Video Of Day

Subscribe Youtube

Saturday, 10 November 2018

PENYIMPANGAN DAN REKONSILIASI DALAM KEHIDUPAN ORANG MIGANI

PENGANTAR


Foto Fransiskus Sondegau
Penyimpangan yang dimaksud di sini berhubungan dengan kata "Mbai" dalam budaya orang Migani. Kata Mbai artinya "tidak diperbolehkan", dilarang dan lebih dalam lagi adalah tabuh (ditabuhkan).  Selanjutnya, lawan dari kata Mbai adalah "Usii". Usii artinya diperbolehkan, bisa dan sah-sah saja, tidak dilarang, tidak tabuh atau ditabuhkan dan resmi legal. 

Berdasar pada pengertian itu, kita mengerti bahwa kata Mbai selalu digunakan oleh orang Migani dalam konteks kehidupan mereka ketika melarang sesama agar tidak melalukan sesuatu dan mengatakan sesuatu yang dilarang dalam budaya maupun dalam kehidupan sosial itu "tidak boleh dilakukan".  Sedangkan kata Usii digunakan untuk mengatakan kepada sesama agar mereka dapat melakukan sesuatau yang "dibolehkan", sesuatu yang baik dan benar serta perbuatan-perbuatan yang masuk akal. 

Dalam hubungannya dengan kata Usii, ketika orang hidup dengan melakukan semua hal yang Usii atau diusikan itu secara baik dan bertanggung jawab, maka tindakannya ini bisa membawa berkat baginya dalam hidup di tanah orang Migani, Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga. 

Demikian juga dalam hubungannya dengan kata Mbai, ketika orang melakukan tindakan-tindakan yang dimbaikan atau dilarang, maka sesunggunghnya tindakan-tindakan itu telah mengarah kepada penyimpangan terhadap diri sendiri, sesama, leluhur, alam dan terhadap EMO. EMO artinya Yang Ilahi atau Allah menurut orang Migani. Maka, atas kelalaian orang dalam taat pada semua yang dimbaikan itu bisa mendatangkan kutukan baginya dalam hidup di tanah orang Migani. Bentuk kutukan yang biasa dirasakan oleh orang Migani secara nyata adalah buruk dan rusaknya relasi mereka dengan sesamanya, alamnya, leluhurnya dan dengan Yang Ilahi (EMO) sendiri. Sehingga, mereka senantiasa mengalami kesusahan dan kesulitan hidup tanpa henti. Oleh karena kenyataan seperti ini, maka orang Migani selalu berusaha membebaskan diri dari kutukan ini. Membebaskan diri dari kutukan berarti memperbaiki relasi dengan semua pihak melalui suatu ritual yang biasa disebut "Jeba Disia". Jeba Disia artinya Rekonsiliasi khas Suku Bangsa Migani.

Memahami akan penjelasan itu, maka ditegaskan kembali lagi bahwa rekonsiliasi dalam budaya orang Migani itu biasa disebut dalam bahasa Migani dengan istilah JEBADISIA. Jebadisia ini dipandang sebagai cara yang paling tepat untuk memperbaiki hubungan yang telah putus antar sesama, leluhur, alam dan dengan EMO. Oleh karena seperti ini dan ini dipandang amat penting bagi orang Migani, maka saya berniat menuliskan hal ini dalam tulisan ini. Penjelasan ini mengandung arti bahwa dalam artikel ini, saya akan mengulas tentang PENYIMPANGAN dan proses JEBADISIA. Upaya ini dilakukan sebagai suatu ajakan positif kepada Orang Migani agar mereka menempatkan hal-hal yang berkaitan dengan Usii pada tempatnya. Dan, hal-hal yang berkaitan dengan Mbai pada tempatnya juga. Sehingga keduanya tidak tercampur baur dan tidak pula saling mengganggu antara satu sama lain. 

Singkat kata, hukum kehidupan orang Migani hanya ada dua yaitu: Usii (yang boleh dilakukan dan Mbaii (yang tidak boleh dilakukan). Dengan demikian hal-hal Usii dan Mbaii yang dimaksud ini akan saya jelaskan secara detail pada bagian berikuta:

JENIS-JENIS PENYIMPANGAN MENURUT ORANG MIGANI

Penyimpangan Manusia terhadap Diri Sendiri
Menurut orang Migani, diri adalah ukuran segala sesuatu. Dalam hal ini orang Migani biasa mengatakannya, “Aga mego kama aga aita, aga mego kama aga amage dingga, senggamuge iniga, megoge haingga data dua diwiduame”. Arti harafiahnya, pikiran dan hatimu adalah pengganti bapa dan ibumu, maka lihatlah, pikirlah dan lakukanlah. Melihat (senggamuge inigia) bukan hanya sekedar melihat dengan mata kepala semata, tetapi juga dengan mata hati, berpikir (megoge hainggia) bukan sekedar berpikir tetapi juga mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya dan berbuat (duadia) bukan hanya sekedar melakukan apa yang bisa dilakukan semata, melainkan menyadari apa yang dilakukannya.

Pemahaman tersebut, diyakini bahwa: “Agati dega duago agatima uga himindeo”. Artinya, anda sendiri yang menabur, maka anda sendirilah yang akan menuainya. Orang Migani memahami bahwa apapun yang seorang lakukan, akibatnya akan ditanggungnya sendiri. Berdasarkan pemahaman ini, orang Migani memandang dan menghargai sesama, leluhur, alam dan EMO seperti dirinya sendiri. Berdasarkan pandangan tersebut, seorang mesti menempatkan semua pada tempat dan posisinya masing-masing. Sebab, jika hal ini tidak dilakukan oleh seseorang, maka akibatnya akan mengancam hidupnya sendiri. Hal-hal yang bertolak belakang dengan melihat, berpikir dan berbuat adalah misalnya merusak alam, menjual tanah, mencuri, inces, makan makanan atau binatang totem dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut dikatakan, ogotima ogo holomindia, artinya dia menjerat diri sendiri.

Orang Migani juga memandang yang lain (sesama, leluhur, alam dan EMO) sama seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu, penyimpangan yang dilakukan terhadap  sesama, leluhur, alam dan EMO, sama halnya dengan penyimpangan dan penyangkalan terhadap diri sendiri. Penyimpangan dan penyangkalan diri yang dimaksud adalah tindakan tanpa pertimbangan berdasarkan senggamuge inigia (melihat), megoge hainggia (berpikir) dan duadia (berbuat). Singkatnya bahwa orang Migani tidak menempatkan apa yang tidak boleh dilakukan (mbai) pada tempatnya, dan apa yang boleh dilakukan (usi) pada tempatnya.

Penyimpangan Manusia Terhadap Sesama

Mene Wagamaya
Kata Mene artinya: orang atau manusia. Wagamaya adalah kata kerja yang artinya: membunuh. Jadi “mene wagamaya” artinya membunuh orang atau sesama. Orang Migani sangat menghargai keberadaan sesama sama seperti dirinya. Oleh sebab itu, orang tua selalu menasehati anak sejak kecil, supaya tidak membunuh sesama dengan larangan “Mene waga kimapi duame”. Artinya: jangan pernah membunuh.  Mereka mengatakan kepada anak supaya tidak membunuh, karena darah orang yang ia bunuh, selalu akan mengikuti dan mengutuk seluruh perjuangan hidupnya! Dengan demikian, janganlah membunuh.

Hal di atas, beda di medan perang. Semua yang bergabung dalam perang, mereka berjuang untuk membunuh, untuk menunjukkan kejantanannya. Orang yang membunuh akan dikenang dan dipuji. Tetapi pasti akhir perang akan adakan ritus pembersihan darah yang disebut dengan ega besaya (pembersihan darah). Tetapi intinya kembali kepada pemahaman di atas, bahwa jangan membunuh. Sebab, pembunuhan adalah tindakan yang tidak terhormat dan tidak menghargai martabat manusia, sama seperti dirinya sendiri. Jika seorang sudah melakukan pembunuhan, mereka harus mengadakan rekonsiliasi.

Maijambaia
Kata “Maijambaia” terdiri dari dua suku kata yaitu: Mai dan Jambaia. Mai artinya tanah, Jambaia artinya memotong. Jadi maijambaia arti lurusnya, memotong/membelah tanah atau mengucapkan sumpah. Maksudnya bahwa di dalam tanah ada cacing, sehingga orang melakukan tindakan “maijambaia” adalah mengeluarkan cacing dari dalam tanah dan memotong atau melilitnya, sambil berkata-kata untuk mengutuk orang. Dengan demikian, memotong cacing itulah yang dimaksud dengan memotong tanah (maijambaia). Orang Migani bersumpah atas nama tanah, merupakan sumpah atau kutukan yang paling berat.

Oleh sebab itu, maijambaia adalah suatu tindakan tidak terhormat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk mengutuk orang lain. Tindakan ini dilakukan karena iri hati dengan orang yang berkecukupan dalam hidupnya atau mengelabui cara berpikir orang-orang terpandang (uji mene amu sigindaia). Supaya tindakan buruknya itu tidak diketahui oleh orang lain. Misalnya, orang yang sudah melakukan perbuatan inces (tubaga), berusaha untuk mengutuk/mematikan cara berpikir orang-orang yang ada di sekitarnya, supaya tidak mengetahui perbuatannya, karena takut dibunuh.

Selain itu, tindakan maijambaia juga merupakan suatu cara untuk memacetkan perjuangan orang lain, karena iri hati melihat keberhasilan orang lain, supaya tidak berkembang lagi. Dengan cara-cara demikian, orang-orang tertentu dalam suku Migani berhasil mengutuk orang lain. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak terhormat dalam kehidupan Orang Migani. Maka, orang yang melakukan tindakan maijambaiia, biasanya “dimusnahkan” atau dikucilkan (dibunuh atau diusir dari kampung).

Hane Senggadia
Kata hanesengadia terdiri dari tiga akar kata yakni: Hane, Sengga dan Dia. Hane artinya tangan, Sengga artinya gatal atau tidak bisa tenang, dan Dia berarti melakukan atau merujuk pada tindakan. Jadi “hanesenggadia” berarti melakukan sesuatu, karena tangannya gatal. Maksudnya adalah seorang mengambil barang milik orang lain yang sebenarnya bukan miliknya, karena tangannya gatal. Orang-orang yang melakukan hanesenggadia disebut dengan segemene artinya pencuri. Dalam hal ini, seorang biasa mencuri barang orang lain berupa babi, tanaman di kebun dan barang-barang benda dalam rumah, dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, ia disebut segemene atau hanesenggawa mene.

Dalam kehidupan Orang Migani, martabat seorang pencuri tidak pernah dihargai. Oleh karena itu, masyarakat sepakat untuk membunuhnya, jika kedapatan pencurian lagi atau dikucilkan dari kehidupan bersama. Orang Migani yakini bahwa pencuri adalah orang yang sudah dikutuk oleh sesama, leluhur, alam (megodinggi dega auge) dan EMO sebagai wujud tertinggi yang selalu memperhatikan tindakan baik-buruk manusia Migani. 

Tubagadia
Tubagadia terdiri dari dua suku kata yakni: Tubaga dan Dia. Tubaga artinya inces/berzinah dan dia artinya melakukan, berbuat atau merujuk pada tindakan. Jadi “tubagadia” adalah tindakan melakukan zinah atau inces.

Ada dua jenis tubaga yaitu: Mbai tubaga yakni; inces yang berat dan tidak bisa dikompromi. Dalam hal ini, hanya nyawa nyawa yang menjadi jaminan, jika seorang melakukan hubungan seks dengan saudara atau saudari kandung, orangtua kandung, keluarga kandung dan marga sekandung atau marga yang berasal dari satu leluhur yang sama (inces). Sedangkan usi tubaga berarti “inces” yang ringan (berzinah), dapat diselesaikan dengan “perang” atau denda yakni: pemerkosaan terhadap istri orang lain atau selingkuh dan hal pemerkosaan lainya. 

Penyimpangan Manusia Terhadap Leluhur

Dalam pandangan orang Migani, ada perbedaan antara leluhur dan nenek moyang. Leluhur dalam bahasa Migani adalah “maine pagone”. Mai artinya tanah dan Pago artinya humus. Tambahan “ne” di belakang merupakan kata bantu/penghubung (dan). Jadi maine pagone berarti mereka yang sudah menjadi tanah dan humus. Secara filosofis diyakini bahwa mereka menjadi sebuah tempat seperti tanah dan humus, di mana satu rumpun atau suku bangsa akan bertumbuh subur. Mereka itu pula yang pernah menjelma menjadi tumbuhan atau binatang yang akan menjadi totem bagi keturunannya dan pasti dengan menyampaikan sesuatu yang bersifat rahasia kepada rumpun tertentu. Kerahasiaan itulah yang akan dihayati dan dilaksanakan, melalui ekspresi totem/pamali terhadap sesuatu.

Nenek moyang disebut dengan biu mena-mbao mena. Biu artinya suatu tumbuhan di atas humus atau jamur dan kata mena berarti menandakan lebih dari dua generasi. Sedangkan Mbao mena artinya beberapa generasi kakek. Jadi biu mena mbao mena  berarti beberapa generasi setelah mai dan pago hingga kakek, dihitung dari generasi kekinian. Dengan penjelasan demikian, jelaslah bahwa nenek moyang (biumena, mbaomena) adalah pelaksana dan penerus perintah dari leluhur (mai dan pago).
Orang Migani berrelasi dengan leluhur, selalu berdasarkan pada apa yang pernah diperintahkan oleh leluhur mereka. Selain itu, bisa juga menghayati suatu keyakinan dengan peristiwa penyelamatan yang pernah dialami oleh nenek moyangnya. Bukti nyata dari itu, orang Migani biasa menghayatinya sebagai totem terhadap sesuatu, entah tumbuhan, benda-benda maupun binatang.

Memandang sesuatu sebagai totem, adanya suatu penghayatan/keyakinan akan pengalaman keselamatan yang pernah dialami oleh nenek moyang atau leluhur mereka pernah berubah menjadi wujud suatu binatang atau pun tumbuhan. Maka sebagai penghargaan dan kenangan akan peristiwa tersebut, keturunan dari moyang atau leluhur tertentu selalu menghormati larangan yang diwariskan, supaya keselamatan itu tetap dialami dan dihargai oleh keturunannya dan kenyamanan hidupnya tetap terjamin.

Sesuatu yang dipandang sebagai totem bagi orang Migani di atas, diyakini sebagai baba[1]. Dialah yang akan menjadi pelindung bagi marga tertentu. Misalnya, Tujambuga[2] adalah leluhur yang menjadi pelindung dan Aigaso[3] sebagai penyelamat, yang menyelamatkan nenek moyang marga Sondegau-Duwitau dan seklennya, maka totem bagi mereka. Wone/home[4], totem bagi marga Japugau, Janambani, Bilambani, Tipagau, Kobogau dan seklennya. Dinggiso[5] adalah totem/pamali bagi marga Bagubau, Bagau, Holombau dan lain-lain. Nanggabo[6] adalah totem bagi marga Migau dan Wandagau. Undi puji[7] adalah totem bagi marga Belau. Masih ada banyak tumbuhan dan hewan totem, namun yang sudah disinggung di atas, hanyalah sebagai contoh dari sekian banyak totem bagi setiap marga yang dalam suku bangsa Migani.

Alasan mengapa marga tertentu harus totem merupakan rahasia bagi marga yang bersangkutan. Oleh karena itu, marga lain tidak boleh mengetahuinya, apalagi dipublikasikan, karena hal tersebut menjadi rahasia marga. Hukum tersebut biasa dihayati oleh orang Migani dan harus dipatuhi demi keharmonisan relasi antara leluhur dengan manusia, supaya bisa merasakan kehidupan yang lebih baik, aman dan damai.

Dengan demikian, penyimpangan akan terjadi, jika orang-orang tertentu dalam marga tertentu melanggar ketentuan di atas. Tindakan tersebut akan membangkitkan amarah leluhur dan hidupnya akan terancam serta putusnya hubungan, maka dibutuhkan ritus Jebadisia untuk berdamai kembali.

Penyimpangan Manusia Terhadap Alam

Orang Migani meyakini bahwa alam mempunyai jiwa. Di dalam dan sekitar alam, ada roh dan penyelidik yang benar dan tegas. Oleh karenanya, orang Migani harus membangun relasi harmonis dan mematuhi hukum adat yang berkaitan dengan menghargai dan melindungi alam. Orang Migani merumuskan hukum alam dengan kata, Mbaipa atau Mbai emo yakni: tempat-tempat terlarang, yang tidak bisa dilewati oleh sembarangan orang. Tempat-tempatnya sebagai berikut:

Mene Wigigapa
Mene wigigapa artinya tempat berasalnya marga tertentu. Tempat tersebut tidak bisa dilewati atau masuk oleh marga-marga lain. Hanya marga yang bersangkutan, yang bisa masuk dan keluar di tempat tersebut. Jika orang yang tidak bersangkutan melewati tempat itu, leluhur akan marah. Akibatnya adalah orang tersebut mendapat sakit berat, bahkan meninggal dunia atau melahirkan anak ub-normal. Tempat-tempat tersebut, biasanya berbentuk kolam tanpa air atau lubang tanah dan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon ternama seperti migi, wano atau siga (semacam pohon korek dan pohon cina) dan pohon-pohon ternama lainnya.

Jamembage Togapa
Jamemba artinya penyelidik alam yang kejam atau jahat[8], sedangkan tambah ge dan togapa menunjukkan wilayahnya. Jadi Jamembage togapa adalah tempat adanya penyelidik alam yang “kejam”. Oleh karena itu, wilayah tersebut tidak bisa dilewati dengan sembarangan.

Ada beberapa tempat yang harus dilewati oleh mereka yang murni, yakni: orang yang tidak bermasalah dengan sesama, alam, leluhur dan EMO. Sedangkan orang yang bermasalah, harus mengaku kesalahannya terlebih dahulu, sebelum melewati tempat-tempat tersebut, supaya dapat diizinkan. Jika seorang pernah melakukan kesalahan seperti inces, berhubungan seks di tempat-tempat terlarang, mencuri, membunuh dan tindakan tidak terpuji yang lainnya, yang belum pernah mengaku kepada siapapun dan dirahasiakan, melewati tempat itu, biasanya mendapat strok mendadak atau tidak bisa berjalan lagi (higutojegia).

Oleh sebab itu, biasanya seseorang atau sekelompok orang, sebelum melewati tempat tersebut, harus mengaku semua kesalahannya. Selain itu, jika melihat burung atau pun kus-kus di tempat itu, tidak bisa membunuhnya, supaya orang bisa melewati tempat tersebut dengan selamat. Tempat-tempat tersebut, adalah Mbainggelapa; (Gresberg) jalan menuju Timika (Mbainggelapanige togapa) dan Magataga; jalan menuju Paniai (Munilogopanige togapa), Jateapa; jalan menuju Beoga dan ada banyak tempat di wilayah Dugindoga-Kemandoga. Mereka itu, diyakini sebagai penyelidik yang “jahat” bagi mereka yang melanggar hukum adat.

Tubaga Dega Mene Wayapa
Tubaga dega mene wayapa adalah tempat pembunuhan orang yang melakukan inces. Tempat-tempat tersebut, tidak boleh dilewati sembarangan, karena diyakini bahwa orang yang melewati tempat tersebut, akan terjebak atau “tertular” dan berakibat pada mendapat kecenderungan melakukan inces. Maka, orang Migani menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai tempat-tempat terlarang.

Maniga Pitapa
Maniga Pitapa adalah tempat adanya pelindung tanaman bagi keluarga atau marga tertentu. Tempat ini biasanya terdapat di dalam kebun atau di samping rumah, sehingga orang lain tidak bisa masuk sembarang apalagi mencuri.
Diyakini bahwa pelindung yang berada di situ akan marah terhadap orang asing yang masuk di tempat tersebut. Akibat dari kemarahan ini adalah orang tersebut mendapat sakit berat dan menjadi gila, bahkan bisa meninggal dunia.

Mai Senapa Kigi Dutia
Mai senapa kigi dutia artinya: menjual tanah yang sebagai “mama”. Tanah dalam pemahaman orang Migani bagaikan mama kandung yang selalu menyediakan segala sesuatu bagi anaknya. Oleh karena itu, ada batas-batas wilayah yang tanahnya menjadi hak ulayat marga-marga tertentu. Pada wilayah tersebut, marga-marga tertentu saja yang berhak menanam, berburu, membangun rumah dan hidup di atas tanahnya secara aman, nyaman dan damai. Batas-batas wilayah ini diketahui oleh semua orang Migani.

Tanah adalah milik marga dan keluarga masing-masing. Oleh karena itu, tanah dilarang keras untuk dijual. Tanah adalah mama yang selalu menyediakan segala sesuatu. Menjual tanah berarti, sama dengan anak durhaka yang menjual mama kandungnya sendiri yang; sudah melahirkannya, membesarkannya dan memberi makan kepadanya. Penjualan tanah adalah pelanggaran paling berat dalam kehidupan orang Migani. Sebab diyakini bahwa tanah itu akan mencabut nyawa si penjualnya pula, serta mengutuk keturunan dari orang yang menjual tanah.

Penyimpangan Manusia Terhadap Wujud Tertinggi (EMO)

Orang Migani meyakini bahwa EMO menciptakan segala sesuatu dan menempatkannya pada tempat dan posisinya masing-masing. Untuk menjaga dan menjamin kenyamanan posisi pada dunianya, EMO memberi kepercayaan kepada manusia, para penunggu (emo dubu) dan penyelidik alam (jamemba). Alam semesta sudah diberi hak dan kepercayaan untuk menjamin kehidupan manusia, sehingga di wilayah tertentu ada tempat-tempat terlarang. Kepada leluhur sudah diberi kepercayaan untuk menurunkan perintah dan menjamin kenyamanan keturunannya. Kepada manusia sudah diberi hak untuk saling menjaga martabat dan hak seseorang maupun ciptaan lainnya.

Oleh sebab itu, orang Migani dapat mengakui bahwa:
Emo Ugupa Juge Ongga Degao[9]. Artinya: Pada mulanya EMO menciptakan segala sesuatu, ketika masih di atas “pagar dunia”[10].
Emo Ugupa Mege Deo Togagao”[11]. Artinya: EMO sudah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing, sehingga semuanya tidak tercampur-baur.
Emo Ugupa Mege Buga Degao[12]. Artinya setelah menciptakan segalanya, EMO telah memberikan hak dan tanggung jawab kepada semua ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, semuanya harus dihargai pada tempat dan fungsinya masing-masing.

Namun, jika orang Migani tidak menempatkan segala ciptaan pada tempatnya masing-masing dan tidak menghargainya sesuai fungsi adanya, maka kehidupan akan menjadi ancaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya: seharusnya manusia memandang alam atau tanah sebagai mama, tetapi alam dirusak seenaknya, maka diyakini bahwa alam akan marah dan bertindak sesuai dengan caranya sendiri.

Oleh sebab itu, segala ciptaan harus berada pada tempat dan dunianya masing-masing. Hanya relasilah yang akan mempersatukan semua pihak. Relasi yang dimaksudkan oleh Orang Migani adalah menempatkan segala sesuatu pada tempat dan posisinya, sesuai dengan fungsinya melalui dialog, tanpa mengganggu kenyamanannya.

Dengan demikian, untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan tersebut, Orang Migani harus mengadakan rekonsiliasi yang akan dijelaskan pada bagian II.

JEBADISIA (REKONSILIASI)

Pengertian Jebadisia
“Jebadisia” terdiri dari dua kata yakni “Jeba” dan “Disia”. “Ba” artinya kotoran manusia. Jika ditambah awalan “Je”, berarti makna kata yang lebih berat. Maksudnya bukan lagi kotoran manusia yang biasa, melainkan kotoran yang melampaui. Kotoran yang dimaksud lebih pada pelanggaran-pelanggaran dan perbuatan-perbuatan kotor manusia/amoral.

Oleh karena itu, “Jeba” berarti perbuatan kotor yang tidak pantas untuk dilakukan terhadap diri sendiri, sesama manusia, leluhur, alam maupun EMO. Pelanggaran-pelanggaran itu mencakup inces dan zinah (tubaga), mengutuk orang (maijambaia, pisigimaia dan baeato), pembunuhan (mene wagamaia/mbole), pemerkosaan (me mea tubaga dia), penipuan (dolebugu dole), pencurian dan merampas hak orang lain (hane sengga), lewat di tempat-tempat terlarang (Mbaipa naia) dan lain-lain. Sedangkan “disiaartinya membersihkan, memulihkan atau memperbaiki. Jadi, “Jebadisia” artinya menghapuskan dan memberbaiki relasi yang sudah terputus akibat pelanggaran-pelanggaran di atas.

Istilah “Jebadisia” selalu berhubungan dengan Usi dan Mbai, yakni  apa yang boleh dilakukan (usi) dan apa yang tidak boleh dilakukan atau terlarang (mbai) oleh suku bangsa Migani. Dalam budaya Migani, sesuatu yang terlarang dengan sesuatu yang tidak terlarang, jika tidak diposisikan pada tempatnya masing-masing, maka kehidupan akan terancam secara langsung maupun tidak langsung atau mengalami kemalangan. Dengan demikian, Jebadisia menjadi jalan keluar/solusi yang tepat untuk menormalkan kembali situasi kacau-balau dan menempatkan pada tempatnya masing-masing, agar tidak lagi  saling mengganggu satu sama lain.

Dalam pemahaman orang Migani, kehidupan manusia yang baik adanya akan menjadi kacau-balau, jika manusia sendiri berlebihan dalam tindakannya. Tindakan berlebihan yang dimaksud adalah caramanusia  yang keliru, yang tidak tahu menempatkan usi pada tempatnya dan mbai pada tempatnya. Dengan demikian, tindakan-tindakan terlarang akan mengakibatkan putusnya hubungan pribadi dengan sesama, dengan leluhur, dengan alam dan dengan EMO.

Syarat-syarat dalam Ritus “Jebadisia
Adapun beberapa syarat dan ketentuan yang harus ditaati dan diikuti oleh orang Migani dalam melaksanakan ritus Jebadisia. Syarat-syaratnya sebagai berikut:

Orang-orang
Berdasarkan hasil wawancara dengan semua informan dan para pelaku[13] ritus Jebadisia, mereka mengatakan bahwa marga yang berhak melakukan ritus Jebadisia adalah hanya satu marga yakni marga Bagubau. Namun, tidak semua yang bermarga Bagubau bisa melakukan Ritus Jebadisia. Hanya satu keluarga Bagubau (Bagubau tuma hagoma bobopa) di bagian Dugindoga (Bilogai-Sugapa) adalah keluarga bapak Sulageme Bagubau dan di bagian Kemandoga (Bilai-Homeyo) adalah keluarga bapak Ogoba Bagubau[14]. Mereka adalah satu keluarga besar yang hidup di dua wilayah yakni Dugindoga dan Kemandoga.

Semua informan mengatakan bahwa hanya mereka inilah yang berhak untuk membersihkan atau memurnikan orang dari kedosaannya yakni melakukan Ritus Jebadisia. Oleh sebab itu, bagi orang Migani yang mau melakukan ritus Jebadisia, biasanya membayar keluarga tersebut untuk menjadi pemimpin ritus Jebadisia.

Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata keluarga tersebut adalah keturunan seorang tokoh mitos Peabega[15]. Tokoh Peabega nama waktu kecilnya adalah Iuju Aoju artinya anak laki-laki awal dan akhir (Alpa dan Omega) dan nama setelah dia menjadi dewasa adalah Peagabega.[16] Peabega adalah seorang peramal ulung yang pernah hidup dalam kehidupan Suku Bangsa Migani dan hadir di setiap tempat orang yang sedang melakukan kejahatan. Misalnya, ketika seorang mau mencuri, Peabega hadir dan membatasinya. Ketika orang mau melakukan perzinahan dan inces, pembunuhan dan kejahatan lainnya, ia selalu hadir dan membatasinya. Upaya ini dilakukannya supaya manusia Migani hidup dalam kedamaian sesuai ketentuan budayanya[17].

Dengan demikian, mereka yang bisa bergabung atau menjadi peserta dalam upacara Jebadisia adalah mulai dari anak yang bisa mengerti bahasa dan memahami apa yang dia lakukan (mego buli/hiwa heta), hingga orang tua (etaga mene). Jumlahnya tidak dibatasi.

Bahan-bahan
Secara umum, orang Migani menggunakan sesuatu dan mengatakan sesuatu secara simbolis, menggambarkan sesuatu yang belum terungkap dan tidak tampak di mata. Apa yang tidak nampak, dijelaskan dalam tindakannya, ketika menggunakan dan mengatakan sesuatu. Oleh sebab itu, di bawah ini bahan-bahan yang biasa digunakan dalam Ritus Jebadisia dan maknanya. Bahan-bahan atau sarana yang biasa digunakan dalam ritus Jebadisia, dapat dikelompokkan menjadi tiga, sebagai berikut:

Imbando Noa atau Bohoga (bahan-bahan yang ada di sekitar kampung)

Juginono Jalu
Juginono jalu adalah sejenis tumbuhan yang daunnya lebar dan panjang, ujungnya agak berlipat-lipat, bagian pucuk berwarna merah mudah terang, dan di bagian bawah berwarna merah kehijauan dan batangnya lurus. Tumbuhan ini mudah dicabut karena akarnya tidak menjalar ke mana-mana. Tumbuhan tersebut, sangat berharga dalam kehidupan orang Migani, karena biasa dan harus digunakan dalam segala ritus dalam budaya Migani. Selain itu tumbuhan tersebut juga biasa ditanam di tengah-tengah kebun atau di pinggir nduni (honai laki-laki) dan menempatkan pelindung di tempat itu.

Orang Migani biasa menyimbolkan juginono sebagai tambuso artinya terang obor. Dengan terang juginono orang bisa melihat sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak dapat dijangkau dengan indrawi manusia.  Ada banyak macam jalu, tetapi hanya juginono yang sangat berharga dan bernilai mistik dalam kehidupan suku Migani. Bahan tersebut dalam ritus Jebadisia, biasa digunakan sebagai simbol obor, diletakkan di tempat yang akan menjadi pusat pelaksanaan ritus Jebadisia

Selege Sao
Selege adalah sejenis tumbuhan yang biasa tumbuh di bekas-bekas kebun atau di padang rumput yang kering. Sao berarti bunga atau kembang. Kembang tersebut berwarna putih berkilau. Jadi selege sao berarti kembang atau bunga dari tumbuhan yang bernama selege. Bahan tersebut biasa digunakan dalam ritus Jebadisia, sebagai simbol kesucian dan kemurnian. Kembang tersebut biasa ditaburkan bersama bamo sao, doe hoga dan ndoge hoga di permukaan air yang sudah dibendung untuk ritus Jebadisia.

Bamo Sao
Bamo sao adalah sejenis bunga atau tumbuhan lunak yang batang dan daunnya hijau-putih, tetapi kembang/bungannya berwarna putih berkilau. Tumbuhan tersebut biasanya hidup di tempat-tempat basah dan berlumut, di sekitar pinggiran kali. Bahan tersebut biasanya dihamburkan di permukaan air yang sudah dibendung, untuk membersihkan diri dengan bunga tersebut. Dengan demikian, bamo sao digunakan sebagai simbol kesucian dan kemurnian (memurnikan diri).   

Doe hoga
Doe hoga adalah daun dari sejenis pohon yang biasa tumbuh di sekitar pinggir kali. Daunnya terdiri dari dua warna yakni bagian atas berwarna hijau, sedangkan bagian bawah berwarna putih berkilau. Bahan tersebut, biasa dihamburkan dipermukaan air, bersama daun-daun lainnya. Dengan demikian, doe hoga simbol dari kehidupan (hijau) dan kesucian (putih).

Ndoge Hoga
Ndoge hoga juga mirip dengan doe hoga dalam arti dua warna, namun daunnya kecil tidak seperti lebarnya doe hoga. Pohon tersebut biasanya tumbuh di kebun dan di pinggir rumah. Orang Migani menggunakan daun tersebut dalam ritus Jebadisia, di mana bagian warna hijau adalah simbol kehidupan dan bagian warna putih menyimbolkan kesucian.

Bahan-bahan ini, akan dicampur dan dihamburkan di permukaan air yang sudah dibendung. Bahan-bahan tersebut, akan diambil dan digosok di bagian seluruh tubuh setiap orang/anggota ritus Jebadisia. Pertama harus dimulai oleh pemangku ritus tersebut. Namun sebelum membersihkan diri dengan daun-daun tersebut, pertama-tama setiap anggota harus mengaku setiap kesalahan dan pelanggaran yang pernah dilakukannya[18] di pinggir air tesebut, secara pribadi dan tidak boleh didengar oleh pemangku ritus tersebut[19]. Diyakini bahwa alam, leluhur dan EMO, akan membuka telinga dan sedang mendengarkan di depan sesama yang adalah saksi. Simbol-simbol tersebut adalah suatu harapan (ideal) yang dinyatakan dalam tindakan pembersihan diri dari segala kesalahan dan pelanggaran.

Mbilindo Noa/Bohoga (bahan-bahan yang harus dibawa dari hutan)

 Ji hoga
Ji hoga adalah daun dari pohon ji, yang biasa tumbuh di hutan. Pohon tersebut pohon ternama, karena buahnya selalu banyak dan setiap jenis burung akan hinggap di pohon tersebut dan memakan buahnya (begage hapawidua bo). Burung yang dimaksud juga tergolong dalam burung ternama dalam suku Migani yakni wewe, diigi, koabu dan bodinggi yang tergolong dalam jenis burung nuri dan urip.

Orang Migani meyakini bahwa setelah melakukan Jebadisia, memurnikan diri dari kesalahan dan pelanggaran, mereka ingin atau mengharapkan seperti pohon ji atau Jibo yang buahnya selalu banyak dan selalu dikunjungi oleh setiap burung. Hal tersebut simbol dari keberhasilan dalam setiap usaha dan perjuangan mereka, dan ingin menjadi orang terpandang dalam masyarakat. Dengan demikian, daun tersebut (ji hoga) akan dihambur dalam minyak babi yang sudah disediakan bersama daun-daun lainnya.

 Deba hoga
Deba hoga adalah daun dari pohon deba yang terkenal dan pohon ternama dalam kehidupan orang Migani karena harumnya. Pohon tersebut cenderung tumbuh di hutan. Daunnya dibawa dari hutan dan orang Migani biasa meletakkan dalam nduni (honai laki-laki). Di dalam nduni biasa orang Migani meletakkan deba hoga dan beberapa jenis daun yang sama harumnya, seperti kega-kega hoga, mbui hoga, dane hoga dan tugi hoga[20], di tempat khusus di samping (dalam nduni) dan tempat itu sakral, karena di tempat itulah mereka menempatkan nenek moyang dan pelindung mereka (leluhur).  Dalam nduni itu anak di bawah umur lima tahun dan perempuan tidak bisa masuk, karena mbai nduni/debahoga maea nduni, artinya rumah terlarang atau tempat adanya deba doga[21].

Deba hoga dan daun-daun lain yang sudah disebut di atas, dalam ritus Jebadisia digabung dan dihamburkan di permukan minyak babi yang sudah ditampung dalam Bubigi (wajan). Daun tersebut pada akhirnya akan digosok di seluruh tubuh setiap orang yang sudah bergabung dalam ritus Jebadisia, sebagaimana hal di atas (membersihkan diri dengan daun-daun bersama air di bagian awal). Simbol dari daun tersebut adalah menarik perhatian dari sesama, leluhur, alam dan EMO, karena kaharumannya.

Dengan demikian, Orang Migani meyakini bahwa dengan keharuman daun-daun dan minyak babi tersebut, yang kelihatan yakni sesama dan “alam” maupun yang tidak kelihatan yakni Leluhur dan EMO, akan memandang mereka dengan hati yang terbuka.

Degepea dan Bo Pembe
Dege adalah lumut kering dari pohon-pohon besar yang sudah tua. Lumut tersebut, biasanya tumbuh di pohon besar yang tinggi, di ranting-ranting yang sudah tua dan keras. Oleh sebab itu sulit untuk mendapatkannya. Tambah akhiran pea berarti putih. Jadi degepea artinya lumut pohon yang berwarna putih. Bentuknya agak lebar dan tumbuh menyebar di sekitar ranting pohon yang terkupas dan indah dipandang.

Sedangkan, bo pembe terdiri dari dua kata yaitu bo dan pembe. Bo artinya pohon atau kayu, pembe artinya rambut putih. Maka bo pembe artinya rambut putih dari pohon yang sudah tua. Bo pembe biasa tumbuh bersamaan dengan dege tetapi bo pembe bentuknya kecil, sama seperti rambut manusia, dan panjang yang biasa tergantung pada ketinggian pohon-pohon besar, warnanya putih berkilau dan indah dipandang. Kedua jenis tumbuhan ini, jarang tumbuh di atas pohon-pohon kecil dan muda.

Fungsi dari kedua bahan dalam ritus Jebadisia adalah untuk menutup lingkaran bubigi (wayan) yang sudah disediakan untuk menampung minyak babi dan diikat dengan sebuah tali yang namanya peaholo/soholo artinya rotan yang berwarna putih. Ketiga bahan tersebut adalah bagian inti dalam ritus Jebadisia. Maka ketiga bahan tersebut harus diadakan dengan perjuangan yang cukup rumit. Simbolnya adalah mau hidup seperti dege dan pembe yang hidup di ketinggian pohon-pohon besar, dengan warna khas putih yakni kesucian dan kemurnian diri. 

Mbuitambu ne Debatambu
Mbuitambu terdiri dari dua kata yaitu mbui dan tambu. Mbui/mbuibo adalah nama sebuah pohon dan tambu artinya obor. Jadi mbuitambu artinya obor dari pohon yang bernama mbuibo. Sedangkan debatambu adalah obor dari kayu deba bo. Kedua kayu tersebut biasanya dibelah kecil-kecil dan dikeringkan untuk membuat semacam obor, agar diletakkan di atas penampung minyak babi yang sudah disediakan dan membakar lemak-lemak babi ritus. Dengan demikian minyaknya dapat jatuh di penampungan (bubigi) yang sudah disediakan.

Fungsi kedua bahan di atas dalam ritus Jebadisia adalah yang pertama untuk membuat bubigi yakni wajan atau penampung minyak babi dan daun-daun dari hutan. Fungsi kedua adalah untuk membuat obor yang akan membakar lemak-lemak babi ritus. Kedua bahan tersebut adalah bahan yang dibutuhkan dan penting, maka tidak bisa dipisahkan dari ritus Jebadisia.

Peaholo dan Molage
Peaholo dan molage adalah dua jenis rotan berwarna putih. Kedua bahan tersebut biasanya membuat lingkaran, supaya setiap orang yang sudah dibersihkan dan dimurnikan dari ritus Jebadisia, masuk dalam lingkaran tersebut untuk menanti pembersihan bagian dalam tubuh dengan makan gemuk babi ritus. Simbol dari kedua rotan putih adalah lambang kesucian dan kemurnian.

 Wogo (Ritus Babi)
Babi adalah bagian terpenting dari kehidupan orang Migani. Hampir semua ritus dalam budaya Migani harus dikorbankan dengan babi. Maka, dalam ritus Jebadisia harus ada dua sampai empat ekor babi yang besar dan gemuk.

Ada beberapa fungsi babi dalam upacara ritus Jebadisia yaitu, untuk menyenangkan EMO, alam, leluhur dan sesama (megodinggi dega wonaia). Minyaknya digosok di bagian seluruh tubuh dengan keyakinan menghapus kesalahan yang melekat pada diri. Daging dan gemuknya dimakan dengan tujuan membersihkan kedosaan yang ada dalam diri.

Dengan demikian, ternak babi menjadi bagian yang terpenting dalam ritus Jebadisia, tetapi tidak mengabaikan nilai benda-benda atau bahan-bahan lain yang sudah dijelaskan di atas.
Du Mundia (membendung air/membuat kolam)

Dalam ritus Jebadisia, biasa disediakan dua kolam. Kolam yang pertama harus dibuat/dibendung jauh dari keramaian dan dari anak sungai yang jernih, hidup dan deras. Bendungan tersebut, harus dibuat dekat dengan sungai besar dan jalannya harus dibersihkan, supaya pada akhir upacara, ketika bendungan itu dibongkar, genangannya mengalir mulus ke sungai besar. Sedangkan, kolam atau bendungan yang kedua harus dibuat di dekat rumah, karena kolam tersebut tidak bisa dibongkar dalam waktu yang lama, sehingga mudah dikontrol.
Selain membendung air, dalam ritus Jebadisia, juga harus ada Hogapa endaua du artinya air yang akan digunakan untuk disiram dalam sayur dan daging bakar batu dan untuk diminum saat ritus Jebadisia berlangsung. Air tersebut harus diambil dari sungai  Kemabu[22] (bagi yang dibuat ritus bagian Kemandoga), diyakini bahwa air tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena air tersebut mengalir dari Mbainggela Pigu (batu atau gunung terlarang) yang kini disebut Gunung Kartenz.

Tempat Pelaksanaan Ritus Jebadisia
Ritus Jebadisia harus dilakukan di tempat yang jauh dari keramaian dan harus dekat dengan sungai besar, supaya orang lain yang tidak bersangkutan tidak terjebak dalam ritus Jebadisia atau biasa disebut koyaiya[23]. Selain itu kotoran-kotoran yang sudah ditampung, dengan mudah dialirkan ke dalam sungai besar saat membongkar air yang sudah dibendung pada akhir ritus.

Dengan demikian, ritus Jebadisia harus dilaksanakan di tempat yang jauh dari keramaian dan harus dekat dengan sungai besar, supaya proses tersebut tidak diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bersangkutan. 

Susunan Upacara Ritus Jebadisia
Oleh sebab itu, sebelum mencapai puncak pelaksanaan upacara ritus Jebadisia, orang yang mau melakukan ritus Jebadisia harus berdialog dengan para pelaku yang berwewenang, yakni tua-tua adat dan mempersiapkan kigi (“kulit bia” atau uang untuk zaman sekarang), wogo (babi) untuk melakukan upacara ritus Jebadisia dan bahan-bahan yang sudah dijelaskan pada bagian awal, entah bahan-bahan dari hutan maupun bahan-bahan yang ada di sekitar kampung[24].
Bahannya dicari bersama pelaku (pemimpin), karena mereka yang lebih mengetahui dan ada rahasianya. Dengan demikian, dalam upacara ritus Jebadisia harus melewati tiga tahap yaitu sebagai berikut:

Tahap Disia
Kata disia berarti menyapu atau membersihkan. Dalam tahap ini, orang-orang yang  akan melakukan Jebadisia, harus membersihkan dan membawa bekas-bekas pakaian seperti; igi depa (tikar asli yang sudah lapuk/bekas), ombo depa (noken bekas), hitai nggela ne hu/mboene (abu dan batu tipis yang biasa dipakai sebagai alas tungku api), ulage (manit-manik asli yang hitam) dan dinggi sangge (pisau asli/pisau batu yang hitam)[25].

Barang-barang tersebut dibawa oleh setiap peserta ritus Jebadisia, ke tempat kolam atau bendungan yang sudah disediakan, kemudian diserahkan pada pemimpin ritus Jebadisia. Hal tersebut, symbol pelepasan kehidupan lama, serta semua kesalahan dan pelanggarannya.
Setelah menerima semuanya, para tua-tua adat meletakkan semua itu  dengan kata-kata mantranya, di tempat yang sudah disediakan, yakni di dalam parit atau jalan air yang akan dibongkar pada akhir ritus tersebut (duge puapa hataya). Dengan demikian, semua anggota menyiapkan diri untuk masuk pada tahap kedua, yakni tahap wonaia.

Tahap Wonaya
Wonaya artinya membersihkan dan menghilangkan suatu noda atau sesuatu yang melekat. Pada tahap ini, semua peserta yang terlibat dalam ritus tersebut, maju satu per satu dan dimandikan oleh pemangku ritus dengan kata-kata rahasia, dan diikuti dengan pengakuan kesalahan secara pribadi terhadap sesama, alam, leluhur dan EMO, di atas daun-daun yang sudah dihamburkan di atas air dan membersihkan dirinya, mulai dari kepala sampai di kaki dan dari depan ke belakang.

Setelah wonaya, daunnya dibuang di parit genangan air yang akan dialirkan (duge puapa hataya). Setelah itu, seorangpun tidak diperbolehkan untuk menoleh[26] ke tempat yang sudah meletakkan semua kesalahan dalam bentuk dedunan dan segala macam bekas di bagian genangan air, hingga pelaku Jebadisia membongkar bendungan tersebut. Ketika bendungan itu dibongkar, semua peserta harus berteriak dan hura-hura (dimigidia) tanpa terkecuali, yang menyimbolkan pengusiran semua keburukan yang sudah dilepaskan.

Tahap Wondaya
Wondaya artinya melepaskan yang ternoda. Wondaya adalah arti pembersihan yang lebih mendalam dan bisa juga diartikan sebagai mengenakan tubuh baru. Bagian ini biasa dilakukan setelah disia dan wonaya. Proses wondaya hanya dilakukan oleh pelaku/pemimpin ritus Jebadisia. Wondaya biasa dilakukan dengan minyak babi yang sudah disediakan bersama daun-daun dari hutan. Kemudian, setelah wondaya, semua peserta masuk dalam suatu lingkaran yang sudah dilingkari dengan peaholo dan molage (tali rotan warna putih), sebagai simbol bahwa orang yang masuk dalam lingkaran itu adalah orang-orang yang sudah dimurnikan melalui tiga tahap tersebut.

Setelah masuk dalam lingkaran tersebut, semua anggota Ritus Jebadisia, makan lemak dan gemuk babi, simbol pembersihan bagian dalam tubuh. Dengan makan lemak dan gemuk babi, ritus Jebadisia diakhiri dan semua peserta pulang ke rumah dalam keheningan dan kedamaian.
Setelah melakukan upacara ritus Jebadisia, semua orang yang mengikuti ritus tersebut akan masuk dalam nduni (honai laki-laki) pada malam hari untuk mendengarkan ramalan-ramalan yang akan terjadi di masa depan dan yang akan diterima setelah pelaksanaan ritus Jebadisia, dari tua-tua adat atau pemimpin ritus Jebadisia.

Setelah semuanya berakhir, ada masa di mana setiap orang yang sudah terlibat dalam ritus Jebadisia, akan masuk dalam situasi Etaya yang artinya mengikuti aturan setelah ritus tersebut sesuai perintah para tetua. Misalnya dalam batas waktu tertentu, seorang tidak boleh makan ubi dan tidak bisa minum air sembarang sungai, kecuali dari air sungai Kemabu hingga batas waktu tertentu.

Oleh sebab itu, untuk makan petatas dan minum air, lambat atau cepat, peserta yang sudah mengikuti ritus Jebadisia harus pergi berburu kus-kus di hutan dan dimakan dengan daging kus-kus. Dengan demikian, harapan dan tujuannya tercapai yakni merasakan kedamaian dan kelimpahan, setelah mengikuti dengan baik, kaidah dan aturan ritus Jebadisia.

TUJUAN MELAKUKAN RITUS “JEBADISIA”
Tujuannya adalah Sawe ogondo, Migi Ogondo, Sopa emo Hajji Dagepa hiuapa.[27]. Migi dan Sawe adalah nama pohon, sejenis pohon Cina dan pohon Korek. Ogondo artinya bagian pucuk atau bagian yang lebih tinggi. Dan Sopa emo terdiri dari tiga kata yakni So, Pa dan Emo. So artinya terang, siang atau tanpa kegelapan. Pa menunjukkan tempat dan Emo artinya dunia atau tempat. Jadi Sawe ogondo, Migi Ogondo, Sopa emo adalah dunia tanpa kegelapan, kesusahan dan “dunia atas” yang terang.

Oleh sebab itu, istilah tersebut di atas adalah gambaran atau simbol dari sebuah dunia yang disebut dengan Hajji[28], situasi di mana orang menikmati hubungan yang harmonis dengan sesama, dengan leluhur, dengan alam dan dengan EMO, sehingga mengalami umur panjang, kebahagiaan, kejahteraan, kecerdasan dan berhasil dalam setiap perjuangan. Akhirnya orang merasakan kedamaian, yakni ame wae nata toa uma dia: Artinya saling menyapa antara satu sama lain tanpa beban.

Dengan demikian, tujuan dari Ritus Jebadisia adalah membersihkan diri dari pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan yang mengakibatkan putusnya relasi dengan sesama, dengan leluhur, dengan alam dan dengan EMO untuk mengikat kembali relasi yang sudah retak atau putus (Hajji Dage Hindia). Setelah melakukan ritus Jebadisia, seorang bisa masuk dan merasakan kehidupan yang diidealkannya yakni mengalami situasi, Sawe Ogondo Migi Ogondo, Hajjipa Hitia dan semua keharmonisan ditempatkan pada posisi dan tempatnya masing-masing, dan dinikmati. Singkatnya, yang hendak dicapai melalui ritus Jebadisia adalah kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup, berdasarkan relasi yang harmonis.

PENUTUP
Tulisan ini merupakan ringkasan dari salah satu bagian dalam skripsi yang pernah ditulis oleh penulis, di STFT “Fajar Timur” Abepura-Jayapura 2015, dengan judul: “RITUS JEBADISIA DALAM BUDAYA SUKU MIGANI”
Semoga para pembaca dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan penyimpangan dan pelanggaran yang dipahami oleh Orang Migani. Dan juga dapat memahami cara untuk memperbaiki penyimpangan dengan cara “Jebadisia”. Supaya hubungan antar sesama, leluhur, alam dan dengan EMO terjalin kembali. Dengan demikian, orang Migani mengalami hajji yakni keharmonisan dan kedamaian dalam hidup (Ame-wae ta toa uma dia).
Diharapkan tanggapan, saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan tulisan ini. Terimakasih!

Oleh Fransiskus Sondegau



[1]Baba artinya  nenek. Seorang nenek dalam budaya Migani, biasanya menyediakan segala sesuatu bagi cucu atau siapa saja yang biasa membantunya. Dengan demikian mereka yang mematuhi seorang nenek, tidak pernah mengalami kelaparan atau kesusahan. Karena ia (seorang nenek)fokus pada jaminan bagi mereka yang sedang membantu dan menyenangkan dia, entah memelihara babi ataupun menyediakan makanan.
[2] Tujambuga adalah sebuah nama kus-kus, dan Aigaso adalah nama kangkuru, yang diyakini pelindung dan penyelamat bagi marga-marga yang sudah dicantumkan.
[3] Aigaso adalah kangkuru, yang diyakini pelindung dan penyelamat bagi marga-marga yang sudah dicantumkan
[4]Wome/home artinya anjing, yang menjadi totem bagi marga-marga terkait di atas.
[5]Dinggiso adalah lao-lao yang menjadi pamaili bagi marga-marga yang sudah disebutkan di atas.
[6]Nanggabo adalah nama sejenis pohon yang menjadi pamali bagi marga-marga yang sudah dicantumkan. Biasanya, marga-marga tersebut tidak bisa bakar kayu dari pohon tersebut dan biasa sumpah dengan mematakan dahan atau anakan pohon tersebut.
[7]Undi puji adalah nama sejenis pisang, yang menjadi totem/pamali bagi marga Belau.
[8]Jahat hanya bagi orang yang melakukan kesalahan dan melanggar hukum budaya.
[9]Emo Ugupa Juge artinya seorang sosok laki-laki sejati di atas pagar dunia. Ongga degao artinya pernah menciptakan atau mengadakan. Jadi, kalimat tersebut mau menunjukkan tindakan sosok laki-laki tersebut. Ju yang dimaksudkan adalah gambaran EMO dalam rupa seorang laki-laki yang ganteng atau elok (laki-laki ideal).
[10]Kata-kata tersebut biasa muncul dalam lagu-lagu dan cerita-cerita rakyat atau mitos.
[11]Emo Ugupa Mege artinya bapa ( bapa ideal) yang ada di atas pagar dunia atau di dunia atas. Deo Togagao artinya pernah melepaskan satu dari yang lain dan menempatkan pada tempatnya masing-masing. 
[12]Emo Ugupa Mege artinya bapa ( bapa ideal) yang ada di atas pagar dunia atau di dunia atas. Buga Degao artinya memberi hak dan tanggung jawab.
[13]Pengakuan dari Fabianus Bagubau, Obet Bagubau, Amos Bagubau dan anak dari Bapak Ogoba Bagubau (pelaku ritus Jebadisia)
[14]Ritus Jebadisia diperlukan dan bisa dilakukan oleh semua orang Migani, namun yang harus menjadi pemimpin ritus Jebadisia adalah keluarga  yang namanya sudah tertulis di atas dan anak-anaknya yang tertua, karena mereka merupakan keluarga besar.
[15] Tentang  mitos Peabega pernah ditulis dan diuraikan dengan baik oleh Kleopas Sondegau dalam skripsinya yang berjudul; “Menemukan Wajah Yesus Dalam Diri Mitos Tokoh Peabega”. 2014.
[16]Wawancara: Fabianus Bagubau.
[17]Bdk. Kleopas Sondegau, “Menemukan Wajah Yesus dalam Tokoh Mitos Peagabega Orang Migani”, hal. 40-4
[18]Kesalahan yang masih diingat maupun yang tidak diingat dan tidak disadari, biasa disebut hanggigawa nema kihanggiga nema mbusia.
[19]Wawancara: Fabianus Bagubau.
[20] Daun-daun tersebut harus ada bersama deba hoga, untuk orang bisa mencium bau harum yang bermacam-macam dan terpesona.
[21]Jika orang mengatakan deba hoga maea nduni, orang yang mengetahui bahasa Migani akan mengerti maksudnya bahwa di dalam deba hoga ada leluhur atau pelindung, maka orang yang tidak bersangkutan, tidak akan sembarang masuk dalam rumah tersebut.
[22]Kemabu adalah sungai besar yang mengalir dari Mbainggelapa (batu terlarang) yang kini disebut Kartenz. Orang Migani meyakini bahwa air tersebut adalah Hajji Du (air suci), karena mengalir dari batu keramat/terlarang yakni Mbainggela.
[23]Koyaiya artinya orang yang tidak bersangkutan yang akan memikul semua kesalahan yang sudah ditampung, secara tidak sengaja atau tanpa disadari. Sebab diyakini bahwa akibatnya akan mendapat sakit keturunan dan kecendurungan untuk melakukan semua kesalahan atau amoral.
[24]Wawancara: Fabianus Bagubau.
[25]Wawancara: Andariana Migau, di rumahnya Jayanti-Nabire, 19 Desember 2014, pukul 17.00.
[26]Jika menoleh, diyakini menyetujui dan menerima kembali, segala macam kotoran yang sudah dibuang.
[27]Hasil diskusi dengan Umat Stasi St. Maria Bamba, Paroki Bilai.Tokoh utama Fabianus Bagubau, Antonia Migau, Yoseph Bagubau, Oktopianus Bagubau dan Ferdinandus Sondegau, Bilai 31 Desember 2014, pukul 20.30 WIT. 
[28]Lih. Yeskiel Belau, Hajji: “Konsep Keselamatan Orang Migani, Relevansi dengan Kesesalamatan menurut Ajaran Gereja Katolik. 2015.
Lokasi: Intan Jaya Regency, Papua, Indonesia

2 comments:

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT