Foto Fransiskus Sondegau |
Berdasar pada pengertian itu, kita mengerti bahwa kata Mbai selalu digunakan oleh orang Migani dalam konteks kehidupan mereka ketika melarang sesama agar tidak melalukan sesuatu dan mengatakan sesuatu yang dilarang dalam budaya maupun dalam kehidupan sosial itu "tidak boleh dilakukan". Sedangkan kata Usii digunakan untuk mengatakan kepada sesama agar mereka dapat melakukan sesuatau yang "dibolehkan", sesuatu yang baik dan benar serta perbuatan-perbuatan yang masuk akal.
Dalam hubungannya dengan kata Usii, ketika orang hidup dengan melakukan semua hal yang Usii atau diusikan itu secara baik dan bertanggung jawab, maka tindakannya ini bisa membawa berkat baginya dalam hidup di tanah orang Migani, Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga.
Demikian juga dalam hubungannya dengan kata Mbai, ketika orang melakukan tindakan-tindakan yang dimbaikan atau dilarang, maka sesunggunghnya tindakan-tindakan itu telah mengarah kepada penyimpangan terhadap diri sendiri, sesama, leluhur, alam dan terhadap EMO. EMO artinya Yang Ilahi atau Allah menurut orang Migani. Maka, atas kelalaian orang dalam taat pada semua yang dimbaikan itu bisa mendatangkan kutukan baginya dalam hidup di tanah orang Migani. Bentuk kutukan yang biasa dirasakan oleh orang Migani secara nyata adalah buruk dan rusaknya relasi mereka dengan sesamanya, alamnya, leluhurnya dan dengan Yang Ilahi (EMO) sendiri. Sehingga, mereka senantiasa mengalami kesusahan dan kesulitan hidup tanpa henti. Oleh karena kenyataan seperti ini, maka orang Migani selalu berusaha membebaskan diri dari kutukan ini. Membebaskan diri dari kutukan berarti memperbaiki relasi dengan semua pihak melalui suatu ritual yang biasa disebut "Jeba Disia". Jeba Disia artinya Rekonsiliasi khas Suku Bangsa Migani.
Memahami akan penjelasan itu, maka ditegaskan kembali lagi bahwa rekonsiliasi dalam budaya orang Migani itu biasa disebut dalam bahasa Migani dengan istilah JEBADISIA. Jebadisia ini dipandang sebagai cara yang paling tepat untuk memperbaiki hubungan yang telah putus antar sesama, leluhur, alam dan dengan EMO. Oleh karena seperti ini dan ini dipandang amat penting bagi orang Migani, maka saya berniat menuliskan hal ini dalam tulisan ini. Penjelasan ini mengandung arti bahwa dalam artikel ini, saya akan mengulas tentang PENYIMPANGAN dan proses JEBADISIA. Upaya ini dilakukan sebagai suatu ajakan positif kepada Orang Migani agar mereka menempatkan hal-hal yang berkaitan dengan Usii pada tempatnya. Dan, hal-hal yang berkaitan dengan Mbai pada tempatnya juga. Sehingga keduanya tidak tercampur baur dan tidak pula saling mengganggu antara satu sama lain.
Singkat kata, hukum kehidupan orang Migani hanya ada dua yaitu: Usii (yang boleh dilakukan dan Mbaii (yang tidak boleh dilakukan). Dengan demikian hal-hal Usii dan Mbaii yang dimaksud ini akan saya jelaskan secara detail pada bagian berikuta:
JENIS-JENIS PENYIMPANGAN MENURUT ORANG MIGANI
Penyimpangan Manusia terhadap Diri Sendiri
Menurut orang Migani, diri adalah ukuran segala sesuatu.
Dalam hal ini orang Migani biasa mengatakannya, “Aga mego kama aga aita, aga mego kama aga amage dingga, senggamuge
iniga, megoge haingga data dua diwiduame”. Arti harafiahnya, pikiran dan
hatimu adalah pengganti bapa dan ibumu, maka lihatlah, pikirlah dan lakukanlah.
Melihat (senggamuge inigia) bukan
hanya sekedar melihat dengan mata kepala semata, tetapi juga dengan mata hati,
berpikir (megoge hainggia) bukan
sekedar berpikir tetapi juga mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya dan
berbuat (duadia) bukan hanya sekedar
melakukan apa yang bisa dilakukan semata, melainkan menyadari apa yang
dilakukannya.
Pemahaman tersebut, diyakini bahwa: “Agati dega duago agatima uga himindeo”. Artinya, anda sendiri yang
menabur, maka anda sendirilah yang akan menuainya. Orang Migani memahami bahwa
apapun yang seorang lakukan, akibatnya akan ditanggungnya sendiri. Berdasarkan
pemahaman ini, orang Migani memandang dan menghargai sesama, leluhur, alam dan
EMO seperti dirinya sendiri. Berdasarkan pandangan tersebut, seorang mesti menempatkan
semua pada tempat dan posisinya masing-masing. Sebab, jika hal ini tidak
dilakukan oleh seseorang, maka akibatnya akan mengancam hidupnya sendiri.
Hal-hal yang bertolak belakang dengan melihat, berpikir dan berbuat adalah misalnya
merusak alam, menjual tanah, mencuri, inces, makan makanan atau binatang totem
dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut dikatakan, ogotima ogo holomindia, artinya dia menjerat diri sendiri.
Orang Migani juga memandang yang lain (sesama, leluhur, alam
dan EMO) sama seperti dirinya
sendiri. Oleh karena itu, penyimpangan yang dilakukan terhadap sesama, leluhur, alam dan EMO, sama halnya dengan penyimpangan dan penyangkalan terhadap
diri sendiri. Penyimpangan dan penyangkalan diri yang dimaksud adalah tindakan
tanpa pertimbangan berdasarkan senggamuge
inigia (melihat), megoge hainggia
(berpikir) dan duadia (berbuat).
Singkatnya bahwa orang Migani tidak menempatkan apa yang tidak boleh dilakukan
(mbai) pada tempatnya, dan apa yang
boleh dilakukan (usi) pada tempatnya.
Penyimpangan Manusia Terhadap Sesama
Mene Wagamaya
Kata Mene artinya:
orang atau manusia. Wagamaya adalah
kata kerja yang artinya: membunuh. Jadi “mene
wagamaya” artinya membunuh orang atau sesama. Orang Migani sangat
menghargai keberadaan sesama sama seperti dirinya. Oleh sebab itu, orang tua
selalu menasehati anak sejak kecil, supaya tidak membunuh sesama dengan larangan
“Mene waga kimapi duame”. Artinya:
jangan pernah membunuh. Mereka mengatakan
kepada anak supaya tidak membunuh, karena darah orang yang ia bunuh, selalu
akan mengikuti dan mengutuk seluruh perjuangan hidupnya! Dengan demikian,
janganlah membunuh.
Hal di atas, beda di medan perang. Semua yang bergabung
dalam perang, mereka berjuang untuk membunuh, untuk menunjukkan kejantanannya.
Orang yang membunuh akan dikenang dan dipuji. Tetapi pasti akhir perang akan
adakan ritus pembersihan darah yang disebut dengan ega besaya (pembersihan darah). Tetapi intinya kembali kepada
pemahaman di atas, bahwa jangan membunuh. Sebab, pembunuhan adalah tindakan
yang tidak terhormat dan tidak menghargai martabat manusia, sama seperti
dirinya sendiri. Jika seorang sudah melakukan pembunuhan, mereka harus
mengadakan rekonsiliasi.
Maijambaia
Kata “Maijambaia”
terdiri dari dua suku kata yaitu: Mai
dan Jambaia. Mai artinya tanah, Jambaia
artinya memotong. Jadi maijambaia
arti lurusnya, memotong/membelah tanah atau mengucapkan sumpah. Maksudnya bahwa
di dalam tanah ada cacing, sehingga orang melakukan tindakan “maijambaia” adalah mengeluarkan cacing
dari dalam tanah dan memotong atau melilitnya, sambil berkata-kata untuk mengutuk
orang. Dengan demikian, memotong cacing itulah yang dimaksud dengan memotong
tanah (maijambaia). Orang Migani
bersumpah atas nama tanah, merupakan sumpah atau kutukan yang paling berat.
Oleh sebab itu, maijambaia
adalah suatu tindakan tidak terhormat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu
untuk mengutuk orang lain. Tindakan ini dilakukan karena iri hati dengan orang
yang berkecukupan dalam hidupnya atau mengelabui cara berpikir orang-orang
terpandang (uji mene amu sigindaia). Supaya
tindakan buruknya itu tidak diketahui oleh orang lain. Misalnya, orang yang
sudah melakukan perbuatan inces (tubaga),
berusaha untuk mengutuk/mematikan cara berpikir orang-orang yang ada di
sekitarnya, supaya tidak mengetahui perbuatannya, karena takut dibunuh.
Selain itu, tindakan maijambaia
juga merupakan suatu cara untuk memacetkan perjuangan orang lain, karena iri
hati melihat keberhasilan orang lain, supaya tidak berkembang lagi. Dengan
cara-cara demikian, orang-orang tertentu dalam suku Migani berhasil mengutuk orang
lain. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak terhormat dalam kehidupan Orang
Migani. Maka, orang yang melakukan tindakan maijambaiia,
biasanya “dimusnahkan” atau dikucilkan (dibunuh atau diusir dari kampung).
Hane Senggadia
Kata hanesengadia
terdiri dari tiga akar kata yakni: Hane,
Sengga dan Dia. Hane artinya tangan, Sengga artinya gatal atau
tidak bisa tenang, dan Dia berarti melakukan atau merujuk pada tindakan. Jadi “hanesenggadia” berarti melakukan sesuatu,
karena tangannya gatal. Maksudnya adalah seorang mengambil barang milik orang
lain yang sebenarnya bukan miliknya, karena tangannya gatal. Orang-orang yang
melakukan hanesenggadia disebut
dengan segemene artinya pencuri.
Dalam hal ini, seorang biasa mencuri barang orang lain berupa babi, tanaman di
kebun dan barang-barang benda dalam rumah, dalam jumlah yang besar. Oleh karena
itu, ia disebut segemene atau hanesenggawa mene.
Dalam kehidupan Orang Migani, martabat seorang pencuri tidak
pernah dihargai. Oleh karena itu, masyarakat sepakat untuk membunuhnya, jika
kedapatan pencurian lagi atau dikucilkan dari kehidupan bersama. Orang Migani
yakini bahwa pencuri adalah orang yang sudah dikutuk oleh sesama, leluhur, alam
(megodinggi dega auge) dan EMO
sebagai wujud tertinggi yang selalu memperhatikan tindakan baik-buruk manusia
Migani.
Tubagadia
Tubagadia terdiri dari dua suku kata yakni: Tubaga dan Dia. Tubaga
artinya inces/berzinah dan dia
artinya melakukan, berbuat atau merujuk pada tindakan. Jadi “tubagadia” adalah tindakan melakukan
zinah atau inces.
Ada dua jenis tubaga
yaitu: Mbai tubaga yakni; inces yang berat dan tidak bisa dikompromi.
Dalam hal ini, hanya nyawa nyawa yang menjadi jaminan, jika seorang melakukan
hubungan seks dengan saudara atau saudari kandung, orangtua kandung, keluarga
kandung dan marga sekandung atau marga yang berasal dari satu leluhur yang sama
(inces). Sedangkan usi tubaga berarti “inces” yang ringan (berzinah), dapat diselesaikan
dengan “perang” atau denda yakni: pemerkosaan terhadap istri orang lain atau
selingkuh dan hal pemerkosaan lainya.
Penyimpangan Manusia Terhadap Leluhur
Dalam pandangan orang Migani, ada perbedaan antara leluhur
dan nenek moyang. Leluhur dalam
bahasa Migani adalah “maine pagone”. Mai artinya tanah dan Pago artinya humus. Tambahan “ne” di belakang merupakan kata
bantu/penghubung (dan). Jadi maine pagone berarti mereka yang sudah menjadi
tanah dan humus. Secara filosofis diyakini bahwa mereka menjadi sebuah tempat
seperti tanah dan humus, di mana satu rumpun atau suku bangsa akan bertumbuh
subur. Mereka itu pula yang pernah menjelma menjadi tumbuhan atau binatang yang
akan menjadi totem bagi keturunannya dan pasti dengan menyampaikan sesuatu yang
bersifat rahasia kepada rumpun tertentu. Kerahasiaan itulah yang akan dihayati
dan dilaksanakan, melalui ekspresi totem/pamali terhadap sesuatu.
Nenek moyang disebut dengan biu mena-mbao mena. Biu
artinya suatu tumbuhan di atas humus atau jamur dan kata mena berarti menandakan lebih dari dua generasi. Sedangkan Mbao mena artinya beberapa generasi kakek.
Jadi biu mena mbao mena berarti beberapa generasi setelah mai dan pago hingga kakek, dihitung dari generasi kekinian. Dengan
penjelasan demikian, jelaslah bahwa nenek moyang (biumena, mbaomena) adalah pelaksana dan penerus perintah dari leluhur
(mai dan pago).
Orang Migani berrelasi dengan leluhur, selalu berdasarkan
pada apa yang pernah diperintahkan oleh leluhur mereka. Selain itu, bisa juga
menghayati suatu keyakinan dengan peristiwa penyelamatan yang pernah dialami
oleh nenek moyangnya. Bukti nyata dari itu, orang Migani biasa menghayatinya
sebagai totem terhadap sesuatu, entah tumbuhan, benda-benda maupun binatang.
Memandang sesuatu sebagai totem, adanya suatu
penghayatan/keyakinan akan pengalaman keselamatan yang pernah dialami oleh
nenek moyang atau leluhur mereka pernah berubah menjadi wujud suatu binatang
atau pun tumbuhan. Maka sebagai penghargaan dan kenangan akan peristiwa
tersebut, keturunan dari moyang atau leluhur tertentu selalu menghormati
larangan yang diwariskan, supaya keselamatan itu tetap dialami dan dihargai
oleh keturunannya dan kenyamanan hidupnya tetap terjamin.
Sesuatu yang dipandang sebagai totem bagi orang Migani di
atas, diyakini sebagai baba[1].
Dialah yang akan menjadi pelindung bagi marga tertentu. Misalnya, Tujambuga[2]
adalah leluhur yang menjadi pelindung dan Aigaso[3]
sebagai penyelamat, yang menyelamatkan nenek moyang marga Sondegau-Duwitau
dan seklennya, maka totem bagi mereka. Wone/home[4],
totem bagi marga Japugau, Janambani, Bilambani, Tipagau, Kobogau dan seklennya.
Dinggiso[5]
adalah totem/pamali bagi marga Bagubau, Bagau, Holombau dan lain-lain. Nanggabo[6]
adalah totem bagi marga Migau dan Wandagau. Undi
puji[7]
adalah totem bagi marga Belau. Masih ada banyak tumbuhan dan hewan totem, namun
yang sudah disinggung di atas, hanyalah sebagai contoh dari sekian banyak totem
bagi setiap marga yang dalam suku bangsa Migani.
Alasan mengapa marga tertentu harus totem merupakan rahasia bagi marga yang bersangkutan. Oleh karena
itu, marga lain tidak boleh mengetahuinya, apalagi dipublikasikan, karena hal
tersebut menjadi rahasia marga. Hukum tersebut biasa dihayati oleh orang Migani
dan harus dipatuhi demi keharmonisan relasi antara leluhur dengan manusia,
supaya bisa merasakan kehidupan yang lebih baik, aman dan damai.
Dengan demikian, penyimpangan akan terjadi, jika orang-orang
tertentu dalam marga tertentu melanggar ketentuan di atas. Tindakan tersebut
akan membangkitkan amarah leluhur dan hidupnya akan terancam serta putusnya
hubungan, maka dibutuhkan ritus Jebadisia
untuk berdamai kembali.
Penyimpangan Manusia Terhadap Alam
Orang Migani meyakini bahwa alam mempunyai jiwa. Di dalam
dan sekitar alam, ada roh dan penyelidik yang benar dan tegas. Oleh karenanya, orang
Migani harus membangun relasi harmonis dan mematuhi hukum adat yang berkaitan
dengan menghargai dan melindungi alam. Orang Migani merumuskan hukum alam
dengan kata, Mbaipa atau Mbai emo yakni: tempat-tempat terlarang,
yang tidak bisa dilewati oleh sembarangan orang. Tempat-tempatnya sebagai
berikut:
Mene Wigigapa
Mene wigigapa artinya tempat berasalnya marga tertentu. Tempat tersebut
tidak bisa dilewati atau masuk oleh marga-marga lain. Hanya marga yang
bersangkutan, yang bisa masuk dan keluar di tempat tersebut. Jika orang yang
tidak bersangkutan melewati tempat itu, leluhur akan marah. Akibatnya adalah
orang tersebut mendapat sakit berat, bahkan meninggal dunia atau melahirkan
anak ub-normal. Tempat-tempat tersebut, biasanya berbentuk kolam tanpa air atau
lubang tanah dan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon ternama seperti migi, wano atau siga (semacam pohon
korek dan pohon cina) dan pohon-pohon ternama lainnya.
Jamembage Togapa
Jamemba artinya penyelidik alam yang kejam atau jahat[8],
sedangkan tambah ge dan togapa menunjukkan wilayahnya. Jadi Jamembage togapa adalah tempat adanya
penyelidik alam yang “kejam”. Oleh karena itu, wilayah tersebut tidak bisa
dilewati dengan sembarangan.
Ada beberapa tempat yang
harus dilewati oleh mereka yang murni, yakni: orang yang tidak bermasalah
dengan sesama, alam, leluhur dan EMO. Sedangkan orang yang bermasalah, harus
mengaku kesalahannya terlebih dahulu, sebelum melewati tempat-tempat tersebut,
supaya dapat diizinkan. Jika seorang pernah melakukan kesalahan seperti inces,
berhubungan seks di tempat-tempat terlarang, mencuri, membunuh dan tindakan
tidak terpuji yang lainnya, yang belum pernah mengaku kepada siapapun dan dirahasiakan,
melewati tempat itu, biasanya mendapat strok mendadak atau tidak bisa berjalan
lagi (higutojegia).
Oleh sebab itu, biasanya seseorang atau sekelompok orang, sebelum melewati tempat tersebut, harus mengaku semua kesalahannya. Selain itu, jika melihat burung atau pun kus-kus di tempat itu, tidak bisa membunuhnya, supaya orang bisa melewati tempat tersebut dengan selamat. Tempat-tempat tersebut, adalah Mbainggelapa; (Gresberg) jalan menuju Timika (Mbainggelapanige togapa) dan Magataga; jalan menuju Paniai (Munilogopanige togapa), Jateapa; jalan menuju Beoga dan ada banyak tempat di wilayah Dugindoga-Kemandoga. Mereka itu, diyakini sebagai penyelidik yang “jahat” bagi mereka yang melanggar hukum adat.
Oleh sebab itu, biasanya seseorang atau sekelompok orang, sebelum melewati tempat tersebut, harus mengaku semua kesalahannya. Selain itu, jika melihat burung atau pun kus-kus di tempat itu, tidak bisa membunuhnya, supaya orang bisa melewati tempat tersebut dengan selamat. Tempat-tempat tersebut, adalah Mbainggelapa; (Gresberg) jalan menuju Timika (Mbainggelapanige togapa) dan Magataga; jalan menuju Paniai (Munilogopanige togapa), Jateapa; jalan menuju Beoga dan ada banyak tempat di wilayah Dugindoga-Kemandoga. Mereka itu, diyakini sebagai penyelidik yang “jahat” bagi mereka yang melanggar hukum adat.
Tubaga Dega Mene Wayapa
Tubaga dega mene wayapa adalah tempat pembunuhan orang yang melakukan inces.
Tempat-tempat tersebut, tidak boleh dilewati sembarangan, karena diyakini bahwa
orang yang melewati tempat tersebut, akan terjebak atau “tertular” dan
berakibat pada mendapat kecenderungan melakukan inces. Maka, orang Migani menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai
tempat-tempat terlarang.
Maniga Pitapa
Maniga Pitapa adalah tempat adanya pelindung tanaman bagi keluarga atau
marga tertentu. Tempat ini biasanya terdapat di dalam kebun atau di samping
rumah, sehingga orang lain tidak bisa masuk sembarang apalagi mencuri.
Diyakini bahwa pelindung yang berada di situ akan marah
terhadap orang asing yang masuk di tempat tersebut. Akibat dari kemarahan ini
adalah orang tersebut mendapat sakit berat dan menjadi gila, bahkan bisa
meninggal dunia.
Mai Senapa Kigi Dutia
Mai senapa kigi dutia artinya: menjual tanah yang sebagai “mama”. Tanah dalam
pemahaman orang Migani bagaikan mama kandung yang selalu menyediakan segala
sesuatu bagi anaknya. Oleh karena itu, ada batas-batas wilayah yang tanahnya
menjadi hak ulayat marga-marga tertentu. Pada wilayah tersebut, marga-marga
tertentu saja yang berhak menanam, berburu, membangun rumah dan hidup di atas
tanahnya secara aman, nyaman dan damai. Batas-batas wilayah ini diketahui oleh
semua orang Migani.
Tanah adalah milik marga dan keluarga masing-masing. Oleh
karena itu, tanah dilarang keras untuk dijual. Tanah adalah mama yang selalu
menyediakan segala sesuatu. Menjual tanah berarti, sama dengan anak durhaka
yang menjual mama kandungnya sendiri yang; sudah melahirkannya, membesarkannya
dan memberi makan kepadanya. Penjualan tanah adalah pelanggaran paling berat
dalam kehidupan orang Migani. Sebab diyakini bahwa tanah itu akan mencabut
nyawa si penjualnya pula, serta mengutuk keturunan dari orang yang menjual
tanah.
Penyimpangan Manusia Terhadap Wujud Tertinggi (EMO)
Orang Migani meyakini bahwa EMO menciptakan segala sesuatu dan menempatkannya pada tempat dan
posisinya masing-masing. Untuk menjaga dan menjamin kenyamanan posisi pada
dunianya, EMO memberi kepercayaan
kepada manusia, para penunggu (emo dubu)
dan penyelidik alam (jamemba). Alam
semesta sudah diberi hak dan kepercayaan untuk menjamin kehidupan manusia,
sehingga di wilayah tertentu ada tempat-tempat terlarang. Kepada leluhur sudah
diberi kepercayaan untuk menurunkan perintah dan menjamin kenyamanan
keturunannya. Kepada manusia sudah diberi hak untuk saling menjaga martabat dan
hak seseorang maupun ciptaan lainnya.
Oleh sebab itu, orang Migani dapat mengakui bahwa:
“Emo Ugupa Juge Ongga
Degao[9]”.
Artinya: Pada mulanya EMO menciptakan
segala sesuatu, ketika masih di atas “pagar dunia”[10].
“Emo Ugupa Mege Deo
Togagao”[11].
Artinya: EMO sudah menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya masing-masing, sehingga semuanya tidak tercampur-baur.
“Emo Ugupa Mege Buga
Degao”[12].
Artinya setelah menciptakan segalanya, EMO
telah memberikan hak dan tanggung jawab kepada semua ciptaan-Nya. Oleh sebab itu,
semuanya harus dihargai pada tempat dan fungsinya masing-masing.
Namun, jika orang Migani tidak menempatkan segala ciptaan
pada tempatnya masing-masing dan tidak menghargainya sesuai fungsi adanya, maka
kehidupan akan menjadi ancaman, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Misalnya: seharusnya manusia memandang alam atau tanah sebagai mama, tetapi
alam dirusak seenaknya, maka diyakini bahwa alam akan marah dan bertindak
sesuai dengan caranya sendiri.
Oleh sebab itu, segala ciptaan harus berada pada tempat dan
dunianya masing-masing. Hanya relasilah yang akan mempersatukan semua pihak.
Relasi yang dimaksudkan oleh Orang Migani adalah menempatkan segala sesuatu
pada tempat dan posisinya, sesuai dengan fungsinya melalui dialog, tanpa mengganggu
kenyamanannya.
Dengan demikian, untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan
tersebut, Orang Migani harus mengadakan rekonsiliasi yang akan dijelaskan pada
bagian II.
JEBADISIA (REKONSILIASI)
Pengertian Jebadisia
“Jebadisia” terdiri dari dua kata yakni “Jeba” dan “Disia”. “Ba” artinya kotoran manusia. Jika ditambah awalan “Je”, berarti makna kata yang lebih
berat. Maksudnya bukan lagi kotoran manusia yang biasa, melainkan kotoran yang
melampaui. Kotoran yang dimaksud lebih pada pelanggaran-pelanggaran dan
perbuatan-perbuatan kotor manusia/amoral.
Oleh karena itu, “Jeba” berarti perbuatan kotor yang
tidak pantas untuk dilakukan terhadap diri sendiri, sesama manusia, leluhur,
alam maupun EMO. Pelanggaran-pelanggaran
itu mencakup inces dan zinah (tubaga), mengutuk orang (maijambaia, pisigimaia dan baeato), pembunuhan (mene wagamaia/mbole), pemerkosaan (me mea
tubaga dia), penipuan (dolebugu dole),
pencurian dan merampas hak orang lain (hane
sengga), lewat di tempat-tempat terlarang (Mbaipa naia) dan lain-lain. Sedangkan “disia” artinya
membersihkan, memulihkan atau memperbaiki. Jadi, “Jebadisia” artinya menghapuskan dan memberbaiki relasi yang sudah
terputus akibat pelanggaran-pelanggaran di atas.
Istilah “Jebadisia”
selalu berhubungan dengan Usi dan Mbai, yakni apa yang boleh dilakukan (usi) dan apa yang tidak boleh dilakukan
atau terlarang (mbai) oleh suku
bangsa Migani. Dalam budaya Migani, sesuatu yang terlarang dengan sesuatu yang
tidak terlarang, jika tidak diposisikan pada tempatnya masing-masing, maka
kehidupan akan terancam secara langsung maupun tidak langsung atau mengalami
kemalangan. Dengan demikian, Jebadisia
menjadi jalan keluar/solusi yang tepat untuk menormalkan kembali situasi
kacau-balau dan menempatkan pada tempatnya masing-masing, agar tidak lagi saling mengganggu satu sama lain.
Dalam pemahaman orang Migani, kehidupan manusia yang baik
adanya akan menjadi kacau-balau, jika manusia sendiri berlebihan dalam
tindakannya. Tindakan berlebihan yang dimaksud adalah caramanusia yang keliru, yang tidak tahu menempatkan usi
pada tempatnya dan mbai pada tempatnya. Dengan demikian, tindakan-tindakan
terlarang akan mengakibatkan putusnya hubungan pribadi dengan sesama, dengan
leluhur, dengan alam dan dengan EMO.
Syarat-syarat dalam Ritus “Jebadisia”
Adapun beberapa syarat dan ketentuan yang harus ditaati dan
diikuti oleh orang Migani dalam melaksanakan ritus Jebadisia. Syarat-syaratnya sebagai berikut:
Orang-orang
Berdasarkan hasil wawancara dengan semua informan dan para
pelaku[13]
ritus Jebadisia, mereka mengatakan
bahwa marga yang berhak melakukan ritus Jebadisia
adalah hanya satu marga yakni marga Bagubau. Namun, tidak semua yang bermarga
Bagubau bisa melakukan Ritus Jebadisia.
Hanya satu keluarga Bagubau (Bagubau tuma
hagoma bobopa) di bagian Dugindoga (Bilogai-Sugapa)
adalah keluarga bapak Sulageme Bagubau dan di bagian Kemandoga (Bilai-Homeyo) adalah keluarga bapak Ogoba Bagubau[14].
Mereka adalah satu keluarga besar yang hidup di dua wilayah yakni Dugindoga dan Kemandoga.
Semua informan mengatakan bahwa hanya
mereka inilah yang berhak untuk membersihkan atau memurnikan orang dari
kedosaannya yakni melakukan Ritus Jebadisia.
Oleh sebab itu, bagi orang Migani yang mau melakukan ritus Jebadisia, biasanya membayar keluarga tersebut untuk menjadi
pemimpin ritus Jebadisia.
Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata
keluarga tersebut adalah keturunan seorang tokoh mitos Peabega[15].
Tokoh Peabega nama waktu kecilnya
adalah Iuju Aoju artinya anak laki-laki awal dan akhir (Alpa dan Omega) dan nama
setelah dia menjadi dewasa adalah Peagabega.[16]
Peabega adalah seorang peramal ulung yang pernah hidup dalam kehidupan Suku
Bangsa Migani dan hadir di setiap tempat orang yang sedang melakukan kejahatan.
Misalnya, ketika seorang mau mencuri, Peabega
hadir dan membatasinya. Ketika orang mau melakukan perzinahan dan inces,
pembunuhan dan kejahatan lainnya, ia selalu hadir dan membatasinya. Upaya ini
dilakukannya supaya manusia Migani hidup dalam kedamaian sesuai ketentuan
budayanya[17].
Dengan demikian, mereka yang bisa
bergabung atau menjadi peserta dalam upacara Jebadisia adalah mulai dari anak yang bisa mengerti bahasa dan
memahami apa yang dia lakukan (mego
buli/hiwa heta), hingga orang tua (etaga
mene). Jumlahnya tidak dibatasi.
Bahan-bahan
Secara umum, orang Migani menggunakan sesuatu dan mengatakan
sesuatu secara simbolis, menggambarkan sesuatu yang belum terungkap dan tidak
tampak di mata. Apa yang tidak nampak, dijelaskan dalam tindakannya, ketika
menggunakan dan mengatakan sesuatu. Oleh sebab itu, di bawah ini bahan-bahan
yang biasa digunakan dalam Ritus Jebadisia
dan maknanya. Bahan-bahan atau sarana yang biasa digunakan dalam ritus Jebadisia, dapat dikelompokkan menjadi
tiga, sebagai berikut:
Imbando Noa atau Bohoga
(bahan-bahan yang ada di sekitar kampung)
Juginono Jalu
Juginono jalu adalah sejenis tumbuhan yang daunnya lebar dan panjang,
ujungnya agak berlipat-lipat, bagian pucuk berwarna merah mudah terang, dan di
bagian bawah berwarna merah kehijauan dan batangnya lurus. Tumbuhan ini mudah
dicabut karena akarnya tidak menjalar ke mana-mana. Tumbuhan tersebut, sangat
berharga dalam kehidupan orang Migani, karena biasa dan harus digunakan dalam
segala ritus dalam budaya Migani. Selain itu tumbuhan tersebut juga biasa
ditanam di tengah-tengah kebun atau di pinggir nduni (honai laki-laki) dan menempatkan pelindung di tempat itu.
Orang Migani biasa menyimbolkan juginono sebagai tambuso
artinya terang obor. Dengan terang juginono
orang bisa melihat sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak dapat dijangkau
dengan indrawi manusia. Ada banyak macam
jalu, tetapi hanya juginono yang sangat berharga dan
bernilai mistik dalam kehidupan suku Migani. Bahan tersebut dalam ritus Jebadisia, biasa digunakan sebagai
simbol obor, diletakkan di tempat yang akan menjadi pusat pelaksanaan ritus Jebadisia.
Selege Sao
Selege adalah sejenis tumbuhan yang biasa tumbuh di bekas-bekas
kebun atau di padang rumput yang kering. Sao
berarti bunga atau kembang. Kembang tersebut berwarna putih berkilau. Jadi selege sao berarti kembang atau bunga
dari tumbuhan yang bernama selege.
Bahan tersebut biasa digunakan dalam ritus Jebadisia,
sebagai simbol kesucian dan kemurnian. Kembang tersebut biasa ditaburkan
bersama bamo sao, doe hoga dan ndoge hoga di permukaan air yang sudah
dibendung untuk ritus Jebadisia.
Bamo Sao
Bamo sao adalah sejenis bunga atau tumbuhan lunak yang batang dan
daunnya hijau-putih, tetapi kembang/bungannya berwarna putih berkilau. Tumbuhan
tersebut biasanya hidup di tempat-tempat basah dan berlumut, di sekitar
pinggiran kali. Bahan tersebut biasanya dihamburkan di permukaan air yang sudah
dibendung, untuk membersihkan diri dengan bunga tersebut. Dengan demikian, bamo sao digunakan sebagai simbol
kesucian dan kemurnian (memurnikan diri).
Doe hoga
Doe hoga adalah daun dari sejenis pohon yang biasa tumbuh di sekitar
pinggir kali. Daunnya terdiri dari dua warna yakni bagian atas berwarna hijau,
sedangkan bagian bawah berwarna putih berkilau. Bahan tersebut, biasa
dihamburkan dipermukaan air, bersama daun-daun lainnya. Dengan demikian, doe hoga simbol dari kehidupan (hijau)
dan kesucian (putih).
Ndoge Hoga
Ndoge hoga juga mirip dengan doe
hoga dalam arti dua warna, namun daunnya kecil tidak seperti lebarnya doe hoga. Pohon tersebut biasanya tumbuh
di kebun dan di pinggir rumah. Orang Migani menggunakan daun tersebut dalam
ritus Jebadisia, di mana bagian warna
hijau adalah simbol kehidupan dan bagian warna putih menyimbolkan kesucian.
Bahan-bahan ini, akan dicampur dan dihamburkan di permukaan
air yang sudah dibendung. Bahan-bahan tersebut, akan diambil dan digosok di bagian
seluruh tubuh setiap orang/anggota ritus Jebadisia.
Pertama harus dimulai oleh pemangku ritus tersebut. Namun sebelum membersihkan
diri dengan daun-daun tersebut, pertama-tama setiap anggota harus mengaku
setiap kesalahan dan pelanggaran yang pernah dilakukannya[18]
di pinggir air tesebut, secara pribadi dan tidak boleh didengar oleh pemangku
ritus tersebut[19].
Diyakini bahwa alam, leluhur dan EMO,
akan membuka telinga dan sedang mendengarkan di depan sesama yang adalah saksi.
Simbol-simbol tersebut adalah suatu harapan (ideal) yang dinyatakan dalam
tindakan pembersihan diri dari segala kesalahan dan pelanggaran.
Mbilindo Noa/Bohoga (bahan-bahan yang harus dibawa dari hutan)
Ji hoga
Ji hoga adalah daun dari pohon ji,
yang biasa tumbuh di hutan. Pohon tersebut pohon ternama, karena buahnya selalu
banyak dan setiap jenis burung akan hinggap di pohon tersebut dan memakan
buahnya (begage hapawidua bo). Burung yang dimaksud juga tergolong
dalam burung ternama dalam suku Migani yakni wewe, diigi, koabu dan
bodinggi yang tergolong dalam jenis burung nuri dan urip.
Orang Migani meyakini bahwa setelah melakukan Jebadisia, memurnikan diri dari
kesalahan dan pelanggaran, mereka ingin atau mengharapkan seperti pohon ji atau Jibo yang buahnya selalu banyak dan selalu dikunjungi oleh setiap
burung. Hal tersebut simbol dari keberhasilan dalam setiap usaha dan perjuangan
mereka, dan ingin menjadi orang terpandang dalam masyarakat. Dengan demikian,
daun tersebut (ji hoga) akan dihambur
dalam minyak babi yang sudah disediakan bersama daun-daun lainnya.
Deba hoga
Deba hoga adalah daun dari pohon deba
yang terkenal dan pohon ternama dalam kehidupan orang Migani karena harumnya.
Pohon tersebut cenderung tumbuh di hutan. Daunnya dibawa dari hutan dan orang
Migani biasa meletakkan dalam nduni
(honai laki-laki). Di dalam nduni
biasa orang Migani meletakkan deba hoga
dan beberapa jenis daun yang sama harumnya, seperti kega-kega hoga, mbui hoga,
dane hoga dan tugi hoga[20],
di tempat khusus di samping (dalam nduni)
dan tempat itu sakral, karena di tempat itulah mereka menempatkan nenek moyang
dan pelindung mereka (leluhur). Dalam nduni itu anak di bawah umur lima tahun
dan perempuan tidak bisa masuk, karena mbai
nduni/debahoga maea nduni, artinya rumah terlarang atau tempat adanya deba doga[21].
Deba hoga dan daun-daun lain yang sudah disebut di atas, dalam ritus Jebadisia digabung dan dihamburkan di
permukan minyak babi yang sudah ditampung dalam Bubigi (wajan). Daun tersebut pada akhirnya akan digosok di seluruh
tubuh setiap orang yang sudah bergabung dalam ritus Jebadisia, sebagaimana hal di atas (membersihkan diri dengan
daun-daun bersama air di bagian awal). Simbol dari daun tersebut adalah menarik
perhatian dari sesama, leluhur, alam dan EMO, karena kaharumannya.
Dengan demikian, Orang Migani meyakini bahwa dengan
keharuman daun-daun dan minyak babi tersebut, yang kelihatan yakni sesama dan
“alam” maupun yang tidak kelihatan yakni Leluhur dan EMO, akan memandang mereka
dengan hati yang terbuka.
Degepea dan Bo Pembe
Dege adalah lumut kering dari pohon-pohon besar yang sudah tua.
Lumut tersebut, biasanya tumbuh di pohon besar yang tinggi, di ranting-ranting
yang sudah tua dan keras. Oleh sebab itu sulit untuk mendapatkannya. Tambah
akhiran pea berarti putih. Jadi degepea artinya lumut pohon yang berwarna
putih. Bentuknya agak lebar dan tumbuh menyebar di sekitar ranting pohon yang
terkupas dan indah dipandang.
Sedangkan, bo pembe
terdiri dari dua kata yaitu bo dan pembe. Bo artinya pohon atau kayu, pembe
artinya rambut putih. Maka bo pembe
artinya rambut putih dari pohon yang sudah tua. Bo pembe biasa tumbuh bersamaan dengan dege tetapi bo pembe
bentuknya kecil, sama seperti rambut manusia, dan panjang yang biasa tergantung
pada ketinggian pohon-pohon besar, warnanya putih berkilau dan indah dipandang.
Kedua jenis tumbuhan ini, jarang tumbuh di atas pohon-pohon kecil dan muda.
Fungsi dari kedua bahan dalam ritus Jebadisia adalah untuk menutup lingkaran bubigi (wayan) yang sudah disediakan untuk menampung minyak babi
dan diikat dengan sebuah tali yang namanya peaholo/soholo
artinya rotan yang berwarna putih. Ketiga bahan tersebut adalah bagian inti
dalam ritus Jebadisia. Maka ketiga
bahan tersebut harus diadakan dengan perjuangan yang cukup rumit. Simbolnya
adalah mau hidup seperti dege dan pembe yang hidup di ketinggian
pohon-pohon besar, dengan warna khas putih yakni kesucian dan kemurnian
diri.
Mbuitambu ne Debatambu
Mbuitambu terdiri dari dua kata yaitu mbui dan tambu. Mbui/mbuibo adalah nama sebuah pohon dan
tambu artinya obor. Jadi mbuitambu artinya obor dari pohon yang
bernama mbuibo. Sedangkan debatambu adalah obor dari kayu deba bo. Kedua kayu tersebut biasanya
dibelah kecil-kecil dan dikeringkan untuk membuat semacam obor, agar diletakkan
di atas penampung minyak babi yang sudah disediakan dan membakar lemak-lemak
babi ritus. Dengan demikian minyaknya dapat jatuh di penampungan (bubigi) yang sudah disediakan.
Fungsi kedua bahan di atas dalam ritus Jebadisia adalah yang pertama untuk membuat bubigi yakni wajan atau penampung minyak babi dan daun-daun dari
hutan. Fungsi kedua adalah untuk membuat obor yang akan membakar lemak-lemak
babi ritus. Kedua bahan tersebut adalah bahan yang dibutuhkan dan penting, maka
tidak bisa dipisahkan dari ritus Jebadisia.
Peaholo dan Molage
Peaholo dan molage adalah
dua jenis rotan berwarna putih. Kedua bahan tersebut biasanya membuat
lingkaran, supaya setiap orang yang sudah dibersihkan dan dimurnikan dari ritus
Jebadisia, masuk dalam lingkaran
tersebut untuk menanti pembersihan bagian dalam tubuh dengan makan gemuk babi
ritus. Simbol dari kedua rotan putih adalah lambang kesucian dan kemurnian.
Wogo (Ritus Babi)
Babi adalah bagian terpenting dari kehidupan orang Migani.
Hampir semua ritus dalam budaya Migani harus dikorbankan dengan babi. Maka, dalam
ritus Jebadisia harus ada dua sampai
empat ekor babi yang besar dan gemuk.
Ada beberapa fungsi babi dalam upacara ritus Jebadisia yaitu, untuk menyenangkan EMO,
alam, leluhur dan sesama (megodinggi dega
wonaia). Minyaknya digosok di bagian seluruh tubuh dengan keyakinan
menghapus kesalahan yang melekat pada diri. Daging dan gemuknya dimakan dengan
tujuan membersihkan kedosaan yang ada dalam diri.
Dengan demikian, ternak babi menjadi bagian yang terpenting
dalam ritus Jebadisia, tetapi tidak
mengabaikan nilai benda-benda atau bahan-bahan lain yang sudah dijelaskan di
atas.
Du Mundia (membendung
air/membuat kolam)
Dalam ritus Jebadisia,
biasa disediakan dua kolam. Kolam yang pertama harus dibuat/dibendung jauh dari
keramaian dan dari anak sungai yang jernih, hidup dan deras. Bendungan tersebut,
harus dibuat dekat dengan sungai besar dan jalannya harus dibersihkan, supaya
pada akhir upacara, ketika bendungan itu dibongkar, genangannya mengalir mulus
ke sungai besar. Sedangkan, kolam atau bendungan yang kedua harus dibuat di
dekat rumah, karena kolam tersebut tidak bisa dibongkar dalam waktu yang lama,
sehingga mudah dikontrol.
Selain membendung air, dalam ritus Jebadisia, juga harus ada Hogapa endaua du artinya air yang akan
digunakan untuk disiram dalam sayur dan daging bakar batu dan untuk diminum
saat ritus Jebadisia berlangsung. Air
tersebut harus diambil dari sungai Kemabu[22]
(bagi yang dibuat ritus bagian Kemandoga),
diyakini bahwa air tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena air
tersebut mengalir dari Mbainggela Pigu
(batu atau gunung terlarang) yang kini disebut Gunung Kartenz.
Tempat Pelaksanaan Ritus Jebadisia
Ritus Jebadisia
harus dilakukan di tempat yang jauh dari keramaian dan harus dekat dengan
sungai besar, supaya orang lain yang tidak bersangkutan tidak terjebak dalam
ritus Jebadisia atau biasa disebut koyaiya[23].
Selain itu kotoran-kotoran yang sudah ditampung, dengan mudah dialirkan ke
dalam sungai besar saat membongkar air yang sudah dibendung pada akhir ritus.
Dengan demikian, ritus Jebadisia
harus dilaksanakan di tempat yang jauh dari keramaian dan harus dekat
dengan sungai besar, supaya proses tersebut tidak diganggu oleh pihak-pihak
yang tidak bersangkutan.
Susunan Upacara Ritus Jebadisia
Oleh sebab itu, sebelum mencapai puncak
pelaksanaan upacara ritus Jebadisia,
orang yang mau melakukan ritus Jebadisia
harus berdialog dengan para pelaku yang berwewenang, yakni tua-tua adat dan
mempersiapkan kigi (“kulit bia” atau
uang untuk zaman sekarang), wogo (babi)
untuk melakukan upacara ritus Jebadisia
dan bahan-bahan yang sudah dijelaskan pada bagian awal, entah bahan-bahan dari
hutan maupun bahan-bahan yang ada di sekitar kampung[24].
Bahannya dicari bersama pelaku
(pemimpin), karena mereka yang lebih mengetahui dan ada rahasianya. Dengan
demikian, dalam upacara ritus Jebadisia harus
melewati tiga tahap yaitu sebagai berikut:
Tahap Disia
Kata disia berarti menyapu atau membersihkan. Dalam tahap ini, orang-orang
yang akan melakukan Jebadisia, harus membersihkan dan membawa bekas-bekas pakaian
seperti; igi depa (tikar asli yang
sudah lapuk/bekas), ombo depa (noken
bekas), hitai nggela ne hu/mboene (abu dan batu tipis yang biasa
dipakai sebagai alas tungku api), ulage (manit-manik
asli yang hitam) dan dinggi sangge
(pisau asli/pisau batu yang hitam)[25].
Barang-barang tersebut dibawa oleh
setiap peserta ritus Jebadisia, ke
tempat kolam atau bendungan yang sudah disediakan, kemudian diserahkan pada
pemimpin ritus Jebadisia. Hal
tersebut, symbol pelepasan kehidupan lama, serta semua kesalahan dan
pelanggarannya.
Setelah menerima semuanya, para tua-tua
adat meletakkan semua itu dengan
kata-kata mantranya, di tempat yang sudah disediakan, yakni di dalam parit atau
jalan air yang akan dibongkar pada akhir ritus tersebut (duge puapa hataya). Dengan demikian, semua anggota menyiapkan diri
untuk masuk pada tahap kedua, yakni tahap wonaia.
Tahap Wonaya
Wonaya artinya membersihkan dan
menghilangkan suatu noda atau sesuatu yang melekat. Pada tahap ini, semua
peserta yang terlibat dalam ritus tersebut, maju satu per satu dan dimandikan
oleh pemangku ritus dengan kata-kata rahasia, dan diikuti dengan pengakuan kesalahan
secara pribadi terhadap sesama, alam, leluhur dan EMO, di atas daun-daun yang
sudah dihamburkan di atas air dan membersihkan dirinya, mulai dari kepala
sampai di kaki dan dari depan ke belakang.
Setelah wonaya,
daunnya dibuang di parit genangan air yang akan dialirkan (duge puapa hataya). Setelah itu, seorangpun tidak diperbolehkan
untuk menoleh[26]
ke tempat yang sudah meletakkan semua kesalahan dalam bentuk dedunan dan segala
macam bekas di bagian genangan air, hingga pelaku Jebadisia membongkar bendungan tersebut. Ketika bendungan itu
dibongkar, semua peserta harus berteriak dan hura-hura (dimigidia) tanpa terkecuali, yang menyimbolkan pengusiran semua keburukan
yang sudah dilepaskan.
Tahap Wondaya
Wondaya artinya melepaskan yang ternoda. Wondaya adalah arti pembersihan yang lebih mendalam dan bisa juga
diartikan sebagai mengenakan tubuh baru. Bagian ini biasa dilakukan setelah disia dan wonaya. Proses wondaya
hanya dilakukan oleh pelaku/pemimpin ritus Jebadisia.
Wondaya biasa dilakukan dengan minyak
babi yang sudah disediakan bersama daun-daun dari hutan. Kemudian, setelah wondaya, semua peserta masuk dalam suatu
lingkaran yang sudah dilingkari dengan peaholo
dan molage (tali rotan warna
putih), sebagai simbol bahwa orang yang masuk dalam lingkaran itu adalah
orang-orang yang sudah dimurnikan melalui tiga tahap tersebut.
Setelah masuk dalam lingkaran tersebut, semua anggota Ritus Jebadisia, makan lemak dan gemuk babi,
simbol pembersihan bagian dalam tubuh. Dengan makan lemak dan gemuk babi, ritus Jebadisia diakhiri dan semua peserta
pulang ke rumah dalam keheningan dan kedamaian.
Setelah melakukan upacara ritus Jebadisia, semua orang yang mengikuti ritus tersebut akan masuk
dalam nduni (honai laki-laki) pada
malam hari untuk mendengarkan ramalan-ramalan yang akan terjadi di masa depan
dan yang akan diterima setelah pelaksanaan ritus Jebadisia, dari tua-tua adat atau pemimpin ritus Jebadisia.
Setelah semuanya berakhir, ada masa di mana setiap orang
yang sudah terlibat dalam ritus Jebadisia,
akan masuk dalam situasi Etaya yang
artinya mengikuti aturan setelah ritus tersebut sesuai perintah para tetua.
Misalnya dalam batas waktu tertentu, seorang tidak boleh makan ubi dan tidak
bisa minum air sembarang sungai, kecuali dari air sungai Kemabu hingga batas waktu tertentu.
Oleh sebab itu, untuk makan petatas dan minum air, lambat
atau cepat, peserta yang sudah mengikuti ritus Jebadisia harus pergi berburu kus-kus di hutan dan dimakan dengan
daging kus-kus. Dengan demikian, harapan dan tujuannya tercapai yakni merasakan
kedamaian dan kelimpahan, setelah mengikuti dengan baik, kaidah dan aturan
ritus Jebadisia.
TUJUAN MELAKUKAN RITUS “JEBADISIA”
Tujuannya adalah Sawe
ogondo, Migi Ogondo, Sopa emo Hajji Dagepa hiuapa.[27].
Migi dan Sawe adalah nama pohon, sejenis pohon Cina dan pohon Korek. Ogondo artinya bagian pucuk atau bagian
yang lebih tinggi. Dan Sopa emo
terdiri dari tiga kata yakni So, Pa dan Emo. So artinya terang, siang atau tanpa kegelapan. Pa menunjukkan tempat dan Emo
artinya dunia atau tempat. Jadi Sawe
ogondo, Migi Ogondo, Sopa emo adalah dunia tanpa kegelapan, kesusahan dan “dunia
atas” yang terang.
Oleh sebab itu, istilah tersebut di atas
adalah gambaran atau simbol dari sebuah dunia yang disebut dengan Hajji[28],
situasi di mana orang menikmati hubungan yang harmonis dengan sesama, dengan
leluhur, dengan alam dan dengan EMO, sehingga mengalami umur panjang,
kebahagiaan, kejahteraan, kecerdasan dan berhasil dalam setiap perjuangan. Akhirnya
orang merasakan kedamaian, yakni ame wae
nata toa uma dia: Artinya saling menyapa antara satu sama lain tanpa beban.
Dengan demikian, tujuan dari Ritus Jebadisia adalah membersihkan diri dari pelanggaran-pelanggaran dan
kesalahan yang mengakibatkan putusnya relasi dengan sesama, dengan leluhur,
dengan alam dan dengan EMO untuk
mengikat kembali relasi yang sudah retak atau putus (Hajji Dage Hindia).
Setelah melakukan ritus Jebadisia,
seorang bisa masuk dan merasakan kehidupan yang diidealkannya yakni mengalami
situasi, Sawe Ogondo Migi Ogondo, Hajjipa
Hitia dan semua keharmonisan ditempatkan pada posisi dan tempatnya
masing-masing, dan dinikmati. Singkatnya, yang hendak dicapai melalui ritus Jebadisia adalah kedamaian dan
kesejahteraan dalam hidup, berdasarkan relasi yang harmonis.
PENUTUP
Tulisan ini merupakan ringkasan dari salah satu bagian dalam
skripsi yang pernah ditulis oleh penulis, di STFT “Fajar Timur” Abepura-Jayapura
2015, dengan judul: “RITUS JEBADISIA DALAM BUDAYA SUKU MIGANI”
Semoga para pembaca dapat mengerti dan memahami apa yang
dimaksud dengan penyimpangan dan pelanggaran yang dipahami oleh Orang Migani.
Dan juga dapat memahami cara untuk memperbaiki penyimpangan dengan cara “Jebadisia”.
Supaya hubungan antar sesama, leluhur, alam dan dengan EMO terjalin kembali.
Dengan demikian, orang Migani mengalami hajji
yakni keharmonisan dan kedamaian
dalam hidup (Ame-wae ta toa uma dia).
Diharapkan tanggapan, saran dan kritikan yang membangun dari
para pembaca untuk menyempurnakan tulisan ini. Terimakasih!
Oleh Fransiskus Sondegau
[1]Baba
artinya nenek. Seorang nenek dalam budaya Migani,
biasanya menyediakan segala sesuatu bagi cucu atau siapa saja yang biasa
membantunya. Dengan demikian mereka yang mematuhi seorang nenek, tidak pernah
mengalami kelaparan atau kesusahan. Karena ia (seorang nenek)fokus pada jaminan
bagi mereka yang sedang membantu dan menyenangkan dia, entah memelihara babi
ataupun menyediakan makanan.
[2] Tujambuga adalah sebuah nama kus-kus, dan Aigaso adalah nama kangkuru, yang
diyakini pelindung dan penyelamat bagi marga-marga yang sudah dicantumkan.
[3] Aigaso adalah kangkuru, yang diyakini
pelindung dan penyelamat bagi marga-marga yang sudah dicantumkan
[6]Nanggabo adalah nama sejenis pohon yang
menjadi pamali bagi marga-marga yang sudah dicantumkan. Biasanya, marga-marga
tersebut tidak bisa bakar kayu dari pohon tersebut dan biasa sumpah dengan
mematakan dahan atau anakan pohon tersebut.
[8]Jahat hanya bagi orang yang
melakukan kesalahan dan melanggar hukum budaya.
[9]Emo
Ugupa Juge
artinya seorang sosok laki-laki sejati di atas pagar dunia. Ongga degao artinya pernah menciptakan
atau mengadakan. Jadi, kalimat tersebut mau menunjukkan tindakan sosok
laki-laki tersebut. Ju yang
dimaksudkan adalah gambaran EMO dalam rupa seorang laki-laki yang ganteng atau
elok (laki-laki ideal).
[10]Kata-kata tersebut biasa muncul
dalam lagu-lagu dan cerita-cerita rakyat atau mitos.
[11]Emo
Ugupa Mege
artinya bapa ( bapa ideal) yang ada di atas pagar dunia atau di dunia atas. Deo Togagao artinya pernah melepaskan
satu dari yang lain dan menempatkan pada tempatnya masing-masing.
[12]Emo
Ugupa Mege artinya
bapa ( bapa ideal) yang ada di atas pagar dunia atau di dunia atas. Buga Degao artinya memberi hak dan
tanggung jawab.
[13]Pengakuan dari Fabianus Bagubau, Obet
Bagubau, Amos Bagubau dan anak dari Bapak Ogoba
Bagubau (pelaku ritus Jebadisia)
[14]Ritus Jebadisia diperlukan dan bisa dilakukan oleh semua orang Migani,
namun yang harus menjadi pemimpin ritus Jebadisia
adalah keluarga yang namanya sudah
tertulis di atas dan anak-anaknya yang tertua, karena mereka merupakan keluarga
besar.
[15] Tentang mitos Peabega
pernah ditulis dan diuraikan dengan baik oleh Kleopas Sondegau dalam skripsinya
yang berjudul; “Menemukan Wajah Yesus
Dalam Diri Mitos Tokoh Peabega”. 2014.
[17]Bdk. Kleopas Sondegau, “Menemukan Wajah Yesus dalam Tokoh Mitos
Peagabega Orang Migani”, hal. 40-4
[18]Kesalahan yang masih diingat
maupun yang tidak diingat dan tidak disadari, biasa disebut hanggigawa
nema kihanggiga nema mbusia.
[20]
Daun-daun tersebut harus ada
bersama deba hoga, untuk orang bisa
mencium bau harum yang bermacam-macam dan terpesona.
[21]Jika orang mengatakan deba hoga maea nduni, orang yang
mengetahui bahasa Migani akan mengerti maksudnya bahwa di dalam deba hoga ada leluhur atau pelindung,
maka orang yang tidak bersangkutan, tidak akan sembarang masuk dalam rumah
tersebut.
[22]Kemabu adalah sungai besar yang
mengalir dari Mbainggelapa (batu
terlarang) yang kini disebut Kartenz. Orang Migani meyakini bahwa air tersebut
adalah Hajji Du (air suci), karena
mengalir dari batu keramat/terlarang yakni Mbainggela.
[23]Koyaiya artinya orang yang tidak
bersangkutan yang akan memikul semua kesalahan yang sudah ditampung, secara
tidak sengaja atau tanpa disadari. Sebab diyakini bahwa akibatnya akan mendapat
sakit keturunan dan kecendurungan untuk melakukan semua kesalahan atau amoral.
[24]Wawancara: Fabianus Bagubau.
[25]Wawancara: Andariana Migau, di
rumahnya Jayanti-Nabire, 19 Desember 2014, pukul 17.00.
[26]Jika menoleh, diyakini menyetujui
dan menerima kembali, segala macam kotoran yang sudah dibuang.
[27]Hasil diskusi dengan Umat Stasi
St. Maria Bamba, Paroki Bilai.Tokoh utama Fabianus Bagubau, Antonia Migau,
Yoseph Bagubau, Oktopianus Bagubau dan Ferdinandus Sondegau, Bilai 31 Desember
2014, pukul 20.30 WIT.
[28]Lih. Yeskiel Belau, Hajji: “Konsep Keselamatan Orang Migani,
Relevansi dengan Kesesalamatan menurut Ajaran Gereja Katolik. 2015.
Bermanfaat 👏👏
ReplyDeleteTerimakasih
Delete