Oleh
Fransiskus Sondegau
Foto Fransiskus Sondegau |
“Aku berpikir maka aku ada” (Descartes). “Aku bersuara
maka aku ada”. Aku adalah orang Migani. Bahasaku adalah Miga Dole. Ketika aku menggunakan Miga Dole, eksistensiku sebagai Migani
terungkap di dalamnya. Migani berarti orang yang
biasa-biasa saja. Lebih mendalamnya adalah manusia asli dan
sejati. Orang Migani berarti, orang-orang yang berkata biasa-biasa,
bertindak juga biasa-biasa dan tidak membahayakan/mengganggu hidup orang
lain. Itulah konsep tentang
Migani.
Sering didengar bahwa bahasa daerah
adalah “bahasa ibu”. Jika demikian, maka sebenarnya apa itu “bahasa
ibu”? Mengapa dikatakan “bahasa ibu”? Apakah ibu kandung sudah menggunakan
bahasa daerahnya sejak kecil? Ataukah ada maksud lain di balik
itu? Sering muncul banyak pertanyaan, ketika orang mengatakan “bahasa ibu”.
Namun, bahasa ibu yang dimaksudkan bukanlah bahasa ibu kandung, melainkan ibu
yang melampauinya, yakni BUDAYA.
Budaya adalah ibu yang
melahirkan setiap manusia dalam suatu suku. Oleh sebab itu,
setiap orang yang ada dalam suatu suku adalah anak dari budaya tersebut. Jika seorang
tidak tahu bahasa daerahnya, berarti ia menghianati ibunya dan orang tersebut
adalah “anak durhaka”. Sebab melalui “bahasa ibu” itulah, setiap suku memberi
makna dan arti terhadap budaya sebagai ibunya.
Sebelum meninggalkan
kampung halaman, orangtua pernah pesan beberapa hal kepada
saya, di
antaranya tentang bahasa. Isi pesannya adalah “Jundo aga dole, miga dole ka handugiwi
dendenggao”. Ketika orangtua memberi
pesan dengan kata-kata ini, saya pernah merasa bahwa pesan itu tidak masuk akal.
Selanjutnya saya begumam dalam hati bahwa coba beri nasehat yang agak
pentingkah?
Setelah hidup bertahun-tahun
di luar tanah air orang Migani, kini saya menyadari bahwa pesan yang pernah
disampaikan oleh orangtuaku itu amat penting bagiku. Mengapa? Sebab saya sungguh
menyadari bahwa bahasaku adalah identitasku yang sebenarnya. Bukan hanya karena identitasku,
melainkan yang melampaui itu, filsafat yang sebenarnya, terlebih dahulu sudah tersembunyi
dalam bahasaku.
Meskipun kenyataannya
demikian, saya merasa aneh dengan banyak fenomena yang terjadi
pada kita, anak muda Migani zaman sekarang. Masih
banyak
anak muda Migani yang tidak tahu Miga
Dole. Maka, pasti tidak tahu identitas diri yang
sebenarnya sebagai Migani dan mereka masih menganggap diri moni. Atau sudah tahu Miga
Dole, tetapi masih belum menyadari identitas diri yang sebenarnya dan
menganggap diri moni!
Bertolak
dari fenomena di atas, jika bahasa daerah sendiri saja tidak tahu,
bagaimana mungkin, ia bisa mengetahui nilai-nilai budaya dan mengakui budaya
sebagai ibunya? Apakah ia berpura-pura tidak tahu bahasa daerah, untuk menunjukkan
kelebihannya? Ataukah memang karena ia tidak tahu? Seandainya, jika ia berpura-pura, maka model
inilah yang disebut dengan “anak durhaka”. Tetapi, jika memang karena ia tidak
tahu bahasa daerahnya, maka siapakah orangtuanya? Dan dari manakah asalnya? Bahasa Indonesia bukanlah bahasa nenek
moyang! Sebab, pasti anak muda sekarang, tidak ada
yang tidak tahu bahasa Indonesia, sehingga tidak harus hanya menggunakan bahasa
Indonesia, di antara sesama Migani
terus-menerus! Maka kita harus kembali ke jati diri kita sebagai
orang Migani. Mulai dari diri dan keluarga hingga masyarakat
pada umumnya.
Mengapa kita harus tahu
bahasa ibu, minimal bahasa sehari-hari? Sebab dalam bahasa ibu itulah
tersembunyi filsafat dan makna yang terpenting dari budaya. Filsafat yang
dimaksud di sini adalah; makna bahasa yang biasa digunakan untuk
mengartikan segala sesuatu dalam budaya.
Makna
bahasa yang dimaksud adalah nilai dan arti yang tersembunyi di balik bahasa
atau kata-kata. Misalnya
bahasa atau kata-kta untuk mengambil hati seorang gadis (Jamo
tegaiya); Bahasa yang biasa digunakan ketika pergi
potong buah pandan (Koa/Mbanoamba pogata eteawi duadole). Bahasa yang biasa digunakan ketika pasang jerat (So
tugamba pogata eteawi duadole), atau
saat perang (Mbolemba pogata eteawi duadole) dan lain-lain yang penuh dengan arti yang mendalam. Eteawi
duadole itu, selalu membawa hasil yang memuaskan bagi yang menghayati
dan melaksanakannya.
Oleh sebab itu, sahabatku
marilah kembali ke jati diri kita sebagai orang Migani. Kita harus tahu tentang
budaya kita umumnya, dan makna/nilai-nilai yang tersembunyi di balik Miga
Dole khususnya. Sebab diyakini bahwa Etagage Togawa
dole (Miga Dole) itu, jika kita terapkan dalam dunia
pendidikan atau tatanan kehidupan, dan berjuang berdasarkan
trik-trik budaya, pasti kita akan menjadi orang yang sukses.
Dengan
demikian, marilah kita bersama menunjukkan eksistensi diri kita sebagai Orang Migani, melalui: Miga
Dole (bahasa daerah), Miga Jamo (Lagu Daerah) dan Miga
Dua yang
artinya; Tindakan yang biasa-biasa saja, tanpa
menyembunyikan sesuatu yang jahat di balik itu. Kita mencoba untuk melakukan
ini, tanpa
mengabaikan penyesuaian diri kita
terhadap perkembangan zaman, dan dunia di luar diri kita. Yakinlah bahwa jika kita
menerapkan dan menghayati trik-trik ini dalam perjuangan
hidup kita,
pasti membawa hasil yang luar biasa, sekaligus mengangkat jati diri kita
sebagai Manusia Migani.
“Kenalilah
dirimu dan jangan berlebihan”
Amakaniee Atuma Migani Mene.
0 komentar:
Post a Comment