Foto Bersama Umat Paroki St Yosef Deneiode |
Saya Pastor Yeskiel Tawakidua Dole Belau Pr, dari suku Migani. Saya Pastor Paroki untuk dua Paroki, yaitu: Paroki Kristus Penebus Timeepa dan Paroki St. Yosef Deneiode. Jarak antara kedua Paroki ini bisa ditempuh dengan dua hari dalam perjalanan. Pergi bisa dua hari dan kembali pun bisa dua hari pula. Mau lewat mana? Lewat Degeadai? Atau Abouyaga? Bisa dipilih sesuai dengan ketersediaan tenaga.
Saya sebagai Pastor Paroki di dua Paroki itu, kebanyakan waktu, saya habiskan dalam perjalanan ke sana dan ke sini dengan jalan kaki. Dalam perjalanan, saya menyaksikan dan merasakan suka dan duka hidup umat saya sekaligus warga Kabupaten Dogiyai. Banyak sekali keprihatinannya, mulai dari kesehatan, pendidikan, akses jalan dan kesejahteraan hidup. Ini semua salah siapa dan mau bagaimana?
Pada pertengahan bulan Februari dan sepanjang bulan Maret, wilayah pelayanan saya (dua Paroki yang telah disebutkan tadi), dilanda wabah serampak. Mula-mula saya juga belum tahu, tetapi setelah dikonfirmasi, ternyata benar, puluhan anak balita meninggal dunia. Maka, saya laporkan kepada atasan saya, Pimpinan Keuskupan, Administrator Keuskupan Timika, Pastor Matrhen Ekowaibi Kuayo Pr. “Kenapa baru laporkan?”, kata Administrator.
Menurut beliau, mestinya dilaporkan lebih cepat, supaya anak-anak tidak berjatuhan dan itu benar. Hanya saja bahwa pihak Timpas setempat baru mengetahuinya, karena sebelumnya turut dalam kegiatan MuspasMee dan Misa Perdana Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Yanuarius Matopai You di Paroki Epouto. Sepulangnya baru ketahui akan keradaan bahaya wabah tersebut di wilayah pelayanan saya, maka dilaporkannyalah ke Keuskupan.
Laporan itu saya kirim dalam perjalanan ke Deneiode untuk persiapan Pengesahan Kuasi menjadi Paroki di sana. Saya mengetik laporan dan mengirim di bukit yang dapat signyal 4G, lalu dua orang yang hantar saya itu menunggu lama sekali. Perhitungan saya, selanjutnya akan masuk area tanpa signyal, maka bereskan hal penting itu selagi masih dapat signyal.
Membaca laporan saya, Pastor Antministrator Keuskupan langsung telpon saya. Saya pun menjelaskannya. Setelah beliau mendapat informasi, Keuskupan komunikasi dengan Pemerintah Kabupaten Dogiyai dan siap untuk mengirimkan Tim medis. Demikianlah, selanjutnya Keuskupan yang sudah koordinasi dengan Pemerintah Dogiyai dapat mengirim tim medis. Mereka datang dan melayani para pasien di Pusat Paroki.
Dalam perjalan ke Deneiode, saya menjumpai umat yang menderita wabah serampak di kampong Degeadai, Kampung Wowai, Kampung Ponaige dan di kampong Deneiode. Ketika saya bertemu, saya doakan, ambil data, foto dan rekam video tentang mereka.
Selanjutnya data-data itu saya olah dan serahkan ke Keuskupan. Mekanisme Keuskupan itu seperti ini, maka saya bergerak sesuai mekanisme Keuskupan. Setelah data masuk ke Keuskupan barulah pihak-pihak yang berkepentingan dapat berkomunikasi dengan pihak Keuskupan dapatkan data dan lain sebagainya.
Seminggu berlalu dan korban terus berjatuhan terutama di wilayah-wilayah yang tidak terlayani, seperti: Wilayah Degeadai, Wowai, Ponaige dan Deneiode, maka saya melaporkannya kepada tiga wartawan, yakni: Wartawan Media BBC, Wartawan Media Tempo dan Wartawan Media Jubi. Dengan begini mapun laporan sebelumnya membuat banyak orang mulai mengetahuinya, lalu menaruh rasa kepedulian.
Selanjunya, pada akhir bulan Maret, saya cek lagi: ternyata wilayah-wilayah terisolir seperti: Degeadai, Wowai, Ponaige dan Deneiode belum juga terlayani sampai saat ini. Karena itu, saya membuat video informasi tentang wabah serampak, lalu upload di akun YouTube saya.
Banyak tanggapan nitizen terhadap kedua berita itu, ada yang berterimakasih, tetapi ada juga marah dan emosi, terutama pihak Puskesmas Timeepa. Sampai-sampai Kapus mengirim pesan secara pribadi, lalu marah dan memanggil saya dokter. Lebih lanjut banyak caci-maki di Group WA (Group Diskusi Timeepa). Mungkin juga di Group lain seperti biasanya, tetapi saya tidak mengetahuinya.
Saya sampaikan, pertama, “saya melaporkan situasi umat saya ke atasan saya” dan atas inisiatif atasan, yang lebih dulu sudah komunikasi dengan pihak pemerintah setempat dapat mengirim tim medis untuk memberikan pengobatan. Kedua, “saya menjelaskan kenyataan hidup umat saya sebenar-benarnya kepada ketiga wartawan itu setelah melaporkan terlebih dahulu juga kepada Keuskupan, untuk publikasikannya, sehingga mendapatkan perhatian dari publik, karena ini menyangkut isu kemanusiaan yang global”.
Pertanyaan saya, mengapa ada pihak yang marah dan emosi? Mengapa pihak Puskesmas Timeepa marah? Mengapa Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dogiyai Marah? Apakah saya melangkahi saudara-saudara laporkan ke atasan saya di Keuskupan? Harusnya saudara-saudara yang laporkan ke Keuskupan?
Ingat bahwa saya tidak pernah melaporkan kepada pemerintah mana pun termasuk pemerintah Kabupaten Dogiyai, karena saya tahu siapa atasan saya. Wabah serampak juga adalah isu global, yang tidak bisa didiamkan, maka dimediakan seperti itu sebagai salah satu bentuk komunikasi, koordinasi untuk dapat menangganibya secepat mungkin.
Dalam bulan Mei ini, kepala dinas kesehatan Kabupaten Dogiyai mengirim anggotanya untuk bertemu dengan saya. Sebelumnya saya mempunyai kerinduan besar untuk bertemu dengan pihak dinas kesehatan. Namun, sayangya bahwa utusan itu datang ketika saya keluar. Karena itu, kami belum sempat ketemu. Ada catatan yang ditinggalkan di atas meja saya di Pastoran. Catatan itu, saya foto dan tampilkan berikut ini:
Catatan Dinas Kesehatan Dogiyai |