Video Of Day

Subscribe Youtube

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 30 September 2018

MEMBANGUN SOLIDARITAS DEMI KEUTUHAN CIPTAAN


Pengantar

Foto bersama peserta Rekoleksi

Kita telah berada dalam masa prapaskah. Dalam masa prapaskah ini, kita diajak untuk membangun sikap tobat. Membangun sikap tobat berarti memperbaiki hubungan kita dengan Allah, hubungan kita dengan sesama dan dengan alam di sekitar kita. Mengapa? Karena kenyataan membuktikan bahwa hubungan kita dengan Allah, sesama dan alam di sekitar kita telah rusak. Oleh karena itu, kita mau memperbaiki hubungan kita dengan pantang dan puasa sebagai sikap tobat kita. Sehingga keutuhan hubungan kita dengan Allah, sesama dan dengan alam itu bisa kembali seperti semula. 


Berdasar pada pemahaman itu, maka rekoleksi ini amat penting bagi kita untuk membangun sikap tobat. Sikap tobat kita akan kita bangun dengan melihat kembali pengalaman hidup kita di masa-masa yang lalu. Bagaimana hubungan pribadiku dengan Tuhan? Bagaimana hubungan pribadiku dengan sesama? Bagaimana hubungan pribadiku dengan alam di sekitar saya? Bagaimana hubungan kita sebagai lembaga Pendidikan terhadap semua relasi itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan kita temukan dalam rekoleksi ini.

Namun sebelum itu, kita perlu tahu apa itu rekoleksi? Kata rekoleksi berasal dari bahasa Inggris yaitu recollect yang berarti mengingat kembali atau mengumpulkan kembali. Menurut KBBI, Khalwat artinya pengasingan diri untuk menenangkan pikiran atau mencari ketenangan batin. Rekoleksi juga merupakan salah satu usaha untuk melatih hidup rohani dan menumbuhkan rasa ingin berubah menuju ke arah yang lebih baik. Oleh karena pengertian ini, maka rekoleksi ini menjadi saat yang tepat bagi kita untuk; Pertama, berhenti sejenak dari aktivitas rutin kita dan merefleksikan hidup kita untuk menemukan kehendak Tuhan bagi kita. Kedua, mengingat kembali pengalaman hidup kita dan mengolahnya sebagai kekuatan hidup kita selanjutnya. Ketiga, tenangkan pikiran dan batin kita sebagai usaha kita melatih hidup rohani demi perubahan hidup kita yang lebih baik. 

Dengan diketahuinya pengertian rekoleksi dan tujuan rekoleksi tersebut, maka selanjutnya kita kaitkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan tadi di atas, yakni pertanyaan di seputar hubungan kita dengan Allah, sesama dan dengan alam di sekitar kita. Dalam hal ini, sesuai dengan rencana, kita akan menjawabnya dalam rekoleksi ini dengan kembali melihat pengalaman hidup kita di masa-masa yang lalu. Semoga upaya ini benar-benar membantu kita membangun sikap tobat dan menemukan kehendak Tuhan bagi kita masing-masing. 

Sejalan dengan upaya itu, dalam rekoleksi ini kita akan bergerak menggali pengalaman hidup dan sebagainya dalam terang tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) “Membangun Solidaritas Demi Keutuhan”. Tema ini tentu akan menerangi seluruh proses rekoleksi ini hingga akhir nanti. Jadi, dalam terang tema ini, rekoleksi ini akan berlangsung demikian: Pertama, pengantar. Kedua, penjelasan tentang tema. Ketiga, menggali pengalaman hidup. Keempat, dinamika kelompok. Kelima, diskusi dan keenam, penegasan hingga penutup. 

Membangun Solidaritas Demi Keutuhan Ciptaan.

Tema ini terdiri dari beberapa kata kunci, yakni; membangun, solidaritas, keutuhan dan ciptaan. Mari kita lihat arti dari masing-masing kata kunci ini. Pertama, kata membangun berasal dari kata bangun. Bangun artinya bangkit berdiri. Maka membangun memiliki arti kelas verba atau kata kerja. Sehingga membangun dapat menyatakan suatu tindakan (kerja) yang mengandung tujuan lebih baik. Kedua, solidaritas. Kata solidaritas berasal dari kata solider. Solider artinya senasib, setia kawan dan perasaan bersatu. Maka solidaritas memiliki arti suatu sikap yang dimiliki oleh manusia dalam kaitannya dengan ungkapan perasaan manusia atas rasa senasib dan sepenanggungan terhadap orang lain maupun kelompok. Makna solidaritas dekat dengan makna rasa simpati dan empati karena didasarkan atas rasa kepedulian terhadap orang lain maupun kelompok. Ketiga, keutuhan. Kata keutuhan berasal dari kata utuh. Utuh artinya keadaan sempurna sebagaimana adanya. Tidak rusak atau tidak berkurang, masih sangat baik. Keempat, ciptaan. Kata ciptaan berasal dari kata cipta, yang berarti kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru. Namun dalam konteks ini kita mengerti ciptaan sebagai segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.

Dengan diketahuinya definisi hurufiah dari setiap kata kunci di atas, maka selanjutnya kita menghubungkannya dengan maksud Gereja mengangkat tema tersebut. Jadi, maksud Gereja mengangkat tema membangun solidaritas demi keutuhan ciptaan adalah bahwa ia hendak mengajak semua orang sebagai ciptaan Tuhan untuk membangun sikap solider yakni senasib, setia kawan, sepenanggungan dalam menyatakan tindakan kerja demi tujuan yang lebih baik, yakni keutuhan ciptaan itu sendiri. Mengapa? Karena, sikap solidaritas antar semua ciptaan telah rusak. Sehingga, tidak ada setia kawan dan tidak ada sepenanggungan dalam hidup ini. Oleh karena kenyataan ini, maka keutuhan ciptaan itu tak dapat dijumpai di muka bumi ini lagi. Artinya bahwa yang ada hanya kehancuran dan kerusakan yang bisa mendatangkan mala petaka bagi kehidupan manusia. Maka mari kita lihat dalam diri kita sendiri terlebih dahulu. 

Menggali Pengalaman Hidup. 

Tibalah saatnya untuk menggali pengalaman hidup kita masing-masing. Tunjuklah dirimu sendiri, siapa engkau? Sebutkan namamu dan tanyakanlah padamu apa yang telah engkau lakukan terhadap Allah penciptamu sampai saat ini? Bagaimana hubunganmu dengan Allah? 

Apa yang telah engkau lakukan terhadap sesamamu manusia? Terhadap orang tua? Saudara-saudari kandungmu? Kerabat yang lain? Terhadap teman-teman sekolah dan guru-gurumu? 

Apakah ada hubungan yang tidak beres dengan mereka? Bagaimana sikapmu terhadap alam di sekitar anda? Adakah keyakinan dalam dirimu bahwa segalah tumbuh-tumbuhan adalah makluk hidup ciptaan Tuhan yang harus engkau hargai? Pernahkah engkau membuang sampah sembarangan? Pernahkah engkau menebang pohon tanpa tujuan? Pernahkah engkau mematikan bianatang karena emosi? 

 Adakah hal yang tidak beres dalam dirimu, entah hubunganmu dengan Allah, sesama maupun alam? Bagaimana caramu memperbaikinya? Jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dalam terang Kitab Suci Mat. 25:31-46)! 

Bacaan Sabda Tuhan (Mat. 25:31-46) 
Dinamika Kelompok
Membagi peserta rekoleksi dalam beberapa kelompok, lalu mendampingi mereka diskusi dalam kelompok mini dan hasil diskusi ini diplenokan. Proses pembagian kelompok bisa disesuaikan dengan kebiasaan. 

Pleno Hasil Diskusi

Hasil diskusi dalam kelompok mini disampaikan oleh setiap perwakilan kelompok. Penegasan Saudara-saudari terkasih, kita telah melalui proses menggali pengalaman hidup kita dalam kelompok mini dan dalam pleno ini. Inilah upaya kita membangun solidaritas demi keutuhan ciptaan, terutama keutuhan hubungan kita secara pribadi, maupun bersama sebagai ciptaan Tuhan dengan Allah, sesama dan dengan alam di sekitar kita. 

Semua yang telah didiskusikan dan yang telah disampaikan oleh semua kelompok itu ialah hasil gali pengalaman hidup yang patut kita jadikan sebagai kekuatan untuk membangun solidaritas kita. Hasil-hasil yang baik, kita simpan dalam hati dan berusaha untuk menjalani hudup kita seturutnya. Sementara hasil yang tidak baik, kita serahkan kepada Tuhan dengan membakarnya, agar Ia membersihkan hati dan pikiran kita untuk hidup lebih bersolider dengan Allah, dengan sesama dan dengan alam. 

Hal itu amat penting, karena solidaritas adalah sikap batin manusia yang bersumber dari rasa cinta kepada kehidupan Bersama yang diwujudkan dalam tindakan nyata berupa sikap rela berkurban, bersedia menjaga, membela serta melindungi terhadap keberlangsungan hidup bersama. Sumber solidaritas manusia adalah solidaritas Allah sendiri. Di mana Ia yang agung rela menjadi manusia sama seperti kita. Ia adalah Allah, tetapi rela terlahir sebagai manusia di kendang hina. Ia adalah Allah Maha Tinggi yang rela direndahkan dan dihukum pada kayu salib dengan hina. Inilah Allah yang solider dengan kita manusia. Ia ingin membela, melindungi dan menyelamatkan manusia. 

Dalam bacaan Injil tadi, kita dengar bagaimana kita juga harus membangun solidaritas dengan sesama, “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengujungi Aku” (Mat. 25:35-36). Inilah wujud nyata dari solidaritas terhadap sesama, terutama terhadap yang menderita; dengan sikap siap rela berkorban, siap membela, menjaga dan melindungi yang sedang menderita demi utuhnya ciptaan dan sejahteranya sesama. Sehingga, pada akhirnya kepedulian, perhatian dan kebaikan yang kita berikan terhadap sesama, terutama terhadap yang hina-dina, sejatinya kita lakukan untuk Tuhan. Ketika kita menjaga keutuhan ciptaan, yakni; sesama manusia, alam semesta dan seluruh ciptaan) sejatinya kita sedang melaksanakan tugas mulia sebagaimana diamanatkan dalam Kitab Kejadian. Manusia adalah pelaku dan penanggung jawab utama keutuhan alam ciptaan ini. Semoga kita mampu melaksanakan tugas mulia ini dengan penuh tanggungjawab.

Pertobatan Pribadi

Membuat Niat Bersama 

Sesudah kita membangun solidaritas, apa yang bisa kita rencanakan untuk dikerjakan bersama satu-dua hari ke depan? Mari kita rencanakan! 

Penutup

Oleh Yeskiel Belau

KEBIASAAN SUKU MIGANI WARISKAN NILAI-NILAI BUDAYA


Foto Yeskiel Belau
Suku Bangsa Migani yang mendiami wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga dan Weandoga (Kabupaten Intan Jaya), mempunyai rupa-rupa kebiasaan dalam mempertahankan eksistensi mereka sebagai satu Suku Bangsa. Apa yang saya katakan ini mengandung arti bahwa dalam kebudayaan Suku Bangsa Migani terdapat banyak kebiasaan yang senantiasa dihidupi sebagai upaya mereka lestarikan budayanya setiap saat di mana pun mereka berada. Meskipun begitu banyak dan kaya, tanpa mengurangi rasa hormat, kesempatan ini saya hanya mengemukakan kebiasaan orang Migani mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasinya.

Memahami akan pembatasan masalah itu, maka kita langsung memulai dengan penjelasan tentang kebiasaan orang Migani mewariskan nilai-nilai budaya. Kebiasaan orang Migani dalam mewariskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan selalu terjadi pada momen terbaik (Usua Mbutu). Momen terbaik seperti ini biasanya diupayakan oleh setiap orang tua dalam keluarganya masing-masing. Dalam hal ini, tentu bahwa jika para orang tua berniat mewariskan pengetahuan penting tentang nilai-nilai budaya dan kehidupan kepada anak-anak mereka, maka pasti mereka persiapkannya dengan baik.

Persiapan yang penting dan selalu diupayakan itu; makanan enak seperti; Keladi (Wa), Ubi Jalar (Senggo), Petatas Nggelkoe (Mbalaga), Sayur (Nuga), Pisang (Puji), Ijii (Tebu). Juga daging-dagingan seperti; Daging Babi (Wogo) dan Kus-Kus (So). Persiapan seperti ini diyakini sebagai lambang persiapan batin untuk mendengarkan pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan. Hal ini tentu, karena makanan sedap seperti itu sungguh memberikan semangat, rasa kekeluargaan serta kekuatan yang tinggi. Dan, melalui dorongan dari sini, proses pertemuan itu bisa dilalui dengan saling membuka diri antara satu sama lain. Singkat kata, saling menumbuhkan kesediaan diri untuk saling mendengarkan.

Pada momen terbaik seperti itu, biasanya orang tua selalu mengajak anak-anaknya untuk mendengarkan mereka. Setelah mengajak untuk mendengarkan, mereka mempunyai caranya sendiri untuk memulai ceritera yang dimaksud, supaya pendengarnya antusias dan tidak mengantuk lalu tertidur. Dalam suasana seperti ini, mereka bisa saja mengangkat sebuah cerita donggeng atau kisah pengalaman hidup. Ceritera yang diangkat biasanya ditokohi oleh seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa, tokoh yang mempu melakukan keajaiban-keajaiban dan seluruh tindakannya baik untuk dihormati dan pantas ditiru dalam praktek hidup.

Dalam hal itu, misalnya ceritera yang berjudul “Mego Hiwaju”. Dalam ceritera ini amat memperlihatkan pergulatan seorang pemuda yang bernama Mego Hiwaju itu dalam melawan Komambego (setan) yang berusaha membunuh semua manusia.  Mego Hiwa Ju berusaha untuk menyelamatkan manusia dari cengkraman tangan Komambego. Dan, pada akhirnya ia berhasil mengalahkan Komambego dan membebaskan manusia.

Dalam Donggeng itu, pencerita menggaris-bawahi nilai-nilai penting bagi pendengarnya. Nilai-nilai itu lantas akan diterima baik oleh anak-anak atau orang lain yang mendengarnya, karena situasi pun mendukung. Maksud dari pada penekanan pencerita pada nilai-nilai penting dan makna cerita itu adalah supaya anak-anaknya dapat memahami dengan baik. Sehingga mereka sanggup menjalani hidup dengan baik dan pada akhirnya dapat mengalami kebahagiaan hidup kini dan di sini maupun di akhirat nanti. Harapan kebahagiaan hidup yang ada pada benak orang tua bagi mereka mau pun anak-naknya inilah yang kita sebut sebagai Hajii. Maka, kebiasaan para orang tua Migani mewariskan nilai-nilai budaya itu sesungguhnya mengarahkan generasinya kepada Hajii. Supaya anak-anak mereka mengalami Hajii secara nyata, baik saat mereka masih di dunia ini maupun sesudah mereka beralih dari dunia ini (kematian) menghadap EMO.

Dengan mendalami sepintas tradisi orang Migani dalam mewariskan nilai-nilai budaya itu, muncul pertanyaan baru; Apakah kebiasaan itu masih dipertahankan oleh mereka hingga saat ini? Silahkan jawab sesuai dengan penelitiamu sendiri-sendiri. 
                                                    

                                                       
                                                                    Oleh Yeskiel Belau

TEOLOGI KONTEKSTUAL SEBAGAI IMPERATIF[1] TEOLOGI


Oleh Yeskiel Belau
Pengantar
Foto Yeskiel Belau
Dalam kuliah Teologi Kontekstual pada semester ini, kita menggunakan buku model-model Teologi Kontekstual, karya Stephen B. Bevans. Penggunaan buku ini tentu mempunyai tujuan, yakni; Belajar apa yang menjadi pokok pembahasan dan mengertinya dengan baik, sehingga selanjutnya itu membantu kita dalam karya Pastoral.
Demi memudahkan kita mencapai tujuan itu, kita mendapat kewajiban untuk meringkas beberapa bab dari buku yang dimaksud di atas. Dalam hal ini, saya Yeskiel Belau mendapat kewajiban untuk meringkas bab I, yaitu; “Teologi Kontekstual Sebagai Imperatif Teologi”. Oleh karena bagian ini menjadi kewajiban saya, maka dalam tulisan ini, saya akan memuat ringkasan tentangnya. Semoga hasil ringkasan saya ini dapat membantu teman-teman dalam memahami maksud sesunggunya dari bab I ini.

Teologi Kontekstual Sebagai Imperatif Teologi
Pada bagian awal, penulis mengatakan tidak ada suatu yang disebut “Teologi”, yang ada hanyalah Teologi Kontekstual. Teologi Kontekstual yang dimaksud itu terdiri dari beberapa jenis Teologi, yaitu; Teologi Feminis, Teologi Hitam, Teologi Pembebasan, Teologi Filipina, Teologi Asia-Amerika, Teologi Afrika dll. Teologi-teologi kontekstual seperti ini merupakan upaya Gereja untuk memahami iman Kristen secara tepat, dipandang dari segi konteks tertentu dan membantu umat untuk beriman kepada Allah sesuai dengan konteks hidup dan budaya mereka. Oleh karenanya, maka upaya ini disebut Imperatif Teologis. Hal ini berarti bahwa kontekstualisasi itu merupakan bagian dari hakikat terdalam Teologi itu sendiri.
Berdasar pada penjelasan itu, selanjutnya akan ditunjukkan dua hal. Pertama, segi ketidaksinambungan dan kesinambungan pendekatan kontekstual terhadap Teologi dalam perbandingannya dengan Teologi tradisional/klasik. Kedua, refleksi penulis atas beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, yang membuat kontekstualisasi teologi itu menjadi sesuatu yang mungkin dalam dunia dewasa ini dan dalam pemahaman iman Kristen sekarang.

Kontekstualisasi Sebagai Sesuatu yang Baru dan Sekaligus Tradisional
Judul ini sekaligus mengatakan dua hal; Pertama, Teologi kontekstual sebagai sesuatu yang sama sekali baru. Kedua, kotekstualisasi sebagai sesuatu yang tradisional. Keduanya akan dijelaskan secara terpisah berikut ini dengan didahului oleh penjelasan hal pertama.

Teologi Kontekstual Sebagai Sesuatu yang Sama Sekali Baru.
Sehubungan dengan judul ini, dikatakan demikian karena teologi kontekstual mengerti hakikat teologi itu secara baru. Mengerti hakikat telogi secara baru berarti teologi klasik memahami teologi dewasa ini sebagai sejenis ilmu pengetahuan obyektif tentang iman. Teologi dewasa ini yang dianggap obyektif adalah refleksi iman Gereja yang terdapat dalam dua sumber, yaitu; Kitab Suci dan Tradisi, yang isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah-ubah serta berada di atas kebudayaan dan ungkapan yang dikondisikan secara hidtoris. Pertanyaannya, apa yang membuat teologi itu kontekstual? Jawabannya adalah pengalaman manusia sekarang ini (locus theologicus yang lain). Sebab Teologi yang berwajah kontekstual seperti ini menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer dan lain sebagainya itu harus diindahkan bersama dengan Kitab Suci dan Tradisi. Oleh karena itu, dalam perspektif ini, kita mengatakan bahwa teologi memiliki tiga sumber (loci theologici), yaitu; Kitab Suci, Tradisi dan pengalaman manusia sekarang ini (konteks).
Kita menambahkan pengalaman/konteks pada sumber berteologi itu karena revolusi cara berpikir dan memahami dunia “kembali ke subyek yang mencuat pada permulaan zaman moderen”. Kalau teologi klasik memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat obyektif, maka teologi kontekstual mengerti teologi sebagai sesuatu yang bersifat subyektif. Dikatakan subyektif dengan alasan bahwa pribadi manusia, terikat secara kultural dan historis sebagai sumber kenyataan, bukan sebagai obyektifitas yang disangka bebas nilai dan bebas budaya.
Sehubungan dengan hal itu, Charles Kraft mengatakan “selalu ada perbedaan antara realitas dan pemahaman manusia yang dikondisikan secara kultural atas realitas itu. Kita mengira bahwa realitas itu ada di luar sana, sementara mental tentang realitas yang ada dalam kepala kita itu diyakini sebagai yang paling riil bagi kita”. Perkataan ini mengandung arti bahwa realitas itu bukan semua yang ada di luar sana, tetapi justru ada di dalam dan realitas itu diperantarai oleh makna. Maksudnya makna yang kita berikan dalam konteks budaya kita, yang bisa ditafsir dan mengerti sesuai dengan horizon yang kita miliki. Misalnya, orang Amerika menyebut padi-nasi dengan nama rice, sementara suku bangsa yang lain mempunyai nama yang berbeda sesuai dengan cara pandang kultur mereka.
Semua penjelasan di atas mengandung arti bahwa konteks kultural dan historis mempunyai peranan yang meyakinkan akan terbentuknya realitas di mana kita hidup. Demikian juga dengan konteks kita mempengaruhi pemahaman kita akan Allah dan ungkapan iman kita. Karena hal ini, maka untuk melihat pentingnya teologi kontekstual ini, kita belajar dari Henri Bouillard. Ia pernah mengatakan bahwa sebuah teologi yang tidak selaras dengan zaman adalah palsu. Memang benar bahwa sebuah teologi yang tidak memantulkan zaman kita, kebudayaan kita dan keprihatinan-keprihatinan kita juga merupakan teologi palsu. Dalam hal ini, Charles Kratf juga berbicara tentang hal serupa bahwa teologi yang dipandang sebagai tidak relevan, maka dalam kenyataannya memang tidak relevan.
Pada zaman kita sekarang inilah para teolog semakin menyadari akan pentingnya konteks dalam menata pola pikir manusia dalam bingkai pewahyuan Allah. Maksudnya bahwa pola pikir manusia yang bisa mengakui tiga sumber untuk berteologi, yang sebenarnya bukan hanya sekedar menambahkan konteks sebagai unsur ketiga, tetapi juga sebaliknya kita justru mengubah keseluruhan perbandingan.
Kalau kita mengakui betapa pentingnya konteks bagi teologi, maka kita juga mengakui akan pentingnya konteks itu sendiri demi pengembangan Kitab Suci dan Tradisi. Pengakuan ini bertolak dari keyakinan akan tulisan-tulisan Kitab Suci dan Tradisi yang memang bukan jatuh dari langit. Artinya bahwa semuanya itu dihasilkan oleh manusia dalam konteks kehidupan mereka. Oleh karena sadar akan pengalaman ini, maka kita juga perlu membaca dan menafsirkannya dalam konteks kita sendiri.
Sejalan dengan apa yang di katakan di atas itu, berteologi secara kontekstual berarti secara serentak memperhatikan dua hal sekaligus, yaitu; Pertama, menghiraukan pengalaman iman masa lampau yang terekam dalam Kitab Suci dan dijaga agar tetap hidup dan dibelah. Kedua, menghiraukan teologi kontekstual secara sungguh-sungguh dengan mengindahkan pengalaman masa sekarang (konteks aktual). Sementara teologi harus setia kepada pengalaman dan konteks masa lampau secara utuh, agar ia menjadi teologi yang otentik. Hal ini bisa menjadi mungkin, jika apa yang telah diterima itu sungguh-sungguh diambil dan dijadikan sebagai milik kita sendiri. Oleh karena itu, proses tersebut perlu lalui saringan pengalaman kolektif-kontemporer kita sendiri. Hal ini berarti bahwa kita tidak meneruskan dan mengakuinya sebagai milik kita sendiri tanpa melalui proses saringan.
Pengalaman yang dimaksud di atas berkaitan dengan sajian ragam realitas yang berlainan, seperti; Pertama, konteks berbagai pengalaman tentang kehidupan pribadi seseorang atau kelompok tertentu. Isi pengalamannya bisa berupa; pengalaman keberhasilan, kegagalan, kelahiran, kematian, relasi dan lain sebagainya, yang memungkinkan orang untuk mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya. Kedua, pengalaman personal dan komunal yang dimungkinkan dalam kebudayaan, yaitu; sistem kosepsi warisan yang diungkapkan dalam bentuk simbolik. Hal yang dimaksud di sini berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan, yang selama hidupnya dikomunikasikan, lestarikan dan kembangkan sebagai pengetahuan hidup untuk berperilaku terhadap sesama dalam hidup. Menurut hemat penulis, kebudayaan semacam ini bisa berciri “sekular” atau “religi”. Kebudayaan sekular yang dimaksud ialah kebudayaan seperti yang ada di Eropa, Amerika Utara, Selandia Baru dan Australia yang memiliki rupa-rupa nilai adat. Sedangkan kebudayaan religius yang dimaksud itu berupa kebudayaan yang ada di India, yang nilai-nilai budayanya terserap dalam simbol dan mitos dari sistem religius, seperti Hiduisme. Oleh karena kenyataan ini, maka tidak dianjurkan untuk semuanya dikontekstualisasikan. Sebab kita juga perlu pahami dan hargai agama bangsa lokal seperti itu.
Sejalan dengan penjelasan di atas, para Uskup Asia terus berbicara tentang tridialog, yaitu; dialog dengan kaum miskin di Asia, dialog dengan kebudayaan-kebudayaan Asia dan dialog dengan agama-agama Asia. Ajakan dialog ini dengan alasan bahwa kedua segi terakhir ini merupakan acuan pengalaman tentang konteks sebagai kebudayaan.
Ketiga, konteks lokasi sosial seseorang atau satu komunitas. Dalam hal ini para teolog feminis dan pembebasan menekankan bahwa perbedaan tercipta karena seseorang itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, dari Amerika Utara atau Amerika Latin dan berada di pusat kekuasaan atau pingiran. Maka dalam konteks lokasi sosial seperti ini, kita bisa ajukan pertanyaan-pertanyaan yang baru dalam refleksi teologis. Jadi, ketika para teolog berteologi mereka harus akui dan tegaskan lokasi sosial itu sambil merangkulnya. Hal ini dilakukan agar hasil refleksi teologi tersebut bermakna dan menjawab kesenjangan konteks sosial tersebut.
Akhirnya, gagasan tentang pengalaman masa kini, yaitu; konteks perubahan sosial. Di zaman ini, segalanya mengalami perubahan yang drastis, baik itu perubahan positif maupun negatif. Perubahan ini berpengaruh juga pada kebudayaan-kebudayaan di setiap daerah yang memunculkan dua faktor, yakni; Pertama, dampak kultural dari modernitas bersama dengan berbagai revolusi yang dibawa serta oleh elektronis dan perluasan global kontemporer. Contohnya segala macam bahan moderen yang digunakan manusia di zaman ini. Kedua, sisi idealis modernitas yang mempunyai dampak di zaman ini. Dalam hal ini kita bisa mengerti bahwa banyak masyarakat yang selama ini diperintah oleh kekuatan-kekuatan opresif, kini mengakui hak-hak serta martabat mereka yang ditindas, yang juga terus berjuang membebaskan diri mereka.



Seluruh Penjelasan di atas Dapat Disimpulkan Melalui Gambar Berikut ini:

                                       Teologi Kontekstual

Pengalaman masa lampau                      Pengalaman masa sekarang
               (Teks)                                                       (Konteks)

 


 yang terekam dalam Kitab Suci;                     - Pengalaman Personal/Komunal
disimpan dan dibelah dalam Tradisi                - Kebudayaan
                                                                          - Lokasi sosial
                                                                          - Perubahan sosial
Berdasar pada semua uraian di atas, maka teologi dewasa ini harus mengindahkan semua segi konteks itu. Ia harus menyadari bahwa semua segi itu telah bergiat dalam mengembangkan kesaksian Kitab Suci serta kesaksian tradisi. Artinya bahwa semua itu merupakan titik tolak refleksi teologi dewasa ini. Gambar di atas melukiskan peran sentral pengalaman/konteks (masa lampau dan masa kini) dalam upaya berteologi.

Kontekstualisasi Sebagai Sesuatu Yang Tradisional
Kontekstualisasi sebagai sesuatu yang tradisional mengandung arti bahwa proses kontekstualisasi teologi ini bukan hal yang baru, tetapi sudah sangat lama dan memang semua teologi bersumber dari sebuah teologi yang kontekstual. Hal ini berarti setiap teologi yang autentik telah berakar sangat mendalam pada sebuah konteks tertentu, baik secara tersirat maupun secara nyata. Oleh karena kenyataan ini, maka kita dapat mengatakan juga bahwa kontekstualisasi merupakan dasar bagi semua teologi dan memang demikian. Bayangkan, Kitab Suci dan Tradiri Gereja yang adalah sumber iman Kristian ini pun lahir dari tradisi pada masanya sesuai dengan konteks saat itu. Demikian juga dengan penghayatan-penghayatan religius Kristiani yang lain, tentu juga lahir dari tradisi tertentu.
Mengenai pembuktian tentang hal itu dikemukan banyak temuan, tetapi di sini hanya memuat penegasan atas temuan-temuan yang dikemukakan itu. Jadi, memang tidak pernah ada  suatu teologi yang sejati, yang dirumuskan dalam sebuah menara gading tanpa acuan, lepas dari berbagai peristiwa, bentuk pemikiran, kebudayaan dan waktu tetentu. Semua lahir dari kenyataan seperti ini, maka kontekstualisasi memang sesuatu yang tradisional. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa teologi mesti kontekstual?

Mengapa Dewasa ini Teologi Mesti Kontekstual?
Ada dua faktor yang menunjukkan teologi dewasa ini mesti kontekstual. Kedua faktor itu adalah faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah peristiwa-peristiwa historis, aliran-aliran pemikiran, pergeseran-pergeseran budaya dan kekuatan-kekuatan politik. Sedangkan faktor internal ialah iman Kristen yang menunjuk pada kemungkinan dan keharusan berteologi seturut konteks. Selanjutnya faktor-faktor internal ini diyakini lebih penting dari pada faktor-faktor eksternal, meskipun ia ditonjolkan oleh eksternal dengan alasan bahwa ia langsung menunjuk pada imperatif kontekstual yang terdapat dalam agama Kristen. Maka selanjutnya akan dijelaskan kedua foktor ini secara terpisah berikut ini.

Faktor-Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal selalu memunculkan ketidakpuasan dalam pendekatan klasik terhadap teologi di dunia pertama dan dunia ketiga. Di dunia pertama, ragam filsafat klasik di masa lampau berfungsi sebagai landasan teologi kelihatan tidak senada dengan pengalaman kontemporer. Maka ada gerakan untuk mendasarkan teologi pada “pemikiran proses” dalam upaya berteologi yang sesuai. Di sini, beberapa teolog menggunakan wawasan dan kerangka kerja kaum eksistensialis, personalis dan filsafat bahasa. Sementara teolog lain meninggalkan pendekatan tradisional dengan melepaskan filsafat sebagai pijakan berteologi dan merancang teologi yang berdasar pada narasi, otobiografi/biografi dan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi. Kenyataan ini berarti bahwa pengertian teologi yang resmi telah mengalami tantangan di dunia pertama atas nama relevansi.
Selanjutnya ada beberapa pemahaman yang bisa memperjelas apa yang telah dikatakan di atas antara lain; orang-orang Kristen di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Oseania menyadari bahwa pendekatan tradisonal terhadap teologi tidak bermakna dalam kebudayaan dan bentuk pemikiran mereka sendiri. Dalam hal ini Raimon Pannikar, seorang filsuf dan teolog asal India pernah mengatakan bahwa orang-orang India tidak dapat menerima pemikiran filosofis barat yaitu, prinsif kontradiksi. Memang dalam kenyataan teologi tradisional sudah tidak sesuai dengan kebudayaan non barat lagi dan orang-orang kristen non barat melihat bahwa agama Kristen barat dipengaruhi oleh semangat pencerahan, yang berupaya melenyapkan rupa-rupa keyakinan, seperti sihir, penyembuhan gaib dan keberadaan roh-roh, yang adalah keyakinan utama dalam kehidupan religius banyak bangsa di Afrika, Asia, Karibea dan Amerika Latin. Inilah contoh mengenai bagaiman teologi tradisional telah menyebabkan rasa tidak puas.
Alasan eksternal kedua terhadap pertanyaan “mengapa teologi dipahami sebagai sesuatu yang pasti persifat kontekstual?” terletak pada ciri opresif[2] dari pendekatan-pendekatan yang lebih tua. Dalam meperjelas bagian ini, James Cone mengatakan bahwa teologi tradisional telah mengabaikan pengalaman orang-orang hitam dan menjadikan mereka tidak kelihatan serta tidak didengarkan. Demikian juga para teolog Amerika Latin menemukan bahwa teologi tradisional tidak menyuarakan pengharapan bagi kaum miskin yang tetindas di Amerika Latin. Malahan sering digunakan untuk membenarkan “status quo[3] kaum kaya dan berkuasa. Pengalaman ini berarti bahwa Teologi Barat, yang menekankan keselamatan dan moralitas individual telah mengacaukan kebudayaan-kebudayaan yang hanya mengakui individu dalam konteks kelompok. Pendekatan yang lebih tua terhadap teologi dipenuhi dengan pengandaian menyangkut superioritas kaum laki-laki dan menghasilkan kekacauan paham tentang Allah, kekacauan dalam berliturgi dan ketidakjelasan kedudukan kaum perempuan dalam pelayanan gerejani. Maka sikap yang tidak peka terhadap budaya dan perilaku seperti demikian itu telah dilucuti belakangan ini, dengan harapan menghadirkan kembali makna Kristen. Upaya ini berhasil memunculkan berbagai gerakan dan tekanan untuk menjadikan teologi dan praktek gerejani yang lebih sesuai dengan hal-hal posistif yang terdapat dalam setiap kebudayaan.
Pada dunia ketiga, bertumbuhnya jati diri Gereja-Gereja lokal memberi sumbangsih pada pengembangan teologi yang sungguh bersifat kontekstual. Hal yang mulai diketahui berkat kesadaran negara-negara di Afrika dan di Asia ialah bahwa terdapat nilai-nilai dalam kebudayaan mereka yang lebih baik dari pada pengaruh atau nilai-nilai budaya yang telah mereka alami dari bangsa-bangsa penjajah. Mereka bahkan memiliki rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk melakukan segala sesuatu seturut cara mereka sendiri.
Ketiga faktor eksternal itu memuat sebuah faktor keempat, yaitu pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer. Di sini Bernard Lonergan membedakan paham kebudayaan klasik dan paham kebudayaan empiris. Menurut kebudayaan klasik, hanya ada satu kebudayaan yang bersifat universal dan abadi. Dalam kebudayaan seperti ini, pribadi yang berkebudaya mengembangkan dirinya berdasar pada prestasi-prestasi agung manusia di barat. Sementara itu, paham kebudayaan empiris merumuskan kebudayaan sebagai seperangkat makna dan nilai yang memberi tahu suatu cara hidup. Walaupun demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu yang terdapat di luar sana, melainkan ada dalam diri setiap orang yang berbudaya oleh karena ambil bagian di dalamnya. Menurut Lonergen, teologi mesti berfungsi sebagai suatu cara, agar agama itu bisa dipahami dalam sebuah kebudayaan setempat.
Faktor-faktor Internal
Faktor-faktor internal yang dimaksud itu berciri inkarnatif Kristen. Keinkarnatifan faktor internal ini diperkuat dengan kutipan “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3;16)”. Tekanan di sini adalah kehendak Allah membagikan diri-Nya kepada manusia dan mengundangnya masuk ke dalam relasi dengan Dia yang memberi kehidupan. Allah melaksanakan inkarnasi ini sesuai dengan konteks mausia, sehinggah manusia betul-betul memahami dan masuk ke dalam relasi-Nya yang memberikan kehidupan. Untuk itulah Allah menjadi manusia (Yoh. 1:14), dalam diri seorang pribadi Yesus, seorang Yahudi, Anak Maria, seorang laki-laki, yang memiliki tinggi badan tertentu, warna rambut tertentu, kepribadian tertentu dan lain sebagainya, yang juga bisa dipahami oleh manusia dan karenanya orang dapat berelasi dengan-Nya sebagai pemberi kehidupan.
Bertolak dari inkarnasi Allah itu, kita pun dituntut untuk melanjutkan proses inkarnasi pewartaan Injil, supaya pewartaan kita itu sungguh-sungguh menyetuh umat yang kita layani. Hal ini mengandung arti bahwa melalui diri kita, Allah mesti menjadi orang Asia, Afrika, hitam atau coklat, miskin atau kaya dan lain sebagainya. Inilah (inkarnasi Allah dalam diri Yesus) dasar yang membangkitkan keharusan agama Kristen dalam berteologi, agar pewartaan menjadi kontekstual. Mendukung hal ini, Rene Padilla mengatakan; Inkarnasi menyatakan pendekatan Allah dalam mewahyukan diri dan maksud-Nya. Memang Allah tidak meneriakkan pewartaan-Nya dari surga, tetapi Ia hadir dalam diri manusia di antara manusia yang lain. Maka kita percaya bahwa puncak pewahyuan Allah adalah Imanuel. Imanuel adalah Yesus, seorang Yahudi yang hidup pada abad pertama!
Faktor internal kedua adalah ciri sakramental dari realitas. Doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam gagasan-gagasan, melainkan juga dalam realitas nyata. Hal ini berarti di dalam Yesus, kita bisa berjumpa dengan Allah secara penuh. Menurut Edward Schillebeeckx, perjumpaan dengan Yesus adalah “Sakramen perjumpaan dengan Allah”. Oleh karena demikian, maka perjumpaan dengan Allah dalam diri Yesus diharapkan terus berlangsung di tengah dunia kita, melalui hal-hal konkrit. Sebagaimana perjumpaan dengan Allah lewat penuangan air baptis, menyantap tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur, lewat pengurapan minyak suci, lewat absolusi pengampunan dosa dan perutusan. Inilah saat memaklumkan iman dunia, penghuninya beserta tindakan-tindakannya adalah suci. Sehubungan dengan pemahaman ini, Luther berkata bahwa dunia itu selubung Allah dan firman Allah. Sementara menurut Gerard Manley Hopkins, “dunia itu tempat yang dipenuhi oleh kemuliaan Allah”.
Demikianlah ketika hal-hal biasa dalam kehidupan begitu transparan bagi kehadiran Allah, maka kita dapat berbicara tentang kebudayaan dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah, yang berkaitan dengan konteks sebagai yang sungguh-sungguh bersifat sakramental. Sebab diyakini bahwa karenanya Allah mewahyukan diri-Nya. Selanjutnya kebudayaan, pengalaman manusia dan sejarah mesti “dibongkar” kalau kita setia pada pemahaman agama Kristen sejati. Mengenai hal ini secara gambalang Stulmulle dan Donald Senior menunjukkan bahwa hakikat sakramental dari konteks tertentu bukalah sesuatu yang sama sekali baru. Keseluruhan arah gerak Kitab Suci adalah hal menafsirkan yang biasa, sekular, dipandang dari simbolisme religius. Inilah tugas berkelanjutan teologi, yaitu; menyingkapkan kehadiran Allah dalam sebuah dunia yang benar-benar sakramental.
Faktor internal ketiga adalah pergeseran pemahaman hakikat pewahyuan Ilahi. Bagian pergeseran ini, kita lihat sebagai faktor internal yang menentukan ciri kontekstual teologi. Sealur dengan penjelasan ini, dalam teologi sebelum Konsili Vatikan II, memahami pewahyuan pada umumnya sebagai kebenaran proposisional. Menurut Jose de Mesa dan Lode Wostyn, pewahyuan itu tampil dalam bentuk kebenaran-kebenaran abadi yang diturunkan kepada kita dari kristus dan para rasul. Secara konkrit, iman dipahami sebagai persetujuan intelektual terhadap kebenaran-kebenaran yang dimaksud. Semuanya ini ditata dan dipaparkan secara sistematis sebagai iman Katolik. Pemahaman pewahyuan Allah seperti ini dilihat sebagai hal membiarkan orang mengetahui bagian tertentu dari rahasia Allah, dunia, diri sendiri dan serapan kebenaran-kebenaran tersebut yang tidak membawa orang pada keselamatan. Maka model pemahaman pewahyuan Allah seperti ini telah berakhir dengan “kematian rasul terakhir”. Sehingga tidak ada pilihan lain, selain komunikasikan kebenaran-kebenaran tersebut dari satu angkatan ke angkatan berikut dan berupaya menyelami maknanya.
Meskipun demikian, teologi sesudah Konsili Vatikan II mulai mengubah penekanannya. Ia berbicara tentang pewahyuan dalam istilah-istilah yang bersifat personal. Dalam pemahaman yang baru ini, pewahyuan dimengerti sebagai tawaran dari Allah sendiri kepada manusia dengan sarana tindakan-tindakan konkrit dan simbol-simbol dalam sejarah serta kehidupan sehari-hari orang perorangan. Pengertian pewahyuan interpersonal seperti ini dipahami sebagai komunikasi diri Allah kepada manusia, yang mengerti iman sebagai sebuah tanggapan personal dan menyerahkan diri kepada Allah. Oleh karena pemahaman inilah, maka dalam Dekrit Konsili Vatikan II ditetapkan “Wahyu Ilahi”, yang kita baca dalam pewahyuan “Allah yang tidak kelihatan (Kol. 1:15; 1Tim. 1:17), karena cinta kasih-Nya yang melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat (Kel. 33:11; Yoh. 15:14-15) dan bergaul dengan mereka (Bar. 3:38), guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuan-Nya” (DV 2). Walaupun pewahyuan masih dipahami sebagai sesuatu yang sudah selesai dalam arti obyektif, seperti kata Rarl Rahner, dalam Kristus Allah telah menyatakan Ke-Allah-an secara tuntas, namun tindakan pewahyuan Allah juga dilihat sebagai sesuatu yang terus berlanjut. Sebab Allah senantiasa mewartakan diri-Nya kepada manusia dalam hidup mereka sehari-hari.
Apabila pewahyuan terus dipahami seperti itu, maka teologi hanya bisa dimengerti tebagai sesuatu yang tidak berubah dan tidak memiliki hubungannya dengan realitas budaya dan perubahan sosial. Maka diharapkan agar teologi itu benar-benar kontekstual, agar bisa dimengerti oleh manusia. Misalnya; pewahyuan kepada bangsa Israel itu hanya cocok utntuk orang yang berkebudayaan Ibrani dalan lain sebagainya.
Faktor internal keempat, ciri katolisitas Gereja. Ciri dalam agama Kristen yang menuntut pendekatan teologi kontekstual adalah katolisitas. Sebutan “katolik” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu; kata dan holos (seturut keseluruhan) dan mengacu pada jemaat Kristen yang merangkul semua, meliputi semua dan menerima semua. Menurut Avery Dulles, katolisitas itu mengisyaratkan bahwa “kepicikan dan partikularisme tidak mempunyai tempatnya sama sekali di dalam gereja Kristus yang sejati. Karena pendapat ini, maka agar layak menyandang gelar katolik, Gereja mesti peka terhadap rupa-rupa pencapaian yang sehat dalam setiap ras dan budaya, karena memang agama Katolik menaruh hormat pada nalar, kehendak, emosi, tingkat dan segi keberadaan manusia. Dengan kata lain bahwa Gereja katolik sungguh merangkul manusia karena ia melihat manusia beserta ras dan budayanya baik dan suci adanya. Gereja katolik adalah gereja yang teguh beriman akan wahyu Allah di dalam peristiwa Inkarnasi dan memiliki kepekaan akan sakramentalitas ciptaan. Selanjutnya katolisitas diterjemahkan sebagai universalitas, namun istilah ini kurang memuat makna kata yang pertama. Katolisitas tentu saja menjamin pelestarian keseluruhan Injil dan berjuang untuk hidup serta berkembang di seluruh pelosok dunia dalam setiap konteks budaya. Selain hal ini, pada saat yang sama pula ia mempunyai kekuatan untuk melindungi yang lokal dan partikular. Dengan demikian keseragaman dalam agama Kristen menuju kesatuan dalam keragaman.
Dengan polah teologi yang demikian setiap suku bangsa akan menemukan jati diri mereka dan menjadi gereja yang sejati. Dengan kata lain bahwa jika gereja terlibat dalam dialog yang intens dengan setiap kebudayaan, maka ia bisa menjadi saksi Yesus Kristus. Demikianlah dinamika katolisitas pada hakikatnya menuntut pendekatan yang kontekstual terhadap teologi.
Faktor internal keempat adalah Trinitas. Dalam agama Kristen, Trinitas mengharuskan kontekstualisasi. Maka dalam teologi kontemporer menyaksikan pembaruan dalam memikiran Allah Tritunggal dan menempatkannya pada pusat proses berteologi Kristen. Kemudian pemahaman kontemporer tentang Allah sebagai Trinitas adalah melihat Allah sebagai persekutuan tiga pribadi yang dinamis dan rasional, yang menurut kodratnya mesti ada dan bergiat di tengah dunia ini, seraya memanggil dan membujuknya masuk dalam kepenuhan relasi, yang oleh tradisi Kristen disebut “keselamatan”. Melalui kehadiran Roh dan sang logos, Allah berkarya demi keselamatan manusia dalam konteks budayanya, peristiwanya, penderitaan dan kegembiraannya. Ciri dialogis Allah ini merupakan sumber bagi katolisitas dan teologi yang mesti dirangkul oleh Gereja. Artinya bahwa para teolog Kristen harus berteologi secara kontekstual, karena Allah itu sendiri hadir dan bertindak secara kontekstual.   

PENUTUP
Bagian penutup ini dapat disimpulkan bahwa teologi dewasa ini, mesti kontekstual. Teologi yang kontekstual itu “teologi yang sesuai dengan konteks kebudayaan, peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian dan karakter suku bangsa tertentu yang menjadi penerima pewartaan Injil yang diwartakan, dengan harapan agar mereka dapat mengertinya dengan sempurna dan pengertian ini membawa mereka pada iman akan Allah yang memberi kehidupan dalam konteksnya dan yang akan memberi kehidupan kekal”.



[1] Pengertian kata “Imperatif” dalam kamus bahasa Indonesia adalah bersifat memberi perintah atau komando atau semacam tuntutan.
[2] Kata Opresif berasal dari kata Oppressive bahasa Inggris, yang artinya bersifat penindasan.
[3] Status quo berasal dari kata “in statu quo” dalam bahasa Latin, yang berarti kondisi yang ada saat ini. Secara negatif bisa berati anti perubahan.

REFLEKSI PASTORAL TENTANG MOTIVASI MASUK PROGRAM PASCA SARJANA


Fr. Yeskiel Belau
Pengantar

Perasaan tertarik pada pilihan hidup sebagai seorang Imam Projo telah bertumbuh dalam diri saya sejak masa kanak-kanak. Perasaan yang telah bertumbuh sejak masa kanak-kanak ini, telah saya jaga dan kembangkan sesuai dengan usia saya dan tingkatan pendidikan Imamat yang telah saya lalui. Oleh karena adanya pengalaman mengembangkan panggilan hidup sebagai seorang Imam Projo ini, maka saya akan memulai refleksi ini dengan harapan agar motivasi saya masuk Program Pasca Sarjana pun menjadi jelas.

Dalam rangka mewujudkan tujuan itu, terlebih dahulu saya sebutkan bagian-bagian yang akan saya isi dalam tulisan ini, yaitu; Pertama, perasaan tertarik saya pada pilihan hidup sebagai Imam Projo di masa kanak-kanak, yang terdiri dari masa Sekolah Dasar (SD) dan masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan judul “masa pertumbuhan panggilan Imamat”. Kedua, perasaan tertarik saya pada pilihan hidup sebagai seorang Imam Projo pada masa Pendidikan Imamat, yang tediri dari masa Seminari Menengah dan Seminari Tinggi, dengan judul “masa menumbuhkan panggilan Imamat. Ketiga, perasaanku yang sama pada masa praktek Tahun Orientasi Pastoral dan Tahun Karya, dengan judul “masa praktek hidup sebagai orang yang terpanggil”. Keempat, kesimpulan atas refleksi-refleksi itu sebagai motivasi saya masuk Program Pasca Sarjana dengan judul membalas kasih Allah.

Masa Pertumbuhan Panggilan Imamat

Seperti yang telah saya katakan dalam kata pengantar di atas, saya ini merasa tertarik pada pilihan hidup sebagai seorang Imam Projo itu mermula dari masa Sekolah Dasar (SD) saat berada di Paroki Misael Bilogai. Pertumbuhan panggilan saya ini tentu mempunyai alasan. Alasan yang saya maksudkan adalah peristiwa religius dan tokoh-tokoh yang mendorong saya mulai merasakan ketertarikan saya pada pilihan hidup sebagai seorang Imam Projo. Hal ini berarti bahwa perasaan saya itu sungguh didorong oleh peristiwa religius dan tokoh-tokoh yang saat itu bertugas di Paroki Misael Bilogai. Oleh karena kenyataan ini, maka selanjutnya saya akan jelaskan peristiwa religius dan tokoh-tokoh yang yang saya maksud itu.

Pertama, peristiwa religius. Peristiwa religius yang saya maksudkan adalah satu, peristiwa tahbisan Imamat Pastor Antonius Belau OFM, di Paroki Misael Bilogai. Dalam perayaan tahbisan ini, saya melihat ribuan orang berdatangan untuk mengikuti perayaan tahbisan itu dan sesudahnya orang Migani mengadakan pesta yang sangat besar di halaman Gereja. Dengan melihat dan mengalami perayaan tahbisan serta pesta syukuran itu, saya pernah mengakuinya sebagai peristiwa religius yang sungguh hebat dan tentu mempunyai kerinduan untuk mengikuti jejak Pastor yang telah ditahbiskan itu. Dua, kebiasaan umat Paroki Misael Bilogai saat menjemput para Pastor yang datang ke Bilogai. Dalam hal ini, umat Migani maupun umat Ndaua dan Lani yang ada mempunyai kebiasaan tari-tarian dengan menggunakan busana adat serta nyanyian-nyanyian yang menggembirakan saat menjemput petugas Pastoral yang datang ke Paroki Bilogai. Dalam acara ini, biasanya semua sikap dan gerakan umat setempat memperlihatkan penghormatan mereka kepada para Pastor yang datang melayani mereka di Paroki Bilogai. Kebiasaan umat seperti ini juga pernah saya lihat, ikuti dan akui saat itu sebagai peristiwa yang sangat menakjubkan serta selanjutnya dalam hati saya menumbuhkan niat untuk menjadi seorang Imam juga.

Kedua, tokoh-tokoh. Tokoh-tokoh yang saat itu menjadi figur penting dalam menumbuhkan panggilan Imamat dalam diri saya adalah Pastor Marthen Kwayo Pr, Pastor Jhon Bunai Pr dan Pastor Dominikus Dulione Hodo Pr. Pada masa kanak-kanak itu, saya melihat ketiga sosok  ini dan mengagumi gaya hidup mereka yang baik serta kagum dengan kertampilan-ketrampilan yang mereka miliki. Gaya hidup mereka yang baik, yang juga telah menarik perhatian saya saat itu adalah keteraturan hidup mereka di Pastoran, kewibawaan mereka dalam memimpin perayaan Ekaristi, kebiasaan mereka mengajak umat untuk hidup baik (setiap hari umat harus berusaha menjadi orang yang baik, dengan berpikir sesuai dengan kehendak Allah (EMOO), berkata jujur sesuai dengan kehendak EMOO dan juga berbuat sesuai dengan kehendak Allah). Sedangkan ketrampilan-ketrampilan mereka yang telah menarik perhatian saya saat itu adalah berolah raga sepak bola, Volly, silat, kemampuan mereka menangani peralatan listrik dengan baik dan lain sebagainya.

Pengalaman hidup para Pastor seperti itulah yang menarik hati saya saat itu untuk belajar keras dengan harapan agar saya juga bisa memiliki keteraturan hidup, dapat memimpin Perayaan Ekaristi, mengajak umat hidup baik dan juga memiliki ketrampilan-ketrampilan sama seperti mereka. Selanjutnya berdasarkan kemauan saya untuk memilih hidup sebagai seorang Imam Projo ini menuntut saya harus menjadi anak yang baik. Menjadi anak yang baik berarti mendengarkan dan melaksanakan semua nasehat baik yang disampaikan oleh orang tua, para pembina asrama, para guru dan para Pastor dengan penuh tanggung jawab. Tuntutan yang telah muncul dalam hati saya ini mulai saya realisasikan semampu saya saat itu. Bukti adanya usaha saya merealisasikan tuntutan itu adalah saya selalu rengkin satu (1) di kelas, menjadi anak yang bisa memimpin teman-teman (Ketua OSIS), terlibat dalam anggota Misdinar dan akhirnya lulus SD dengan nilai yang memuaskan (juara umum).

Sesudah tamat SD YPPK Bilogai, saya melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Kerom (SMP N.1 Arso). Proses perjalanan saya menuju ke Jayapura dan terus ke Kabupaten Kerom untuk melanjutkan Pendidikan ini dan juga masa studi saya di SMP tersebut pada tahun pertama itu sangat menyedihkan. Saya katakan sangat menyedihkan, karena saya pergi tanpa membawa pundi-pundi, maka tuntutan memenuhi kebutuhan studi dan hidup saya pun serba sulit di sana saat itu. Maka di masa itu saya selalu memilih untuk mencari kerja dan bekerja apa saja. Usaha saya ini sering membuahkan hasil, tetapi juga gagal. Namun saya tidak pernah putus asah, justru saya terus berusaha dengan penuh semangat setiap hari.

Kenyataan hidup saya yang serba sulit itu, membuat panggilan saya yang telah bertumbuh sejak masa kanak-kanak itu sudah mulai kabur bahkan terancam hilang. Namun dalam konteks yang sama, saya sebagai anak yang telah mengalami pengalaman hidup yang baik bersama para Pastor yang telah saya sebutkan tadi, maka saya senantiasa utamakan doa dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Selain utamakan doa dalam hidup pribadi, saya juga aktif dalam doa bersama di Gereja setiap hari Minggu dan hari-hari lain yang diwajibkan Gereja.

Dalam suasana hidup saya seperti itu, suatu hari saat saya sedang bekerja di pingir jalan, Pastor Wilhelmus Sinawil Pr, Pastor Paroki St. Wilibrodus Arso saat itu datang dan menyapa saya katanya “adik, saya biasa lihat kamu kerja di jalan-jalan ini. Sebenarnya kamu asal dari mana dan mengapa setiap hari kamu selalu kerja?” Saya pun memperkenalkan diri dan menjelaskan keberadaan saya serta tujuan dari kebiasaan saya kerja apa saja di Arso itu. Mendengar semua yang telah saya jelaskan itu Pastor pun tunduk sejenak dan meminta saya untuk tinggal bersamanya di Pastoran Arso Kota. Permintaan Pastor ini saya terima dengan senang hati dan hari itu juga saya ikuti Pastor ke Pastoran dan tinggal dengannya di Pastoran Arso Kota.

Sesudah saya berada di Pastoran, Pastor Paroki memberi kepercayaan kepada saya untuk menjaga dan memelihara semua fasilitas Paroki yang ada. Saya pun menerima tugas ini dan dengan tekun menjaga serta memeliharanya sambil belajar di di SMP N.1 Arso kelas II dan juga aktif dalam semua kegiatan Gereja saat itu. Dengan proses ini, maka panggilan saya yang sudah mulai kabur dan terancam hilang itu bertumbuh kembali.

Sesudah panggilan saya itu sudah bertumbuh lagi dan lulus dari SMP N.1 Arso, saya memohon Pastor Wilhelmus Pr, untuk lanjutakan jenjang pendidikan saya yang berikutnya di Seminari Menengah St. Fransiskus Asisi Waena Jayapura. Permohonan saya ini dikabulkan oleh Pastor Wilhelmus. Persetujuannya ini ia buktikan dengan memberikan rekomendasi dan langsung hantar saya ke Seminari menengah St. Fransiskus Asisi Waena Jayapura lantas bayar biaya hidup saya di Seminari untuk satu Tahun. Kesempatan studi ini saya maksimalkan dengan mengikuti semua proses pembinaan di Seminari Menengah St. Frasiskus Asisi Waena dengan baik.

Demikianlah pengalaman saya dalam menumbuhkan panggilan hidup sebagai seorang Imam Projo dalam diri saya pada masa kanak-kanak yang dapat saya jelaskan. Kalau dilihat, dalam pengalaman-pengalaman saya itu benar-benar memuat peristiwa dan para tokoh yang telah memungkinkan dan membantu menumbuhkan panggilan hidup saya sebagai seorang Imam Projo. Oleh karena itu, saya akui bahwa Tuhan sungguh telah turut bekerja dalam hidup dan pertumbuhan panggilan saya ini. Tuhan itu hebat dan penyelamatku.

Masa Menumbuhkan Panggilan Imamat

Pada tahun 2006, saya sudah ada di Seminari Menengah St. Fransiskus Asisi Waena Kelas Persiapan Pertama (KPP). Di tahun 2006 ini, seperti yang telah saya katakan di atas, saya tekun mengikuti dan alami semua proses pembinaan di Seminari Menengah hingga lulus pada kelas persiapan pertama. Dalam proses studi tahun pertama di Seminari menengah ini saya tidak mengalami kesulitan dalam hal biaya dan pemenuhan kebutuhan hidup saya yang lain.

Studi tahun kedua, ketiga dan tahun keempat di Seminari Menengah, saya mengalami kesulitan yang luar biasa. Kesulitan yang telah saya alami itu berkaitan dengan biaya hidup di Seminari Menengah, yang saat itu diminta wajib bayar uang sebanyak dua ratus lima puluh ribu rupiah (250.000) per bulan dan biaya SPP pada SMA YPPK Teruna Bakti Waena sebanyak Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah (75.000). Kesulitan ini terjadi, karena bapak Pastor yang selama setahun yang lalu biaya saya itu pergi studi lanjut di Pilipina juga. Orang tua saya pun sulit dihubungi. Oleh karena kenyataan ini, maka saya hanya tetap bertahan, namun ternyata pada akhir semeter kedua, saya diberi surat tagihan biaya Seminari. Dalam surat itu tertuliskan pemberitahuan tentang jumlah uang yang harus saya bayarkan, jika saya ingin tetap berada di Seminari Menengah itu. Jumlah uang yang telah disebutkan dalam surat tagihan itu sebanyak Tujuh Jutah Rupiah. Beban ini tentu mustahil saya bayarkan dalam kondisi saya seperti itu. Maka saat itu saya memilih untuk keluar dari Seminari saja.

Selanjutnya saya merasa malu, jika dalam kondisi seperti itu tetap bertahan di Seminari. Maka saya menyimpan semua barang milik saya dan berjalan menuju gapura pintu masuk Seminari hendak pergi keluar dari Seminari. Saat itu Pastor Rektor, Jhon Kore OFM melihat saya yang keluar dengan memikul tas saya. Ia memangil saya dan menanyakan tujuan saya. Saya pun menjelaskan tujuan saya itu, tetapi Pastor katakan “anak, saya mengenal kamu bahwa kamu mempunyai kemampuan operasi mesin babat rumput dan rajin bekerja di halaman Seminari ini. Jadi, saat ini saya bebaskan semua tunggakanmu itu dan selanjutnya, kamu bisa perbaiki semua mesin babat rumput yang rusak serta selanjutnya tugasmu adalah bersihkan seluruh halaman Seminari ini setiap bulan, sebagai pengganti biaya Seminari Menengah ini”. Kebijaksanaan Pastor Rektor ini saya terima dengan senang hati dan saya kembali tinggal di Seminari lagi.

Kebijaksanaan Rektor itu saya hargai dengan perbaiki semua mesin babat rumput yang telah rusak dan setiap bulan saya bersihkan halaman Seminari selama tiga tahun, seperti yang telah ditugaskan oleh Pastor Rektor. Dalam melaksanakan tugas ini, tentunya saya tidak terhindar dari rasa lelah dan cape, tetapi dengan senang hati saya melaluinya dengan penuh tanggung jawab sambil belajar pelajaran-pelajaran yang telah saya peroleh dari sekolah serta mengikuti seluruh proses pembinaan di Seminari Menengah sebagai tahap menumbuhkan panggilan hidup saya sebagai seorang Imam Projo. Proses Pendidikan di Seminari Menengah ini terus saya tekuni hingga tamat pada tahun 2010. Sesudah menerima hasil kelulusan, saya melamar ke Keuskupan Timika dan turut melaksanakan test masuk ke STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura. Lamaran yang telah saya kirim ke Keuskupan Timika itu diterima dan dinyatakan lulus oleh Bapak Uskup Timika. Demikian juga test masuk STFT itu pun dinyatakan lulus.

Selanjutnya saya yang sudah diterima oleh Bapak Uskup Timika sebagai calon Imam Projo Keuskupan Timika ini menekuni studi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” pada tahun pertama. Di tahun pertama ini, saya melalui proses studi dan mengalami proses pembinaan di Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru dengan tekun. Kemudian tahun kedua, saya bersama teman-teman angkatan mejalani masa Tahun Orientasi Rohani di Nabire sesuai dengan arahan Bapak Uskup dan Komisi Panggilan Keuskupan Timika. Pada masa TOR ini saya juga belajar hidup Rohani sebagai dasar dari hidup panggilan saya selama satu tahun.

Sesudah menjalani masa TOR, saya kembali lagi ke STFT “Fajar Timur” untuk lanjutkan studi di semester tiga. Sesampainya saya di STFT “Fajar Timur” saya mulai studi dari semester tiga hingga berakhir di semester delapan. Secara umum, dalam studi selama empat tahun itu, saya dapat membekali diri saya dengan berbagai ilmu yang telah saya dapatkan dari kampus, membekali diri dengan pembinaan-pembinaan rohani di Seminari Tinggi dan juga membekali diri dengan membaca buku-buku di perpustakaan serta berbagai media lain yang bisa membantu.

Upaya-upaya itu saya tekuni dengan alasan bahwa semua itu pasti akan menumbuhkan iman saya akan Allah Tritunggal Maha Kudus dengan mantap, menumbuhkan intelektual saya yang baik dan membantu saya senantiasa berpikir sesuai dengan kehendak Allah, berkata sesuai dengan kehendak Allah serta berbuat pun sesuai dengan kehendak Allah (saya menjadi orang baik), sebagai mana yang telah dikatakan oleh para Pastor saat saya masih kanak-kanak di Bilogai.

Dengan laluinya semua proses studi, yang juga adalah proses pembentukan kepribadian saya dengan pengetahuan iman dan pengetahuan umum itu, selesai jugalah proses studi untuk program Strata Satu (S-1) di STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura. Oleh karena selesai, maka saya siapkan diri untuk datang ke Keuskupan Timika untuk menerima tugas dari Bapak Uskup saya. Kesiapan saya datang ke Keuskupan untuk menerima tugas ini membuktikan bahwa dengan menekuni proses Pendidikan di Seminari Menengah, menjalami masa TOR, Seminari Tinggi dan studi di STFT “Fajar Timur” itu telah menumbuhkan panggilan hidup dalam diri saya sebagai seorang calon Imam Projo Keuskupan Timika. Dan, dalam suasana panggilan yang tumbuh subur dan mantap ini, saya telah datang ke Keuskupan Timika di saat itu untuk menerima tuga belajar di Paroki TOP dan TOK dalam bimbingan Pastor Paroki yang dipercayakan oleh Bapak Uskup untuk membimbing saya.

Masa Praktek Hidup Sebagai Orang yang Terpanggil

Sesampainya saya di Keuskupan, Bapak Uskup memberikan tugas belajar kepada saya untuk menjalani masa Orientasi Pastoral di Paroki St. Fransiskus Obano dalam bimbingan Pastor Sebastianus Amamean Pr. Saya pun menerima tugas ini dengan gembira dan lantas menuju ke tempat tugas untuk menjalani proses TOP. Sesampainya saya di Paroki TOP, saya disambut dengan baik oleh Pastor Paroki dan umat. Sambutan positif ini menandai kesediaan Pastor Paroki untuk mendampingi saya di masa TOP di sana.

Sesudah saya diterima sebagai Frater TOP di Paroki St. Fransiskus Obano, saya menjalani masa TOP itu dalam bimbingan Pastor Paroki. Dalam bimbingannya menjalani masa TOP ini, saya memulai dengan pengenalan medan TOP, yang di dalamnya memuat pengenalan geografis secara umum, pengenalan budaya umat setempat, pengenalan medan pelayanan Gereja Katolik setempat, yang juga meyelidiki jumlah Stasi dan Kombas serta mengetahui jumlah umat dengan mendata umat dari rumah ke rumah. Kemudian tahap kedua, saya mulai dengan perencanaan program pastoral yang bisa saya kerjakan di medan yang sudah saya kenal itu dan melaksanakan program kerja tersebut. Selanjutnya tahap ketiga yang telah saya lalui adalah evaluasi dan membenahi program kerja pastoral yang pernah saya rencanakan dan kerjakan itu.      

Dalam seluruh proses itu, saya melihat dan mempelajari kebudayaan umat setempat yang masih terjaga dengan baik dan iman umat yang luar biasa kokoh, karena telah berakar dalam kebudayaan mereka sendiri. Bukan hanya hal menakjubkan ini saja yang telah saya lihat, tetapi juga saya pun melihat banyak segi kehidupan umat yang amat memprihatinkan yaitu; segi kehidupan ekonomi umat, kehidupan pendidikan umat, segi kehidupan kesehatan umat dan politik. Segi-segi kehidupan umat yang memprihatinkan ini, tentu mustahil saya usahakan supaya umat bisa keluar dari sana. Maka saat itu saya hanya merencanakan program kerja yang bisa saya kerjakan untuk membantu mereka keluar dari sana secara perlahan seperti; mengajar di sekolah, mengadakan mendalaman iman, memberikan modal untuk membuka usaha kepada beberapa umat yang mempunyai kemampuan usaha, mengadakan ibadat di Kombas-Kombas dengan tekanan pada pentingnya kerja, hidup sehat dan juga pentingnya sekolah bagi anak-anak usia sekolah.

Dalam proses melaui semua pengalaman itu, ternyata saya menjumpai banyak hal yang sebetulnya berada dalam keprihatinan saya, tetapi tidak muda saya laksanakan. Bahkan dalam melaksanakan hal yang sederhana pun saya tetap mengalami kesulitan juga. Di sinilah saya dapat belajar bahwa bekerja demi kebaikan banyak orang oleh seorang diri itu sungguh membutuhkan pengorbanan, sebagaimana yang telah Yesus Kristus lakukan untuk keselamatan umat manusia. Oleh karena adanya kenyataan pengorbanan Yesus Kristus ini, maka dalam melaksanakan program kerja yang telah saya rencanakan itu pun saya lalui dengan baik hingga pada akhir masa TOP saya merasa puas dan tentunya bahwa semua itu telah saya akui dalam refleksi akhir sebagai kekuatan saya untuk melangkah ke jalan panggilan saya selanjutnya.

Sesudah menyelesaikan masa TOP di Paroki St. Fransisku Obano, Bapak Uskup memberi tugas belajar untuk menjalani masa TOK di Paroki Tiga Raja Katedral Timika dalam bimbingan Pastor Paroki Amandus Rahadat Pr. Setelah saya berdada di Paroki Tiga Raja, saya diberi tugas oleh Pastor Paroki untuk selalu siap sedia melayani berbagai bentuk ibadat Sabda sesuai dengan permintaan umat di Kombas-Kombas maupun di kator-kantor. Maka tuga ini saya terima dan jalani dengan penuh tanggung jawab selama satu tahun.

Dalam melaksanakan tugas pelayanan itu, saya juga dapat mempelajari banyak segi kehidupan umat seperti; heterogenitas suku bangsa umat yang berdomisili di Paroki Tiga Raja Timika, relasi-relasi yang baik maupun buruk di antara umat, semangat hidup menggereja yang positif maupun negatif, karier umat yang mapan maupun memprihatinkan dan pandangan-pandangan politik umat yang saling bertolak belakang serta motivasi keberadaan mereka di kota Timika yang juga berbeda-beda. Dalam kenyataan hidup umat seperti inilah, saya menjalani masa TOK dan semuanya itu telah menambah wawasan Pastoral bagi saya sebagai calon Imam Projo yang wajib merangkul semua umat yang berbeda, semua yang aktif dan tidak aktif, semua yang baik dan buruk sebagai umat Allah yang perlu saya layani dalam karya Pastoral saya ke depan.

Membalas Kasih Allah

Kisah hidup saya pada masa pertumbuhan panggilan Imamat, masa menumbuhkan panggilan Imamat dan praktek hidup sebagai orang yang terpanggil itu saya akui sebagai kasih Allah yang sungguh-sungguh menjadi kenyataan bagi saya. Kehadiran kasih Allah yang sungguh-sungguh telah menjadi kenyataan ini, saya rasakan lewat berbagai peristiwa dan setiap tokoh yang telah saya sebutkan dalam kisah hidup saya di atas. Maka pertanyaan selanjutnya bagi saya adalah bagaimana saya bisa membalas kasih Allah ini? Untuk menjawab kasih Allah bagi saya ini, saya harus tetap bertahan pada jalan panggilan ini. Bertahan pada jalan panggilan ini berarti dengan tekun dan setia melalui semua proses pendidikan Imamat.

Program Pasca Sarjana adalah salah satu bagian proses Pendidikan menuju pada tangga Imamat. Maka saya sebagai colon Imam, menyatakan kesediaan saya untuk menekuni studi pada Program Pasca Sarjana di mana pun tempatnya. Kesediaan saya menekuni studi Program Pasca Sarjana ini dengan motivasi bahwa semoga saya dapat membalas kasih Allah dengan menjadi seorang Imam. Sehingga pun saya dapat menyerahkan hidup saya seutuhnya kepada-Nya dalam karya Pastoral di mana pun saya ditugaskan oleh Bapak Uskup.

Selain rencana saya membalas kasih Allah itu, saya juga selalu akan bersedia hidup taat pada segala perintah-Nya. Sebab Ia bersabda “Jikalau kamu menuruti perintahku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya (Yoh. 15:10)”. Hal ini berarti bahwa saya juga akan selalu siap untuk berkorban bagi-Nya, baik itu waktu, tenaga maupun seluruh hidup saya. Dalam hal ini, saya bisa belajar dari Injil Yohanes 12:3, yang mengatakan “Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bauh minyak itu semerbak di seluruh rumah itu”. Saya percaya bahwa tindakan Maria ini menunjukkan betapa ia sangat mengasihi Tuhan, sehingga rela memberikan semua harta miliknya yang sangat berharga itu. Di sinilah Tuhan melihat hati Maria yang begitu tulus mengasihi-Nya dan meberikan pengampunan dosa yang membawa dia pada keselamatan.   

Kesediaan saya belajar dari Maria itu bukan untuk mempersembahkan harta benda sepertinya, tetapi hanya mempersembahkan hidup saya dalam segala keterbatasan dan kedosaan ini kepada-Nya sebagai persembahan hidup. Inilah yang akan saya lakukan sebagai ungkapan kasih saya kepada Tuhan yang lebih dulu mengasihi saya. Semoga Allah yang Maha Kasih menolong saya dalam mengungkapkan kasih saya kepada-Nya.   

The Best

PENGERTIAN FILSAFAT