Video Of Day

Subscribe Youtube

Sunday, 21 October 2018

BAHASAKU ADALAH IDENTITASKU

Oleh Fransiskus Sondegau

Foto Fransiskus Sondegau
“Aku berpikir maka aku ada” (Descartes). “Aku bersuara maka aku ada”. Aku adalah orang Migani. Bahasaku adalah Miga Dole. Ketika aku menggunakan Miga Dole, eksistensiku sebagai Migani terungkap di dalamnya. Migani berarti orang yang biasa-biasa saja. Lebih mendalamnya adalah manusia asli dan sejati. Orang Migani berarti, orang-orang yang berkata biasa-biasa, bertindak juga biasa-biasa dan tidak membahayakan/mengganggu hidup orang lain. Itulah konsep tentang Migani.

Sering didengar bahwa bahasa daerah adalah “bahasa ibu”. Jika demikian, maka sebenarnya apa itu “bahasa ibu”? Mengapa dikatakan “bahasa ibu”? Apakah ibu kandung sudah menggunakan bahasa daerahnya sejak kecil? Ataukah ada maksud lain di balik itu? Sering muncul banyak pertanyaan, ketika orang mengatakan “bahasa ibu”. Namun, bahasa ibu yang dimaksudkan bukanlah bahasa ibu kandung, melainkan ibu yang melampauinya, yakni BUDAYA.

Budaya adalah ibu yang melahirkan setiap manusia dalam suatu suku. Oleh sebab itu, setiap orang yang ada dalam suatu suku adalah anak dari budaya tersebut. Jika seorang tidak tahu bahasa daerahnya, berarti ia menghianati ibunya dan orang tersebut adalah “anak durhaka”. Sebab melalui “bahasa ibu” itulah, setiap suku memberi makna dan arti terhadap budaya sebagai ibunya.

Sebelum meninggalkan kampung halaman, orangtua pernah pesan beberapa hal kepada saya, di antaranya tentang bahasa. Isi pesannya adalah Jundo aga dole, miga dole ka handugiwi dendenggao”. Ketika orangtua memberi pesan dengan kata-kata ini, saya pernah merasa bahwa pesan itu tidak masuk akal. Selanjutnya saya begumam dalam hati bahwa coba beri nasehat yang agak pentingkah?

Setelah hidup bertahun-tahun di luar tanah air orang Migani, kini saya menyadari bahwa pesan yang pernah disampaikan oleh orangtuaku itu amat penting bagiku. Mengapa? Sebab saya sungguh menyadari bahwa bahasaku adalah identitasku yang sebenarnya. Bukan hanya karena identitasku, melainkan yang melampaui itu, filsafat yang sebenarnya, terlebih dahulu sudah tersembunyi dalam bahasaku.

Meskipun kenyataannya demikian, saya merasa aneh dengan banyak fenomena yang terjadi pada kita, anak muda Migani zaman sekarang. Masih banyak anak muda Migani yang tidak tahu Miga Dole. Maka, pasti tidak tahu identitas diri yang sebenarnya sebagai Migani dan mereka masih menganggap diri moni. Atau sudah tahu Miga Dole, tetapi masih belum menyadari identitas diri yang sebenarnya dan menganggap diri moni!

Bertolak dari fenomena di atas, jika bahasa daerah sendiri saja tidak tahu, bagaimana mungkin, ia bisa mengetahui nilai-nilai budaya dan mengakui budaya sebagai ibunya? Apakah ia berpura-pura tidak tahu bahasa daerah, untuk menunjukkan kelebihannya? Ataukah memang karena ia tidak tahu? Seandainya, jika ia berpura-pura, maka model inilah yang disebut dengan “anak durhaka”. Tetapi, jika memang karena ia tidak tahu bahasa daerahnya, maka siapakah orangtuanya? Dan dari manakah asalnya? Bahasa Indonesia bukanlah bahasa nenek moyang! Sebab, pasti anak muda sekarang, tidak ada yang tidak tahu bahasa Indonesia, sehingga tidak harus hanya menggunakan bahasa Indonesia, di antara sesama Migani terus-menerus! Maka kita harus kembali  ke jati diri kita sebagai orang Migani. Mulai dari diri dan keluarga hingga masyarakat pada  umumnya.

Mengapa kita harus tahu bahasa ibu, minimal bahasa sehari-hari? Sebab dalam bahasa ibu itulah tersembunyi filsafat dan makna yang terpenting dari budaya. Filsafat yang dimaksud di sini adalah; makna bahasa yang biasa digunakan untuk mengartikan segala sesuatu dalam budaya.

Makna bahasa yang dimaksud adalah nilai dan arti yang tersembunyi di balik bahasa atau kata-kata. Misalnya bahasa atau kata-kta untuk mengambil hati seorang gadis (Jamo tegaiya); Bahasa yang biasa digunakan ketika pergi potong buah pandan (Koa/Mbanoamba pogata eteawi duadole). Bahasa yang biasa digunakan ketika pasang jerat (So tugamba pogata eteawi duadole), atau saat perang (Mbolemba pogata eteawi duadole) dan lain-lain yang penuh dengan arti yang mendalam. Eteawi duadole itu, selalu membawa hasil yang memuaskan bagi yang menghayati dan melaksanakannya.

Oleh sebab itu, sahabatku marilah kembali ke jati diri kita sebagai orang Migani. Kita harus tahu tentang budaya kita umumnya, dan makna/nilai-nilai yang tersembunyi di balik Miga Dole khususnya. Sebab diyakini bahwa Etagage Togawa dole (Miga Dole) itu, jika kita terapkan dalam dunia pendidikan atau tatanan kehidupan, dan berjuang berdasarkan trik-trik budaya, pasti kita akan menjadi orang yang sukses.

Dengan demikian, marilah kita bersama menunjukkan eksistensi diri kita sebagai Orang Migani, melalui: Miga Dole (bahasa daerah), Miga Jamo (Lagu Daerah) dan Miga Dua yang artinya; Tindakan yang biasa-biasa saja, tanpa menyembunyikan sesuatu yang jahat di balik itu. Kita mencoba untuk melakukan ini, tanpa mengabaikan penyesuaian diri kita terhadap perkembangan zaman, dan dunia di luar diri kita. Yakinlah bahwa jika kita menerapkan dan menghayati trik-trik ini dalam perjuangan hidup kita, pasti membawa hasil yang luar biasa, sekaligus mengangkat jati diri kita sebagai Manusia Migani.   

“Kenalilah dirimu dan jangan berlebihan”
Amakaniee Atuma Migani Mene.
                                                                                                             

                                                                                                                          
Lokasi: Intan Jaya Regency, Papua, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT