Pokok-Pokok Pikiran Fransiskus Sondegau Tentang Nduni dan Minai Serta Maknanya
Fato Fransiskus Sondegau |
Bagi orang Migani, keluarga adalah
surganya para anggota keluarga. Oleh karena itu, mereka menciptakan keluarga
yang harmonis, dalam sistem NDUNI dan MINAI.
Dengan adanya NDUNI seorang anak
laki-laki ditempatkan pada levelnya dan mendidiknya menjadi seorang pejuang
oleh bapanya.
Sedangkan seorang perempuan, ditempatkan
pada levelnya dan dididik untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik dan menjadi
pembawa damai dalam keluarga oleh mamanya, dalam MINA I atau MINA IAGE.
Hal di atas, sama sekali bukan untuk
memisahkan satu sama lain dalam anggota keluarga, tetapi demi menciptakan
keluarga yang harmonis pada posisi dan tempatnya, dengan nilai dan tujuan hidup
yang jelas.
Oleh karenanya, anak mendapat didikan
yang jelas di tempat yang jelas pula. Dan pasti ia akan menyesuaikan diri dalam
lingkungan masyarakat dan menghindari hal2 yang mencurigakan.
Dengan demikian, keluarga benar-benar
menjadi surga, bagi para anggotanya. Surga yang dimaksud bukanlah hal2 besar
tetapi KEDAMAIAN dalam keluarga.
Tetapi mengapa zaman sekarang,
keluarga-keluarga Migani seakan menjadi "neraka"? Mengapa ada masalah
di mana-mana? Mengapa ada selingkuhan di mana-mana, di wilayah Intan Jaya? Apa
penyebabnya?
Ada dua masalah pokok, terjadinya
selingkuhan dan mengundang banyak masalah yang lain. Masalah utamanya sebagai
berikut:
1) Orang Migani sudah lupa membuat NDUNI
dan MINAI, apalagi nilai-nilainya.
Karena tidak adanya NDUNI dan MINAI yang
jelas, maka tuan rumah maupun tamu, laki-laki maupun perempuan dan bujangan
maupun berkeluarga, bertampung dalam satu rumah dan tidur bersama.
Akibatnya, selingkuhan di mana-mana.
Anehnya, laki-laki tidak tobat, justru dia menjadikan denda selingkuhan sebagai
"lahan bisnis" dan mengambil denda lebih dari satu kali. Tidak
berpikir untuk membuat NDUNI, atau setidaknya rumah untuk para tamu. Akhirnya
masalah terulang lagi. Itulah kenyataan orang Migani di Intan Jaya saat ini.
Ini salah siapa? 🤷🏾♂
2) Sudah mempunyai istri, bahkan lebih
dari satu, tetapi sudah melupakan SISTEM BERKEBUN.
Seorang perempuan, biasanya hanya
membutuhkan dan mengharapkan kenyamanan dalam keluarga. Jika hal ini tidak
diindahkan, maka pasti akan mencari lain yang bisa memberi kenyamanan. Akhirnya
selingkuh lagi.
Sudah tahu kenyataan pemeritahan di
Intan Jaya seperti apa, tetapi masyarakat sudah mulai lupa berkebun dan
salahkan pemerintah terus, tanpa koreksi diri, berapa kebun yang ia punya.
Lebih parah lagi, tidak pernah
bersekolah atau tidak punya pekerjaan yang jelas, tetapi mengharapkan
pemerintah dan tidak bekerja.
Akhirnya hampir semua orang lari ke
togel dan mengunggit masalah-masalah yang berlalu untuk dapat uang.
Akibat dari semua itu, masalah
selingkuhan lagi. Selingkuhan mengundang konflik, konflik merengrut banyak korban berjatuhan.
Orang Migani saat ini dalam kebingungan.
Terhimpit oleh berbagai masalah.
Dalam kebingungan itu, orang Migani
sudah tidak mampu menempatkan masalah politik pada tempatnya, masalah
pemerintahan pada tempatnya, masalah Gereja pada tempatnya dan masalah budaya
pada tempatnya. Semuanya campur-baur dan kacau-balau!!!
Orang Migani akan menempatkan semua itu
pada tempat dan posisinya masing-masing dan menyelesaikannya, kalau memahami
dan menghidupkan Nilai NDUNI dan MINAI.
Mengapa? Karena di dalam NDUNI ada
berbagai ide dan solusi. Begitupun MINA I.
Jika dalam keluarga menghidupkan
nilai NDUNI sebagai tempat mendidik
seorang anak laki-laki yang berkualitas dan MINAI sebagai tempat mendidik anak
perempuan yang berkualitas, maka
keluarga benar-benar menjadi surganya para anggota keluarga.
Dengan demikian, masih ada kemungkinan
untuk menciptakan "surga" di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
Akhirnya, kita jangan hanya salahkan
pemerintah, tetapi salahkan juga diri kita yang sedang membunuh nilai-nilai
budaya dengan cara kita.
"Surga yang dimaksud di atas adalah
KEDAMAIAN HATI yang mesti dihidupkan, mulai dari keluarga, dalam satu wada
NDUNI dan MINAI.
Sedangkan "neraka"?🤷🏾♂ Jawab sendiri!
Amakaniee...Atuma Migani Mene...
Penulis adalah Fransiskus Sondegau
0 komentar:
Post a Comment