Oleh Yeskiel Belau
Pengantar
|
Foto Yeskiel Belau |
Dalam
kuliah Teologi Kontekstual pada semester ini, kita menggunakan buku model-model
Teologi Kontekstual, karya Stephen B. Bevans.
Penggunaan buku ini tentu mempunyai tujuan, yakni; Belajar apa yang menjadi pokok
pembahasan dan mengertinya dengan baik, sehingga selanjutnya itu membantu kita dalam
karya Pastoral.
Demi memudahkan kita mencapai tujuan
itu, kita mendapat kewajiban untuk meringkas beberapa bab dari buku yang
dimaksud di atas. Dalam hal ini, saya Yeskiel Belau mendapat kewajiban untuk
meringkas bab I, yaitu; “Teologi
Kontekstual Sebagai Imperatif Teologi”. Oleh karena bagian ini menjadi
kewajiban saya, maka dalam tulisan ini, saya akan memuat ringkasan tentangnya. Semoga
hasil ringkasan saya ini dapat membantu teman-teman dalam memahami maksud
sesunggunya dari bab I ini.
Teologi Kontekstual Sebagai
Imperatif Teologi
Pada
bagian awal, penulis mengatakan tidak ada suatu yang disebut “Teologi”, yang ada hanyalah Teologi Kontekstual.
Teologi Kontekstual yang dimaksud itu terdiri dari beberapa jenis Teologi,
yaitu; Teologi Feminis, Teologi Hitam, Teologi
Pembebasan, Teologi Filipina, Teologi Asia-Amerika, Teologi Afrika dll. Teologi-teologi
kontekstual seperti ini merupakan upaya Gereja untuk memahami iman Kristen
secara tepat, dipandang dari segi konteks tertentu dan membantu umat untuk
beriman kepada Allah sesuai dengan konteks hidup dan budaya mereka. Oleh
karenanya, maka upaya ini disebut Imperatif Teologis. Hal ini berarti bahwa kontekstualisasi
itu merupakan bagian dari hakikat terdalam Teologi itu sendiri.
Berdasar pada penjelasan itu, selanjutnya
akan ditunjukkan dua hal. Pertama, segi ketidaksinambungan dan kesinambungan
pendekatan kontekstual terhadap Teologi dalam perbandingannya dengan Teologi tradisional/klasik.
Kedua, refleksi penulis atas beberapa faktor, baik internal maupun eksternal,
yang membuat kontekstualisasi teologi itu menjadi sesuatu yang mungkin dalam
dunia dewasa ini dan dalam pemahaman iman Kristen sekarang.
Kontekstualisasi Sebagai
Sesuatu yang Baru dan Sekaligus Tradisional
Judul ini sekaligus mengatakan dua hal; Pertama, Teologi kontekstual
sebagai sesuatu yang sama sekali baru.
Kedua, kotekstualisasi sebagai sesuatu
yang tradisional. Keduanya akan dijelaskan secara terpisah berikut ini dengan
didahului oleh penjelasan hal pertama.
Teologi Kontekstual Sebagai
Sesuatu yang Sama Sekali Baru.
Sehubungan
dengan judul ini, dikatakan demikian karena teologi kontekstual mengerti
hakikat teologi itu secara baru. Mengerti hakikat telogi secara baru berarti
teologi klasik memahami teologi dewasa ini sebagai sejenis ilmu pengetahuan
obyektif tentang iman. Teologi dewasa ini yang dianggap obyektif adalah
refleksi iman Gereja yang terdapat dalam dua sumber, yaitu; Kitab Suci dan Tradisi, yang isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah-ubah serta
berada di atas kebudayaan dan ungkapan yang dikondisikan secara hidtoris.
Pertanyaannya, apa yang membuat teologi itu kontekstual? Jawabannya adalah
pengalaman manusia sekarang ini (locus
theologicus yang lain). Sebab Teologi yang berwajah kontekstual seperti ini
menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer dan
lain sebagainya itu harus diindahkan bersama dengan Kitab Suci dan Tradisi. Oleh
karena itu, dalam perspektif ini, kita mengatakan bahwa teologi memiliki tiga
sumber (loci theologici), yaitu; Kitab Suci, Tradisi dan pengalaman manusia sekarang ini (konteks).
Kita
menambahkan pengalaman/konteks pada sumber berteologi itu karena revolusi cara
berpikir dan memahami dunia “kembali ke subyek yang mencuat pada permulaan
zaman moderen”. Kalau teologi klasik memahami teologi sebagai sesuatu yang
bersifat obyektif, maka teologi kontekstual mengerti teologi sebagai sesuatu
yang bersifat subyektif. Dikatakan subyektif dengan alasan bahwa pribadi
manusia, terikat secara kultural dan historis sebagai sumber kenyataan, bukan
sebagai obyektifitas yang disangka bebas nilai dan bebas budaya.
Sehubungan
dengan hal itu, Charles Kraft
mengatakan “selalu ada perbedaan antara realitas dan pemahaman manusia yang
dikondisikan secara kultural atas realitas itu. Kita mengira bahwa realitas itu
ada di luar sana, sementara mental tentang realitas yang ada dalam kepala kita
itu diyakini sebagai yang paling riil bagi kita”. Perkataan ini mengandung arti
bahwa realitas itu bukan semua yang ada di luar sana, tetapi justru ada di
dalam dan realitas itu diperantarai oleh makna. Maksudnya makna yang kita
berikan dalam konteks budaya kita, yang bisa ditafsir dan mengerti sesuai
dengan horizon yang kita miliki. Misalnya, orang Amerika menyebut padi-nasi dengan nama rice, sementara suku bangsa yang lain mempunyai nama yang berbeda
sesuai dengan cara pandang kultur mereka.
Semua
penjelasan di atas mengandung arti bahwa konteks kultural dan historis
mempunyai peranan yang meyakinkan akan terbentuknya realitas di mana kita
hidup. Demikian juga dengan konteks kita mempengaruhi pemahaman kita akan Allah
dan ungkapan iman kita. Karena hal ini, maka untuk melihat pentingnya teologi
kontekstual ini, kita belajar dari Henri
Bouillard. Ia pernah mengatakan bahwa sebuah teologi yang tidak selaras
dengan zaman adalah palsu. Memang benar bahwa sebuah teologi yang tidak
memantulkan zaman kita, kebudayaan kita dan keprihatinan-keprihatinan kita juga
merupakan teologi palsu. Dalam hal ini, Charles
Kratf juga berbicara tentang hal serupa bahwa teologi yang dipandang
sebagai tidak relevan, maka dalam kenyataannya memang tidak relevan.
Pada
zaman kita sekarang inilah para teolog semakin menyadari akan pentingnya
konteks dalam menata pola pikir manusia dalam bingkai pewahyuan Allah.
Maksudnya bahwa pola pikir manusia yang bisa mengakui tiga sumber untuk
berteologi, yang sebenarnya bukan hanya sekedar menambahkan konteks sebagai
unsur ketiga, tetapi juga sebaliknya kita justru mengubah keseluruhan
perbandingan.
Kalau
kita mengakui betapa pentingnya konteks bagi teologi, maka kita juga mengakui
akan pentingnya konteks itu sendiri demi pengembangan Kitab Suci dan Tradisi.
Pengakuan ini bertolak dari keyakinan akan tulisan-tulisan Kitab Suci dan Tradisi yang
memang bukan jatuh dari langit. Artinya bahwa semuanya itu dihasilkan oleh
manusia dalam konteks kehidupan mereka. Oleh karena sadar akan pengalaman ini, maka
kita juga perlu membaca dan menafsirkannya dalam konteks kita sendiri.
Sejalan
dengan apa yang di katakan di atas itu, berteologi secara kontekstual berarti
secara serentak memperhatikan dua hal sekaligus, yaitu; Pertama, menghiraukan pengalaman iman masa lampau yang terekam
dalam Kitab Suci dan dijaga agar
tetap hidup dan dibelah. Kedua,
menghiraukan teologi kontekstual secara sungguh-sungguh dengan mengindahkan
pengalaman masa sekarang (konteks aktual). Sementara teologi harus setia kepada
pengalaman dan konteks masa lampau secara utuh, agar ia menjadi teologi yang otentik.
Hal ini bisa menjadi mungkin, jika apa yang telah diterima itu sungguh-sungguh
diambil dan dijadikan sebagai milik kita sendiri. Oleh karena itu, proses
tersebut perlu lalui saringan pengalaman kolektif-kontemporer kita sendiri. Hal
ini berarti bahwa kita tidak meneruskan dan mengakuinya sebagai milik kita
sendiri tanpa melalui proses saringan.
Pengalaman
yang dimaksud di atas berkaitan dengan sajian ragam realitas yang berlainan,
seperti; Pertama, konteks berbagai pengalaman
tentang kehidupan pribadi seseorang atau kelompok tertentu. Isi pengalamannya
bisa berupa; pengalaman keberhasilan, kegagalan, kelahiran, kematian, relasi
dan lain sebagainya, yang memungkinkan orang untuk mengalami kehadiran Allah
dalam hidupnya. Kedua, pengalaman
personal dan komunal yang dimungkinkan dalam kebudayaan, yaitu; sistem kosepsi
warisan yang diungkapkan dalam bentuk simbolik. Hal yang dimaksud di sini
berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan, yang selama hidupnya
dikomunikasikan, lestarikan dan kembangkan sebagai pengetahuan hidup untuk
berperilaku terhadap sesama dalam hidup. Menurut hemat penulis, kebudayaan
semacam ini bisa berciri “sekular” atau
“religi”. Kebudayaan sekular yang dimaksud ialah kebudayaan
seperti yang ada di Eropa, Amerika Utara,
Selandia Baru dan Australia yang
memiliki rupa-rupa nilai adat. Sedangkan kebudayaan religius yang dimaksud itu berupa kebudayaan yang ada di India, yang nilai-nilai budayanya
terserap dalam simbol dan mitos dari sistem religius,
seperti Hiduisme. Oleh karena
kenyataan ini, maka tidak dianjurkan untuk semuanya dikontekstualisasikan.
Sebab kita juga perlu pahami dan hargai agama bangsa lokal seperti itu.
Sejalan
dengan penjelasan di atas, para Uskup
Asia terus berbicara tentang tridialog,
yaitu; dialog dengan kaum miskin di Asia, dialog dengan kebudayaan-kebudayaan Asia dan dialog dengan agama-agama Asia. Ajakan dialog ini dengan alasan bahwa kedua segi
terakhir ini merupakan acuan pengalaman tentang konteks sebagai kebudayaan.
Ketiga, konteks lokasi sosial seseorang atau satu komunitas.
Dalam hal ini para teolog feminis dan
pembebasan menekankan bahwa perbedaan
tercipta karena seseorang itu laki-laki
atau perempuan, kaya atau miskin, dari Amerika Utara atau Amerika Latin dan berada di
pusat kekuasaan atau pingiran.
Maka dalam konteks lokasi sosial seperti ini, kita bisa ajukan
pertanyaan-pertanyaan yang baru dalam refleksi teologis. Jadi, ketika para
teolog berteologi mereka harus akui dan tegaskan lokasi sosial itu sambil
merangkulnya. Hal ini dilakukan agar hasil refleksi teologi tersebut bermakna
dan menjawab kesenjangan konteks sosial tersebut.
Akhirnya,
gagasan tentang pengalaman masa kini, yaitu; konteks perubahan sosial. Di zaman ini, segalanya mengalami
perubahan yang drastis, baik itu perubahan positif maupun negatif. Perubahan
ini berpengaruh juga pada kebudayaan-kebudayaan di setiap daerah yang
memunculkan dua faktor, yakni; Pertama,
dampak kultural dari modernitas bersama dengan berbagai revolusi yang dibawa
serta oleh elektronis dan perluasan global kontemporer. Contohnya segala macam
bahan moderen yang digunakan manusia di zaman ini. Kedua, sisi idealis modernitas yang mempunyai dampak di zaman ini.
Dalam hal ini kita bisa mengerti bahwa banyak masyarakat yang selama ini
diperintah oleh kekuatan-kekuatan opresif, kini mengakui hak-hak serta martabat
mereka yang ditindas, yang juga terus berjuang membebaskan diri mereka.
Seluruh Penjelasan di atas Dapat
Disimpulkan Melalui Gambar Berikut ini:
Teologi Kontekstual
Pengalaman masa lampau – Pengalaman masa sekarang
(Teks) (Konteks)
yang terekam dalam
Kitab Suci; - Pengalaman
Personal/Komunal
disimpan dan dibelah dalam Tradisi - Kebudayaan
- Lokasi sosial
- Perubahan sosial
Berdasar pada semua uraian di
atas, maka teologi dewasa ini harus mengindahkan semua segi konteks itu. Ia
harus menyadari bahwa semua segi itu telah bergiat dalam mengembangkan kesaksian
Kitab Suci serta kesaksian tradisi.
Artinya bahwa semua itu merupakan titik tolak refleksi teologi dewasa ini.
Gambar di atas melukiskan peran sentral pengalaman/konteks (masa lampau dan
masa kini) dalam upaya berteologi.
Kontekstualisasi Sebagai
Sesuatu Yang Tradisional
Kontekstualisasi
sebagai sesuatu yang tradisional mengandung arti bahwa proses kontekstualisasi
teologi ini bukan hal yang baru, tetapi sudah sangat lama dan memang semua
teologi bersumber dari sebuah teologi yang kontekstual. Hal ini berarti setiap
teologi yang autentik telah berakar sangat mendalam pada sebuah konteks tertentu,
baik secara tersirat maupun secara nyata. Oleh karena kenyataan ini, maka kita
dapat mengatakan juga bahwa kontekstualisasi merupakan dasar bagi semua teologi
dan memang demikian. Bayangkan, Kitab
Suci dan Tradiri Gereja yang
adalah sumber iman Kristian ini pun lahir dari tradisi pada masanya sesuai dengan konteks saat itu. Demikian
juga dengan penghayatan-penghayatan religius Kristiani yang lain, tentu juga
lahir dari tradisi tertentu.
Mengenai pembuktian tentang hal
itu dikemukan banyak temuan, tetapi di sini hanya memuat penegasan atas
temuan-temuan yang dikemukakan itu. Jadi, memang tidak pernah ada suatu teologi yang sejati, yang dirumuskan
dalam sebuah menara gading tanpa acuan, lepas dari berbagai peristiwa, bentuk
pemikiran, kebudayaan dan waktu tetentu. Semua lahir dari kenyataan seperti
ini, maka kontekstualisasi memang sesuatu yang tradisional. Pertanyaan
selanjutnya adalah mengapa teologi mesti kontekstual?
Mengapa Dewasa ini Teologi
Mesti Kontekstual?
Ada dua faktor yang menunjukkan
teologi dewasa ini mesti kontekstual. Kedua faktor itu adalah faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
adalah peristiwa-peristiwa historis, aliran-aliran pemikiran, pergeseran-pergeseran budaya dan kekuatan-kekuatan politik. Sedangkan
faktor internal ialah iman Kristen yang menunjuk pada
kemungkinan dan keharusan berteologi seturut
konteks. Selanjutnya faktor-faktor internal
ini diyakini lebih penting dari pada faktor-faktor eksternal, meskipun ia ditonjolkan oleh eksternal dengan alasan bahwa ia langsung menunjuk pada imperatif kontekstual yang terdapat dalam
agama Kristen. Maka selanjutnya akan dijelaskan kedua foktor ini secara
terpisah berikut ini.
Faktor-Faktor Eksternal
Faktor-faktor
eksternal selalu memunculkan
ketidakpuasan dalam pendekatan klasik terhadap teologi di dunia pertama dan
dunia ketiga. Di dunia pertama, ragam filsafat klasik di masa lampau berfungsi
sebagai landasan teologi kelihatan tidak senada dengan pengalaman kontemporer.
Maka ada gerakan untuk mendasarkan teologi pada “pemikiran proses” dalam upaya berteologi yang sesuai. Di sini,
beberapa teolog menggunakan wawasan dan kerangka kerja kaum eksistensialis, personalis
dan filsafat bahasa. Sementara teolog
lain meninggalkan pendekatan tradisional dengan melepaskan filsafat sebagai
pijakan berteologi dan merancang teologi yang berdasar pada narasi, otobiografi/biografi dan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi. Kenyataan ini berarti bahwa
pengertian teologi yang resmi telah mengalami tantangan di dunia pertama atas
nama relevansi.
Selanjutnya
ada beberapa pemahaman yang bisa memperjelas apa yang telah dikatakan di atas
antara lain; orang-orang Kristen di Asia,
Afrika, Amerika Latin dan Oseania menyadari
bahwa pendekatan tradisonal terhadap teologi tidak bermakna dalam kebudayaan
dan bentuk pemikiran mereka sendiri. Dalam hal ini Raimon Pannikar, seorang filsuf dan teolog asal India pernah mengatakan bahwa
orang-orang India tidak dapat menerima pemikiran filosofis barat yaitu, prinsif kontradiksi. Memang dalam
kenyataan teologi tradisional sudah tidak sesuai dengan kebudayaan non barat
lagi dan orang-orang kristen non barat melihat bahwa agama Kristen barat
dipengaruhi oleh semangat pencerahan,
yang berupaya melenyapkan rupa-rupa
keyakinan, seperti sihir, penyembuhan gaib dan keberadaan roh-roh, yang adalah keyakinan
utama dalam kehidupan religius banyak bangsa di Afrika, Asia, Karibea dan Amerika Latin. Inilah contoh mengenai
bagaiman teologi tradisional telah menyebabkan rasa tidak puas.
Alasan
eksternal kedua terhadap pertanyaan “mengapa
teologi dipahami sebagai sesuatu yang pasti persifat kontekstual?” terletak
pada ciri opresif
dari pendekatan-pendekatan yang lebih tua. Dalam meperjelas bagian ini, James Cone mengatakan bahwa teologi
tradisional telah mengabaikan pengalaman
orang-orang hitam dan menjadikan
mereka tidak kelihatan serta tidak didengarkan. Demikian juga para teolog Amerika Latin menemukan bahwa teologi
tradisional tidak menyuarakan pengharapan
bagi kaum miskin yang tetindas di Amerika Latin. Malahan sering digunakan
untuk membenarkan “status quo”
kaum kaya dan berkuasa. Pengalaman ini berarti bahwa Teologi Barat, yang
menekankan keselamatan dan moralitas individual telah mengacaukan
kebudayaan-kebudayaan yang hanya mengakui individu dalam konteks kelompok. Pendekatan
yang lebih tua terhadap teologi dipenuhi dengan pengandaian menyangkut
superioritas kaum laki-laki dan menghasilkan kekacauan paham tentang Allah,
kekacauan dalam berliturgi dan ketidakjelasan kedudukan kaum perempuan dalam
pelayanan gerejani. Maka sikap yang tidak peka terhadap budaya dan perilaku
seperti demikian itu telah dilucuti belakangan ini, dengan harapan menghadirkan
kembali makna Kristen. Upaya ini berhasil memunculkan berbagai gerakan dan
tekanan untuk menjadikan teologi dan praktek gerejani yang lebih sesuai dengan
hal-hal posistif yang terdapat dalam setiap kebudayaan.
Pada
dunia ketiga, bertumbuhnya jati diri
Gereja-Gereja lokal memberi sumbangsih pada pengembangan teologi yang sungguh
bersifat kontekstual. Hal yang mulai diketahui berkat kesadaran negara-negara
di Afrika dan di Asia ialah bahwa terdapat nilai-nilai dalam kebudayaan mereka yang
lebih baik dari pada pengaruh atau nilai-nilai budaya yang telah mereka alami
dari bangsa-bangsa penjajah. Mereka bahkan memiliki rasa percaya diri akan
kemampuan mereka untuk melakukan segala sesuatu seturut cara mereka sendiri.
Ketiga faktor eksternal itu memuat sebuah faktor keempat, yaitu pemahaman tentang
kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer. Di sini Bernard Lonergan membedakan paham kebudayaan klasik dan paham kebudayaan empiris. Menurut kebudayaan klasik, hanya ada satu kebudayaan yang
bersifat universal dan abadi. Dalam kebudayaan seperti ini, pribadi yang
berkebudaya mengembangkan dirinya berdasar pada prestasi-prestasi agung manusia
di barat. Sementara itu, paham kebudayaan empiris
merumuskan kebudayaan sebagai seperangkat makna
dan nilai yang memberi tahu suatu cara hidup. Walaupun demikian, kebudayaan
bukanlah sesuatu yang terdapat di luar sana, melainkan ada dalam diri setiap
orang yang berbudaya oleh karena ambil bagian di dalamnya. Menurut Lonergen, teologi mesti berfungsi
sebagai suatu cara, agar agama itu bisa dipahami dalam sebuah kebudayaan
setempat.
Faktor-faktor Internal
Faktor-faktor
internal yang dimaksud itu berciri inkarnatif
Kristen. Keinkarnatifan faktor internal ini diperkuat dengan kutipan “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3;16)”. Tekanan di sini
adalah kehendak Allah membagikan diri-Nya kepada manusia dan mengundangnya
masuk ke dalam relasi dengan Dia yang memberi kehidupan. Allah melaksanakan inkarnasi ini sesuai dengan konteks
mausia, sehinggah manusia betul-betul memahami dan masuk ke dalam relasi-Nya
yang memberikan kehidupan. Untuk itulah Allah menjadi manusia (Yoh. 1:14), dalam
diri seorang pribadi Yesus, seorang
Yahudi, Anak Maria, seorang laki-laki, yang memiliki tinggi badan tertentu,
warna rambut tertentu, kepribadian tertentu dan lain sebagainya, yang juga bisa
dipahami oleh manusia dan karenanya orang dapat berelasi dengan-Nya sebagai
pemberi kehidupan.
Bertolak
dari inkarnasi Allah itu, kita pun
dituntut untuk melanjutkan proses inkarnasi
pewartaan Injil, supaya pewartaan kita itu sungguh-sungguh menyetuh umat
yang kita layani. Hal ini mengandung arti bahwa melalui diri kita, Allah mesti menjadi orang Asia, Afrika,
hitam atau coklat, miskin atau kaya dan lain sebagainya. Inilah (inkarnasi
Allah dalam diri Yesus) dasar yang membangkitkan keharusan agama Kristen dalam
berteologi, agar pewartaan menjadi kontekstual. Mendukung hal ini, Rene Padilla mengatakan; Inkarnasi menyatakan pendekatan Allah dalam
mewahyukan diri dan maksud-Nya. Memang Allah tidak meneriakkan pewartaan-Nya dari surga, tetapi Ia hadir
dalam diri manusia di antara manusia
yang lain. Maka kita percaya bahwa puncak pewahyuan Allah adalah Imanuel. Imanuel adalah Yesus, seorang
Yahudi yang hidup pada abad pertama!
Faktor
internal kedua adalah ciri sakramental
dari realitas. Doktrin inkarnasi
memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam gagasan-gagasan,
melainkan juga dalam realitas nyata. Hal ini berarti di dalam Yesus, kita bisa
berjumpa dengan Allah secara penuh. Menurut Edward
Schillebeeckx, perjumpaan dengan Yesus adalah “Sakramen perjumpaan dengan Allah”. Oleh karena demikian, maka
perjumpaan dengan Allah dalam diri Yesus diharapkan terus berlangsung di tengah
dunia kita, melalui hal-hal konkrit. Sebagaimana perjumpaan dengan Allah lewat
penuangan air baptis, menyantap tubuh dan
darah Kristus dalam rupa roti dan anggur, lewat pengurapan minyak suci, lewat
absolusi pengampunan dosa dan perutusan. Inilah saat memaklumkan iman
dunia, penghuninya beserta tindakan-tindakannya adalah suci. Sehubungan dengan
pemahaman ini, Luther berkata bahwa
dunia itu selubung Allah dan firman Allah. Sementara menurut Gerard Manley Hopkins, “dunia itu tempat
yang dipenuhi oleh kemuliaan Allah”.
Demikianlah
ketika hal-hal biasa dalam kehidupan begitu transparan bagi kehadiran Allah,
maka kita dapat berbicara tentang kebudayaan dan peristiwa-peristiwa dalam
sejarah, yang berkaitan dengan konteks sebagai yang sungguh-sungguh bersifat
sakramental. Sebab diyakini bahwa karenanya Allah mewahyukan diri-Nya.
Selanjutnya kebudayaan, pengalaman manusia dan sejarah mesti “dibongkar” kalau
kita setia pada pemahaman agama Kristen sejati. Mengenai hal ini secara
gambalang Stulmulle dan Donald Senior menunjukkan bahwa hakikat
sakramental dari konteks tertentu bukalah sesuatu yang sama sekali baru.
Keseluruhan arah gerak Kitab Suci adalah
hal menafsirkan yang biasa, sekular, dipandang dari simbolisme religius. Inilah
tugas berkelanjutan teologi, yaitu; menyingkapkan kehadiran Allah dalam sebuah
dunia yang benar-benar sakramental.
Faktor
internal ketiga adalah pergeseran
pemahaman hakikat pewahyuan Ilahi. Bagian pergeseran ini, kita lihat
sebagai faktor internal yang menentukan ciri kontekstual teologi. Sealur dengan
penjelasan ini, dalam teologi sebelum Konsili
Vatikan II, memahami pewahyuan pada umumnya sebagai kebenaran
proposisional. Menurut Jose de Mesa
dan Lode Wostyn, pewahyuan itu tampil
dalam bentuk kebenaran-kebenaran abadi yang diturunkan kepada kita dari kristus
dan para rasul. Secara konkrit, iman dipahami sebagai persetujuan intelektual
terhadap kebenaran-kebenaran yang dimaksud. Semuanya ini ditata dan dipaparkan
secara sistematis sebagai iman Katolik. Pemahaman pewahyuan Allah seperti ini
dilihat sebagai hal membiarkan orang mengetahui bagian tertentu dari rahasia
Allah, dunia, diri sendiri dan serapan kebenaran-kebenaran tersebut yang tidak
membawa orang pada keselamatan. Maka model pemahaman pewahyuan Allah seperti
ini telah berakhir dengan “kematian rasul terakhir”. Sehingga tidak ada pilihan
lain, selain komunikasikan kebenaran-kebenaran tersebut dari satu angkatan ke
angkatan berikut dan berupaya menyelami maknanya.
Meskipun
demikian, teologi sesudah Konsili Vatikan
II mulai mengubah penekanannya. Ia berbicara tentang pewahyuan dalam
istilah-istilah yang bersifat personal. Dalam pemahaman yang baru ini,
pewahyuan dimengerti sebagai tawaran dari Allah sendiri kepada manusia dengan
sarana tindakan-tindakan konkrit dan simbol-simbol dalam sejarah serta
kehidupan sehari-hari orang perorangan. Pengertian pewahyuan interpersonal
seperti ini dipahami sebagai komunikasi diri Allah kepada manusia, yang
mengerti iman sebagai sebuah tanggapan personal dan menyerahkan diri kepada
Allah. Oleh karena pemahaman inilah, maka dalam Dekrit Konsili Vatikan II ditetapkan “Wahyu
Ilahi”, yang kita baca dalam pewahyuan “Allah yang tidak kelihatan (Kol.
1:15; 1Tim. 1:17), karena cinta kasih-Nya yang melimpah ruah, menyapa manusia
sebagai sahabat (Kel. 33:11; Yoh. 15:14-15) dan bergaul dengan mereka (Bar.
3:38), guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuan-Nya” (DV 2). Walaupun pewahyuan masih dipahami
sebagai sesuatu yang sudah selesai dalam arti obyektif, seperti kata Rarl Rahner, dalam Kristus Allah telah
menyatakan Ke-Allah-an secara tuntas, namun tindakan pewahyuan Allah juga
dilihat sebagai sesuatu yang terus berlanjut. Sebab Allah senantiasa mewartakan
diri-Nya kepada manusia dalam hidup mereka sehari-hari.
Apabila
pewahyuan terus dipahami seperti itu, maka teologi hanya bisa dimengerti
tebagai sesuatu yang tidak berubah dan tidak memiliki hubungannya dengan
realitas budaya dan perubahan sosial. Maka diharapkan agar teologi itu
benar-benar kontekstual, agar bisa dimengerti oleh manusia. Misalnya; pewahyuan
kepada bangsa Israel itu hanya cocok utntuk orang yang berkebudayaan Ibrani
dalan lain sebagainya.
Faktor
internal keempat, ciri katolisitas Gereja.
Ciri dalam agama Kristen yang menuntut pendekatan teologi kontekstual adalah
katolisitas. Sebutan “katolik”
berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu; kata dan holos (seturut
keseluruhan) dan mengacu pada jemaat Kristen yang merangkul semua, meliputi
semua dan menerima semua. Menurut Avery
Dulles, katolisitas itu mengisyaratkan bahwa “kepicikan dan partikularisme
tidak mempunyai tempatnya sama sekali di dalam gereja Kristus yang sejati.
Karena pendapat ini, maka agar layak menyandang gelar katolik, Gereja mesti
peka terhadap rupa-rupa pencapaian yang sehat dalam setiap ras dan budaya,
karena memang agama Katolik menaruh hormat pada nalar, kehendak, emosi, tingkat
dan segi keberadaan manusia. Dengan kata lain bahwa Gereja katolik sungguh
merangkul manusia karena ia melihat manusia beserta ras dan budayanya baik dan
suci adanya. Gereja katolik adalah gereja yang teguh beriman akan wahyu Allah
di dalam peristiwa Inkarnasi dan memiliki kepekaan akan sakramentalitas
ciptaan. Selanjutnya katolisitas diterjemahkan sebagai universalitas, namun
istilah ini kurang memuat makna kata yang pertama. Katolisitas tentu saja
menjamin pelestarian keseluruhan Injil dan berjuang untuk hidup serta
berkembang di seluruh pelosok dunia dalam setiap konteks budaya. Selain hal
ini, pada saat yang sama pula ia mempunyai kekuatan untuk melindungi yang lokal
dan partikular. Dengan demikian keseragaman dalam agama Kristen menuju kesatuan
dalam keragaman.
Dengan
polah teologi yang demikian setiap suku bangsa akan menemukan jati diri mereka
dan menjadi gereja yang sejati. Dengan kata lain bahwa jika gereja terlibat
dalam dialog yang intens dengan setiap kebudayaan, maka ia bisa menjadi saksi
Yesus Kristus. Demikianlah dinamika katolisitas pada hakikatnya menuntut
pendekatan yang kontekstual terhadap teologi.
Faktor internal keempat adalah Trinitas. Dalam agama Kristen, Trinitas mengharuskan kontekstualisasi.
Maka dalam teologi kontemporer menyaksikan pembaruan dalam memikiran Allah
Tritunggal dan menempatkannya pada pusat proses berteologi Kristen. Kemudian
pemahaman kontemporer tentang Allah sebagai Trinitas adalah melihat Allah
sebagai persekutuan tiga pribadi yang dinamis dan rasional, yang menurut
kodratnya mesti ada dan bergiat di tengah dunia ini, seraya memanggil dan
membujuknya masuk dalam kepenuhan relasi, yang oleh tradisi Kristen disebut
“keselamatan”. Melalui kehadiran Roh dan sang logos, Allah berkarya demi
keselamatan manusia dalam konteks budayanya, peristiwanya, penderitaan dan
kegembiraannya. Ciri dialogis Allah ini merupakan sumber bagi katolisitas dan
teologi yang mesti dirangkul oleh Gereja. Artinya bahwa para teolog Kristen
harus berteologi secara kontekstual, karena Allah itu sendiri hadir dan
bertindak secara kontekstual.
PENUTUP
Bagian penutup ini dapat
disimpulkan bahwa teologi dewasa ini, mesti kontekstual. Teologi yang kontekstual
itu “teologi yang sesuai dengan konteks kebudayaan,
peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian dan karakter suku bangsa tertentu yang
menjadi penerima pewartaan Injil yang diwartakan, dengan harapan agar mereka
dapat mengertinya dengan sempurna dan pengertian ini membawa mereka pada iman akan
Allah yang memberi kehidupan dalam konteksnya dan yang akan memberi kehidupan
kekal”.