Pengantar
Ringkasan
Etika Kristen I ini, merupakan kemasan dari pembicaraan mengenai keselamatan
dari Allah bagi manusia, yang rumusannya begitu panjang dan memang tidak mudah
menarik benang-benang merah yang kita harapkan, tetapi demi kebaikan, kami meringkasnya
sejauh kemampuan kami. Secara garis besar, ringkasan ini mengungkap fakta hidup
manusia dan tawaran rahmat keselamatan Allah. Memang dunia dewasa ini, manusia mengalami kehilangan identitasnya sebagai ciptaan Allah. Ia bingung dan cenderung mengikuti nafsu dan egoismenya,
tanpa mengandalkan Allah yang mampu menyelamatkannya dari dosa dan keterburukan hidup. Inilah fakta hidup
manusia dalam sejarah dan kini. Dalam
situasi seperti
ini, Yesus hadir sebagai penyelamat
definitif bagi manusia yang hatinya terbuka dan mengimani Dia. Di samping itu kehadiran-Nya juga menjadi kutukan bagi mereka yang
menolak-Nya. Namun sesungguhnya, kehadiran
Yesus merupakan
suatu tawaran rahmat keselamatan bagi semua orang. Asalkan manusia hidup
mengikuti tuntunan moral,
membuka diri kepada tuntunan Roh kudus dan kehendak Allah. Sebab
inilah yang dikehendaki Allah, supaya tindakan manusia menjadi kehendak dan
kemuliaan bagi-Nya, juga demi kemuliaan manusia.
A.
Keselamatan Dan Tuntunan Moral
Kitab suci menyebutkan keselamatan manusia disamping
kemuliaan dan Kerajaan Allah sebagai motif ketaatan terhadap perintah Allah.
Dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja, keselamatan
memainkan peran yang penting sebagai motif dan tujuan upaya moral.
Pertanyaannya, dapatkah orang Kristen mendambahkan keselamatan jiwanya sebagai tujuan utama perilaku
moralnya? Apakah kemuliaan Allah sebagai pusat segala nilai, maka harus unggul terhadap motivasi keselamatan manusia?
Apakah keselamatan manusia mempunyai aspek jesmani atau pembebasan terhadap
kemalangan duniawi? Pertanyaa-pertanyaan inilah yang
menuntun kita dalam pembahasan berikutnya.
1. Ajaran
Kitab Suci
Konsep keselamatan dalam Kitab Suci menjadi konsep kunci
seperti kemulian Allah dan KerajaanNya. Keselamatan merupakan pembebasan dari situasi
kesulitan yang dihadapi dalam dunia ini, tetapi juga mengandung makna eskatologis. Perjanjian Lama selalu mengulang-ulang tema penyelamatan Allah bagi
umatNya. Ketika umat Israel berada dalam kesulitan,
Allah membawa mereka keluar dari situasi itu
dan itu diyakini sebagai tanda penyelamatan Allah. Masa eksodus Allah menyelamatkan mereka dari
perbudakan Mesir (Kel. 14:13; Mzm. 106:7-10). Termasuk mengalami tanda
keselamatan Allah melalui bapak-bapak bangsa, bersama Umat Israel (Yes. 63:8-9; Yer. 31:7-9). Umat
Israel kadang menyimpang, namun mereka meyakini tidak ada penyelamat lain selain Allah (Yes. 43:11-12; Hos 13:4).
Mengenai
kehadiran Penyelamat,
para nabilah yang selalu ramalkan, terutama mengenai janji Allah akan mesianis. Janji Allah selalu bermakna eskatologis,
yang akan menjadi
nyata kemudian. Allah yang disapa Yahweh adalah penyelamat yang membwa umat Israel kepada
negeri asal mereka. Ia yang menghantarnya kepada padang rumput yang hijau (Yeh. 34:22-23). Ia akan
membebaskan umat Israel dari keluhan dengan menganugrahkan Roh-Nya (Yeh.
36:26-27). Keselamatan adalah tindakan Allah yang utama pada saat rahmat,
apabila Ia datang untuk mewujudkan kembali keadilan dan kesucian bagi umat dan
seluruh jagat raya (Yes. 45:21-25). Supaya
semuanya terejawantahkan, Ia mengutus hambaNya yang akan menjadi terang
bagi bangsa-bangsa, sehingga keselamatan Allah dapat sampai pada ujung bumi (Yes. 49:6-8).
Dalam Perjanjian
Baru,
keselamatan mendapat tempat yang
penting. Injil melihat keselamatan manusia sebagai tugas
utama hidup Kristus. Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan yang telah hilang
(Luk. 19:9-10), menyelamatkan dunia dan bukan menghukum (Yoh. 3:17;12:42).
Matius menegaskan Yesus sebagai penyelamat, “anak yang dikandung Maria
hendaknya diberi nama Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya
dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Khotbah-khotbah Yohanes Pembaptis seluruhnya
berkenaan dengan persiapan jalan bagi Tuhan, sehingga semua orang “melihat
keselamatan yang dari Tuhan” (Luk. 3:6). Perwartaan jemaat atau kehidupan
Gereja perdana bertujuan menyelamatkan kaum Yahudi dan kafir (Kis. 13:26, 47).
Kabar gembira yang dibawa oleh Kristus didefinisikan sebagai ‘kabar keselematan’ (13:26; bdk. 11:14). Para rasul selanjutnya membuka
satu-satunya ‘jalan keselamatan’ (Kis. 16:17).
Surat-surat para rasul memperlihatkan keselamatan sebagai
makna kehidupan kristiani. Allah menghendaki keselamatan semua orang (1 Tim.
2;4). Karenanya Ia mengutus Putera-Nya sebagai penyelamat ke dunia (Ibr.
5:8-9). Injil telah dijadikannya sebagai sarana keselamatan bagi setiap orang
yang percaya (Rm. 1:6). Keselamatan merupakan pengalaman puncak pada akhir
zaman. Allah memelihara yang dipilih-Nya, agar mereka mencapai keselamatan
‘yang telah tersedia untuk dinyatakan pada akhir zaman (1 Ptr. 1:5).’ Wahyu
dan Penyelamatan akan mewujudkan “keselamatan,
kuasa dan pemerintahan Allah kita,
maka Ia
diurapi-Nya (Why. 12:10).”
Keselamatan diungkapkan dan dilukiskan dalam berbagai
konsep juga gambaran. Misalnya, sebagai hiburan, upah, damai dan keadilan Allah,
pembebasan, status sebagai anak Allah, penglihatan Allah dan terutama kehidupan
kekal. Karena Kristus telah datang ‘supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya
beroleh hidup yang kekal’ (Yoh. 3:15). Orang yang menolak atau tidak memuliakan
Allah adalah menolak undangan Allah untuk masuk dalam Kerajaan Allah atau
membiarkan dirinya menuju kebinasaan.
2. Peran
keselamatan dalam refleksi teologis
Teolog-teolog melihat dambaan akan keselamatan sebagai
suatu hal yang sah dan bahkan merupakan kewajiban, meskipun mereka memandangnya
sebagai lebih rendah daripada kemuliaaan Allah yang merupakan pusat bagi
nilai-nilai lain. Satu tujuan akhir adalah demi kemuliaan Allah (ad maiorem Dei Gloriam) dan Kerajaan-Nya.
Dambaan hati manusia akan kebahagiaan tidak begitu saja
dinilai sebagai ungkapan hati yang belum sempurna. Kegelisahan jiwa yang
mendambakan ketenangan dalam Allah, telah ditanam Pencipta dalam hati manusia.
Kenyataannya manusia mencari kebahagian demi kepentingan diri atau bersifat
egois dan dengan cara egois pula, namun dambaan jiwa dalam arti Kristiani
adalah suatu yang lain daripada pengalaman kebahagiaan yang terpusat pada diri
sendiri. Keselamatan menyangkut kebaikan segenap pribadi dan melampaui diri pribadi
menyangkut keselamatan segenap umat Allah. Keselamatan persekutuan dengan
Kristus; keselamatan adalah persatuan dengan Allah. Manusia senantiasa mendambahkan suatu sasaran, apabila sasaran itu baik dan bernilai,
berarti dalam perwujudannya orang mesti menemukan kegembiraan dan kesempurnaan.
Penghargaan akan nilai amat terkait erat dengan setiap bentuk nilai, juga
dengan nilai tertinggi ‘nilai ultimatum’
yakni kemuliaan Allah dan Kerajaan-Nya.
Kesatuan antara Kerajaan Allah dan keselamatan manusia
memperjelas bahwa keselamatan juga mengandung dimensi duniawi dan terlibat
dalam pengembangan dunia. Teologi
pembebasan memberi suatu kesadaran akan dimensi keselamatan duniawi yakni
berjuang secara konkrit. Paus Paulus VI tidak
sungkan-sungkan menegaskan bahwa, “Gereja
mempunyai kewajiban untuk mewartakan pembebasan bagi jutaan umat manusia,
kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anaknya sendiri. Gereja mempunyai tugas
membantu lahirnya pembebasan ini, untuk memberi kesaksian mengenai hal itu,
untuk menjamin bahwa hal tadi lengkap”. Gereja berada di pihak manusia dalam
perjuangannya untuk mengatasi segala hal yang menindas, seperi kelaparan,
penyakit kronis, buta huruf, kemiskinan, ketidakadilan dan
sebagainya.
Etika Kristiani tidak dapat menerima pendapat bahwa
kebebasan hanya dibatasi pada dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya.
“Gereja menghubungkan pembebasan manusia
dengan penebusan dalan Yesus Kristus, namun Gereja tidak pernah menyamakan penebusan dengan pembesan.
Karena Gereja tahu melalui pewahyun, pengalaman sejarah dan refleksi iman…agar
Kerajaan Allah datang tidak cukup hanya dengan mengadakan pembebasan dan
menciptakan kemakmuran dan perkembangan” (EN 35). Manusia tidak perlu melupakan pembebasan mencakup tugas untuk
berjuang melawan egoisme dan kecenderungan dosa dalam hati manusia.
“Sebagai Poros dan pusat kabar baik-Nya, Kristus
mewartakan penebusan. Karunia besar yang berasal dari Allah ini merupakan pembebasan
dari setiap hal yang menindas manusia namun lebih-lebih pembebasan diri dari
dosa dan kejahatan. Juga sukacita karena mengenal Allah dan dikenal oleh Allah,
kerena melihat-Nya dan karena diserahkan kepada-Nya” (EN 9).
B. Ciri
Kategoris Tuntunan Moral
Pada setiap manusia, bila integritas moralnya terancam, ia akan merasakan bahwa
dalam memberikan jawaban kepada Allah, ia mempertaruhkan sebagai pribadi dan
keselamatannya. Kewajiban moral adalah ungkapan kehendak yang tegas, yang membutuhkan
ketaatan mutlak. Berbeda dari aturan hipotetis, misalnya aturan estetika atau
gramatika yang ditentukan untuk tujuan temporal dan mengikat sejauh manusia
memutuskan untuk memilih tujuan itu, aturan moral bersifat kategoris (tidak
bisa ditawar-tawar). Hukum moral menuntut ketaatan tanpa syarat dan tidak
memberikan kemungkinan bagi penolakan karena makna eksistensi semua ciptaan.
Kitab Suci menyadari sepenuhnya ciri kategoris perintah
Allah. Pertama; Perjanjian Lama
menjanjikan berkat abadi bagi setiap manusia yang taat pada perintah dan hukum
Allah; setiap orang yang melanggar dan tidak menaati hukum itu menghadapi
ancaman. Hukum perjanjian Sinai, yang dibuat pada awal sejarah Israel dibumbui
dengan ganjaran: berkat bagi yang taat dan ancaman musibah bagi yang melanggar
(Kel. 23:20-28; Im. 26; Ul.30:5-20). Juga dalam Kitab-kitab Kebijaksanaan
gagasan tentang ganjaran cukup mencolok ditampilkan. “setiap orang mendapat apa
yang setimpal dengan perbuatannya. (Sir. 16:14).” Ganjaran Allah berupa
kemenangan dan kekalahan, kesejahteraan dan cobaan, penyakit dan kemalangan,
kesuburan dan banyak anak, kebahagian, kesehatan dan harta kekayaan,
persahabatan, cinta dan kemuliaan. Ajaran ini mengandung kesulitan kerena
justru tak jarang banyak orang benar yang ditimpa bencana dan kemalangan (bdk. Kitab Ayub), sedangkan penjahat
selalu mendapat keuntungan. Namun ketakserasian ini tidak menghilangkan keyakinan
akan ganjaran yang adil bagi yang baik dan jahat. Ganjaran mengandung
spiritualitas di mana mengalami kesatuan kekal dengan Allah dan pengambilan
bagian dalam Kerajaan-Nya atau sebaliknya kehilangan harta itu (Keb. 1:6).
Kematian dan keselamatan menjadi ungkapan bagi upah transenden (Keb. 5:15).
Tujuan pengadilan Allah adalah pelaksanaan kemuliaan Allah. Yahwe sangat
menaruh perhatian pada kemuliaan dan pujian bagi nama-Nya, dan pelanggaran
terhadap hal itu akan dihukum (Yes 48:11; Yeh. 39;21). Kedua, Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru penantian akan
pengadilan terakhir yang akan terselenggara pada hari yang ditentukan,
mempunyai tempat yang paling penting dan sentral. Kristus sendiri menyatakan
pengadilan yang menentukan bagi segenap umat manusia (Mat. 25:31-46). Hari
pengadilan akan membawa keselamatan bagi mereka yang percaya dan melakukan perbuatan
baik, dan akan membawa api siksaan bagi mereka yang tidak mau bertobat dan
percaya, tidak menunjukan belas kasihan tetapi melakukan kejahatan. Hakekat
ganjaran bersifat transenden dan rohani, dibaliknya terdapat hidup kekal dan
kematian kekal. Hasil pengadilan pada satu pihak melukiskan sebagai sukacita,
berkat, kemuliaan, kesejahteraan, ketenangan, pada pihak lain sebagai ratap
tangis dan kertak gigi, api yang kekal, ketakutan, kesecemasan dan pernderiatan
hingga tidak sampai kepada Allah. Kriteria bagi pengadilan akhir bukan
mengikuti standar bangsa tertentu atau kelompok tertentu, Kriteria itu melulu
bersifat religius dan moral. Setiap orang akan diadili seturut sikap terhadap
Kristus (Mat. 10:32-33; Mrk. 8:38). ‘Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk
salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu melakukannya juga untuk Aku’ (Mat. 25:40,45).
Keyakinan bahwa manusia dan dunia ada untuk tujuan yang
ditetapkan baginya oleh Allah, bukan suatu tindakan iman semata-mata tanpa
dasar akal rasional. Pemahaman yang benar mengenai Allah sebagai asal mula yang
bijaksana dan penuh perhatian terhadap ciptaan-Nya akan sampai kepada
kesimpulan yang tidak terelakkan bahwa Allah telah menentukan suatu tujuan bagi
dunia dan memberinya nilai yang layak bagi penciptaan-Nya.
C. Keterbukaan
Terhadap Tuntunan Roh Kudus
Karena kodrat dan wujud konkret tujuan akhir sejarah
manusia dan ciptaan tidak dikenal oleh manusia, tetapi hanya oleh Allah, maka
manusia harus terbuka kepada tuntutan Roh Kudus (tujuh karunia Roh Kudus).
Ketika akal manusia membentur batas kemampuannya, dorongan dan ilham Roh Kudus
terus menerus menggerakkan manusia untuk memilih jalan yang harus ditempuhnya
yang selaras dengan kehendak Allah. “Apabila kita berpegang teguh kepada
kenyataan bahwa struktur mendasar kehidupan moral kristiani terletak di dalam
jawaban kita terhadap inisiatif dan panggilan Allah, maka karena Allah menjadi
pusat nilai bagi kita, kita harus melihat semua hal dari sudut pandang Allah
dan mengintegrasikan semua hal dalam cinta Allah. Kemampuan untuk
membeda-bedakan roh (discernment), kita
sangat membutuhkan untuk melakukan hal itu. Sungguh menjadi tugas penting kita
untuk memberikan jawaban personal dan
autentik kepada Allah atas
penggilan-Nya” (R. M. Gula, Reason Informed
by Faith; New York: 1989:317). St. Paulus menggolongkan kemampuan
membedakan roh sebagai salah satu karisma yang diberikan kepada Gereja (1Kor.
12:10). Ada beberapa orang yang memiliki karunia, membedakan roh lebih dari
yang lain. Meski demikian semua orang Kristen dituntut untuk melakukan upaya discernment. ‘Ujilah segala sesuatu dan
peganglah yang baik’, Paulus menulis kepada Jemaat di Tesalonika, “jauhkanlah
dirimu dari segala kejahatan” (1 Tes 5:21-22). St. Yohanes mengingatkan:
“Saudara-saudara yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah
roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh 4:1).
Doa dan pengalaman akan Allah, dambaan akan keikhlasan
dan kejujuran serta kerendahan hati merupakan syarat dasar dalam membedakan roh.
Aturan-aturan penting dalam membedakan roh, yaitu; 1). Allah berkarya secara
tanang, damai dan biasanya pelan. Konflik batin akan berhenti apabila manusia
berhasil mencapai keserasian dengan Allah. Keputusan yang serasi dengan
kehendak Allah senantiasa diiringi kedamaian batin. 2). Suatu keputusan yang
benar lazimnya membutuhkan bantuan penilaian yang objektif dari pihak lain.
Siapa yang menuntun dirinya sendiri, berarti ia sedang dituntun oleh orang
gila, bahwa di mana orang berhadapan
dengan ilham pribadi, selalu besar peluang bagi timbulnya ilusi dan tipu diri,
sehingga kita membutuhkan penilaian objektif. 3). Karya dari Roh yang baik
dapat diketahui dari adanya buah yang baik, sedangkan karya roh-roh yang salah nampak
dalam buah yang buruk. ‘tak ada pohon yang baik menghasilkan buah yang tidak
baik’ (Luk. 6:43-44; bdk., Mat. 7:15-20). Dalam penilaian tentang perilaku para
teolog moral menekankan kewajiban memperhitungkan konsekuensi perilaku. 4).
Khususnya bagi orang-orang Kristen, cinta kepada Kristus merupakan kriteria
dasar dalam mengambil keputusan. Mengakui Yesus selalu berkanaan dengan rahmat
Roh Kudus, “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap Roh yang mengaku Bahwa
Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah dan setiap orang
yag tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah (1Yoh. 4:2-3).” 5).
Katerikatan dengan persekutuan iman. Bagi umat Kristen, Gereja merupakan
persekutuan yang satu dan terpenting. Pelanggaran atas ajaran Gereja merupakan
petunjuk yang jelas atas ketidak-aslian. “barang siapa tidak mengenal Allah, ia
tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang
menyesatkan” (1Yoh. 4:6). Tradisi moral merupakan sumber penting bagi
pertimbangan etis. Gereja merupakan konteks yang niscaya agar kehidupan moral
Kristen dapat memperoleh jati dirinya.
Kamunitarianisme menekankan peran persekutuan, lain
dengan pandangan yang mendasarkan pada penentuan norma moral atas akal budi
individu (kant, Rawl) atau wawancara rasional kelompok masyarakat (etika
diskursus). Pengetahuan moral terikat secara hakiki dengan persekutuan dan
tradisi. KV II sangat yakin bahwa Roh
Kudus hadir dan menuntun umat Allah secara langsung. Karenanya, konsili
menyadari perlu adanya kerterbukaan terhadap Roh Kudus, agar dapat mencapai
pemahaman yang tidak bakal dicapai oleh akal budi sendiri. Gaudium et Spess 11
dan 22 berbicara mengenai tuntutan Roh Kudus bagi umat Allah.
D. Penutup
Manusia adalah milik Allah atau ciptaan Allah, untuk
lebih mengenal ciptaan pada eksistensinya perlu rahmat dari Allah. Keterbukaan
terhadap karya Allah menandakan manusia mampu melakukan tindakan etis moral,
perlu adanya kategorisasi atas tindakan moral dan pembedaan terhadap tindak
sebagai seorang manusia, paling tidak mampu membeda-bedakan roh-roh (discernment). Bagaimana manusia
kristiani hendaknya melakukan tindakan moral dan dalam mempertimbangkan atau membedakan roh
perlu adanya pemahaman mendalam atas sumber-sumber iman Kristiani; Kitab Suci,
Tradisi Gereja dan Magisterium Gereja terutama perlu adanya doa dan keheningan
dalam membuka diri terhadap Kehendak Allah. Dalam kehidupan bersama sebagai
Gereja juga masyarakat kebebasan, kedamain, keselamatan dapat terpenuhi di
dunia ini dan di akhirat. Sehingga tindakan-tindakan orang Kristiani adalah
demi kemuliaan Allah, Kerajaan-Nya dan keselamatan manusia.
Ringkasan Etika Kristen 1, hlm. 53-70.