu. Dan, budayakan sikap sopan santun di kota studi ini. Demikian pesan-pesan Anggota DPR Propinsi Papua Bapak Thomas Sondegau dalam sambutan acara Wisudah Mahasiswa/i Migani Intan Jaya, Kamis, 30/08/2012 di Asrama Migani Buper Jayapura".

Fato Dokomen Pribadi.
Gelar sarjana jangan jadikan bantal. Demikian salah satu pesan anggota DPR Propinsi Papua Thomas Sondegau. Bukan hanya itu, dalam sambutannya beliau menyampaikan cukup banyak pesan yang bermakna. Tetapi kalau dilihat secara saksama semuanya bermuara pada pesan yang dikemukakan. Bagi kami, pesan yang ditujukan kepada ketujuh mahasiswa/i yang telah wisudah tersebut amat penting. Karena melaluinya kita dapat memetik nilai-nilai luhur yang tersirat.  Beliau menguraiakannya bertolak dari realitas global di dunia kerja. Menurutnya, banyak orang memiliki gelar sarjana yang menawan, tetapi di dunia kerja justru kesarjanaannya itu tidak diperlihatkan. Mengapa? Karena gelar sarjana itu dijadikan bantal". Bagaimana bisa? Temukan maksud pernyataan itu. Di sini kami merefleksikannya agar dapat membantu kita dalam studi dan pengabdian.
Secara sederhana kata sarjana adalah gelar. Kata jangan berarti larangan. Kata jadikan berarti sesuatu yang dikorbankan. Bantal adalah benda yang hanya digunakan untuk meletakkan kepala saat tidur (supaya nyaman). Jadi, ini merupakan analogi yang memuat makna. Di mana Bapak Thomas hendak melarang agar gelar sarjana itu tidak dikorbankan dengan tujuan positif.
Dikorbankan berarti menjadikan sesuatu sebagai korban. Biasanya korban dipahami pada benda, hewan atau manusia yang menderita (mati) karena akibat suatu kejadian. Namun hal yang dimaksudkan di sini amat berbeda dari itu. Dalam hal ini yang dikorbankan adalah gelar sarjana. Korbankan gelar sarjana berarti, gelar itu mengalami penderitaan (mati). Karena gelar tersebut dijadikan sebagai jalan masuk untuk menyombongkan diri, bangga dan akhirnya mengorbankan nilai-nilai moral dalam pelayan. Katakanlah polah hidupnya lebih buruk dari orang yang tidak berpendidikan. Selalu mengikuti kemauan dan kesenangan instan semata. Seperti mabuk-mabukan, pacaran yang tidak sehat, berkecimpung dalam narkoba dan sebagainya. Jikalau demikian gelar sarjana akan menjadi korban mabuk-mabukan dan semacamnya. Gelar sarjana akan tinggal sebuah nama belaka. Hanya menjadi tempat pelarian (menyembunyikan diri dalam gelar). Supaya dihormati masyarakat dan akhirnya ia merasa nyaman.

Bagaimana cara orang menjadikan gelarnya bagaikan bantal? Karena orang sudah merasa nyaman (kecanduan) dalam situasi yang sedemikian, ia berpikir; tanpa yang satu ini saya tidak bisa hidup. Dan, setiap hari ia berada dan hidup dalam situasi yang begitu-begitu saja. Karena itulah Bapak Thomas melarang situasi hidup seperti itu.
Menurut Bapak Thomas Sondegau yang juga berbicara sebagai pembina mahasiswa kota studi Jayapura, "supaya hal itu tidak terjadi, alangkah baiknya para sarjanawan/i muda ini perlu pembelajaran berlanjut. Pengalaman apa saja yang anda dapatkan di kampus, supaya terus pelajari dan kembangkan serta memiliki skilnya. Supaya kelak adik-adik tidak mengalami kesulitan di dunia karier. Ingat Kabupaten Intan Jaya adalah negerimu. Anda harus menjadi tuan atas negerimu itu. Tetapi jikalau anda menganggap diri sebagai sarjana dan membuang semua pengalaman pengetahuan yang anda dapatkan, apa artinya gelar sarjana? Bapa sarankan supaya kalian membekali diri dengan berbagai macam pelatihan. Bila perlu mengusahakan kursus-kursus teknologi (komputer, mobil, motor dll)" akrabnya.

Bapak anggota DPR Propinsi ini melanjutkan sambutannya dengan topik tentang masyarakat yang dikorbankan. Banyak pengalaman telah terjadi dalam Pilkada perdana Intan Jaya. Dalam hal ini Bapak Thomas mengatakan bahwa "masyarakat telah menjadi korban". Mengapa? Barangkali pada pesta demokrasi itu, kita yang mahasiswa sempat memihak  kandinat tertentu dan memihak cara-cara yang fanatik. Sehingga terkesan mendobrak-ambrik kealamian pandangan masyarakat. 
Masyarakat menjadi korban? Menurut Pak Thomas “Ya, tentunya usai persoalan, para mahasiswa kembali ke kota studi masing-masing dan hidup sebagai saudara. Minum kopi atau teah dan bercanda riah bersama. Namun masyarakat yang tinggal di Intan Jaya saling bertikai dan bermusuhan. Jika demikian bukankah masyarakat menjadi korban? Hal semacam ini tidak boleh tejadi. Mahasiswa mesti hadir dan berdiri netral” tegasnya. 

Bapak Thomas adalah wakil masyarakat sendiri, maka apa pun yang terjadi, terutama hal yang berbauh merugikan pihak masyarakat, tentunya beliau akan selidiki. Karena itu, hal yang perlu kita lakukan adalah terbuka dan refleksi. Tidak perlu tanyakan siapa pelaku dan sebagainya. 

Sambutan terakhir, Bapak Thomas menegaskan betapa pentingnya sopan santun hidup di kota studi Jayapura. Menurutnya, sebagai junior (pelajar dan mahasiswa baru) berlagalah sebagai junior. Menghargai para senior bukan hanya karena ia cukup berpengalaman di dunia pendidikan dan pengalaman hidup merantau, tetapi sebagai sesama manusia. Begitu pun sebaliknya, sebagai senior berlagalah seperti seorang kakak yang baik. Memberikan nasehat, dukungan dan motivasi yang memajukan adik-adikmu".

ü  Don’t Forget 
v  Untuk membangun Daerah, harus membangun diri terlebih dahulu ( Perwakilan dari          orang tua yang ada di Jayapura). 

v  Milikilah skill sebanyak mungkin, supaya anda menjadi tuan atas negerimu sendiri (Perwakilan orang tua Intan Jaya: Bapak Jermias Migau). 

v  Jadikan Kejujuran budaya kita, supaya kejujuran menjadi budaya Intan Jaya (Wakil Ketua IPMMJ. Karel Kobogau).



·         Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura Papua

PERISTIWA DAN PENGALAMAN HIDUP MANUSIA TAKDIR ATAU TIDAK?

                                                          Oleh Yeskiel Belau 

Foto Ilustrasi Download Dari Internet.
Dalam kehidupan dewasa ini, manusia seringkali menanggapi segala macam peristiwa dan pengalaman hidup sebagai “takdir”. Pertanyaannya, apakah tanggapan itu berdasar pada pemahaman yang mendalam dan ilmiah? Sepertinya kita harus mengakui bahwa pengetahuan tentang “takdir”  hanya sepotong-sepotong. Tanggapan itu bisa jadi dipandang dari sudut iman, tetapi iman yang belum dewasa. Mengapa kami katakan demikian? Karena manusia cenderung memperlihatkan ke-mahakuasaan Tuhan, tetapi manusia sendiri segan untuk terbuka  dan mengungkapkan “keberadaan” Tuhan secara logis. Manusia hanya menerima ke-mahakuasaan Tuhan tanpa bertanya. Dalam benak manusia menyimpan pemahaman bahwa Tuhan itu maha kuasa, jadi tidak layak mempertanyakan keberadaan-Nya. Kemudian manusia menyerah pada situasi tanpa menyalurkan energi dalam usaha untuk ke luar dari peristiwa dan situasi hidup yang dialaminya. Pandangan seperti ini terkesan lantas mengfonis semua peristiwa dan pengalaman hidup sebagai takdir.  

Dalam alam pikiran manusia Indonesia masih nyata bahwa hubungan Tuhan dengan manusia diberi bentuk “takdir.” Manusia cenderung memahami “takdir”  sebagai “Tindakan langsung dari Tuhan yang menentukan nasib manusia”. Pemahaman ini sangat menonjolkan ke-mahakuasaan Tuhan. Dan, karenanya secara tidak langsung manusia memandang Allah seperti “dalang” segala peristiwa/kejadian, pengalaman dan riwayat manusia. Seperti; “Hidup, Mati, Jodoh, Nasib baik dan buruk”. Semacam semuanya sudah direncanakan dan ditentukan oleh Tuhan.  Benarkah demikian?

Menurut teori evolusi, manusia bukanlah semacam “boneka” yang digerakkan oleh tangan Tuhan. Tetapi manusia itu adalah makluk yang dilengkapi dengan akal budi. Berakal budi berarti makluk yang merdeka. Dengan bebas ia mampu menentukan nasibnya sendiri. Sebab justru itulah kehendak Tuhan. Supaya manusia dengan daya budi dan cintanya bergerak, menjadi kreatif dan dengan demikian mencerminkan kreativitas  Tuhan sendiri. Dengan akal budinya manusia bukan hanya menjadi lebih sadar akan kemampuan dan tanggung jawabnya terhadap masa depan, tetapi juga memahami keberadaan Tuhan secara mendalam, menyeluruh dan dewasa. Dengang demikian manusia yakin bahwa bahagia atau tidaknya hidup di dunia ini ada pada budi manusia itu sendiri. Karena hanya melalui hasil kreasi budinya, manusia dapat menerangi sengsara dan merencanakan wujud situasi hidup, hingga menjadi lebih manusiawi. Ia meneruskan penciptaan dunia, dengan resiko, bahwa ia bisa gagal, tetapi juga dengan harapan  bahwa ia akan berhasil. Jika manusia menjalani hidup seperti demikian, maka pemahaman  hidup sebagai nasib atau takdir yang harus diterima secara sabar akan diganti sebagai suatu tantangan yang menuntut segala kekuatan dan keberaniannya. Sikap ini merupakan pembebasan manusia dari sikap pasif dan fatalistis.

Hindari pandangan demikian:  “Manusia boleh berbuat apa saja dengan akal budinya dan harus berusaha sebaik-baiknya. Tetapi jika ia mengalami suatu peristiwa yang fatal, usahanya gagal dan sebagainya, lalu itu dikatakan  takdir”. Dari mana kita tahu bahwa semua itu merupakan takdir Tuhan? Apakah Tuhan memang menakdirkan kegagalan dan sengsara? Bukankah Kitab Suci memperkenalkan Tuhan yang menghendaki keselamatan manusia di dunia ini? Tidakkah Kristus menampilkan cinta kasih Allah dengan menyembuhkan orang-orang sakit di dunia kita?

Maka jika manusia mengalami peristiwa yang menyakitkan, merasa gagal dalam usaha dan terus-menerus berada dalam situasi yang kurang bahagia, mesti ditanyakan duhulu. Apakah tidakan-tindakannya memang merupakan pilihan tepat, manusiawi dan bermoral, sehingga mengalami peristiwa seperti ini? Apakah pilihannya sesuai dengan nurani, bakat dan kemampuan? Kalau daya tahan tubuh seseorang menurun dia harus istirahat, tetapi perlu disadari bahwa itu bukan takdir, melainkan merupakan pemenuhan kebutuhan tubuh yang logis. Namun jika ia kurang memberi kesempatan kepada tubuh untuk istirahat, pasti ia akan mengalami sakit dan bahkan bisa berujung pada kematian. Peristiwa seperti ini juga bukan merupakan takdir. Contoh lain; seseorang sebenarnya tidak berbakat dalam ilmu kedokteran, tetapi ia nekat memilihnya. Kemudian ternyata gagal dalam ujian, maka jelaslah bahwa itu tidak merupakan takdir, melainkan akibat pilihan yang salah dari mahasiswa itu sendiri.

Peristiwa menyakitkan dan kegagalan bisa terjadi karena manusia kurang bertekun, kurang membaca dan mematuhi tanda-tanda kehadiran Tuhan dan kehendak-Nya. Kurang bertanya pada realitas yang terlintas di depan mata. Atau kurang memaknai pengalaman kongkritnya dan sesama (global). Mestinya menjadikan momen-momen kongkrit yang terlintas di depan mata sebagai guru dan pelajaran berharga untuk mengerti, memahami dan membaharui diri serta senantiasa berusaha untuk berbuat keutamaan-keutamaan hidup yang mengarahkan manusia pada kebaikan sejati.

Pada hakekatnya paham takdir mengaburkan hubungan manusia dengan Tuhan. Kita adalah anak Allah yang merdeka, bukan budaknya. Dengan menyangkal paham takdir, kita tidak menyangkal mengaruh Tuhan  atas manusia. Pengaruh itu sebaiknya kita namakan “bimbingan”, sesuai dengan bahasa Alkitab. Bimbingan Tuhan itu menggunakan banyak jalur. Tuhan berbicara secara lembut kepada kita lewat hati nurani, melalui nasehat sesama, melalui penyelidikan ilmiah yang jujur dan melalui alam semesta. Di sanalah  Allah menyampaikan pesan kepada manusia untuk membaharui hidup terus-menerus. Sehinga manusia mengusahakan hidupnya sendiri untuk menjadi sempurna sebagaimana Allah adalah sempurna ada-Nya. Titik inilah yang mesti diperjuangkan oleh setiap insan. Dengan jalan hidup baik (melihat secara baik, berpikir secara baik dan berbuat yang terbaik) bagi dirinya sesamanya dan alam di sekitarnya. Sebab inilah yang “dikehendaki Allah” bagi hidup manusia di dunia, sebagai syarat menuju kesempurnaan hidup yang dikehendaki Allah sendiri. Maka sesungguhnya tujuan hidup manusia di dunia adalah mencapai kesempurnaan hidup dalam “Diri Allah”. Titik inilah yang disebut “omega”. Jadi, Allah tidak mengurangi kebebasan manusia, tetapi menunjang kebebasa manusia seluas-luasnya. Allah tidak menakdirkan, tetapi mencintai, kirannya seperti seorang Bapak mencintai putera atau puterinya.


The Best

PENGERTIAN FILSAFAT