Oleh
Kleopas Sondegau MIGANIJU
(Mahasiswa Magister
Ilmu Teologi Pasca-Sarjana, Universitas Katolik Parahyangan Bandung).
Foto Kleopas Sondegau Dokumen Pribadi. |
Tokoh ideal Peagabega adalah seorang tokoh
penyelamat bagi orang Migani. Ia diyakini sebagai tokoh penyelamat karena jauh
sebelum Gereja datang mewartakan Kristus dan ajaran-Nya, Peagabega sudah lebih dahulu menghadirkan keselamatan hidup ideal
bagi masyarakat setempat. Dalam perkembangan hidup selanjutnya, Gereja pun
datang memaklumkan Kristus dan ajaran-Nya kepada orang Migani. Dalam upaya
pewartaan tersebut, Gereja mengajarkan bahwa hanya di dalam dan melalui Yesus
dari Nazaret Allah sendiri memperlihatkan diri-Nya kepada seluruh umat manusia
termasuk manusia Migani.[i]
Terkait dengan hal itu,
maka Yesus Kristus merupakan puncak dari Wahyu Allah sendiri dan karena itu
telah menjadi pusat iman bagi kaum beriman Kristiani. Maka konsekuensinya
adalah setiap suku bangsa diharapkan untuk menerima dan mengakui ajaran iman
tentang Yesus Kristus yang demikian. Dalam konteks ini, tidak ada mediator dan
Wahyu lain selain Yesus dari Nazaret sebagai pengantara keselamatan yang sejati
dan puncak kepenuhan Wahyu.[ii] Di
luar dari pemakluman ini dianggap berlawanan dengan iman Gereja Katolik.[iii]
Walaupun Gereja
mengajarkannya demikian, ia juga tidak menutup diri terhadap nilai-nilai
positif yang terdapat di dalam berbagai kebudayaan suku bangsa yang dijumpainya termasuk
suku bangsa Migani; sebab nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai benih yang
ditaburkan Allah dalam konteks kultur setempat (AG 22).[iv] Oleh
karena itu, Gereja berharap agar nilai-nilai kultural yang dimaksud dapat
diambil sebagai sarana dalam pewartaan Kristus sejauh tidak bertentangan dengan
dogma resmi Gereja.[v]
Terkait dengan hal ini, maka tokoh ideal Peagabega
sebagai salah satu nilai positif dalam kultur orang Migani telah diambil dan
dijadikan sarana oleh Gereja dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya kepada
masyarakat setempat.[vi]
Dalam hal ini, nilai-nilai kultural yang ada dipakai sebagai sarana dalam
mengimani Kristus secara kontekstual. Oleh sebab itu, dalam pemaparan ini
penulis akan memberi fokus pada tokoh Yesus Kristus dan tokoh ideal Peagabega. Kedua tokoh ini merupakan
pribadi yang dengan kekhasannya masing-masing telah menampilkan wajah Allah
sendiri dalam konteks kultur yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka Allah dapat memperlihatkan diri-Nya kepada setiap suku bangsa
melalui tokoh-tokoh ideal yang terdapat dalam kebudayaan setempat. Oleh karena
itu, kehadiran tokoh Peagabega dapat
dimaknai sebagai cara Allah hadir dan menyapa manusia Migani melalui pribadi
yang berasal dari suku setempat agar Ia mudah dikenal. Begitu pun dengan Allah
yang memperlihatkan diri-Nya kepada manusia Yahudi melalui tokoh Yesus dari
Nazaret. Dalam hal ini, Allah hadir dan menyapa orang Yahudi melalui pribadi
yang berasal dari suku setempat. Demikianlah cara Allah mewujudkan karya keselamatan-Nya
bagi setiap suku bangsa di bumi ini. Dengan kata lain, Allah menggunakan
tokoh-tokoh ideal dalam setiap suku bangsa sebagai sarana untuk menampakan
wajah-Nya; sehingga dengan demikian, Ia mudah dikenal oleh masyarakat setempat.
Dalam konteks ini, tokoh Yesus maupun Peagabega
merupakan pribadi historis yang dipakai Allah untuk memperkenalkan diri-Nya
kepada suku bangsa Yahudi maupun suku bangsa Migani. Maka itu, Allah tidak
berada jauh dari kehidupan manusia sebab Ia hadir dan menjumpai setiap suku
bangsa sesuai dengan konteks setempat (ingat nama “Imanuel” yang berarti:
“Allah beserta kita” dalam Mat 1:23[vii]).
Bertolak dari
penjelasan tersebut, maka terlihat jelas bahwa tokoh Yesus dari Nazaret maupun
tokoh Peagabega orang Migani berada
pada posisi yang sama yakni keduanya sebagai tempat Allah menampakan wajah-Nya.
Oleh karena itu, tokoh Yesus dimaknai sebagai sang penyelamat dalam kultur
orang Yahudi khususnya bagi para pengikut-Nya sedangkan Peagabega sebagai tokoh penyelamat dalam kultur orang Migani
khususnya bagi orang Migani beragama Katolik. Dalam arti ini, orang Migani
menerima dan mengakui Peagabega
sebagai penyelamat mereka karena sebelum Gereja datang memaklumkan Kristus,
masyarakat setempat sudah lebih dahulu mengalami keselamatan hidup melalui
tokoh ideal Peagabega. Maka itu,
penulis merasa perlu untuk menunjukkan sekaligus menawarkan gagasan seperti ini
tanpa bermaksud mereduksi ajaran Gereja tentang Yesus Kristus. Tujuannya adalah
agar nilai-nilai positif dalam setiap suku bangsa tetap dihormati sebagai
tempat Allah menampakan wajah-Nya; sehingga dengan demikian, nilai-nilai
kultural yang satu tidak merasa lebih unggul dari nilai-nilai positif dalam
kultur yang lain.[viii]
Perayaan Inkulturasi Jumat Agug Foto Dokumen Kleopas Sondegau |
Oleh karena itu, refleksi
iman orang Migani atas Kristus sebagai
Peagabega atau sebaliknya pengakuan terhadap Peagabega sebagai Yesusnya orang Migani perlu dihargai dan diberi
apresiasi. Adanya penghayatan dan pengakuan iman seperti itu hendak menunjukkan
sebuah usaha yang dilakukan dalam rangka berkristologi kontekstual. Tujuannya
adalah untuk membantu masyarakat setempat semakin mengimani Yesus Kristus
sebagai sang puncak Wahyu, pengantara keselamatan yang sejati dan pusat iman
bagi kaum beriman kristiani. Dalam rangka tujuan tersebut, maka tokoh Peagabega telah diinkulturasikan dalam
liturgi Gereja tepatnya saat upacara Jumat Agung di Paroki Bilogai. Dalam drama
kisah sengsara Kristus yang dilakukan oleh umat setempat, pemeran tokoh Yesus
dari Nazaret selalu diberi nama Peagabega.
Demikianlah praktek perayaan iman yang dilaksanakan secara kontekstual sesuai
dengan pola kebudayaan suku bangsa Migani.
Foto Umat Paroki Missael Kammerel Bilogai Dokumen Kleopas Sondegau |
Terkait dengan hal itu,
maka sikap umat Paroki Bilogai ketika inkulturasi Peagabega dilaksanakan dalam liturgi Jumat Agung adalah mereka
semakin bersikap terbuka untuk menerima diri sebagai para pendosa yang
membutuhkan pertobatan. Mereka mulai memaknai sengsara dan wafat Yesus di salib
sebagai jalan untuk menyelamatkan seluruh umat manusia termasuk orang Migani
sendiri. Maka, melalui drama jalan salib yang dilakukan dalam konteks setempat
amat membantu mereka untuk semakin beriman kepada Kristus. Penghayatan iman
akan Kristus tersebut diungkapkan lewat sikap pengakuannya terhadap Peagabega sebagai Yesusnya sendiri
menurut pola kebudayaan setempat. Penghayatan iman yang demikian ini tidak
bermaksud untuk mereduksi ajaran Gereja tentang Yesus Kristus. Dalam hal ini,
tokoh Peagabega hanyalah sarana
kultural yang dipakai oleh Gereja untuk mewartakan Kristus secara kontekstual;
sehingga dengan demikian, orang Migani semakin mengenal, menerima dan kemudian
mengimani Kristus secara lebih mendalam lagi.
[i] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan
tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri
Dokumen Gerejawi No. 60, hlm. 22-27.
[ii] Bdk. Ibid.
[iii] Ibid., hlm. 23, 35.
[iv] Bdk. Aylward Shorter, Evangelization
and Culture, London: Geoffrey Chapman/Maryknoll. NY.: Orbiks Books, 1994,
hlm. 34-36.
[v] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “Deklarasi ‘Dominus Iesus’ (Pernyataan
tentang ‘Yesus Tuhan’)”, dalam Seri
Dokumen Gerejawi No. 60, hlm. 33-36.
[vi] Dalam teologi rahmat dikatakan bahwa setiap kultur manusiawi
terkandung di dalamnya rahmat Allah yang pada akhirnya siap menjadi partner
dialog dengan iman kristiani yang datang kemudian. Keberadaan tokoh Peagabega ini bagian dari salah satu
unsur kultural yang mengandung nilai dan kearifan lokal sebagai buah rahmat
yang telah tertabur berkat inkarnasi Allah ke dalam dunia ini.
[vii] Tom Jacobs, SJ, IMANUEL:
Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, hlm. 69.
[viii] Melalui pembahasan tersebut penulis ingin mengusulkan cara pandang dan
pola pikir yang baru tanpa bermaksud mereduksi Yesus Kristus sebagai perantara
keselamatan yang sejati dan puncak Wahyu Allah bagi seluruh umat manusia
termasuk manusia Migani.
0 komentar:
Post a Comment