Oleh
Kleopas Sondegau MIGANIJU
(Mahasiswa Magister Ilmu Teologi Pasca-Sarjana, Universitas
Katolik Parahyangan Bandung).
Pada
bagian ini penulis akan membahas dan mendalami kehadiran tokoh ideal Peagabega dalam suku bangsa Migani dari perspektif
kristofani[i].
Walaupun kristofani berkaitan dengan penampakan-penampakan Yesus Kristus kepada
para murid sesudah kebangkitan-Nya, namun penulis akan menggunakan makna
kristofani tersebut dengan pendekatan Kristus iman untuk menunjukkan bagaimana
Kristus yang bangkit itu hadir dan menampakan diri kepada orang Migani melalui
kuasa Roh Kudus-Nya dalam diri tokoh Peagabega
(bdk. Yoh 10:10). Dalam arti ini, Kristus yang bangkit tidak lagi terikat oleh
ruang dan waktu apalagi dengan ciri-ciri fisik tertentu. Ia juga tidak menyandang
identitas manusiawi-Nya untuk memperlihatkan diri kepada setiap suku bangsa di
bumi ini termasuk suku bangsa Migani.[ii] Oleh
karena itu, Kristus yang bangkit kini hadir melalui kuasa Roh Kudus-Nya dalam
diri tokoh-tokoh ideal yang ada seperti tokoh Peagabega dalam kultur orang Migani.[iii]
Maka itu, penulis melihat dan memaknai kehadiran tokoh ideal Peagabega dalam suku bangsa Migani
sebagai kehadiran Kristus sendiri dalam rupa manusia Migani.
Dalam kaitannya dengan penjelasan tersebut, maka
nilai-nilai hidup positif yang ditunjukkan
Peagabega
semasa hidup dapat dimaknai sebagai kelanjutan dari karya keselamatan Kristus
sendiri yang berlangsung melalui kuasa Roh Kudus-Nya dalam konteks suku Migani
(bdk. Yoh 14:26; 15:26; 16:7).[iv]
Dalam hal ini, Yesus Kristus hadir dan
menyapa setiap suku bangsa dalam bentuk/wujud yang lain sesuai konteks setempat
terutama sesudah Ia mengalami kebangkitan-Nya.[v]
Kristus yang bangkit dengan mulia tersebut melalui kuasa Roh Kudus-Nya kini
hadir dalam suku bangsa Migani melalui tokoh Peagabega.[vi]
Maka itu, kita mengalami karya Roh Kudus dalam hidup kita yang konkret, dalam
situasi dan kebudayaan kita yang konkret pula. Dengan demikian, setiap orang
berusaha untuk mendalami arti dan makna Yesus Kristus dalam hidup dengan
berpangkal pada pengalamannya sendiri. Pemahaman yang sesuai konteks kultur
seperti ini amat penting karena bagaimanapun juga kita menangkap sesuatu,
mengerti sesuatu sesuai dengan keadaan kita yang konkret.[vii]
Oleh karena itu, tokoh ideal Peagabega
maupun tokoh Yesus Kristus, dalam arti tertentu dapat dimaknai sebagai satu
oknum atau satu gambaran kehidupan dengan “dua nama”. Misalnya, Kristus yang
satu dan sama itu bernama Peagabega
berdasarkan perspektif suku bangsa Migani, atau dengan kata lain, orang Migani
menyebut Kristus sebagai Peagabega;
dan sebaliknya Peagabega adalah nama
lain dari Kristus yang bangkit. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Yesus
Kristus yang bangkit dengan mulia itu kini hadir dalam wujud manusia Peagabega dari suku bangsa Migani. Hal
ini dilandasi oleh sebuah keyakinan iman bahwa Kristus setelah mengalami
kebangkitan-Nya, Ia sudah tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka itu,
kini Kristus hadir di segala tempat dan zaman melalui eksistensi diri-Nya yang
ilahi dan mulia.[viii]
Dalam hal ini, Kristus tidak lagi membutuhkan identitas manusiawi-Nya untuk
menampakkan diri kepada segala suku bangsa di bumi ini termasuk suku bangsa
Migani (ingat peristiwa penampakan Yesus Kristus kepada para murid ketika pintu
rumah masih terkunci dalam Yoh 20:19, 26). Pola penampakan Kristus yang
demikian ini terjadi juga dalam konteks kultur orang Migani melalui tokoh Peagabega sehingga kehadiran-Nya tentu
mengatasi ruang dan waktu.
Bertolak
dari pendasaran kristologis dengan pendekatan kristofani sebagaimana sejumlah
penjelasan di atas, maka tokoh Yesus Kristus maupun Peagabega yang diyakini sebagai tokoh penyelamat, sesungguhnya
adalah satu pribadi tetapi menyandang nama yang berbeda. Dalam arti ini,
Kristus yang satu dan sama itu, sesudah mengalami kebangkitan-Nya, Ia hadir
melalui kuasa Roh Kudus dalam wujud manusia Peagabega.[ix] Maka
itu, keberadaan tokoh ideal Peagabega
dapat dimaknai sebagai Kristus sendiri yang hadir dan menyapa orang Migani
sesuai dengan konteks setempat; sebab berdasarkan refleksi iman orang Migani
beragama Katolik, kedua tokoh ini adalah satu pribadi dengan “dua nama”.
Bertolak dari refleksi iman seperti ini, maka konsekuensinya adalah umat
setempat dapat menyebut: “Kristus sama dengan Peagabega, bukan lagi mirip seperti Peagabega”. Dengan adanya refleksi terhadap Yesus Kristus yang
demikian tentu tidak bermaksud mereduksi ajaran resmi Gereja apalagi hendak
mengabaikannya. Maka sambil berpegang teguh pada ajaran Gereja, ekspresi iman
seperti itu dalam konteks inkulturasi memang dibutuhkan bahkan harus dilakukan
demi alasan pastoral.[x]
Dengan demikian, melalui upaya seperti itu diharapkan dapat mewartakan Kristus
dan ajaran-Nya sesuai konteks masyarakat setempat sehingga pewartaannya
sungguh-sungguh mengakar dalam kultur orang Migani.
Pendasaran
kristologis yang dikaji berdasarkan sudut pandang kristofani sebagaimana telah
diuraikan di atas bukan tanpa alasan. Oleh sebab itu, beberapa teks Kitab Suci
PB berikut akan menjadi alasan pokok untuk membuktikan bahwa Yesus Kristus itu
benar-benar hadir dan menyapa setiap suku bangsa di bumi ini termasuk suku
bangsa Migani melalui tokoh-tokoh ideal yang ada seperti Peagabega. Dalam arti ini, Yesus Kristus tidak berhenti menjadi
orang Yahudi tetapi melalui peristiwa inkarnasi Ia pun menjumpai setiap suku
bangsa sesuai dengan konteks masyarakat setempat.[xi]
Untuk itu, beberapa teks biblis berikut akan semakin memperjelas dan sekaligus
memperkuat pendasaran kristologis atas pengakuan Yesus Kristus Peagabega.[xii]
Yoh 1:14 :
Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah
melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal
Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.
Flp 2:6-7 : .......Yesus Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Kutipan
teks PB di atas terlihat jelas bahwa teks tersebut membuka kemungkinan atau
semacam memberi peluang bagi setiap suku bangsa termasuk suku bangsa Migani
untuk mengungkapkan pandangannya sendiri tentang siapa itu Yesus Kristus dan
bagaimana Ia bermakna bagi kehidupan masyarakat setempat. Dalam hal ini,
misteri inkarnasi Kristus dilihat dan dimaknai sebagai suatu bentuk
kontekstualisasi sehingga setiap suku bangsa dapat merefleksikan tokoh Yesus
Kristus sesuai dengan pola kulturnya masing-masing. Melalui inkarnasi Kristus
tersebut, Ia tentu tidak menolak kebudayaan Yahudi namun Yesus Kristus juga
tidak berhenti menjadi orang Yahudi. Oleh sebab itu, peristiwa inkarnasi
Kristus tidak hanya terbatas pada bangsa Yahudi saja melainkan berlaku juga
untuk segala suku bangsa di bumi ini termasuk suku bangsa Migani.[xiii]
Berpijak
pada pemahaman iman seperti itu, maka orang Migani pun semakin percaya bahwa
Yesus Kristus itu hadir dalam kultur mereka. Ia yang menjelma menjadi manusia
dan yang bangkit dari alam maut tersebut kini sudah tidak lagi terikat oleh
ruang dan waktu. Oleh karena itu, Kristus melalui kuasa Roh Kudus-Nya hadir dan
memperlihatkan diri kepada suku bangsa Migani dalam rupa manusia Peagabega. Dalam hal ini, Kristus tidak
bersembunyi atau menyembunyikan diri-Nya dari kehidupan masyarakat Migani. Ia
juga tidak berada jauh di sana melainkan ada dan hidup bersama-sama dengan
orang Migani dalam konteks masa kini (bdk. Yoh 10:10).[xiv]
Cara pandang seperti ini akan terasa kurang logis bahkan hampir mustahil bila
kita memaknainya dari perspektif Yesus historis (berasal dari Nazaret, orang
Yahudi) namun penulis menyajikannya demikian berdasarkan perspektif Kristus
iman (peristiwa inkarnasi Kristus dan karya-Nya sesudah bangkit melampaui batas
ruang dan waktu).
Penjelasan
tersebut hendak menegaskan bahwa misteri hidup Yesus Kristus itu tak pernah
tuntas dibahas oleh siapa pun dan kapan pun.[xv]
Dalam hal ini, misteri Kristus begitu dalam dan luas, sehingga tidak mungkin
dirumuskan atau diungkapkan secara holistik dalam suatu rumusan tertentu.
Kristus juga sebagai seorang pribadi tidak sepenuhnya dipahami dan
dideskripsikan, apalagi dihayati dalam satu definisi.[xvi]
Oleh karena itu, Yesus Kristus tidak pernah selesai dibahas dalam suatu aliran
teologi tertentu atau pun dalam rumusan dogma-dogma kristiani; sebab iman akan
Kristus tidak terikat pada kata atau rumus tertentu, melainkan menyangkut fakta
dan pengalaman hidup manusia sepanjang zaman.[xvii]
Hal ini hendak menunjukkan bahwa setiap generasi yang hidup pada zaman tertentu
memiliki pandangannya sendiri tentang Yesus Kristus sesuai konteks setempat.
Salah satu contohnya adalah Kristus yang satu dan sama itu dilihat dan dimaknai
dari perspektif yang berbeda oleh generasi tertentu sebagaimana dikisahkan
dalam Kitab Suci PB.[xviii]
Dengan
adanya realitas seperti itu, maka tidak salah dan bukan keliru bila setiap suku
bangsa termasuk suku bangsa Migani sambil berpedoman pada ajaran resmi gereja,
menampilkan paham Kristusnya sendiri berdasarkan latar belakang hidup, pola
pikir dan konteks kebudayaan setempat. Tujuannya tidak lain adalah agar umat
setempat semakin mengimani Yesus Kristus secara kontekstual. Di sinilah Kristus
itu justru memiliki nilai dan makna yang universal bagi segala suku bangsa di
bumi ini.[xix]
Dengan menyadari bahwa Kristus itu universal, maka orang Migani melihat Dia
dalam kebudayaannya sendiri melalui kehadiran tokoh ideal Peagabega.[xx]
Dalam konteks ini, jika Kristus itu tidak universal maka tentu tidak mungkin ada
upaya kontekstualisasi yang dilakukan seperti adanya kristologi Afrika, Korea,
India, Amerika Latin, kristologi dari sudut pandang perempuan Asia, Black Theology, dan lain-lain.
Berkaitan
dengan hal itu, bukan tidak mungkin lagi untuk memaknai Kristus secara demikian
sebab umat kristiani secara jelas mengimani bahwa Putra Allah telah merendahkan
diri dari tempat kediaman-Nya yang tinggi, diam di antara kita untuk menebus
kita (lih. Yoh 1:14). Teks biblis ini secara jelas menunjukkan bahwa Yesus
Kristus itu tidak berada jauh di sana melainkan Ia hadir dan menyapa setiap
suku bangsa di bumi ini sesuai dengan konteks kultur setempat termasuk suku
bangsa Migani melalui tokoh ideal
Peagabega agar masyarakat setempat mengalami keselamatan hidup ideal. Dalam
arti ini, Kristus dapat dijumpai melalui tokoh-tokoh ideal yang terdapat dalam
setiap kebudayaan suku bangsa di dunia ini, terutama sejauh tokoh-tokoh
tersebut menghadirkan keselamatan hidup ideal bagi masyarakat setempat.
Berdasarkan
seluruh uraian di atas, maka hal yang perlu diketahui adalah penulis menyajikan
pokok mengenai pendasaran kristologis atas pengakuan Yesus Kristus Peagabega ini dengan menggunakan
pendekatan Kristus iman.[xxi]
Pendekatan yang dimaksud berpijak pada peristiwa inkarnasi Kristus dan karya-karya-Nya
sesudah Ia mengalami kebangkitan. Dalam arti ini, misteri inkarnasi Kristus dan
karya-Nya sesudah bangkit kini sudah tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu
sehingga Ia dapat hadir dalam pelbagai kebudayaan.[xxii]
Berkaitan dengan hal ini, Kristus yang bangkit dengan tubuh-Nya yang mulia
(lih. 2Tes 2:14; Rom 6:4, 8:11) kini masih terus hidup di tengah-tengah segala
suku bangsa melalui kuasa Roh Kudus-Nya.[xxiii]
Demikian juga dengan peristiwa inkarnasi Kristus melampaui batas ruang dan
waktu sehingga melalui nilai-nilai positif yang ada dalam setiap kultur
terutama melalui tokoh-tokoh ideal, Ia pun dapat menampakan wajah-Nya. Oleh
karena itu, penulis percaya bahwa Kristus melalui kuasa Roh Kudus-Nya masih
terus berkarya di dunia ini, kini dan di sini (hic et nunc) sesuai dengan konteks khas setiap suku bangsa termasuk
suku bangsa Migani melalui kehadiran-Nya dalam diri tokoh Peagabega.[xxiv]
Penulis
juga amat menyadari bahwa Gereja mengingatkan untuk tidak memisahkan antara
Yesus dari Nazaret dengan Kristus iman sebab merupakan satu diri pribadi yang
tunggal dan tak terbagikan (bdk. Mat 16:16);[xxv] namun demikian, sebagai suatu tawaran dari penulis
supaya masyarakat setempat lebih mudah mengenal dan menerima Yesus Kristus
secara kontekstual, maka dengan tahu dan mau penulis menyajikannya demikian
tanpa bermaksud mereduksi atau pun mengabaikan ajaran Gereja. Oleh karena itu,
penulis sarankan untuk membaca kajian ini dari perspektif Kristus iman; dengan
harapan dapat membantu umat setempat semakin mengimani Yesus Kristus sesuai
pola kulturnya sendiri; sehingga dengan demikian pewartaannya sungguh-sungguh
mendarat di hati umat.
CATATAN AKHIR:
[i] Kristofani (Yun. ‘pernyataan diri Kristus’) yang dimaksud dalam konteks
ini adalah peristiwa-peristiwa penampakan Yesus Kristus sesudah mengalami
kebangkitan-Nya. Selengkapnya lih. Gerald O’Collins, dkk., Kamus Teologi, hlm.
170. Dalam arti ini, penulis akan memaknai kehadiran Yesus Kristus sesudah
kebangkitan-Nya dalam konteks orang Migani melalui tokoh ideal Peagabega.
[ii] Bdk. R.S. Sugirtharajah (peny.), Wajah
Yesus di Asia, terj. oleh Ioanes Rakhmat, hlm. 340.
[iii] Bdk. Ensiklik Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja (Redemptoris Missio), hlm. 34-37.
[iv] Bdk. Ibid., hlm. 29, 34-37.
[v] Bdk. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian
Liturgi dalam Budaya (terj.), hlm. 76; Lih. juga, Ibid., hlm. 35-36.
[vi] Bdk. Dr. Tom Jacobs SJ, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, hlm. 13.
[vii] JB. Banawiratma, SJ, (Ed.), Kristologi
dan Allah Tritunggal, hlm. 42.
[viii] Bdk. Dr. Tom Jacobs SJ, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, hlm. 62-63.
[ix] Bdk. Bernardus Boli Ujan, dkk (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan, hlm. 37-38.
[x] Bdk. Peter C. Phan, In Our Own
Tongues, hlm. Xii.
[xi] Bdk. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian
Liturgi dalam Budaya (terj.), hlm. 76-77; Lih. juga, R.S. Sugirtharajah (peny.), Wajah Yesus di Asia, terj. oleh Ioanes
Rakhmat, hlm. 340.
[xii] Bagian ini mengikuti inspirasi dari Agus A.
Alua, Gambaran Makhluk Ideal Dalam
Mitos-Mitos Irian Sebelum dan Setelah Bertemu Kristus, hlm. 106-107.
[xiii] Bdk. Bernardus Boli Ujan, dkk (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan, hlm. 36.
[xiv] Bdk. ibid., hlm. 37-38.
[xv] Bdk. Tom Jacobs, SJ, IMANUEL:
Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, hlm. 30-31.
[xvi] St. Darmawijaya, Pr, Pengantar
Ke Dalam Misteri Yesus Kristus, hlm. 31.
[xvii] Bdk. Tom Jacobs, SJ, IMANUEL:
Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, hlm. 30.
[xviii] Selengkapanya baca Dr. Tom Jacobs SJ, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, hlm. 18-21; Bdk. St.
Eko Riyadi, Pr, Yesus Kristus Tuhan Kita,
Mengenal Yesus Kristus dalam Warta Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius,
2011, hlm. 14-15, 103; Lih. juga, Dr. C. Groenen, ofm, Sejarah Dogma Kristologi,.... hlm. 12-13.
[xix] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan
tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri
Dokumen Gerejawi No. 60, hlm. 33-36.
[xxi] Umat kristiani zaman sekarang dituntut untuk berani menerima tantangan
nilai dan makna Yesus Kristus sebagaimana dimaklumkan Gereja perdana dengan
berani melangkah dari pengalaman akan Yesus sejarah ke dalam pengakuan Kristus
iman. Selengkapnya baca St. Darmawijaya Pr, Pengantar
Ke Dalam Misteri Yesus Kristus, hlm. 55-56.
[xxii] Bdk. Bernardus Boli Ujan, dkk (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan, hlm. 38.
[xxiii] Bdk. St. Eko Riyadi, Pr, Yesus
Kristus Tuhan Kita, Mengenal Yesus Kristus dalam Warta Perjanjian Baru,
hlm. 60-61; Lih. juga, Bernardus Boli Ujan, dkk (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan, hlm. 37-38.
[xxv] Ensiklik YOHANES PAULUS II tentang Amanat
Misioner Gereja (Redemptoris Missio), hlm. 13; Lih.
juga, Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi
‘Dominus Iesus’ (Pernyataan tentang
‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri Dokumen
Gerejawi No. 60, hlm. 29.








0 komentar:
Post a Comment